BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Hipertensi merupakan penyulit medis yang sering ditemukan pada kehamilan yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas baik ibu maupun perinatal. Hipertensi dalam kehamilan merupakan faktor resiko medis yang paling sering dijumpai (Slamet et al, 2001). Penyulit medis dalam kehamilan salah satunya adalah pre-eklamsia. Pre-eklamsia ialah sindrom spesifik kehamilan berupa berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel. Gambaran klinis pre-eklamsia berupa timbulnya peningkatan tekanan darah mencapai 140/90 mmHg atau lebih disertai proteinuria mencapai 300mg/24 jam atau lebih yang disebabkan oleh kehamilan setelah minggu ke-20. Edema sebagai kreteria pre-eklamsia berkurang perannya karena kelainan ini terjadi pada banyak wanita hamil normal, sehingga bukan menjadi kriteria utama yang digunakan sebagai diagnosis pre-eklamsia. Namun, tiba-tiba mengalami edema berat terutama pada tangan dan wajah dapat menjadi gejala penting dan kadang-kadang merupakan satu-satunya perubahan yang terdeteksi dari pasien. Pre-eklamsia terbagi menjadi dua klasifikasi, pre-eklamsia ringan dan pre-eklamsia berat (Maynard et al, 2011). Penyebab pre-eklamsia sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Menurut Alice wang dkk (2009), teori tentang plasenta merupakan penyebab utama terjadinya preeklamsia. Banyak teori yang menerangkan namum belum dapat memberi jawaban yang memuaskan. Hal ini disebabkan karena banyaknya faktor yang menyebabkan terjadinya pre-eklamsia antara lain : imunologi, genetik, iskemia uteroplasenta, disfungsi endotel, serta peran prostasiklin dan tromboksan. Pada pre-eklamsia terjadi vasokontriksi sehingga menimbulkan gangguan metabolisme endotel dan secara umum terjadi perubahan patologi-anatomi. Perubahan patologi-anatomi akan menambah beratnya manifestasi klinis dari masing-masing organ vital (Manuaba et al, 2007). Sistem saraf pusat, sistem hepatik, sistem ginjal, sistem pernafasan, sistem peredaran darah serta unit uteroplasenta merupakan sistem organ vital yang mengalami perubahan patologi1
2
anatomi. Perubahan organ-organ vital ini menyebabkan terjadinya komplikasi seperti gagal ginjal akut, kejang (eklamsia), edema paru, kerusakan hati akut, hemolisis, dan / atau trombositopenia, hemolysis elevated liver enzymes and low platelets (HELLP) sindrom, prematuritas, pertumbuhan janin terhambat (IUGR), dan oligohidramnion (Maynard et al, 2011). Prevalensi pre-eklamsia di dunia berkisar 3-8%, mempengaruhi 8,5 juta dari total seluruh wanita didunia. Pre-eklamsia menyebabkan sekitar 18% kematian ibu dan hampir 40 % menyebabkan kematian janin. Pre-eklamsia menyebabkan kematian ibu sekitar 16 % dan 9% di Afrika dan Asia (Anderson et al, 2012). Di Indonesia pre-eklamsia berat dan eklamsia merupakan penyebab kematian ibu berkisar 1,5% sampai 25%, sedangkan kematian bayi antara 45% sampai 50%. Berdasarkan Laporan Kematian Ibu (LKI) Kabupaten/Kota se Jawa Timur tahun 2010, AKI (Angka Kematian Ibu) di Provinsi Jawa Timur tahun 2010 sebesar 101,4 per 100.000 kelahiran hidup. Jumlah Kematian Maternal di Provinsi Jawa Timur berdasarkan laporan Kematian Ibu Kab/Kota, pada tahun 2010 tercatat sebanyak 598 kasus kematian dengan rincian 152 kematian masa hamil, 163 waktu bersalin dan 283 pada masa nifas. Penyebab langsung kematian ibu antara lain pendarahan, eklamsia, partus lama, komplikasi aborsi dan infeksi (Dinkes, 2010). Penanganan pre-eklamsia sangat penting untuk mencegah terjadinya kejang, perdarahan intrakranial, gangguan fungsi organ vital, dan upaya dapat melahirkan bayi sehat sehingga kematian ibu dan janin dapat dihindari. Penanganan preeklamsia dilakukan secara farmakologi maupun non farmakologi. Secara farmakologi, terapi yang diberikan antaralain : antihipertensi, antikonvulsan dan kortikosteroid. Istirahat di tempat tidur (bedrest) dengan posisi miring/tirah baring dan diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, dan garam dapat menjadi terapi non farmakologi pada pre-eklamsia. Beberapa antihipertensi yang saat ini digunakan sebagai penanganan pre-eklamsia adalah labetalol (α danβ bloker), hydralazine (vasodilator), nifedipine (antagonis saluran kalsium) dan metildopa (α-adrenergik agonis). Metildopa merupakan antihipertensi yang aman digunakan sepanjang kehamilan. Hal ini dikarenakan aliran uteroplasenta dan hemodinamik janin stabil,
3
serta tidak adanya laporan efek merugikan perkembangan jangka panjang pada anak-anak (Kacica et al, 2013). Metildopa melintasi plasenta dan ditemukan didalam darah tali pusat dengan konsentrasi yang sama dengan yang ada dalam darah ibu. Metildopa menurunkan tekanan darah sistolik pada neonatus, tetapi belum pernah ada dilaporkan tentang efek buruk pada janin. Data mengenai tindak lanjut pediatrik selama tujuh tahun pada bayi-bayi yang ibunya diterapi dengan metildopa selama hamil untuk hipertensi atau pre-eklamsia, tidak memperlihatkan kelainan jangka panjang apapun dalam perkembangan bayi (Sadikin, 2000). American College of Obstricians and Ginekologi (ACOG) mendukung bahwa metildopa sebagai antihipertensi pertama yang diberikan selain labetalol. Food and Drug Administration (FDA) juga
menyatakan metildopa masuk
kategori B. Namun, The National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE) meningkatkan kekhawatirannya adanya efek depresi pada ibu (R.vest, 2012). Penelitian terbaru juga menyatakan bahwa metildopa memiliki efek samping hepatitis, anemia hemolitik, depresi, sistem saraf pusat sedasi, dan lupus seperti sindrom (Kacica et al, 2013). Selain itu, metildopa tidak lebih baik dalam meningkatkan tekanan darah yang lebih terkontrol, penurunan iskemia ginjal serta peningkatan fungsi ginjal dibandingkan dengan labetalol (Verma et al , 2012). Namun, di Indonesia metildopa masih digunakan sebagai terapi pre-eklamsia. Metildopa merupakan antihipertensi bersifat prodrug yang diubah menjadi bentuk aktif di otak. Dengan bantuan asam amino L-aromatik, metildopa diubah menjadi α-metildopamin. Selanjutnya oleh dopamin diubah menjadi αmetilnoreefineprin. α-metilnoreefineprin akan menggantikan noreefineprin yang dikeluarkan oleh saraf simpatik adrenergik, sehingga terjadi penurunan pelepasan noreefineprin. Menurunnya pelepasan noreefineprin menyebabkan penurunan sinyal output vasokonstriktor ke sistem saraf simpatik perifer sehingga resistensi vaskuler berkurang dan mengakibatkan terjadinya vasodilatasi vaskuler (Verma et al , 2012). Berdasarkan hal ini penulis ingin mengevaluasi penggunaan obat pada pasien pre-eklamsia di Instalansi Rawat Inap RSU Dr.Syaiful Anwar Malang periode 1 Januari 2012- 31Desember 2013 yang berkaitan dengan ketepatan dosis,
4
rute, bentuk sediaan, kombinasi, frekuensi, dan lama pemberian antihipertensi metildopa yang dapat mempengaruhi hasil terapi dan tujuan pelaksanaan terapi.
1.2 Rumusan Masalah Bagaimana profil penggunaan antihipertensi metildopa pada pasien preeklamsia di RSU Dr.Syaiful Anwar Malang?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui profil penggunaan antihipertensi metildopa pada pasien preeklamsia untuk mendapatkan profil pengobatan yang rasional
1.3.1. Tujuan Khusus 1. Mengetahui pola penggunaan antihipertensi metildopa pada pasien preeklamsia di RSU Dr.Syaiful Anwar Malang 2. Mengkaji terapi antihipertensi metildopa terkait ketepatan dosis, rute, bentuk sediaan, kombinasi, frekuensi, dan lama pemberian antihipertensi metildopa pada pasien pre-eklamsia yang digunakan yang dikaitkan dengan data klinik di RSU Dr.Syaiful Anwar Malang
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi Peneliti 1. Mengetahui penatalaksanaan terapi antihipertensi metildopa pada pasien pre-eklamsia yang diteliti di RSU Dr.Syaiful Anwar Malang 2. Sebagai referensi dan studi pendahuluan bagi peneliti selanjutnya untuk menyempurnakan
jika
melakukan
penelitian
sejenis
dengan
menggunakan variabel yang berbeda.
1.4.2 Bagi Rumah Sakit 1. Sebagai informasi bagi farmasis maupun tenaga kesehatan lain tentang pelaksanaan
pengobatan
dan
evaluasi
penggunaan
antihipertensi
metildopa pada pasien pre-eklampsia di RSU Dr.Syaiful Anwar Malang
5
2. Memberikan gambaran tentang pola penggunaan antihipertensi metildopa yang bermanfaat untuk instalasi farmasi berkaitan dengan pengadaan obat dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan di rumah sakit.