BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kendati cabuh kebangkrutan kapitalisme tengah menghantui Amerika dan Eropa, Fernand Braudel meramalkan, kapitalisme tak akan mudah runtuh. Ia akan tetap bertahan dengan mengubah arah dan mereorganisasi bentuk-bentuk dominasinya. Pakar ekonomi itu menyebutkan, krisis kapitalisme dewasa ini justru menghasilkan kecenderungan menguatnya kapitalis besar. Alhasil, negara berkembang seperti Indonesia, yang sejak awal disasar sebagai ―korban‖ para kapitalis pun akan makin tergilas.1 Bentuk ketertindasan itu tidak hanya hadir dalam lingkup ekonomi tapi juga politis, kultural, dan ideologis. Yang paling kentara tampak dari kian luasnya pasar bebas secara global. Tidak hanya industri manufaktur, jasa, dan perbankan saja, melainkan juga produksi simbol, imajinasi, dan citraan (decoding) – sebagai sesuatu yang maya – yang berkembang secara masif. Tak hanya kapitalis tingkat global saja yang mengkoloni kita. Para kapitalis di tingkat lokal alias pebisnis dalam negeri juga turut melancarkan niatnya, dengan cara memaksimalkan strategi pemasaran lewat iklan. Menurut Sumbo Tinarbuko, iklan memang digadang-gadang menjadi metode pemasaran yang ampuh guna mendukung kesuksesan bisnis.2 Tak ayal jika banyak perusahaan rela menggelontorkan puluhan hingga ratusan juta rupiah untuk memperkenalkan produknya pada masyarakat. Di samping itu, iklan menjadi jendela kamar sebuah perusahaan Keberadaannya menghubungkan perusahaan dengan masyarakat, khususnya konsumen.3
1
Fernand Brudel. 1987. Dapatkah Kapitalisme Bertahan, dalam M. Dawam Rahardjo, Kapitalisme Dulu dan Sekarang. Jakarta: LP3ES. hal. 319. 2 Sumbo Tinarbuko. 2013. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jalasutra. hal 2. 3 Program Studi desain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta dan Studio Diskom. 2009. Irama Visual: Dari Toekang Reklame sampai Komunikator Visual. Yogyakarta: Jalasutra. hal. 13.
1
Lewat iklan yang terserak dalam berbagai langgam media, masyarakat dipaksa untuk menepikan rasionalitas. Sebagai gantinya, mereka dirangsang untuk terus berhasrat mengkonsumsi citra (juga imagologi) tertentu.4 Pada akhirnya, baik di ruang privat/ domestik dan ruang publik, citraan iklan pun membanjir sedemikian rupa. Di ruang privat, iklan dijejalkan melalui media cetak, elektronik, dan internet. Sementara di ruang publik, beragam iklan menjelma dalam format baliho, spanduk, poster, dan mural-mural di tembok. Gempuran iklan komersial di ruang publik jelas saja jadi persoalan tersendiri. Apalagi jika dikaitkan dengan fungsi ideal ruang publik. Idealnya ruang publik dicirikan sebagai ruang yang plural. Ruang publik dalam definisi harfiah ini secara politis diharapkan mampu menjadi perantara antara masyarakat dan negara. Ia memiliki fungsi sebagai peringatan ketika problem-problem kemasyarakatan yang menjadi tanggung jawab negara tidak mampu dipecahkan dengan cepat dan baik. Lebih jauh, dalam konteks ini ia juga menjalankan fungsi sebagai kontrol sosial atas perilaku rezim politik yang tengah berkuasa.5 Singkatnya ruang publik sejatinya adalah ruang-ruang yang mampu memberi alternatif bagi warga untuk menyiasati spasialisasi dominan yang dilakukan oleh penguasa kota. Dalam kaca mata Henri Lefebvre, sosiolog Marxis asal Perancis, ketika praktik spasial dilakukan oleh kelompok penguasa (atau kelompok dominan lain), ia akan menjadi spasialisasi dominan. Padahal seyogyanya praktik spasial warga kota merupakan artikulasi sosio kultural kolektif warga kota.6 Dari uraian sebelumnya, tersirat kesan bahwa fungsi ideal ruang publik tersebut memang telah bergeser. Di Yogyakarta sendiri misalnya. Kota yang merupakan episentrum budaya relatif penting di Indonesia ini justru ternodai akibat perilaku para pengiklan yang sembarangan ―mengotori‖ ruang publik, baik di tembok, trotoar, pepohonan, maupun jalan.7 Kooptasi iklan-iklan komersil bisa dilihat di hampir semua sudut kota. Alih-alih tertib memasang iklan di tempat yang telah ditentukan, tak jarang justru terjadi perebutan kuasa atas ruang publik yang dianggap strategis. Alhasil ruang publik pun 4
Syamsul Barry. 2008. Jalan Seni Jalanan Yogyakarta. Yogyakarta: Studium. hal. 92 F. Budi Hardiman. 2011. Ruang Publik dan Demokrasi Deliberatif, dalam F. Budi Hardiman, dkk. Empat Esai Politik. Jakarta: www.srimulyani.net. hal. 17. 6 Henri Lefebvre. 2001. Revolt Through Dominant Respatialization, dalam Rob Shields, Lefebvre, Love, and Struggle: Spatial Dialectics, dalam Yuka Dian Narendra, Publik dan Reklame di Ruang Kota Jakarta. Jakarta: Ruang Rupa. hal. 199. 7 Wawancara dengan seniman jalanan, Digie Sigit pada Desember 2013. 5
2
jadi kian terbatas. Bahu jalan, tiang listrik, atap gedung, dan area hijau seperti pepohonan semua dioptimalisasi dan dieksploitasi untuk pemasangan titik-titik iklan. Konsekuensinya, para pengguna jalan akan mendapatkan pemandangan yang sangat riuh dan tidak menyenangkan. Inilah yang disebut dengan teror visual. Dampaknya memang tak terasa seketika, namun perlahan ia akan menusuk dan menumpulkan daya nalar manusia.8 Di sisi lain, pemerintah yang notabene menjadi penyedia izin bagi pengusaha iklan, justru terkesan enggan ambil pusing. Berlarat-laratnya penyusunan masterplan pemasangan iklan luar ruang dan Peraturan Daerah (Perda) Yogyakarta membuat kondisi ruang publik kita jadi kian amburadul. Saat dikonfirmasi pada Haryadi, Walikota Yogyakarta, konon draf (revisi) Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kota sudah dimasukkan ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan sedang dalam fase penggodokan materi. Bagi Sumbo, alasan yang disusun pemerintah Kota Yogyakarta hanya apologi lantaran pemerintah tak mau kehilangan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang angkanya lumayan besar.9 Untuk 2013 saja, Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan (DPDPK) Koya Yogyakarta menargetkan PAD senilai Rp 6,8 miliyar. Angka itu berasal dari perolehan reklame berbentuk papan sebesar Rp 2,645 miliyar, sedang untuk reklame cahaya sebesar Rp 2,648 miliyar. Lebih lanjut, pemerintah justru bersimbiosis dengan para pengiklan. Sementara itu, warga masyarakat yang menjadi pemilik sah atas ruang publik lebih banyak apatis terhadap hal ini. Apatisme masyarakat menurut Sumbo disebabkan oleh pengaruh iklan yang melucuti kesadaran masyarakat. Tentu saja hal ini membuat banyak pihak yang masih peduli pada ruang publik merasa ―gerah‖. Mereka lantas berupaya merebut kembali ruang publik dari kepungan reklame yang digulirkan para pengiklan. Seniman jalanan misalnya, sebagian dari mereka melakukan counter attack dengan cara menempelkan karya seni rupa seperti mural, grafiti, dan stensil bernada kritis di jalanan. Tentu saja pemasangan karya dilakukan secara klandestin. Spirit mereka sama, yakni ingin mengembalikan citra Yogyakarta menjadi kota yang nyaman, sedap dipandang, dan bersih dari sampah visual. Di samping itu, mereka berkarya di jalan sebagai ihtiar untuk menyampaikan pesan tertentu. Umumnya tema pesan yang mereka angkat tak pernah jauh dari penderitaan buruh, petani, dan kaum marjinal lainnya. Mereka juga menjajaki persoalan 8 9
Wawancara dengan Sumbo Tinarbuko, Dosen ISI Yogyakarta pada Februari 2014. Ibid.
3
yang menggelayuti anak-anak dewasa ini, seperti kekerasan dan praktik penjualan anak-anak (children trafficking). Menurut Digie Sigit, ruang publik dipilih sebagai tempat berkarya lantaran sangat strategis dan memiliki tingkat keterbacaan tinggi jika seseorang ingin berkomunikasi pada publik.10 Seniman jalanan seperti Digie Sigit, kelompok seniman Taring Padi, Samuel Indratma dari Apotik Komik, maupun Andrew Antitank, mereka menolak menjadi seniman jalanan yang arogan, yang membuat karya hanya untuk gagah-gagahan saja. Maksudnya, mereka menghindari berkarya dalam bentuk coretan-coretan tanpa makna yang seksis dan rasis atau membuat avatar-avatar diri yang tidak punya pesan. Bagi mereka, karya seni haruslah menghargai kecairan ruang publik dan punya pesan yang bisa ditangkap. Singkatnya, mereka tidak ingin sekadar mengumbar kegenitan individu dengan banyak karya tapi tidak bermakna. Lain halnya dengan seniman jalanan, Sumbo Tinarbuko punya terobosan sendiri untuk merebut ruang publik dengan memangkas keberadaan reklame yang menyalahi aturan Perda – dewasa ini familiar dengan sebutan ―sampah visual‖ – di ruang publik Yogyakarta. Dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tersebut mendirikan komunitas bertajuk ―Reresik Sampah Visual‖ pada awal Juni 2012. Komunitas ini merupakan gerakan moral pro bono yang berbasis kesadaran individu, untuk mengembalikan fungsi lingkungan dan ruang publik sebagaimana mestinya. Selain bergerilya mencopot segala bentuk sampah visual di ruang publik, Sumbo dan anggota lain juga secara konkret melakukan tindakan advokasi revitalisasi ruang publik lewat jejaring media sosial maupun seminar di kota-kota lain. Tak heran jika dengan segera, komunitas yang relatif baru ini mampu menularkan spirit cinta lingkungan pada masyarakat umum. Buktinya kini sudah mulai berdiaspora gerakan serupa di kota lain seperti Malang. Anggota komunitas Reresik Sampah Visual terdiri atas ratusan orang dari beragam usia dan latar belakang profesi, termasuk seniman jalanan, mahasiswa, pejabat pemerintahan, polisi, dan Satpol PP. Sumbo sengaja menggandeng pihak-pihak tersebut agar upaya revitalisasi ruang publik di Yogyakarta bisa berlangsung cepat dan efektif. Intinya mereka telah berkontribusi dalam gerakan pembersihan sampah visual hingga 20 kali sampai sekarang ini. Tak heran jika banyak media, baik lokal maupun nasional yang menjadikan gerakan ini sebagai objek berita menarik. Tahun lalu bahkan, secara khusus,
10
Wawancara dengan Digie Sigit, seniman jalanan Yogyakarta pada Desember 2013.
4
Metro TV menjadikan Sumbo Tinarbuko, sang inisiator komunitas, sebagai ikon dari Metro TV Eagle Documentary Series. Sumbo dianggap berjasa dalam usaha mengurangi keberadaan sampah visual dan punya peran memberi kesadaran pada masyarakat untuk lebih menghargai otoritasnya atas ruang publik. Lebih lanjut, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Komunitas Pejalan Kaki, dan seluruh organisasi berbasis lingkungan lainnya juga turut bergerak aktif untuk mendukung upaya revitalisasi ruang publik dengan cara mereka masing-masing. Bahkan akademisi pun turut berperan dengan cara menggulirkan isu dan wacana terkait ruang publik di berbagai kanal media. Mereka semua telah meneguhkan sikapnya terhadap upaya revitalisasi ruang publik. Tentu saja dengan cara yang berlainan. Lantas bagaimana dengan anggota masyarakat lainnya.
1.2 Rumusan Masalah Bercermin dari latar belakang di atas, rumusan masalah yang hendak diteliti adalah bagaimana upaya publik (seniman jalanan, pemerhati, dan komunitas peduli ruang publik) merebut ruang publik Kota Yogyakarta dari hegemoni iklan luar ruang.
1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini yakni: 1. Memetakan kontestasi kepentingan, terutama yang terkait dengan keberadaan reklame di atas ruang publik di Yogyakarta. 2. Mengenali siapa-siapa saja aktor yang terlibat dalam kontestasi tersebut. 3. Mengidentifikasi upaya publik yang terdiri atas seniman, akademisi, dan golongan lainnya dalam merebut kembali ruang publik Kota Yogyakarta.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini terbagi menjadi dua: 1. Bagi Akademisi Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan untuk melengkapi perbendaharaan kepustakaan bagi Jurusan Ilmu Komunikasi 5
Universitas Gadjah Mada. Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh peneliti lain sebagai bahan referensi dan informasi ihwal kontestasi kepentingan yang terjadi di atas ruang publik. Tak hanya di Yogyakarta, namun juga kota-kota lainnya. 2. Bagi Praktisi Penelitian ini diharapkan bisa menjadi refleksi sekaligus masukan bagi para praktisi yang punya perhatian atau keterkaitan terhadap ruang publik atau ruang kota dan persoalan reklame.
1.5 Kerangka Pemikiran 1.5.1 Batasan-Batasan Ruang Publik Ruang merupakan alih kata space untuk bahasa Indonesia. Dalam Oxford English Dictionary disebutkan, space berasal dari kata Latin spatium yang bermakna terbuka luas, memungkinkan orang berkegiatan dan bergerak leluasa di dalamnya, dan dapat berkembang tak terhingga. Paulus Hariyono menyarikan beberapa definisi ruang. Oleh Munitz, ruang diberi pengertian sebagai tempat acuan untuk menunjukkan posisi peletakan sebuah objek, dan menjadi suatu medium yang memungkinkan suatu objek bergerak.11 Definisi kedua dari Madanipour, bahwa ruang publik perkotaan (public urban space) memungkinkan dan membiarkan masyarakat yang berbeda kelas, etnik, gender, dan usia saling bercampur baur. Pengertian yang diberikan Madanipour ini khususnya diletakkan dalam kerangka masyarakat yang menganut paham demokrasi. Sedang menurut Tibbalds, bidang publik dalam perkotaan adalah semua jaringan perkotaan yang dapat diakses secara fisik dan visual oleh masyarakat umum, termasuk jalan, taman, lapangan, dan alun-alun.12 Hariyono memberi batasan yang tegas antara ruang privat dan ruang publik. Ruang privat dalam kaca mata sosiolog tersebut bermakna suatu ruang yang diperuntukkan bagi aktivitas kalangan terbatas, dan penggunaannya biasanya bersifat tertutup dalam suatu teritori tertentu berdasarkan kepemilikan secara legal oleh perorangan maupun badan hukum.13 Hannah Arendt, sebagaimana dikutip Dian Dwi Annisa14 memberikan skema perbedaan antara ruang publik dan ruang privat, sebagai berikut:
Ruang
Private Realm (ranah privat)
Public Realm (ranah publik)
Household (keluarga)
Political
11
Realm
(ranah
Drs. Paulus Hariyono, MT. 2011. Sosiologi Kota untuk Arsitek. Jakarta: PT Bumi Aksara. hal. 134. Ibid. hal. 135. 13 Ibid. hal. 135. 14 Jihan Riza Islami. 2011. Baliho dan Politik Ruang, dalam Ruang Kota. Yogyakarta: LPM Ekspresi. hal. 183. 12
6
politik)
Hukum Dasar
Wants
+ needs,
law
of Freedom (kemerdekaan)
necessity, the driving force is life it self. (keinginan + kebutuhan, azas pemenuhan, kekuatan pengendali adalah hidup itu sendiri)
Cara mengatur
Relasi antar manusia
Force + violence (kekuatan, Speech (logos); kemampuan kekerasan)
berbicara
Inequality (tak sederajat)
Equality (egaliter, sederajat)
Dari beberapa definisi yang telah diuraikan di atas, bisa ditarik benang merah, bahwa secara umum, ruang publik (public space) adalah tempat pertemuan semua orang secara fisik.15 Apabila dikaitkan dengan ranah komunikasi, terdapat dua pengertian mengenai ruang publik: yaitu pertama ruang publik adalah lingkup spasial yang menjadi lokus atau tempat warga negara berpartisipasi. Kedua, ruang publik berkaitan dengan aktivitas tertentu suatu komunitas bahasa dan akal sehat manusia atau rasionalitas dalam lingkungan sosial tertentu. Terakhir karena kedua karakter tersebut, ruang publik merupakan sebuah ruang sosial yang terbentuk lewat komunikasi dan interaksi manusia di dalamnya.16 Lebih lanjut, ruang publik sudah jamak dimafhumi sebagai salah satu barometer kualitas hidup sebuah kota. Sebagai tempat terbuka yang mempertemukan antar komunitas warga suatu kota, ruang publik juga menjadi pelebur segala kepentingan, baik warga, penguasa, hingga pengusaha. Ruang publik menjadi penting karena memiliki berbagai peran strategis. Sedikitnya ada lima fungsi ruang publik. Pertama, fungsi sosial, yaitu menyediakan tempat bagi interaksi dan aktivitas sosial masyarakat, serta kebutuhan rekreasi. Kedua, fungsi ekonomi yang memberikan tempat bagi aktivitas ekonomi masyarakat. Ketiga, fungsi lingkungan yang menyediakan tempat bagi siklus hidrologi kawasan, iklim mikro, dan habitat 15
FX Harsono. 2005. Seni Rupa, Perubahan Politik. Magelang: Galeri Langgeng. hal. 115. F. Budi Hardiman. 2010. Ruang Publik: Melacak Partisipasi Demokratis dari Polis sampai Cyberspace. Yogyakarta: Kanisius. hal. 10-11. 16
7
satwa (secara luas). Keempat, fungsi budaya yang mewadahi beragam aktivitas budaya masyarakat hingga pembentukan identitas kota. Kelima, fungsi estetikanya yang berperan memperindah kota. Pramono17 juga memerinci fungsi ruang publik menjadi sebagai berikut: 1. Sebagai pusat interaksi, komunikasi masyarakat baik formal maupun informal. 2. Sebagai ruang terbuka yang menampung koridor-koridor jalan yang menuju ke arah ruang publik tersebut sebagai pengikat dilihat dari struktur kota, sekaligus sebagai pembagi ruang-ruang bangunan di sekitarnya, serta ruang transit bagi masyarakat yang akan pindah ke tujuan lain. 3. Sebagai tempat kegiatan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang menjajakan barang dan jasa terutama pada malam hari. 4. Sebagai paru-paru kota, yang mana masyarakat juga dapat memanfaatkannya sebagai tempat olahraga, bermain, dan santai. Terkait fungsi ruang publik tersebut, Henri Lefebvre menegaskan bahwa ruang bukanlah sebuah wadah kosong yang tak berarti dan diisi oleh aktivitas manusia, melainkan hasil produksi dan reproduksi relasi sosial itu sendiri.18 Ia mengembangkan lebih jauh diskusi soal ruang dan kaitannya dengan kapitalisme, melalui teorinya tentang produksi ruang (production of space). Buat Lefebvre, produksi dan reproduksi ruang ekonomi secara terusmenerus dalam skala global, merupakan kunci dari keberhasilan kapitalisme untuk memperpanjang napasnya.19 Salah satu tema utama Lefebvre tentang produksi ruang adalah ruang sosial (social space), yakni manusia mengorganisir ruang dalam hubungan antar sesama. Baginya, ruang merupakan hasil dari hubungan sosial dan diskusi tentang ruang sosial. Bagi Lafebvre, ruang sosial harus didudukkan ke dalam konteks corak produksi, konsep penting dalam materialisme sejarah (historical materialism) guna mengerti gerak perubahan masyarakat. Di 17
Eddy Joko Pramono. 2006. Resepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan Reklame dan Aspek Legal Hukumnya di Jalan Slamet Riyadi Surakarta. Semarang: UNDIP. hal. 45. 18 Ardyan M. Erlangga. 2011. Ruangmu Belum Tentu Istanamu, dalam Ruang Kota. Yogyakarta: LPM Ekspresi. hal. 35. 19 Anto Sangaji. 2011. Kapitalisme dan Produksi Ruang. Disimpan di www.indoprogress.com. Diakses pada 7 Mei 2014.
8
dalam masyarakat dengan corak produksi kapitalis, produksi ruang berorientasi kepada kepentingan kapital; komoditi harus bisa diproduksi dan disirkulasi secara mudah. Menurutnya, setiap masyarakat — atau setiap corak-produksi — menghasilkan ruang untuk kebutuhannya sendiri. Dengan kata lain, perbedaan corak produksi menciptakan ruang berlainan. Produksi ruang di bawah feodalisme berbeda dengan produksi ruang masyarakat kapitalis. Lefebvre menunjuk masyarakat abad pertengahan yang bercirikan corak produksi feodal menghasilkan bentuk material ruang seperti manor, monastery, dan katedral. Sebaliknya, dalam masyarakat kapitalis, wujud ruang bisa dilihat dari jejaring perbankan, pusat-pusat kegiatan bisnis dan kegiatan produktif. Jadi, perubahan dari satu corak produksi ke corak produksi lainnya akan diikuti dengan perubahan representasi material semacam itu. Lefebvre mengklasifikasikan ruang dalam tiga kategori. Yang pertama adalah espace percu (ruang yang dirasakan). Dalam kategori ini, ruang hadir sebagai fenomena material, seperti kehadiran gedung tinggi, pagar besi, maupun jalan raya dengan bahan dasar aspal hotmix. Kategori kedua adalah espace concu (ruang yang diandaikan), atau sederhananya ruang dengan makna yang hendak direpresentasikan oleh sang perancang (arsitek, ahli tata kota, maupun pemerintah, semisal monumen, tugu, atau taman kota. Ruang dalam konteks ini sarat pesan, serta ingin menabalkan makna melebihi fungsinya sebagai realitas material. Kategori ketiga, espace vecu (ruang yang dialami). Pada konteks ini, sebuah ruang diberi makna tidak hanya oleh sang kreator tapi juga oleh manusia kota kebanyakan yang menghidupinya. Persepsi masyarakat kota terhadap keberadaan ruang dan respon mereka dalam menyikapinya masuk dalam kerangka berpikir yang satu ini.20 Khususnya untuk penggolongan Lefebvre yang terakhir ini, maka dalam cara pandang modernisme, komposisi ruang kota terdiri atas kerumunan orang yang terkadang saling melindas satu sama lain. Ruang publik kota acap kali jadi rebutan berbagai pihak yang mendiaminya, mulai ―masyarakat bawah‖, masyarakat kelas atas (investor), dan pemerintah kota sendiri. Ekses dari perebutan ini biasanya adalah kian terpinggirnya ―masyarakat kelas bawah‖. Perebutan ruang publik ini rupanya juga terjadi di Kota Yogyakarta. Kendati ihwal ruang sudah ditopang oleh berbagai regulasi baik level nasional maupun lokal, namun penyimpangan di atas ruang publik tetap saja terjadi. Regulasi di level nasional, masalah ruang publik dijelaskan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 1992 tentang 20
Ardiyan. Op.cit. hal. 35.
9
Penataan Ruang dan Instruksi Mendagri Nomor 14 Tahun 1988 yang menyatakan 40 – 60 persen lahan suatu wilayah kota seharusnya menjadi ruang terbuka hijau. Pada 2007, UU Nomor 24 Tahun 1992 direvisi menjadi UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dalam UU terbaru ini, jatah ruang terbuka hijau menjadi minimal sebesar 30 persen dan 20 persen ruang terbuka hijau publik wilayah kota. Peraturan-peraturan itu kemudian diimplementasikan dalam Perda Provinsi DIY Nomor 5 Tahun 1992 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah, Perda Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta Nomor 5 tahun 1991 tentang rencana Detail Tata Ruang Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta 1990 – 2010, dan Perda Kota Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Yogyakarta Tahun 2005-2025. Sayang, segala ketentuan tentang penataan ruang itu belum sepenuhnya berjalan maksimal. Hal itu disebabkan lemahnya pengendalian dan penegakan hukum sehingga terjadi unsinkronisasi dengan regulasi yang ada. Bentuk unsinkronisasi bisa dilihat dari indikasi adanya ―penurunan‖ kualitas ruang publik kota Yogyakarta. Penurunan kualitas ini disebabkan oleh sejumlah faktor. Pertama, laju privatisasi ruang publik yang terbiarkan, sehingga terlanjur kompleks dan sulit diurai. Kedua, desakan yang cukup kuat dari pemilik modal untuk menganeksasi ruang-ruang publik sebagai wilayah komersial yang masif. Ketiga, kewenangan yang tumpang tindih dan tak integratif di pihak pemerintah kota dalam pengelolaan ruang publik kota. Sering kita lihat bagaimana antar dinas atau unit pelaksana di pemerintah kota saling lempar tanggung jawab untuk urusan pemanfaatan, alih fungsi lahan, dan pelanggaran di ruang publik. Akibatnya, faktor pertama dan kedua menjadi tak tertanggulangi. Inisiatif positif dalam pengelolaan ruang publik, baik oleh pemerintah maupun kelompok masyarakat pun rentan saling bertabrakan karena lemahnya koordinasi penyelenggara kota. Tak hanya itu, penyediaan kualitas trotoar yang baik untuk warga kota sering tak optimal akibat tidak terintegrasinya perencanaan, perizinan, dan pemantauan di lapangan oleh Dinas Perhubungan dan institusi kecamatan. Akibatnya, parkir dan pedagang kaki lima (PKL) di atas trotoar pun menjamur seolah tak terkendali dan mengalahkan hak pejalan kaki. Penyediaan jalur sepeda yang baik bagi warga kota juga tak optimal. Keberadaannya pun tak dianggap prioritas oleh aparat, sehingga antara Dinas Perhubungan dan kepolisian sering lempar tanggung jawab. Pemberian izin pengelolaan kawasan atau bangunan cagar budaya untuk urusan di luar ranah pelestarian pun tak terkoordinasikan dengan baik antara Dinas 10
Pariwisata dan Kebudayaan dengan Dinas Perizinan. Sementara, ruang publik berupa taman kota dan jalur hijau yang terawat dan bebas dari penyalahgunaan, seperti untuk pemasangan media luar ruang (spanduk, rontek, hingga reklame, dan baliho) juga bisa dijadikan contoh karut marut koordinasi antar instansi. Dinas Kebersihan, Badan Lingkungan Hidup, dan Dinas Ketertiban tidak terintegrasi dengan perizinan yang dikeluarkan oleh Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan.21 Kondisi ruang publik yang centang perenang ini menandaskan bahwa memang ada masalah penting yang harus dicarikan solusi secepatnya. Khususnya untuk ruang publik yang paling banyak diakses masyarakat seperti taman hijau dan jalur hijau, itu pun tetap saja telah terkooptasi. Maksudnya ruang yang idealnya menjadi milik masyarakat justru diprivatisasi oleh pemangku kepentingan dari kalangan pengiklan maupun kandidat parpol tertentu.22 Visual-visual banal yang mendominasi wajah kota tercampur aduk dalam berbagai medium, memenuhi pandangan di Yogyakarta. Sebut saja iklan ―Sedot WC‖ dan ―Telat Haid‖ di tiang listrik, iklan merek ternama di tempat strategis, hingga gejala narsisme pelaku politik yang meminjam logika publikasi merek dagang melalui medium yang sama. Ruang publik dalam hal ini sengaja dipilih sebagai lokus iklan lantaran sifat kecairannya. Maksudnya, penempatan iklan di ruang publik bisa dilihat siapapun pengguna jalan, dari berbagai latar belakang. Alhasil, ekspektasi pengiklan dengan menempatkan iklan di ruang publik, koverasinya akan jauh lebih luas dibanding medium lainnya.
1.5.2 Dominasi Kapital atas Ruang Publik Dewasa ini kita memasuki era yang dikenal dengan kapitalisme modern atau lebih familiar dengan kapitalisme mutakhir. Ernest Mandel mencirikan fase ini sebagai perubahan besar-besaran pada sistem kapitalisme.23 Jika dalam tahap kapitalisme lanjut, sebagaimana yang digambarkan Dudley Dillard, kapitalisme nyaris menuju senjakala, lantaran pembangkangan terhadap kesepakatan perang dunia I, laissez-faire. Maka pada era mutakhir,
21
Elanto Wijoyono. 2013. Laga Konservasi dan Komersialisasi Ruang Kota. Disimpan di http://elantowow.wordpress.com/2013/02/18/laga-konservasi-dan-komersialisasi-ruang-kota/siapasaya bukutamu. Diakses pada 12 Mei 2014. 22
Jihan Riza Islami. 2011. Op. cit. hal. 129. Paul Mattick. 1987. Kapitalisme Mutakhir Ernest Mandel, dalam M. Dawam Rahardjo, Kapitalisme Dulu dan Sekarang. Jakarta: LP3ES. hal. 134. 23
11
kapitalisme menunjukkan kebangkitan, di mana perusahaan-perusahaan multinasional di negara barat mampu bertahan dengan vitalitas yang mengesankan. Pada era ini, kapitalisme dalam taraf tertentu sangat identik dengan globalisasi yang hadir pasca perang dingin 1980-an. Globalisasi ekonomi atau kapitalisme global ditandai dengan penemuan General Agreement on Trade and Tariff (GATT) di Maraquesh, Maroko, 1993. Fase ini sebenarnya merupakan penyempurnaan kapitalisme klasik yang telah dikritik Karl Marx. Kalau dalam kapitalisme klasik, ruang lingkup atau jangkauan kekuasaan hanya dalam satu negara, maka dalam masa ini dunia seakan tak bersekat lagi. Ekonomi tak menjadi urusan dalam negeri saja, melainkan sudah berkembang menjadi ekonomi sejagat.24 Para kapitalis dalam tahap ini bekerja dengan asumsi bahwa harus ada yang menjadi tumbal untuk menyelamatkan yang lain. Tentu dalam kapitalisme global, yang selamat adalah para pemilik global. Sebaliknya warga sebagai konsumen dikorbankan agar keuntungan pemodal kian membengkak. Zain Maulana menyebutkan, globalisasi ekonomi ini dalam konotasi negatif, tak ubahnya penjajahan atas negara berkembang.25 Celakanya, tak hanya menjajah di sektor ekonomi, namun juga merambah pada lini sosial, budaya, dan politik masyarakat. Tak heran jika Lenin mengklaim, penjajahan yang berkedok ―perdagangan‖ adalah bentuk imperialisme yang paling esktrim dan berbahaya. Pasalnya, proses penetrasi ―penjajah‖ tak akan terasa, namun jika sudah masuk akan sukar dilepaskan. Seperti yang pernah disinggung di bagian sebelumnya, tak hanya kapitalis di tingkat global yang berusaha mengkoverasi kita. Para penguasa kapitalis di tingkat lokal alias pebisnis dalam negeri pun demikian. Dalam hal ini keduanya sama-sama memiliki agen terpercaya, yakni iklan. Iklan difungsikan sebagai salah satu sarana industri kapitalis untuk menjamin distribusi komoditi kepada masyarakat secara luas. Tugas utama iklan memang menciptakan imej dengan visual yang diulang-ulang agar masyarakat sebagai konsumen kian jauh terjerat ke dalamnya. Iklan telah menjadi hal yang tak masuk akal, namun entah mengapa diamini oleh masyarakat. Sebatang rokok tak hanya sekadar rokok, namun ia menciptakan kesan jantan, 24
Selu Margaretha Kushendrawati. 2006. Masyarakat Konsumen Sebagai Ciptaan Kapitalisme Global: Fenomena Budaya dalam Realitas Sosial, dalam Makara, Sosial Humaniora, Vol. 10, Nomor 2, Desember 2006. hal. 52. 25 Zain Maulana. 2010. Jerat Globalisasi Neoliberal: Ancaman bagi Negara Dunia Ketiga. Yogyakarta: Riak. hal. 15.
12
tangguh, dan anti kemapanan. Kentucky Fried Chicken menangguhkan posisinya sebagai makanan untuk masyarakat borjuis. Demikian halnya dengan Dunkin Donuts dan Pizza Hut. Inilah yang disebut William sebagai puncak kegagalan idealitas nilai dan makna yang ada dalam masyarakat.26 Masyarakat kita menjadi sangat tergantung dengan barang. Periklanan menjadi sistem yang terorganisir dengan menyodorkan ilusi dan pengaburan fungsi dalam memilih barang. Sederetan janji dan bujuk rayu utopis diumbar pengusaha iklan. Lewat sajian subtil, fungsi iklan pun tak lebih dari sekadar alat penawaran manusiawi dalam mengkomunikasikan kepentingan, bukan sebagai instrumen kebebasan manusia dalam memilih produk. Iklan yang dimanfaatkan para kapitalis sangat beragam wujudnya. Salah satunya berwujud iklan luar ruang – beberapa literatur menyebutnya dengan reklame atau iklan luar griya. Iklan luar ruang kerap digunakan untuk menjelaskan media iklan yang membidik publik yang berada di luar ruang privat masing-masing orang. Dengan begitu, iklan-iklan yang hadir di ruang tamu kita, seperti iklan di media cetak atau televisi tidak termasuk iklan luar ruang. Kata ―luar‖ di sini bukan berarti reklame harus berada di luar gedung. Iklan-iklan yang dipasang di dalam bangunan publik seperti bandara atau di dalam bangunan komersial seperti mal pun tergolong sebagai iklan luar ruang, karena lokasinya berada di luar ruang privat kita.27 Salah satu bentuk iklan luar ruang yang sering kita lihat adalah reklame papan/ billboard. Reklame papan adalah reklame yang terbuat dari papan kayu, calli brete, vinyle, termasuk seng atau bahan lain yang sejenis, dipasang atau digantungkan pada bangunan, halaman, di atas bangunan.28
1.5.3 Publik dan Konsumerisme Kapitalisme dan agen iklan sedikit banyak membawa pengaruh pada manusia yang disasarnya. Penetrasi kapitalisme dan iklan paling nyata berefek pada perubahan psikologis dan kognitif masyarakat. Pertama masyarakat menjadi apatis terhadap lingkungan sekitarnya. 26
Jurnalisme Kapurung. 2009. Iklan dan Kapitalisme. Disimpan di www.jurnalismekapurung.com. Diakses pada 12 Februari 2014. 27 Robin Hartanto. 2013. Rimba Reklame Jakarta: Dominasi Kapital atas Ruang Kota Kita, dalam Publik dan Reklame di Ruang Publik Jakarta. Jakarta: Ruang Rupa. hal. 38. 28 Ibid. hal. 40.
13
Kedua masyarakat menjadi semakin pragmatis sepanjang ia tidak dirugikan. Ketiga ia kian konsumtif dan tergila-gila mencoba segala citra merek yang ditawarkan kepadanya. Sesungguhnya ketiga ciri ini merepresentasikan kecenderungan sifat universal manusia era kekinian. Hardiman menyebut ini sebagai ciri manusia modern. Manusia modern lahir dari rahim modernitas akibat globalisasi. Menurut Hardiman29, istilah modernitas ini mengacu pada sekumpulan proses akumulatif yang saling memperkuat dalam bidang modal, teknologi, partisipasi politis, pendidikan, sekularisasi kebudayaan; semua ciri ini menjadi tujuan hakikat modernitas. Istilah tersebut sejatinya merujuk pada kondisi di mana sains dan teknologi menggantikan peran tradisi dan agama yang sebelumnya dipeluk masyarakat abad pertengahan. Hal ini juga ditandai dengan peralihan paradigma. Franz Magnis Suseno menegaskan pengalihan paradigma atau cara manusia memandang diri dari theosentris menjadi anthroposentris, dari Tuhan ke manusia, menjadi inti kebudayaan modern.30 Karakter manusia modern menurut Hardiman,31 terdiri atas tiga macam. Pertama, yang modern itu seharusnya mengutamakan kesadaran diri sebagai subjek. Dengan begitu, orang modern memerhatikan soal hak asasi, fungsi ilmu pengetahuan, otonomi pribadi, dan demokrasi. Kedua, yang modern itu seharusnya kritis. Artinya orang modern cenderung mengeliminir prasangka-prasangka dari tradisi, memiliki gairah untuk mengaji penghayatan, dan menyoal dimensi autoritas yang taken for granted. Ketiga, yang modern itu seharusnya progresif, yakni mengadakan perubahan-perubahan yang secara kualitatif baru. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, bentuk-bentuk organisasi sosial modern, juga kesadaran akan pentingnya transformasi sosial, bahkan revolusi sosial. Ketiga ciri modernitas ini tak bisa dipisahkan, harus dicecap bersama dengan realitas. Ciri manusia modern ideal yang dipaparkan di atas sebenarnya di era ini lambat laun mengalami pendangkalan. Apalagi setelah kehidupan manusia tak bisa dilepaskan dari bombardir iklan. Jika dikaitkan dengan kapitalisme global, masyarakat dalam konteks ini memiliki identitas sebagai masyarakat konsumen (consumer society) yang akan meneguk semua produk kapitalisme.
29
F. Budi Hardiman. 2009. Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta: Kanisius. hal. 205. Franz Magnis Suseno. 2005. Pijar-pijar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. hal. 140. 31 F. Budi Hardiman. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Yogyakarta: Kanisius. hal. 73. 30
14
Menurut Selu, masyarakat konsumen adalah masyarakat yang eksistensinya dilihat hanya dengan pembedaan produk yang dikonsumsinya. Eksistensi tersebut dipertahankan dengan cara terus-menerus mengkonsumsi tanda dan status sosial di balik komoditi. Bukan hanya dirinya saja yang mengaktualisasikan lewat tindakan konsumsi, orang lain juga akan dinilai menurut standar yang dipakainya itu. Gaya konsumsi yang dipandu iklan dalam kapitalisme global ternyata telah menciptakan masyarakat konsumen yang tak ubahnya ―sapi perahan‖ kaum kapitalis.32 Pendapat Selu senada dengan tesis Baudrillard. Menurutnya gaya hidup konsumsi semacam ini tak bisa dilepaskan dari agenda utama kapitalisme global yakni manajemen produksi. Agenda ini dilengkapi dengan aparatus pemasaran yang menitikberatkan pada penguasaan kesadaran masyarakat. Dengan demikian masyarakat akan mengidentifikasi diri dengan cara memproyeksikan pada barang-barang industri. Konsumsi dipandang sebagai cara untuk merebut makna atau posisi sosial, sehingga relasi yang terjalin hanyalah vis a vis manusia dan benda konsumsi.33 Untuk mengukur seberapa konsumtif warga Yogyakarta, kita bisa melihat dari kemampuan daya beli mereka. Dari data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DIY pada Agustus 2013, tingkat daya beli konsumen mengalami kenaikan dibanding sebelumnya. Indeks tendensi konsumen yang mulanya sebesar 102,52 di triwulan awal naik menjadi 109,22. Peningkatan daya beli tersebut terutama terjadi pada produk non-makanan.34 Menurut Syafrizal, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM), kondisi itu berkelindan dengan peningkatan kelas menengah di Yogyakarta. Yuswohadi menggunakan definisi kelas menengah yang dikeluarkan oleh Asia Development Bank (ADB), yaitu kelompok masyarakat dengan rentang pengeluaran per kapita sebesar $ 2 sampai 20 per hari. Selaras dengan pengertian tersebut, kelas menengah di Indonesia menjadi mayoritas. Pada 2010 saja, ada sekitar 134 juta orang atau sekitar 56 persen dari seluruh penduduk Indonesia masuk dalam klasifikasi ini. Masih menurut Yuswohadi, peningkatan jumlah kelas menengah itu mendorong naiknya tingkat konsumsi. Pasalnya mereka memiliki
32
Selu Margaretha Kushendrawati. 2006. Op. cit. hal. 53. Jean Baudrillard. 1997. System of Object ( trans, James Benedict). London: Verso. hal. 185-186. 34 Khairul Arifin dan Khalimatun Nisa. 2014. Wajah Buram Iklan Luar Ruang, dalam Majalah Balairung. Edisi 50/XXXVIII/ Februari/ 2014. hal. 13. 33
15
pendapatan ―menganggur‖ yang memadai sehingga mampu membeli produk dan layanan tambahan seperti mobil, aneka gadget, lemari es, dan lainnya.35 Kenaikan tingkat konsumsi tampak pada grafik Produk Domestik Bruto Regional (PDBR) Yogyakarta. BPS DIY mencatat pada triwulan kedua tahun 2013, PDBR Yogyakarta mengalami kenaikan sebesar 5,71 persen dibanding triwulan serupa pada 2012. Hal ini terutama disebabkan akibat meningkatnya sektor industri pengolahan dan perdagangan, hotel, serta restoran yang masing-masing tumbuh 12,67 dan 6,22 persen.36
1.5.4 Penyelenggaraan Reklame di Ruang Publik Yogyakarta Reklame, seperti yang tertuang dalam Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Nomor 8 Tahun 1998, adalah berbagai alat yang dipergunakan untuk menarik perhatian umum kepada suatu barang, jasa, atau orang yang ditempatkan di tempat umum, kecuali yang dilakukan oleh Pemerintah. Salah satu bentuk reklame yang sering kita lihat adalah reklame papan atau billboard. Namun pada praktiknya, ada banyak sekali wujud reklame. Dalam Perda Nomor 8 Tahun 1998, reklame terbagi menjadi 12 jenis yakni: a. Reklame Papan/ Billboard: reklame yang berbentuk bidang, dengan bahan terbuat dari kayu, logam, fiber glas/ kaca, plastik, dan bahan lain yang sejenis sesuai perkembangan zaman, yang pemasangannya berdiri sendiri, menempel bangunan dengan konstruksi tetap dan reklame tersebut bersifat permanen. b. Reklame Megatron: reklame yang berbentuk bidang, dengan komponen elektronik, yang pemasangannya berdiri sendiri, menempel bangunan/di atas bangunan, dengan konstruksi tetap dan bersifat permanen. c. Reklame Baliho: reklame yang berbentuk bidang, dengan bahan terbuat dari kayu, logam, fiber glas/ kaca, plastik, dan bahan lain yang sejenis sesuai perkembangan zaman, yang pemasangannya berdiri sendiri, dengan konstruksi sementara dan bersifat semi permanen.
35 36
Ibid. hal. 13. Ibid. hal. 13.
16
d. Reklame Cahaya: reklame yang berbentuk bidang, dengan bahan plastik, fiber glas/kaca, tabung lampu, komponen elektronik, yang pemasangannya berdiri sendiri, menempel bangunan, dengan konstruksi tetap dan bersifat permanen. e. Reklame Kain: reklame yang berbentuk spanduk, umbul-umbul, banner, rontek dengan bahan kain, plastik dan yang sejenis, yang pemasangannya berdiri sendiri, menempel bangunan/ di atas bangunan, dengan konstruksi sementara dan bersifat semi permanen. f. Reklame Melekat (Stiker): reklame yang berbentuk bidang,\dengan bahan kertas, plastik, logam yang pemasangannya dengan cara ditempelkan dan bersifat semi permanen. g. Reklame Selebaran: reklame yang berbentuk lembaran dengan bahan kertas, plastik dan sejenisnya yang pemasangannya dengan cara ditempelkan atau disebarluaskan, dan bersifat semi permanen. h. Reklame Berjalan, termasuk pada kendaraan: reklame yang berbentuk bidang dengan bahan terbuat dari kayu, logam, fiber glas/kaca, plastik dan bahan lain yang sejenis sesuai perkembangan zaman, yang pemasangannya pada kendaraan yang berjalan atau pejalan kaki dan bersifat berpindah-pindah tempat. i. Reklame Udara: reklame dalam bentuk tertentu, dengan bahan plastik, kain, kertas dan sejenisnya sesuai perkembangan zaman yang pemasangannya berdiri sendiri, dikaitkan di atas bangunan, atau dikaitkan pada pesawat udara dan bersifat semi permanen. j. Reklame Suara: reklame yang berbentuk penyiaran atau ucapan, dengan alat audio elektronik, yang bersifat semi permanen. k. Reklame Film/Slide: reklame yang berbentuk penayangan, dengan bahan film/ slide, yang penyelenggaraannya di dalam gedung bioskop atau gedung pertunjukan baik di dalam ruang maupun di luar ruang dan bersifat semi permanen. l. Reklame Peragaan: reklame yang berbentuk pertunjukan, dengan bahan tertentu yang penyelenggaraannya dengan dibawa, diperagakan atau dikenakan dan penyelenggaraannya bersifat semi permanen.
Selama ini memang penyelenggaraan reklame masih berpatokan pada Perda Nomor 8 Tahun 1998, namun baru-baru ini berhembus kencang akan digulirkan masterplan pengganti 17
perda tersebut. Hal itu dilatarbelakangi lantaran banyaknya problematika yang mewarnai praktik penyelenggaraan reklame di Yogyakarta. Problematika tersebut berupa reklame yang tidak mengantongi izin, reklame sudah berizin namun melanggar aturan pemasangan, dan lainnya. Dinas Ketertiban (Dintib) Kota Yogyakarta mencatat, pada 2012 terdapat 143 pelanggaran, sementara Januari sampai Oktober 2013 terdapat 85 pelanggaran yang ditertibkan. Kasus pelanggaran dalam penyelenggaraan reklame itu pun tak ayal mengundang respon dari banyak kalangan. Sumbo Tinarbuko menyebut reklame yang semrawut sekaligus melanggar tata pemasangan, dengan label sampah visual. Terma sampah visual dalam satu dekade ini memang hampir dikatakan booming. Banyak media massa, literatur, maupun aktivis lingkungan yang menggunakan kata tersebut sebagai subtitusi iklan luar ruang yang menjamur di ruang-ruang strategis perkotaan. Mengapa disebut sampah visual? Penggunaan kata ini tak semata-mata bergantung pada selera pribadi seorang Sumbo Tinarbuko saja misalnya. Banyak pemerhati yang punya keresahan serupa, juga menggunakan istilah sampah visual ini. Yuka Dian Narenda menyebut sampah visual sebagai segala sesuatu yang mengintervensi pandangan masyarakat di ruang publik, salah satunya bisa berupa iklan luar ruang.37 Definisi yang dikemukakan Yuka tersebut nampaknya memicu pertanyaan, seberapa mengganggu atau meneror kemudian sebuah iklan luar ruang, sehingga layak dilabeli sampah visual. Analoginya adalah seperti menonton film. Jika ada adegan yang tidak kita inginkan, semisal adegan bermuatan seks atau kekerasan, kita bisa langsung menutup mata dan menunggu adegan itu berlalu. Sederhananya, jika kita melihat sesuatu yang kurang pantas, kita bisa memalingkan muka atau pura-pura tidak melihat. Namun persoalan mendasar dari iklan-iklan luar ruang (reklame billboard, reklame LED, reklame poster, dan lain-lain) bukanlah sesuatu yang bisa berlalu begitu saja. Mereka duduk diam di hadapan kita, memaksa kita untuk melihat mereka, lepas dari suka atau tidaknya kita pada mereka. Iklan luar ruang berdiri bak monumen yang merebut jarak pandang kita terhadap cakrawala kota. Mereka seperti hinggap di gedung dan bangunan – yang mungkin saja bagi kita – menarik dipandang karena kualitas estetiknya. Mereka
37
Yuka Dian Narendra. 2013. Sedot WC: Warga Kota, Demokratisasi, dan Konsumerisme, dalam Publik dan Reklame di Ruang Publik Jakarta. Jakarta: Ruang Rupa. hal. 222.
18
menginterupsi konsentrasi saat kita membaca papan instruksi atau rambu lalu lintas di ruang publik. Mereka menginterupsi pandangan kita di jalan ketika kita tengah mengemudi. Yang lebih buruk, mereka memaksa kita untuk menerima bahwa mereka harus hadir sebagai bagian dari lanskap kota yang seharusnya indah.38
1.5.5 Relasi Kuasa Aktor-Aktor yang Terlibat dalam Praktik Penyelenggaraan Reklame Berbicara mengenai pertarungan kepentingan, tak lengkap jika belum menyinggung siapa saja aktor yang terlibat. Aktor pertama adalah negara – dalam hal ini pemerintah daerah Yogyakarta – punya wewenang untuk membuat peraturan yang mengutamakan faktor kenyamanan visual. Aktor ini selaiknya mengontekstualisasi seluruh peraturan yang terkait dengan iklan, baik yang ada di kawasan industri, wisata, sekolah, pemerintah, dan pemukiman warga. Kedua, pengiklan – kadang-kadang dibantu oleh biro iklan – yang jelas memiliki kepentingan untuk mempromosikan produknya pada masyarakat. Logika yang mereka gunakan selalu berorientasi pada ketersampaian muatan iklan pada publik, yang diukur dari berapa banyak pendapatan yang mereka peroleh dari hasil pembelian citra produknya. Iklan luar ruang pun sengaja dipilih sebagai format iklan karena kepraktisannya yang langsung menyentuh
lapisan
masyarakat.
Prinsip
mereka,
tak
masalah
sekalipun
harus
menggelontorkan dana ratusan juta sepanjang produknya laku dan diminati masyarakat. Untuk memasang iklan di atas ruang publik, pengiklan berkewajiban untuk membayar pajak kepada pemerintah Yogyakarta. Besaran pajak dan tata cara pemasangan pun harus berpedoman pada perda yang ada. Namun sayang, banyak sekali ditemukan pelanggaran dalam praktik penyelenggaraan reklame. Kendati dalam hal ini, pemerintah berdalih telah melakukan upaya penertiban, namun secara legal formal, payung hukum yang diterapkan sedari awal memang belum mengatur sanksi yang tegas. Aplikasi dari regulasi itu pun dirasa banyak kalangan, masih kurang optimal. Lantas, di mana posisi publik di balik semua konstelasi tersebut. Publik sejatinya bisa menjadi aktor aktif alias subjek, tapi yang terjadi sekarang justru sangat kontraproduktif.
38
Ibid. hal. 222.
19
Hakikat dan fungsi publik dieliminir sedemikian rupa sehingga kedudukannya kini laiknya penonton pasif dan ―bisu‖. Publik hanya berfungsi sebagai konsumen iklan yang cenderung menerima pesan (iklan) tanpa penolakan yang berarti. Situasi ini menunjukkan bahwa warga sama sekali tidak punya mekanisme untuk menolak iklan dalam kesehariannya. Padahal warga sudah membayar pajak dan dari pajak itulah warga berhak memperoleh jaminan ruang hidup yang layak. Namun sekali lagi yang terjadi hanyalah praktik spasialisasi dominan ala kapitalisme yang dinyanyikan kelompok penguasa. Dari sini tampak ada unsur ketidakadilan yang celakanya terus-menerus direproduksi. Di sisi lain, pemerintah dan pengiklan pun kian meneguhkan simbiosis mutualistik mereka. Dalam kaca mata Weber, pihak patron yakni pemerintah dan pengiklan memiliki kuasa – kesempatan seseorang atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan sendiri.39 Untuk melancarkan kemauan mereka, acap kali ada unsur paksaan lewat instrumeninstrumen tertentu. Pemerintah menggunakan alat berupa regulasi dan segala tetek bengek sanksi bagi pelanggar. Sementara pengiklan memanfaatkan kecakapannya dengan alat paling ampuh yaitu iklan itu sendiri.
1.6 Kerangka Konsep Penelitian ini berangkat dari kegelisahan bahwa ruang publik dalam satu dekade terakhir ini tak lagi berfungsi lagi sebagaimana mestinya. Ruang yang seyogyanya bisa dimanfaatkan sebagai tempat berinteraksi dan berkomunikasi masyarakat, kini justru dipenuhi dengan banalitas visual iklan luar ruang (reklame). Dalam hal ini, iklan luar ruang memang dipandang sebagai medium yang cukup ampuh bagi kaum kapitalis yang ingin memancang tonggak bisnisnya. Hal itu tak lepas dari sifat ruang publik yang sangat cair, sehingga semua orang dari berbagai latar belakang bisa lebih mudah mengakses iklan tersebut. Strategi pengenalan produk ini di satu sisi memang menguntungkan pihak pengiklan, namun di sisi lain publik dirugikan lantaran ruang publiknya terkooptasi. Kerugian lainnya adalah, masyarakat jadi kian terbiasa dan tak menganggap iklan luar ruang sebagai sesuatu yang mengganggu. Padahal sebenarnya iklan telah ―membimbing‖ masyarakat menjadi generasi yang konsumtif. Efeknya memang tak bisa kita rasakan
39
-. 2012. Kuasa dalam Kacamata Weber. Disimpan di www.wikipedia.com. Diakses pada 12 Februari 2014.
20
langsung, namun dengan frekuensi transfer pesan yang intens dan diulang-ulang, maka citra iklan akan menyusup dalam ranah kesadaran kita. Gempuran iklan luar ruang jadi hal yang penting untuk diperhatikan karena keberadaannya yang menjajah ruang publik kita. Lebih parah lagi, kita tak punya kontrol terhadapnya. Apalagi ditambah dengan centang perenang penyelenggaraan dan perizinan iklan luar ruang di Kota Yogyakarta. Tak heran jika kemudian banyak pihak yang merespon gempuran iklan luar ruang ini dengan cara yang unik. Komunitas Reresik Sampah Visual sebagai gerakan berbasis cinta lingkungan dengan program utamnya berupa terjun ke lapangan untuk mencabut semua iklan luar ruang yang mereka anggap sebagai sampah visual. Simak juga seniman jalanan yang sibuk mendekorasi arsitektur kota yang amburadul dengan cara berkarya di jalan, memasang stensil, atau mural yang dipercaya mampu membuat kota jadi tampak bersolek. Sementara, akademisi, LSM, dan pemerhati lingkungan, mereka juga turut berkontribusi dengan cara menggulirkan wacana di media, mengajak publik untuk sadar dari amnesia ruang yang lama menjerat mereka.
1.7 Metodologi Penelitian 1.7.1 Metode Penelitian Metode pengajian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Riset kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Riset ini tidak mengutamakan besaran populasi atau sampling, bahkan populasi atau sampling sangat terbatas. Jika data yang terkumpul sudah mendalam dan bisa menjelaskan fenomena yang diteliti, maka tidak perlu mencari sampling lainnya. Di sini yang lebih ditekankan adalah persoalan kedalaman (kualitas) data bukan banyaknya (kuantitas) data.40 Pada umumnya, riset kualitatif memiliki dua ciri utama, yaitu: pertama, data tidak berbentuk angka, lebih banyak berupa narasi, deskripsi, cerita, dokumen tertulis dan tidak tertulis. Kedua, penelitian kualitatif tidak memiliki rumus atau aturan absolut untuk mengolah dan menganalisis data. Pada riset kualitatif, eksplorasi permasalahan, identifikasi faktor, dan penyusunan teori menjadi ciri khas utama. Riset kuantitatif memiliki ciri khas 40
Rahmat Kriyantono. 2007. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana. hal. 154.
21
menstrukturkan hubungan antar faktor atau mengklarifikasi hubungan antar faktor. Oleh karena itu, riset kuantitatif sering dikatakan membuktikan hipotesis atau teori, bukan menyusun teori. Kehadiran hipotesis atau teori, sebelum memulai riset, mutlak dibutuhkan pada riset kuantitatif. Sebaliknya hipotesis atau teori tidak mutlak dibutuhkan pada riset kualitatif. Ragam metode dalam metodologi kualitatif begitu bervariasi. Namun dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah wawancara mendalam (in-depth interview). Menurut Berger, wawancara adalah percakapan antara periset – seseorang yang berharap mendapatkan informasi – dan informan – seseorang yang diasumsikan mempunyai informasi penting tentang suatu objek.41 Wawancara mendalam, menurut Kriyantono, harus dilakukan berulang-ulang secara intensif. Selanjutnya dibedakan antara responden (orang yang akan diwawancarai hanya sekali) dengan informan (orang yang ingin periset ketahui/ pahami dan yang akan diwawancarai beberapa kali). Karena itu juga disebut juga wawancara intensif (intensiveinterviews). Biasanya menjadi alat utama pada riset kualitatif yang dikombinasikan dengan observasi partisipan. Pada wawancara mendalam ini, pewawancara relatif tidak mempunyai kontrol atas respon informan, artinya informan bebas memberikan jawaban. Karena itu periset mempunyai tugas berat agar informan bersedia memberikan jawaban-jawaban yang lengkap, mendalam, bila perlu tidak ada yang disembunyikan. Caranya dengan mengusahakan wawancara agar berlangsung informal seperti orang yang sedang mengobrol. Wawancara mendalam mempunyai karakteristik yang unik42: 1. Digunakan untuk subjek yang sedikit atau bahkan satu atau dua subjek saja. Mengenai banyaknya subjek, tidak ada ukuran pasti. 2. Menyediakan latar belakang secara detail mengenai alasan informan memberikan jawaban tertentu. Dari wawancara ini, terelaborasi beberapa elemen dalam jawaban, yaitu opini, nilai-nilai (values), motivasi, pengalaman-pengalaman, maupun perasaan informan. 3. Wawancara mendalam memerhatikan bukan hanya jawaban verbal informan, tapi juga observasi yang panjang mengenai respon-respon nonverbal informan.
41 42
Berger, Arthur Asa. 2000. Media and Communication Research Methods. London: Sage Publication. hal. 111. Kriyantono. Op. Cit. hal. 98-99.
22
4. Wawancara mendalam biasanya dilakukan dalam waktu yang lama dan berkalikali. Tidak seperti wawancara yang biasa digunakan dalam survei yang mungkin beberapa menit, sebuah wawancara mendalam bisa menghabiskan waktu berjamjam. Bahkan bila perlu, pewawancara sampai harus melibatkan diri secara dekat dengan hidup bersama informan guna mengetahui keseharian informan. 5. Memungkinkan memberikan pertanyaan yang berbeda atas informan yang satu dengan yang lain. Susunan kata dan urutannya disesuaikan dengan ciri-ciri setiap informan. Jadi pertanyaannya bergantung pada informasi apa yang hendak digali pewawancara. 6. Wawancara mendalam sangat dipengaruhi iklim wawancara. Semakin kondusif iklim wawancara (keakraban) antara periset dan informan, maka wawancara dapat berlangsung terus.
1.7.2 Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Kriyantono 43, menjelaskan cara ini ditempuh untuk mendapatkan hasil penelitian yang lengkap, detail, dan sedalam-dalamnya. Riset ini tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling. Di sini yang lebih ditekankan adalah persoalan kedalaman (kualitas) data, bukan banyaknya kuantitas data. Peneliti bertindak sebagai fasilitator dan realitas dikonstruksi oleh subjek penelitian. Selanjutnya peneliti bertindak sebagai aktivis yang ikut memberi makna secara kritis pada realitas yang dikonstruksi subjek penelitian.
1.7.3 Subjek Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di wilayah Provinsi DIY. Adapun subjek penelitian ini adalah publik (masyarakat) yang punya perhatian terhadap isu reklame dan ruang publik. Subjek penelitian ini terbagi menjadi tiga anasir yakni seniman jalanan, akademisi, dan komunitas/ Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM/) lembaga lain yang punya konsentrasi serupa. Lebih lanjut, untuk memberikan dimensi yang lebih luas, peneliti juga menggali data kepada pihak yang memiliki kepentingan berseberangan dengan publik, yakni para pengiklan dan pemerintah. 43
Ibid. hal. 155.
23
1.7.4 Teknik Sampling Agar informasi yang diperoleh memadai, sampling yang digunakan berupa purposive sampling. Teknik ini mencakup orang-orang yang diseleksi atas dasar kriteria tertentu yang dibuat peneliti berdasarkan tujuan penelitian. Dalam penelitian ini sampling yang diambil adalah orang-orang yang terlibat aktif atau memiliki pengatahuan memadai terhadap isu reklame dan ruang publik di Kota Yogyakarta.
1.7.5 Teknik Pengumpulan Data Data dikumpulkan melalui metode beragam cara, antara lain wawancara mendalam, studi pustaka, dan observasi. Teknik ini ditempuh untuk mendapatkan data lengkap yang komprehensif dan mendalam terkait sebuah kasus, peristiwa, atau organisasi tertentu.
1.7.6 Teknik Analisis data Analisis data dalam pendekatan kualitatif-konstruktivis didahului oleh upaya mengungkap trustworthiness dari para subjek penelitian, yaitu menguji kebenaran dan kejujuran subjek penelitian dalam mengungkap realitas. Trustworthiness ini diuji melalui pengujian kredibilitas subjek, dengan menguji jawaban-jawaban yang berkaitan dengan pengalaman mereka yang khas. Selanjutnya tahapan yang dilakukan adalah menguji authencity, yaitu memberi kesempatan dan memfasilitasi pengungkapan konstruksi personal yang lebih detail. Setelah itu triangulation analysis pun ditempuh, yaitu menganalisis jawaban subjek penelitian dengan meneliti autensitasnya berdasar data empiris yang ditemui di lapangan. Setelah analisis jawaban, peneliti mengklasifikasikan dan mendialogkan semua pandangan, pendapat, ataupun data dari subjek penelitian dengan pendapat, dukungan, dan data dari subjek lainnya. Hasil wawancara dipadu dengan data lainnya akan dianalisis dan diintepretasi menggunakan teknik analisis domain untuk mendapatkan gambaran seutuhnya dari subjek yang diteliti, tanpa harus membuat rincian secara detail unsur-unsur yang ada dalam kebutuhan riset tersebut.
24
1.7.7 Sistematika Penelitian BAB I: Pendahuluan 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan Penelitian 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1
Bagi Akademisi
1.4.2
Bagi Praktisi
1.5 Kerangka Pemikiran 1.5.1
Batasan-Batasan Ruang Publik
1.5.2
Dominasi Kapital atas Ruang Publik
1.5.3
Publik dan Konsumerisme
1.5.4
Penyelenggaraan Reklame di Ruang Publik Yogyakarta
1.5.5
Relasi
Kuasa
Aktor-Aktor
yang
Terlibat
Penyelenggaraan Reklame 1.6 Kerangka Konsep 1.7 Metodologi
BAB II: Ruang Publik Yogyakarta Dulu dan Kini 2.1 Masa Kolonialisme Belanda 2.2 Masa Pendudukan Jepang 2.3 Yogyakarta Sejak Kemerdekaan 2.3.1
Orde Lama
2.3.2
Orde Baru
2.3.3
Reformasi
BAB III: Kontestasi Kepentingan di Atas Ruang Publik Yogyakarta 1.1 Kuasa Pemerintah dan Kepentingan Pengiklan 1.1.1
Hakikat dan Jenis Reklame
1.1.2 Reklame Jenis Baru di Yogyakarta 25
dalam
Praktik
1.1.3 Regulasi Ihwal Reklame dan Aplikasi di Lapangan 1.1.4 Peran Pemerintah dan Partisipasi Publik dalam Penyusunan Regulasi Reklame 1.1.5 Penggalakan Videotron dan Megatron Berbasis LED: Solusi?
1.2 Publik yang Menggugat 1.2.1 Seniman Jalanan 1.2.2 Akademisi 1.2.3 Komunitas/ LSM Peduli Ruang Publik
BAB IV: Analisis Upaya Publik dalam Merebut Ruang Publik 4.1 Pemetaan Publik yang Berinisiatif Merebut Ruang Kota 4.2 Para Seniman Jalanan di Yogyakarta 4.2.1 Digie Sigit: Manusia yang Selalu Gelisah 4.2.2 Andrew ―Antitank‖: Gugat Kesadaran Masyarakat Lewat Poster 4.2.3 Samuel Indratma dan Apotik Komik 4.3
Akademisi
4.3.1 Sumbo Tinarbuko 4.4
LSM/ Komunitas/ Lembaga Lain
4.4.1
Reresik Sampah Visual
4.4.2
KAKI
BAB V: Penutup 5.1 Simpulan 5.2 Saran
26