111
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Manusia diciptakan dengan hak dan kewajiban yang sama dimata Tuhan
Yang Maha Esa. Manusia hidup berkembang sebagai makhluk sosial dengan menjalankan peran dan tugas masing-masing. Pada dasarnya, manusia diciptakan dengan memiliki kelebihan dan kekurangan. Begitu pula manusia yang terlahir sebagai difabel (people with different abilities) atau penyandang cacat. Kekurangan itu bukanlah pilihan yang bisa ditentukan manusia karena hal itu merupakan anugerah dari Sang Pencipta. Menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat mendefinisikan bahwa: “Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari: penyandang cacat fisik; penyandang cacat mental; penyandang cacat fisik dan mental.” Saat ini, kerap sekali orang yang memiliki kekurangan fisik tersingkir dari dunia kompetisi baik pendidikan maupun pekerjaan. Mereka dianggap tidak mampu mengerjakan pekerjaan dengan baik sebagaimana manusia normal. Ketidaksamaan hak dan kewajiban begitu terlihat di masyrarakat. Padahal UndangUndang telah mengatur tentang kesamaan perlakuan kepada semua warga Negara Indonesia. Kekurangan fisik seharusnya tidak menjadi batasan untuk membedakan hak mendapatkan perlakuan yang sama dengan manusia normal. Menjadi difabel di tengah masyarakat yang menganut paham normalisme atau pemuja kenormalan, tentu menghambat ruang gerak para difabel. Sarana umum yang ada didesain untuk
1
2
kalangan orang normal bukan penyandang cacat, sehingga para difabel kesulitan dalam menikmati fasilitas yang ada. Menurut Pasal 1 Konvensi mengenai hak-hak Penyandang Cacat dan Protokol Opsional terhadap Konvensi yang disahkan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 menyatakan bahwa: ”Penyandang cacat termasuk mereka yang memiliki kerusakan fisik, mental, intelektual, atau sensorik jangka panjang yang dalam interaksinya dengan berbagai hambatan dapat merintangi partisipasi mereka dalam masyarakat secara penuh dan efektif berdasarkan pada asas kesetaraan.” Jumlah difabel di Indonesia sendiri makin meningkat setiap tahunnya. Faktor penyebab meningkatnya jumlah difabel bukan hanya faktor kelahiran dan keturunan, melainkan juga dipicu karena faktor kecelakaan maupun kehidupan yang tidak sehat dan bencana alam. Berdasarkan pendataan Dinas Sosial Provinsi DIY, jumlah difabel berdasarkan jenisnya dapat dilihat di Tabel 1.1. Tabel 1.1. Data Jumlah Difabel Provinsi DIY Provinsi
Tuna
Cacat
Cacat
Penyakit
DIY
Netra
tubuh
mental
kronis
2011
3.917
3.425
9.831
7.989
2.005
1.943
2010
4.636
3.966
11.389
9.251
2.116
2.330
2009
4.517
3.921
11.244
12.120
2.134
2.345
2008
6.233
5.413
13.225
11.465
3.078
1.805
2007
3.959
3.453
9.197
6.394
1.266
3.232
2006
2.384
2.871
8.122
5.138
1.266
2.590
2005
2.468
2.015
6.656
5.779
1.359
809
2004
3.188
2.637
8.880
7.606
1.359
999
Bisu/Tuli
Ganda
Sedangkan berdasarkan pendataan Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial Tahun 2012, jumlah populasi orang dengan disabilitas berat adalah 3.342.303 jiwa. Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri tercacat
3
berjumlah 57.242 jiwa. Angka tersebut bukanlah angka yang kecil. Oleh karena itu, pemerintah juga harus menciptakan sarana pendukung bagi kaum difabel. Seorang penyandang cacat dapat menjalankan kemandiriannya apabila didukung dengan ketersediaan sarana pendukung yang memadai. Seperti juga dijelaskan pada prinsip pembangunan dari PBB tahun 1995 yaitu “no part of the built-up environment should be designed in a manner that excludes certan groups of people ao the basis of their ability and fraily” (Mujimin, 2007). Dalam mendesain fasilitas umum, seharusnya pemerintah memperhatikan fasilitas khusus yang harus disediakan bagi difabel. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 468/KPTS/1998 menyebutkan bahwa persyaratan teknis pada bangunan umum dan lingkungan haruslah mengakomodasi semua aspek diantaranya adalah kemudahan, kegunaan, keselamatan, dan kemandirian. Menurut World Report on Disability (2011), seluruh pihak yang terkait baik pemerintah, organisasi sosial dan organisasi kaum difabel, diminta untuk bersamasama menciptakan lingkungan ramah untuk difabel dan mendukung mereka dengan pelayanan yang baik, menjamin perlindungan sosial, menegakkan standard an undang-undang yang berlaku sehingga dapat menguntungkan penyandang cacat ataupun masyarakat lainnya (Pradinasari, 2013). Kebijakan terbaru yang mengatur tentang difabel khususnya di DIY adalah Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan HakHak Penyandang Disabilitas. Pada pasal 3 Perda ini menjelaskan bahwa Pemerintah Daerah Provinsi DIY menjamin hak-hak kaum difabel meliputi hak dalam bidang pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan, sosial, seni, budaya, olahraga, politik, hukum, penanggulangan bencana, tempat tinggal, dan aksesibilitas. Aksesibilitas disini sudah disebutkan di awal, bahwa difabel membutuhkan sarana pendukung tertentu dalam menikmati fasilitas umum. Salah satu sarana pendukung dalam pemenuhan fasilitas umum yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah shelter/halte bus Trans Jogja. Bus Trans Jogja adalah salah satu angkutan umum yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Bus Trans Jogja merupakan salah satu aset milik Dinas Perhubungan Yogyakarta yang bekerjasama dengan PT. Jogja Tugu Transportasi.
4
Bus Trans Jogja memiliki halte atau shelter yang tersebar di berbagai tempat di Yogyakarta. Keberadaan halte yang merupakan salah satu dari rangkaian moda sarana dan prasarana pelayanan transportasi tentunya harus mempunyai fungsi yang optimal, dalam arti mempunyai nilai kemanfaatan bagi pengguna yang maksimal (Marta dan Indrojarwo, 2013). Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Bambang Triatma (1998) yang dikutip dalam Jurnal Desain Shelter Bus Dengan Konsep Berirama untuk Menekan Permasalahan Antivandalisme dan Tindak Kejahatan Khusus Kota Surabaya (Marta dan Indrojarwo, 2013) berkaitan dengan optimalisasi fungsi halte di Kota besar menyebutkan bahwa dari 27 halte yang disurvei ternyata hanya 4 buah (14.8%) yang dapat berfungsi optimal, 10 buah (37%) kurang optimal, dan sisanya sebanyak 13 buah (48.2%) berfungsi tidak optimal. Masalah saat ini, shelter yang digunakan sebagai halte Bus Trans Jogja masih belum menyediakan fasilitas khusus bagi pengguna difabel, sehingga belum berfungsi secara optimal. Saat ini para difabel masih mengalami kesulitan apabila menggunakan fasilitas shelter Trans Jogja. Seharusnya antara manusia normal dan para difabel mendapatkan perlakuan yang sama untuk menikmati fasilitas umum yang ada. Para difabel seperti tuna daksa, tuna netra dan tuna rungu masih mengalami kesulitan apabila menggunakan bus Trans Jogja. Kesulitan yang dialami oleh difabel ketika menggunakan fasilitas shelter Trans Jogja diantaranya adalah tidak adanya jalur khusus bagi pengguna kursi roda untuk memasuki shelter, tidak tersedianya ruang gerak yang memadai bagi difabel, halte yang sempit, sarana informasi yang tidak dapat diakses difabel tuna netra, serta tidak sesuainya ukuran dimensi halte yang ditetapkan Pemerintah. Saat ini banyak dari para difabel enggan menggunakan transportasi umum Trans Jogja karena mereka mengalami kesulitan ketika menggunakan shelter Trans Jogja. Kesulitan-kesulitan ini seharusnya dapat diantisipasi Pemerintah karena difabel merupakan masyarakat yang juga berhak menggunakan fasilitas umum dengan nyaman dan aman. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 mengenai Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pada Bab IX Pasal 242 ayat 1 menyatakan bahwa:
5
“Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan perlakuan khusus di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, wanita hamil, dan orang sakit.” Oleh karena itu, perlu adanya implementasi pemenuhan fasilitas bagi para difabel pengguna Trans Jogja. Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan alat evaluasi berupa kuesioner evaluasi fasilitas halte terhadap aksesibilitas bagi difabel. Alat evaluasi ini diharapkan mampu memberikan solusi untuk menilai kelayakan sebuah halte dengan mudah, sehingga dapat dilakukan perbaikan fasilitas halte agar dapat memenuhi syarat aksesibilitas difabel. Selain itu, penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi desain shelter Trans Jogja terhadap aksesibilitas pengguna difabel serta memberikan rekomendasi desain fasilitas yang memadai bagi difabel di shelter Trans Jogja berdasarkan Peraturan Pemerintah.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah pembuatan alat evaluasi (assessment form) yang baik serta implementasi alat evaluasi tersebut pada shelter Trans Jogja dan penentuan rekomendasi desain halte yang aksesibel bagi difabel sesuai peraturan pemerintah.
1.3
Asumsi dan Batasan Masalah Asumsi dan batasan dalam penelitian ini antara lain: 1. Pembuatan alat evaluasi hanya berdasarkan standardisasi peraturan pemerintah yang berlaku. 2. Tidak ada perbedaan antara kebutuhan penyandang cacat sejak lahir dan penyandang cacat akibat kecelakaan. 3. Penggalian data untuk asas aksesibilitas difabel hanya sebatas identifikasi kebutuhan. 4. Obyek penelitian yakni halte setingkat shelter, tidak meliputi halte portable.
6
5. Observasi dilakukan pada satu shelter yakni shelter Malioboro, karena desain shelter Trans Jogja secara keseluruhan tidak jauh berbeda. Shelter Malioboro merupakan shelter yang sering digunakan difabel. 6. Difabel yang menjadi obyek penelitian ini adalah tuna daksa, tuna netra dan tuna rungu. 7. Validasi pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan foto. Namun expert pernah menggunakan fasilitas yang ada.
1.4
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang dilakukan untuk menjawab rumusan masalah di atas
adalah sebagai berikut: 1. Mengembangkan alat evaluasi fasilitas halte terhadap aksesibilitas bagi difabel. 2. Mengevaluasi desain shelter Trans Jogja saat ini terkait aksesibilitas bagi difabel. 3. Menentukan rekomendasi desain shelter Trans Jogja yang memadai bagi pengguna khusus difabel sesuai Peraturan Pemerintah.
1.5
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan secara khusus oleh Dinas
Perhubungan dan perusahaan transportasi umum khusus bus sebagai pertimbangan dalam mengevaluasi serta memutuskan desain shelter/halte bus yang dibangun agar dapat mengakomodasi semua pengguna termasuk difabel. 1. Manfaat Khusus Manfaat khusus dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan alat evaluasi fasilitas halte terhadap aksesibilitas bagi difabel, sehingga dapat menjadi acuan untuk mengevaluasi halte dengan mudah. 2. Manfaat Teoretis Manfaat teoretis penelitian ini adalah sumbangan ilmu dalam bidang evaluasi desain fasilitas tertentu serta desain lingkungan yang sesuai peraturan pemerintah dan memperhatikan aspek ergonomi.
7
3. Manfaat Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini adalah dapat memberikan kemudahan bagi Dinas Perhubungan dan perusahaan bus umum untuk mengevaluasi dan menentukan desain shelter atau halte yang tepat untuk mengakomodasi Pemerintah.
kebutuhan
pengguna
difabel
sesuai
Peraturan
8