BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Predikat Kota Banjarmasin sebagai ‘kota seribu sungai’ telah melekat sebagai citra dan identitas lokal masyarakatnya. Ratusan sungai, baik tipe besar, sedang, kecil, hingga anak sungai tersebar di penjuru kota. Dari sungai-sungai inilah cikal bakal tumbuhnya Kota Banjarmasin yang bermula dari permukiman yang ada di tepian sungai terutama Sungai Barito dan anak sungainya (Saleh, 1981; Atmojo, 2002). Potensi Kota Banjarmasin sebagai kota sungai sejatinya berkembang berbasis lingkungan sungai dan memperkuat karakter dan potensinya sebagai kota dengan arsitektur tepian sungai dan budaya kehidupan sungai. Pada kenyataannya, fakta pembangunan dan peningkatan infrastruktur kawasan serta pertumbuhan fasilitas permukiman belum mengakomodir potensi dan citra kotanya dengan baik. Sebagian besar permukiman tepi sungai yang ada berdiri di atas sungai sehingga memakan badan sungai dan menghambat arus aliran sungai. Permukiman-permukiman dibangun tanpa memperhatikan fungsi sungai sebagai jalur transportasi, sehingga mengganggu sirkulasi kapal/perahu yang lewat. Beberapa bangunan bahkan dibangun di atas bantaran sungai yang merupakan ruang publik untuk kegiatan sosial (RTH, aktivitas MCK, dan lainlain). Adanya aktivitas masyarakat
yang menjadikan sungai sebagai daerah
“belakang” dan area pembuangan limbah rumah tangga, semakin memperparah kerusakan di lingkungan sungai. Kondisi permukiman dan budaya masyarakat seperti ini sangat umum ditemui di Kota Banjarmasin dan menjadikan Kota Banjarmasin kehilangan identitas lokalnya sebagai kota sungai. Selain persoalan hilangnya identitas lokal sebagai kota sungai, persoalan lain adalah rusaknya lingkungan sungai. Kerusakan lingkungan terutama disebabkan budaya masyarakat yang membuang sampah di sungai, sehingga menumpuk di bawah rumah/permukiman. Hal ini menyebabkan air sungai menjadi tercemar, aliran sungai terhambat, dan rusaknya ekosistem sungai. Permasalahan yang terjadi di Kota Banjarmasin, khususnya yang disebabkan oleh perkembangan permukiman tepi sungai yang tidak terkendali ini telah terjadi sejak lama. Kondisi ini akan terjadi terus-menerus dan cenderung semakin ekstensif, baik pertumbuhan permukiman maupun dampak negatifnya. Saat ini,
1
dampak paling jelas adalah hilang dan matinya beberapa sungai di Kota Banjarmasin sebagai akibat dari pembangunan yang tidak terkendali.
Gambar 1. Kerusakan lingkungan sungai di Kota Banjarmasin
Proses berkurang dan matinya jalur sungai terjadi secara bertahap, mulai dari akibat dibangunnya rumah tinggal yang tidak memperhatikan kearifan lokal permukiman di tepi sungai (antara lain: rumah tidak lagi menghadap sungai, dibangun di atas sungai secara permanen, menjadikan sungai sebagai daerah ‘belakang’ dan area buangan) hingga sungai yang diurug tanah untuk kebutuhan pembangunan. Gambaran perkembangan jalur sungai secara diakronik dan perkembangan jalan darat di Kota Banjarmasin dari tahun 1980 hingga tahun 2000 dapat dilihat dari gambar 2 berikut ini.
2
a
Tahun 1980
Tahun 1990 < Tahun 2000 Pergerakan jalur sungai secara diakronik
b
Tahun 1980 Tahun 1990 < Tahun 2000 Perkembangan jalan darat di Kota Banjarmasin Gambar 2. Pergerakan jalur sungai dan jalan di Kota Banjarmasin
Sumber: diolah dari Dinas Drainase dan Irigasi (2009); Heldiansyah (2010) Fenomena transformasi permukiman tepi sungai di Kota Banjarmasin sangat dipengaruhi oleh menurunnya fungsi sungai. Fungsi utama sungai sebagai sarana transportasi telah terbentuk sejak tahun 1526 M, yaitu pada saat Kesultanan Banjarmasin berdiri. Seiring waktu, karena paradigma pembangunan yang sangat
berorientasi
pada
daratan,
sehingga
fungsi
sungai
mengalami
kemunduran drastis. Berdasar perjalanan waktu yang dapat ditelusuri dari tahun 1960-an kondisi Kota Banjarmasin sangat tergantung pada transportasi air. Peran dua buah sungai besar, yaitu Sungai Martapura dan Sungai Barito yang melayani aktivitas transportasi air serta menghubungkan ratusan sungai sedang dan sungai kecil di berbagai pelosok kota. Seiring perkembangan di berbagai bidang ratusan sungai tersebut mengalami penurunan aktivitas, fungsi dan perannya dalam kehidupan masyarakat. Ditinjau dari jumlah sungai yang bisa dilewati transportasi air, saat ini hanya terdapat sekitar 72 buah sungai. Sungai-sungai mengalami penurunan kualitas seperti pendangkalan, tertutup sampah, bangunan, jalan dan jembatan.
3
Kondisi ini berbanding terbalik dengan pesatnya kemajuan sarana transportasi darat. Tahun 1991, panjang jalan hanya 205,07 km; dimana 193,29 km diantaranya sudah beraspal. Tahun 2009, total panjang jalan di Kota Banjarmasin tercatat 458,391 km, terdiri dari 425,726 km jalan beraspal, 8,139 jalan kerikil, dan 24,526 km jalan tanah. Panjang jalan darat bertambah seiring dengan pertumbuhan kendaraan bermotor. Tahun 1991, tercatat 47.564 buah sepeda motor dan 14.818 buah mobil; namun pada tahun 2009, jumlah sepeda motor meningkat menjadi 259.778 buah dan mobil menjadi 55.280 buah (BPS, 2010; Sari 2008). Dilihat dari sarana transportasi sungai yang ada, pada tahun 1991 jumlah transportasi sungai kategori pelayaran lokal mencapai 1.136 buah, pelayaran rakyat 1.247 buah, dan kapal lokal berjumlah 1.136 buah. Namun pada tahun 2009, pelayaran lokal dan kapal lokal sudah tidak ada lagi dan hanya terdapat 416 buah perahu kelotok, 54 buah perahu getek, dan 28 buah speedboat. Tahun 1980 peran transportasi sungai masih mendominasi dalam kehidupan masyarakat yaitu sebesar 69% namun menurun tajam di tahun 2012 hanya sebesar 23%. Berdasar data yang diolah kembali dari Dishub (2006), Permata (2008), dan BPS (2012) penurunan penggunaan transportasi sungai dan meningkatnya transportasi darat diprosentasikan pada gambar berikut.
Gambar 3. Penurunan penggunaan transportasi sungai
Sumber : diolah dari Dishub (2006), Permata (2008), BPS (2012) Selain dilihat dari aspek sarana transportasi, menurunnya peran sungai juga terlihat dari aspek ekonomi. Salah satu fungsi sungai sejak dulu adalah sebagai
4
urat nadi ekonomi, dimana proses jual beli berlangsung di pasar terapung. Aktivitas pasar terapung berlangsung menggunakan jukung (perahu tradisional kecil) yang didayung dan penerangan lampu minyak. Para pedagang hilir-mudik menawarkan berbagai komoditi pertanian seperti: pisang, jeruk siam, berbagai jenis sayuran, beras, dan ikan. Transaksi dagang menggunakan uang maupun sistem barter. Situasi pasar terapung dan perdagangan di sungai pada masa lalu dan masa kini dapat dilihat pada Gambar 4 dan 5 berikut ini.
Gambar 4. Aktivitas perdagangan di sungai tahun 1922 dan tahun 1938 Sumber: media.kit.nl
Gambar 5. Aktivitas pasar terapung di Kota Banjarmasin tahun 2014
Secara umum, bentuk dan sistem yang berlangsung dalam aktivitas pasar terapung tidak banyak mengalami perubahan. Lokasi pasar terapung yang ada di muara Sungai Kuin (Gambar 5) dan di Lok Baintan tidak berpindah tempat. Perubahan yang menyolok adalah berkurangnya jumlah pedagang berjukung sebagai pemasok utama barang dagangan di pasar terapung. Menurut Muhtar (47 tahun) yang sudah berdagang sejak tahun 1970an di Muara Sungai Kuin, dulu masih terdapat sekitar 200-an pedagang, namun saat ini tersisa sekitar 80-
5
an pedagang. Semakin lama masyarakat lebih memilih bertransaksi di pasar darat atau pusat perbelanjaan yang dianggap lebih praktis dan mudah dijangkau dengan transportasi darat. Selain penduduk lokal dan wisatawan yang ingin berbelanja, terdapat juga para pembeli yang berprofesi sebagai pedagang di pasar darat atau pedagang di komplek perumahan yang membeli secara borongan dan menjual kembali secara eceran. Fungsi pasar terapung yang lebih dominan adalah menjadi kunjungan wisata bagi penduduk lokal maupun wisatawan dari luar yang berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut. Berdasar gambaran perkembangan tumbuh pesatnya sarana transportasi darat dan menurunnya kegiatan ekonomi berbasis sungai maka semakin memperjelas faktor sungai dalam tranformasi permukiman tepi sungai di Kota Banjarmasin. Perkembangan selanjutnya menurunnya fungsi sungai menjadikan permukiman kehilangan identitasnya, sebaliknya permukiman berbasis darat semakin kuat. Sejak dulu penduduk yang tinggal di permukiman tepi Sungai Barito dan juga anak sungainya (Sungai Martapura, Sungai Alalak, Sungai Kuin, dan lain-lain) sangat menjaga kondisi lingkungan sungai. Bahkan pada zaman pemerintahan kolonial Belanda berkuasa di Kalimantan Selatan (berkedudukan di Kota Banjarmasin), permukiman yang ada di tepi Sungai Martapura diatur secara ketat untuk menjaga kondisi sungai agar tetap bersih dan tertata karena permukiman ini berada di jalur sungai sebagai transportasi utama dan pusat kota (Saleh, 1981). Perkembangan fisik permukiman saat ini sudah sangat jauh berbeda. Rumahrumah di tepian dibangun di atas sungai sehingga memadati badan sungai dan menghambat aliran air sungai. Selain itu, permukiman dibangun tanpa memperhatikan fungsi sungai sebagai jalur transportasi, sehingga permukiman mengganggu sirkulasi kapal/perahu yang lewat. Beberapa bangunan bahkan dibangun di atas bantaran sungai yang merupakan ruang publik untuk kegiatan sosial (ruang terbuka hijau, aktivitas MCK, dan lainnya). Lebih parah lagi, masyarakat pembuangan
menjadikan limbah
sungai
rumah
sebagai
tangga.
daerah
Kondisi
“belakang”
permukiman
dan
dan
area
budaya
masyarakat seperti ini sangat umum ditemui di Kota Banjarmasin dan menjadikan Kota Banjarmasin kehilangan identitas lokalnya sebagai kota sungai.
6
Gambar 6. Hilangnya identitas lokal sebagai ‘kota sungai’ di Banjarmasin
Berdasar fenomena-fenomena yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan transformasi permukiman tepi sungai yang terjadi di Kota Banjarmasin telah berlangsung tidak sebagaimana semestinya. Kehidupan masyarakat Kota Banjarmasin yang sangat berakar pada sungai dan juga besarnya pengaruh sungai dalam pembentukan kota ternyata tidak cukup menjadi faktor penggerak dan pengarah perubahan/perkembangan kota ke arah yang lebih baik. Permukiman tepi sungai, sebagai cikal bakal terbentuknya Kota Banjarmasin, berkembang (bertransformasi) secara tidak terkendali. Hal ini ditandai dengan hilangnya identitas lokal, yaitu budaya sungai pada fisik permukiman dan lingkungan permukiman di tepi sungai. Selain itu juga terjadi kerusakan lingkungan sungai (air dan ekosistem sungai) yang sangat parah. Dalam jangka panjang, proses transformasi yang tidak sesuai kondisi budaya dan alamiah sungai ini menyebabkan hilangnya sungai-sungai di Kota Banjarmasin dan menjadikan perkembangan fisik kota dan kehidupan masyarakat di Kota Banjarmasin menjadi tidak nyaman.
7
Keterangan: (gambar atas) kondisi pada masa lalu dan (gambar bawah) kondisi pada masa kini. Gambar 6.Permukiman tepi sungai di Kota Banjarmasin Sumber: Koleksi Tropen Museum (atas); peneliti (2012)
Secara akademik, fenomena transformasi permukiman tepi sungai ini penting diteliti karena dampaknya sangat besar terhadap arah pertumbuhan kota dan citra/identitas Kota Banjarmasin sebagai ‘kota seribu sungai’. Transformasi akan terus terjadi seiring perkembangan di segala bidang, namun dengan memahami bagaimana proses dan mengapa transformasi tersebut terjadi maka prediksi dan upaya pengendaliannya dapat diantisipasi.
1.2 Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Berdasar latar-belakang yang ada maka permasalahan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: “Permukiman tepi sungai di Banjarmasin adalah pembentuk utama kota. Saat ini permukiman yang ada telah mengalami transformasi dari permukiman yang berbasis pada sungai (waterbased settlement) menjadi permukiman yang berbasis pada daratan (landbased settlement). Proses transformasi permukiman telah menyebabkan hilangnya identitas lokal dan kerusakan lingkungan sungai yang selama ini menjadi sumber kehidupan masyarakat Kota Banjarmasin. Disamping itu, fenomena transformasi permukiman tepi sungai tersebut nampaknya belum memiliki penjelasan dari berbagai teori dan konsep-konsep transformasi sudah ada dari hasil penelitian sebelumnya”.
8
Untuk
menjawab
permasalahan
penelitian,
maka
dijabarkan
melalui
pertanyaan penelitian berikut: 1. Bagaimana proses transformasi pada permukiman tepi sungai di Kota Banjarmasin ditinjau dari bentuk dan cara-cara transformasinya? 2. Ditinjau dari fase dan proses transformasi pada permukiman tepi sungai di Kota Banjarmasin, faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhinya? 1.3 Tujuan dan Manfaat Tujuan penelitian ini adalah: 1. Menjelaskan bagaimana terjadinya (proses) transformasi permukiman tepi sungai di Kota Banjarmasin dari permukiman berbasis sungai (water based settelement) menjadi berbasis daratan (land based settlements). 2. Mengeksplorasi faktor-faktor yang mempengaruhi transformasi dan mengetahui bagaimana faktor-faktor tersebut bekerja. Adapun manfaat penelitian ini adalah: 1. Bagi masyarakat: Menjelaskan bagaimana proses transformasi permukiman tepi sungai dan faktor-faktor yang mempengaruhinya sehingga masyarakat dapat berpartisipasi sesuai kemampuannya. 2. Bagi ilmu pengetahuan: Memperkaya atau melengkapi teori dan konsep permukiman yang sudah ada, khususnya permukiman tepi sungai. 3. Bagi pemerintah: Menjadi landasan kebijakan untuk menata permukiman tepi sungai agar transformasi yang terjadi dapat dikendalikan dan citra Kota Banjarmasin sebagai kota sungai tetap terjaga. 1.4 Ruang Lingkup Penelitian Guna mempertajam fokus penelitian dan pembahasannya maka diperlukan pembatasan. Pembatasan pada penelitian ini terdiri dari lingkup kajian, lingkup wilayah, dan lingkup subtansi. 1. Lingkup kajian penelitian adalah transformasi dalam artian adanya proses penambahan, penguran gan, maupun perpindahan elemen-elemen pada site. 2. Lingkup wilayah penelitian dikaji berdasar keunikan dengan kriteria kasus kedudukan permukiman tepi sungai terhadap kota, posisi permukiman terhadap sungai, serta karakter dan fungsi kawasan.
9
3. Lingkup fase transformasi ditentukan berdasar kajian sejarah dan pustaka terkait perkembangan permukiman tepi sungai di Banjarmasin. Diperoleh tiga fase yaitu fase permukiman berbasis sungai (1950-1969), fase transisi (19701989), dan fase permukiman berbasis darat (1990-sekarang).
1.5 Keaslian Penelitian Penelitian permukiman tepi sungai (PTS) sudah cukup banyak dilakukan para peneliti
sebelumnya.
Penelitian-penelitian dengan berbagai
latarbelakang
fenomena, lokasi, dan metode menjadi deretan teori dan konsep yang semakin memperkaya temuan di bidang permukiman tepi sungai. Untuk menempatkan keaslian penelitian ini dalam ranah keilmuan arsitektur khususnya bidang permukiman tepian sungai maka kajian keaslian penelitian dibagi menjadi dua bagian, yaitu: (1) keaslian penelitian dengan menganalisis riset-riset permukiman tepi sungai di beberapa negara, dan (2) keaslian penelitian berdasar ragam penelitian para peneliti terdahulu pada permukiman tepi sungai di Kota Banjarmasin. Keaslian penelitian disajikan pada tabel-tabel berikut ini.
10
Tabel 1. Perbandingan penelitian PTS di beberapa negara No
1
Peneliti / Tahun Tong Gan, 1999 Thesis, McGill University
2
3
4
Judul Living with Water: Traditional Settlements of Chinese Water Towns
Tujuan dan Metode
Analisis Perbandingan
Memahami asal mula pembangunan kota-kota Air di Cina. Memahami layout dan struktur kota-kota air tradisional Mengkaji elemen ruang dan bentuk kota-kota air, dan rumah-rumah. Menghasilkan referensi untuk konservasi dan peremajaan kota sesuai potensi kota-kota air tradisional dengan metode studi kasus sebagai lokus. Menguji sistem kanal di Bangkok dan pengaruhnya terhadap pola permukiman di masa lalu. Mengidentifikasi karakter kanal berdasar tata guna lahan, skala, struktur, dan kondisi tepian kanal melalui analisis tipomorfologi.
Kota-kota air di China merupakan hasil evolusi dari kota-kota perdagangan kuno. Air merupakan komponen utama yang membentuk struktur kota, air mempengaruhi interior dan elemen kota. Permukiman tradisional yang ada merupakan bagian alamiah dari kota air dan menjadi salah satu prototipe. Struktur, elemen ruang, dan rumah-rumah yang membentuk kota air secara keseluruhan menciptakan tingkat hidup yang lebih baik. Meskipun fungsi kanal telah berubah, tetapi kanal selalu dapat berfungsi sebagai ruang publik. Dari analisis tipologi teridentifikasi karakteristik kanal yang menyokong penggunaan kanal sebagai ruang publik. Konsep pembangunan kembali sistem kanal sebagai sistem ruang publik.
Kesamaan pada metode yang digunakan, tipe permukiman yang menjadi amatan Perbedaan pada fokus asal mula dan transformasi Unit analisis makromeso >< meso mikro Kesamaan pada amatan fase masa lalu, analisis data tipologi Perbedaan pada fokus dan batasan proses perubahan
Keberhasilan skema pembangunan kembali waterfront tergantung pada bagaimana “noncliché” atau seriusnya skema tersebut dilaksanakan. Seberapa banyak harga yang ditawarkan, seberapa baik dijaminnya kebutuhan, potensi, dan cara meningkatkan kualitas hidup menjadi indikator utamanya. Sistem politik dan ekonomi pre-socialist, socialist and post-socialist menghasilkan ruang-ruang yang berbeda karakter. Menggali proses yang dikembangkan pemukim untuk melihat bagaimana masyarakat mengembangkan dan memelihara rumah dan infrastruktur lingkungan serta faktor sosial ekonominya.
Kesamaan pada mengamati peran sungai/air dalam lingkungan kehidupan Beda fokus dan landasan Kesamaan fokus, perbedaan pada skala ruang dan skala prilaku pemukim Penggalian karakter ruang >< bentuk dan cara
Chansiri, 1999 Thesis Polytechnic Institute & State University, Virginia Fatma Erkok, 2009 ITU A|Z VOL: 6 NO: 1 126-145 2009-1
The Historic Canal System in Bangkok, Thailand: Guidelines for Reestablishing Public Space Functions.
Waterfronts: Potentials for improving the quality of urban life.
Meningkatkan kualitas kehidupan perkotaan melalui penyusunan kebijakan ekonomi, sosial, dan lingkungan yang berkelanjutan. Analisis interview berulang / cross check
Valbona Koci, 2005
Spatial Transformations of the Waterfront – as an Urban Frontier. Case Study: Durres a Port City.
Memahami bagaimana ruang di (re) produksi, digunakan, dan ditransformasikan dengan 3 sistem yang berbeda. Mendeskripsikan ruang dengan menyusun kembali aspek fisik dan elemen waterfront. Menggunakan analisis morfologi
Thesis Middle East Technical University
Hasil
(bersambung ke Tabel 1 lanjutan 1)
11
(Tabel 1. Lanjutan 1) No
5
Peneliti / Tahun Ahmad Sarwadi, 2002 Disertasi Kyoto University, Jepang
6
Denpaiboon, 2001 Disertasi Kyoto University, Jepang
7
Denpaiboon and Tohiguchi, 2004, Architectural Research and Studies Vol 2. 2004
Judul
Tujuan dan Metode
Hasil
Inhabitation Process And Spatial Order of Living Space In The Urban Riverside Settlement (A Case Study in the Musi Urban Riverside Settlement, Palembang City, Sumatra, Indonesia),
Mengidentifikasi daerah asal penghuni, metode membangun rumah, tempat yang digunakan masyarakat untuk berkumpul dan bersosialisasi, aturan dalam menata ruang pada rumah rakit dan rumah panggung. Menguji aturan tata permukiman tepian sungai pada kawasan kota. Metode penelitian melalui tahap dokumentasi dan survey lapangan.
Transformation by Modernization of The Traditional Waterfront Settlement in the Context of Their Coexistence with the Aquatic Environment
Mengkompromikan antara penyelidikan terhadap rekaman dan dokumen- dokumen yang berkaitan dengan kejadian kronologi disekitar permukiman di tepian sungai, Survei lapangan pada studi dan wawancara serta kuesioner. Pendekatan morfologi dengan teknik interpretasi foto udara.
Transformation of the Canal-Side Settlements in Greater Bangkok
Menganalisa proses transformasi permukiman tepian kanal di Bangkok karena adanya modernisasi Metode dengan survei pendahuluan dan wawancara Teknik interpretasi fotografi udara dalam tiga periode & teknik GIS
Rumah rakit diperoleh dengan membeli, rumah panggung dengan membangun sendiri. Tiga metode membangun rumah ; mengganti material, memperluas ruang, mengkonversi rumah rakit ke rumah panggung. Tiga tipe tempat masyarakat 1) di sungai : biasanya menggunakan rumah tiang untuk kegiatan mencuci, 2) di tepian sungai sbg tempat istirahat sebelum/sesudah mandi cuci atau bepergian dengan kapal, 3) tempat bermain anak di rumah panggung. Tiga aturan menata ruang dalam rumah rakit dan panggung: ruang tamu dipisahkan dari dapur, ruang tidur prioritas sebagai fungsi tunggal, kecendrungan menggabungkan ruang dapur dan ruang makan, ruang keluarga dan ruang tamu. Perubahan pemahaman masyarakat terhadap modernisasi melalui 4 point yaitu a) cara hidup b) perubahan dalam struktur permukiman, c) tipe-tipe bangunan, dan d) penggunaan material bangunan. Terdapat kecenderungan masyarakat yang semakin bergantung terhadap fungsi sunga pada lokasi yang berdekatan dengan CBD. Terdapat kesinambungan pemeliharaan lingkungan dan fungsi-fungsinya yang berbasis air untuk pengembangan kota melalui konsep “akses ke air”. Struktur permukiman telah diubah pada lokasi yang terhubung dengan kanal dan jalan. Tipe Bangunan dari tipe lama ke tipe baru atau dari Pillar House (rumah panggung/ rumah yang dibangun di pinggir sungai) ke House on Fill Land (rumah di atas tanah reklamasi). Penggunaan bahan bangunan mengalami transformasi dari bahan tradisional kayu ke bahan modern, yaitu beton.
Analisis Perbandingan Kesamaan pada beberapa unit analisis dan skala amatan Perbedaan pada metode dan fokus transformasi berdasar fase >< proses berhuni metode membangun.
Kesamaan pada fokus transformasi Perbedaan pada : metode, proposisi dampak (modernisasi >
(bersambung ke tabel 1. lanjutan 2)
12
(Tabel 1. lanjutan 2 ) No
8
Peneliti / Tahun Naing (2011)
Disertasi, ITS
9
Widya Febriati (2013) Disertasi, UTM
10
Sangalang (2013) Disertasi, ITS
Judul Permukiman berpindah dalam sistem rumah mengapung sebagai proses adaptasi manusia dengan lingkungan di Danau Tempe Sulawesi Selatan Identification Of The Morphological Characteristic Of Palembang Riverside Settlement
Keterikatan pada tempat untuk hunian di tepi sungai Referensi Suku Dayak Ngaju di Palangka Raya
Tujuan dan Metode
Hasil
Memahami dinamika pengaturan Pengaturan lokasi bermukim bahwa permukiman lokasi bermukim, tata letak mengapung dapat berada di seluruh ruang danau, permukiman, tata ruang dalam kecuali di area penangkapan ikan dan area yang rumah mengapung, dan proses dikeramatkan (sacred), dan dekat vegetasi adaptasinya. mengapung. Metode kualitatif dengan pendekatan Pengaturan tata letak permukiman berdasar arsitektur dan etnografi. Teknik orientasi absolut di dalam rumah dan orientasi analisis dengan model Spradley kontekstual di luar rumah Adanya adaptasi komunitas nelayan dengan lingkungan alam Menganalisis pola morfologi tepi Hubungan antara identitas kota dan morfologi sungai di Palembang untuk menata perkotaan melalui pengaruh sungai dalam kembali sesuai identitas kota membentuk struktur dan identitas kota Mixed-method terhadap dua disiplin peranan place attachment dan sense of place ilmu morfologi kota dan psikologi dalam mempertahankan identitas perkotaan lingkungan. Analisis morfologi, terdapat saling keterkaitan antara morfologi kota figure ground, space syntax. dengan identitas kota. Menemukan budaya bermukim dan Aspek keterikatan terhadap tempat berupa faktor-faktor yang mempengaruhi simbolisme penciptaan, ritual dan kekerabatan keterikatan pada tempat. yang terkonsepsi dalam benak orang Dayak. Aspek budaya sangat mempengaruhi keterikatan Metode kualitatif: pendekatan terhadap tempat. grounded theory, studi kasus dan content analysis. Rumusan cultural place attachment yang terbentuk merupakan keterikatan secara spiritual terhadap tempat, aspek identitas, sosial spritual, supranatural, simbolisme dalam lingkup budaya masa lalu.
Analisis Perbandingan Kesamaan pada lokus permukiman di atas air, proses perubahan / adaptasi Perbedaan pada fokus, metode dan landasan fase Kesamaan pada fokus tepian sungai dan karakter fisik lingkungan Perbedaan pada fokus, metode, dan unit analisis Kesamaan pada lokus permukiman tepi sungai dan adanya keterikatan pada tempat Perbedaan pada fokus amatan, unit analisis dan metode yang digunakan.
Sumber: Analisis peneliti berdasar Erkok (2009), Valbona (2005), Sarwadi (2002), Denpaiboon (2001, 2004), Gan (1999), Chansiri (1999), Naing (2011), Febriati (2013), Sangalang (2013)
13
No 1.
Peneliti / Tahun Dila Andini Tesis, Wageningen University, 2011
2
Betty Goenmiandari, Tesis ITS, 2010
3
Heldiansyah, Tesis UGM, 2010
4
Irwan Yudha Hadinata, Tesis UGM, 2010
5
Edy Jaya, Tesis UNDIP, 2009
6
Rizki Permata Sari, Tesis UNDIP, 2008
Tabel 2. Perbandingan penelitian PTS dengan lokus di Kota Banjarmasin Judul Hasil Exploring The Social Life of Atraksi sungai sebagai sebuah bagian yang penting dari Public Spaces on dermaga.Menyediakan akses fisik, visual, dan simbolik yang jelas di Riverfronts: dermaga, fasilitas publik yang terawat baik dengan kualitas yang A case study of Sudirman baik untuk menciptakan ruang publik yang nyaman. and Tendean Riverside Lebih memfasilitasi kegiatan-kegiatan pada dermaga untuk Quays in Banjarmasin, mengundang lebih banyak orang untuk datang. South Kalimantan, Karakter lokal harus disajikan pada kedua desain fisik dermaga dan Indonesia aktivitas yang dilakukan. Konsep Penataan Konsep penataan permukiman bantaran sungai berupa penataan Permukiman Bantaran dibidang transportasi sungai, kegiatan ekonomi di sungai, penataan Sungai Di Kota ruang permukiman dan sanitasi serta pelestarian ekosistem, dapat Banjarmasin Berdasarkan digunakan untuk menampilkan kekhasan permukiman pinggir Budaya Setempat sungai, yaitu interaksi manusia dengan sungai. Kajian Peningkatan Pola kawasan tepian sungai di lokasi penelitian memiliki kualitas Kualitas Lingkungan lingkungan tepian sungai yang masih rendah, serta tidak Binaan Tepian Sungai Kota mendukung kelangsungan daya dukung sungai di kota Banjarmasin Banjarmasin, perlu ditingkatkan kualitasnya dari perspektif urban. Tipomorfologi Kota Kota Banjarmasin secara tipomorfologi sudah tidak mengikuti Banjarmasin ; Kawasan Inti kaidah konsep lokal dan perkembangan kota air. Memberikan Kota Banjarmasin rekomendasi makro, meso dan mikro sebagai landasan kebijakan kota. Kajian Fisik Ruang Kearifan lokal dalam membangun telah bergeser dengan Sepanjang Tepian Sungai munculnya bangunan baru tanpa mempertimbangkan identitas Di Kelurahan Alalak, Kota lokal. Aspek sosial budaya terutama pada hubungan kekerabatan Banjarmasin masyarakat Alalak turut berpengaruh terhadap pola permukiman di tepian sungai. Pergeseran Pergerakan Angkutan Sungai di Sungai Martapura Kota Banjarmasin
Pergeseran penggunaan moda dari angkutan sungai ke angkutan darat terjadi karena transformasi guna lahan dan tersedianya jaringan jalan darat yang menyebar ke berbagai wilayah kota. Pelaku perjalanan saat ini memiliki berbagai alternatif moda yang dapat dipilih untuk menunjang pergerakan berdasar pertimbangan waktu tempuh perjalanan, biaya ketersediaan moda transportasi.
Perbedaan Fokus Fokus pada public space dan social life>
<multiple case Fokus pada kualitas lingkungan ><skala meso, Fokus pada kaw komersial inti kota><multiple case Fokus pada pergeseran angkutan sungai >
(bersambung ke tabel 2. lanjutan 1)
14
(Tabel 2. Lanjutan 1) No 7
Peneliti / Tahun Marlia Adriana, Tesis ITB, 2007
Judul Transformasi Morfologi Permukiman di Tepian Sungai Martapura
Hasil Perbedaan Fokus Kesamaan hanya pada Kebijakan pemerintah sebagai faktor pendorong ternyata sangat fokus transformasi. dominan mempengaruhi transformasi morfologi yang terjadi. Perbedaan payung teori, Kebijakan memindahkan pelabuhan dari Sungai Martapura ke metode penelitian, Sungai Barito menyebabkan fungsi sungai berubah dari jalur penentuan fase dan dasar regional menjadi jalur lokal. pemilihan lokasi. Dampaknya perdagangan dan transportasi sungai menurun sehingga masyarakat merubah usaha, transportasi dan aktivitasnya dari sungai menjadi ke darat. 8 Dahliani, Tesis Revitalisasi Permukiman di Perwujudan kekhasan fisik permukiman dilakukan dengan Fokus pada revitalisasi ITS, 2006 Kawasan Mesjid Sultan ><multiple Mewujudkan aspek non fisik dengan melestarikan kebudayaan case yang dimiliki oleh masyarakat dan mengembangkan potensi ekonomi sbg kerajinan khas Kuin.Membangun keterkaitan antar objek bersejarah dalam kawasan. 9 Evan Elianto, Konsolidasi Keruangan Fokus pada elemen titian Terdapat keragaman bentuk konfigurasi titian yang memiliki nilai Tesis, 2013 Kawasan Tepian Sungai ruang yang beragam. Bentuk konfigurasi titian yang meliputi bentuk pada hunian di tepian Berbasis Titian sebagai sungai >< elemen titian, pola massa dan fungsi bangunan berpengaruh terhadap permukiman dan Karakteristik Lokal aktivitas dan integrasi pada area perairan dan daratan, baik secara transformasinya keruangan dan visual. 10 Annisa, Tesis, Ragam Keruangan Tepi Terdapat tiga tipe permukiman produktif (tipologi/ragam keruangan) Fokus pada permukiman 2014 Sungai di Kawasan produktif dan di kawasan tepian sungai Alalak Tengah dan Alalak Selatan Permukiman Produktif keragamannya >< fokus berdasarkan pada fungsi kawasan/tata guna lahan, solid/void, pada elemen hunian dan Alalak, Banjarmasin jejalur (jaringan sirkulasi) dan aktivitas pendukung kawasan Alalak transformasinya. Tengah dan Alalak Selatan, yaitu tipe permukiman produktif area daratan, tipe permukiman produktif area tepian sungai dan tipe permukiman produktif area sungai. Sumber: analisis peneliti berdasar Andini (2011), Heldiansyah (2010), Goenmiandari (2010), Hadinata (2010), Jaya (2009), Permata (2008), Adriana (2007), Dahliani (2006), Elianto (2013), Annisa (2014)
15
Riset-riset terkait teori dan konsep permukiman sudah cukup banyak diungkap para peneliti terdahulu dengan fokus penelitian yang sangat beragam. Paparan teori dan konsep permukiman tepi sungai yang ada dapat dikelompokkan berdasar waktu dan fokus. Berdasar waktu, dapat dibedakan atas empat periode, yaitu: (1) periode 1981-2000; (2) periode 2001-2004; (3) periode 2005-2008; dan (4) periode 2009-2012. Sedangkan berdasar fokus, terdiri atas empat fokus, yaitu: (1) tipologi morfologi; (2) transformasi, adaptasi, dan proses berhuni; (3) revitalisasi dan budaya air; dan (4) karakter dan peningkatan kualitas fisik. Riset terkait tipologi dan morfologi permukiman antara lain: Analisis Tipologi dan Gaya Hidup pada Rumah Rakit (Denpaibon, 2002); Tipologi Rumah & Tempat Berkumpul (Sarwadi, 2001); Morfologi Permukiman Tepi Air (Fransiska, 2011); Morfologi Kota Pontianak (Roosandra, 2010); Tipomorfologi rumah lanting (Mentayani, 2009); Tipomorfologi Kota (Hadinata, 2010); dan Aspek-aspek Tipomorfologi (Mentayani, et.al, 2011). Sedangkan riset dengan fokus transformasi, adaptasi, dan proses berhuni dapat dibagi lagi atas beberapa sub-fokus. Sub fokus Transformasi Habitat Aquatic (Ayako, 1997); Sub fokus bentuk kavling mencakup aspek historis (Budaya perairan dan pasang surut air (Hasyim, 1999); aspek kontinuitas, privasi dan kualitas ekologi (Cullen, 1981; Francis,1987); struktur, elemen ruang dan rumah yang membentuk kota air (Gan,1999); perubahan sosial budaya masyarakat (Rafiah, 2001), Kembali ke Air (Denpaibon, 2001; Mursalanto, 2002), Perubahan rural-urban; modernisasi (Denpaibon, 2001), Tipologi rumah rakit dan gaya hidup (Denpaibon, 2001), Transformasi-sosial ekonomi budaya (Kreiger, 2004), Perubahan kawasan permukiman dan kehidupan Agro-cities ke Agrotourism (Theerapappisit,2002); Pola kehidupan berdasar transisi (Theerapappisit, 2002), Proses berhuni & tata ruang (Sarwadi, 2002), Perubahan keruangan waterfront di tiga negara (Chen Yu, 2009), Perubahan keruangan, proses berhuni (Fransiska, 2011). Bentuk ruang sebagai adaptasi masyarakat (Jaya, 2009), Penataan berdasar budaya (Jaya, 2009; Bety, 2010), prilaku meruang (Zao Li, 2011), perilaku pemanfaatan ruang (Andini, 2011), Proses bermukim pada kawasan bersejarah (Dahliani, 2006), perubahan konsep bermukim (Putra, 2007), transformasi morfologi (Adriana, 2007), perubahan keruangan (Valbona, 2005; Li Li, 2012).
16
Fokus revitalisasi, persepsi
dan
budaya air; Revitalisasi - tipologi kanal
(Chansiri, 1999), Revitalisasi Tepi Sungai Cikapundung (Gunawan, 2010) Revitalisasi komunitas (Saicharoen, 2002), Persepsi air bagi orang sungai dan darat (Nguyen, 2002), Budaya huni aquatic (Prayitno, 2004), Revitalisasi, proses berhuni dan bermukim kawasan bersejarah (Dahliani, 2006), Makna dan fungsi sungai bagi pemukim (Mentayani, 2010), Makna empiris pola permukiman tepi sungai di Jambi (Putra, 2010). Fokus karakter dan peningkatan kualitas lingkungan; pengembangan Sungai Ping (Oranratmanee, 2002), permukiman layak huni (Chairina, 2004), Pengembangan kawasan sungai (Widjanarka, 2001), fisik permukiman dan tata ruang, lingkungan (Putrina, 2002), karakter permukiman tradisional tepi sungai (Mentayani, 2001), penandaan teritori permukiman tepi sungai (Saptorini, 2007), pergerakan transportasi sungai (Sari, 2008), Aquapolis: tekno photovoltaic (Prayitno, 2005), arsitektur tepian sungai potret life style masyarakat (Mentayani dan Prayitno, 2011), kajian fisik sepanjang sungai (Jaya, 2009), Penataan kawasan bisnis (Firzal, 2011), from space to place (Oldani, 2011), Peningkatan kualitas lingkungan (Heldiansyah, 2010), Ruang Terbuka Hijau dalam garis sempadan sungai (Wardhani, 2010), Permukiman Tepi Sungai berbasis mitigasi struktural (Mentayani. et.al., 2011). Berdasar capaian riset tentang permukiman di tepi sungai di atas, nampaknya fenomena transformasi permukiman di tepi sungai di Kota Banjarmasin masih belum cukup dijelaskan dan masih menyisakan permasalahan untuk diteliti. Guna melengkapi dan memperkaya teori/konsep transformasi permukiman, maka fenomena yang ada di Kota Banjarmasin dijadikan studi kasus. Berkaitan dengan hal ini, maka kedudukan penelitian dan kebaruan pengetahuan yang diperoleh dari penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 7 berikut.
17
Gambar 7. Perkembangan riset PTS dan celah keilmuan
18
1.6 Kerangka Pikir Kerangka pikir disusun sebagai landasan dasar dalam penelitian ini. Secara umum, kerangka pikir dapat dideskripsikan sebagai berikut. Dalam tahap pendahuluan dilakukan penelusuran lokasi dan paralel dengan penelusuran kajian pustaka. Kedua upaya ini dilakukan untuk melihat keunikan lokasi dan keaslian penelitian serta gap yang ditemukan di dalamnya. Gap penelitian menjadi landasan dalam perumusan permasalahan penelitian yang sekaligus memberikan kisi kisi terhadap proposisi teori penelitian. Proses ini akan kembali diperdalam dengan metode studi kasus dengan multiple case embedded. Desain kasus memuat tiga kasus atau lokasi yang akan diperdalam di tiap fase transformasi. Hasil dari proses pendalaman kasus selanjutnya akan didialogkan dalam proses lintas kasus yang akan menyimpulkan bagaimana dan mengapa proses transformasi PTS di Banjarmasin. Dari hasil temuan akan memaparkan proses transformasi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hasil temuan dan kesimpulannya akan diposisikan kedalam teori dan konsep transformasi permukiman tepian sungai. Dalam teori dan konsep tersebut akan memperkaya dan melengkapi teori dan konsep yang sudah ada terkait dengan proposisi yang sudah dikonstruksikan.
19
PENDAHULUAN
PUSTAKA
ANALISIS
TEMUAN
Teori/konsep Permukiman
Arsitektur dan Permukiman (human settlements)
Teori/konsep Permukiman Tepi Sungai (PTS)
Kemajuan Riset ttg Permukiman (human settlements)
DIALOG TEORI /KONSEP Teori/konsep transformasi
Permukiman Tepi Sungai (PTS) dan Transformasinya
Teori/konsep adaptasi
Capaian Riset Transformasi PTS
Keaslian penelitian
Gap penelitian
PERMASALAHAN PENELITIAN
Temuan penelitian melengkapi/memperkaya konsep/teori yang ada
Kerangka Teori
TRANSFORMASI ADAPTIF PTS DI KOTA BANJARMASIN
ABSTRAK EMPIRIS
Fenomena Transformasi PTS di Kota Banjarmasin: WaterbaseLandbased Kerusakan Lingkungan Pertumbuhan kota yang tidak terkendali
PROPOSISI
Kasus I
PERTANYAAN PENELITIAN Gambaran Perkembangan Kota Banjarmasin
Kasus II Kasus III
Gambar 8. Kerangka pikir penelitian
Fase I Fase II Fase III
Analisis Lintas Kasus dan Fase
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES TRANSFORMASI CARA TRANSFORMASI, KEDUDUKAN SUNGAI DAN JALAN , FAKTOR BERPENGARUH
20