» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup besar yaitu sekitar 13,83 persen pada tahun 2007 atau merupakan urutan ketiga setelah sektor industri pengolahan dan perdagangan, hotel dan restoran. Era
globalisasi
ditandai
dengan
semakin
meningkatnya
arus
perdagangan barang maupun jasa diantara negara-negara di dunia. Arus perdagangan tersebut berlangsung pesat dengan semakin terbukanya pasar masing-masing negara di dunia terhadap masuknya produk negara lain. Dalam mekanisme pasar yang murni, arus perdagangan akan mengalir dari negara yang mempunyai comparative advantage ke negara yang tidak mempunyai comparative advantage (trade creation). Tumbuhnya trade creation diantara bangsa-bangsa diyakini akan meningkatkan kesejahteraan semua bangsa-bangsa di dunia. Hal inilah yang menjadi spirit dari lahirnya issu globalisasi dan liberalisasi (Departemen Pertanian, 2004). Seiring dengan hal tersebut, perdagangan dalam negeri (domestik) dan perdagangan luar negeri (internasional) pada komoditas pertanian yang meliputi sub sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan masih cukup luas untuk terus dikembangkan, mengingat sektor pertanian masih mampu bertahan meskipun terjadi krisis ekonomi di Indonesia tahun 1997,
dan krisis global beberapa tahun terakhir ini
sehingga dapat diandalkan dalam pemulihan perekonomian nasional. Untuk itu, Pusat data dan Informasi Pertanian (Pusdatin) pada tahun 2009 menyusun analisis kinerja perdagangan komoditas pertanian yang dapat digunakan untuk
mengetahui sejauh mana kinerja perdagangan
beberapa komoditas unggulan pertanian serta posisi Indonesia di pasar internasional akan produk pertaniannya.
Pusat Data dan Informasi Pertanian
Analisis kinerja perdagangan 1
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
komoditas pertanian tersebut diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pengguna data dan informasi serta bagi pengambil kebijakan sektor pertanian. 1.2. METODOLOGI Sumber Data dan Informasi Analisis kinerja perdagangan komoditas pertanian tahun 2009 disusun berdasarkan data dan informasi yang diperoleh baik dari data primer maupun data sekunder yang bersumber dari daerah, instansi terkait baik di lingkup Departemen Pertanian maupun di luar Departemen Pertanian seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Departemen Perdagangan, Food and Agriculture Organization (FAO), dan Worldbank. Cakupan Komoditas Pertanian Cakupan komoditas pertanian yang dianalisis pada Volume 1 No. 1 tahun 2009 antara lain analisis kinerja perdagangan per sub sektor pertanian, dan lebih rinci per komoditas unggulan nasional yang meliputi komoditas kedele (sub sektor tanaman pangan), kentang (sub sektor hortikultura),
kopi (sub sektor perkebunan), daging sapi (sub sektor
peternakan). Metode Analisis Metode analisis yang digunakan dalam penyusunan analisis kinerja perdagangan komoditas pertanian adalah sebagai berikut : A. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif yang digunakan diantaranya analisis keragaan atau rata-rata pertumbuhan per tahun, rata-rata dan persen kontribusi (share) yang mencakup indikator kinerja perdagangan komoditas pertanian yang meliputi produksi, harga produsen, harga konsumen, volume dan nilai ekspor, volume dan nilai impor berdasarkan bentuk olahan, segar dan kode
2
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
HS (Harmony Sistem), negara tujuan ekspor dan negara asal impor serta negara ekportir dunia dan importir dunia. B. Analisis Inferensia Analisis inferensia yang digunakan dalam analisis kinerja perdagangan komoditas pertanian antara lain :
Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) ISP digunakan untuk menganalisis posisi atau tahapan perkembangan suatu komoditas.
ISP ini dapat menggambarkan apakah untuk suatu
komoditas, Indonesia cenderung menjadi negara eksportir atau importir. Secara umum ISP dapat dirumuskan sebagai berikut :
dimana : = volume atau nilai ekspor komoditas ke-i Indonesia = volume atau nilai impor komoditas ke-i Indonesia Nilai ISP adalah 0 s/d 1 : Berarti komoditas tersebut memiliki daya saing yang kuat atau negara bersangkutan sebagai pengeskpor suatu komoditas -1 s/d 0: Berarti komoditas tersebut memiliki daya saing rendah atau negara bersangkutan sebagai pengimpor suatu komoditas Indeks Keunggulan Komparatif Comparative Advantage)
atau
RCA
(Revealead
RCA merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif di suatu wilayah (kawasan, negara, provinsi). Secara umum RCA menurut Balassa (1965) dirumuskan sebagai berikut :
Pusat Data dan Informasi Pertanian
3
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
dimana: : Nilai ekspor komoditi i dari negara j (Indonesia) : Total nilai ekspor komoditas pertanian negara j (Indonesia) : Nilai ekspor komoditi i dari dunia : Total nilai ekspor komoditas pertanian dunia Import Dependency Ratio (IDR) IDR = Impor
X 100
Produksi + impor – ekspor
Self Sufficiency Ratio (SSR) SSR = Produksi
X 100
Produksi + impor – ekspor
4
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
II. GAMBARAN UMUM KINERJA PERDAGANGAN KOMODITAS PERTANIAN
Pengembangan globalisasi perdagangan antar negara telah berjalan dengan penerapan berbagai kebijakan dan kesepakatan dari sidang WTO, dan pembentukan kerjasama antar negara dalam suatu kawasan seperti APEC, NAFTA dan AFTA. Pada kawasan yang lebih kecil terjalin kerjasama ekonomi sub regional Indonesia dengan pembentukan kawasan segitiga pertumbuhan khususnya dengan Singapura-Johor dan Riau (SIJORI) dan kerjasama Indonesia-Malaysia dan Thailand (IMT-GT), termasuk forum kerjasama antar Negara Brunei, Indonesia, Malaysia dan Philippina (BIMPEAGA). Kerjasama antar negara tersebut merupakan peluang pasar yang baik bagi produk pertanian dari Indonesia (Departemen Pertanian, 2007). Sementara
pemasaran
antar
wilayah
(perdagangan
domestik)
komoditas pertanian terjadi karena adanya perbedaan tingkat penawaran dan permintaan yang mempengaruhi keragaman harga komoditas di setiap wilayah, aliran komoditas akan terjadi dari sentra produsen yang harganya lebih rendah ke daerah konsumen yang harganya lebih tinggi. Gambaran umum kinerja perdagangan komoditas pertanian dilihat dari neraca perdagangan luar negeri (ekspor dikurangi impor) komoditas pertanian yang meliputi sub sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan selama tahun 2004 sampai dengan 2008 terlihat mengalami surplus baik dari sisi volume neraca perdagangan maupun nilai neraca perdagangan, hal ini dapat dilihat secara rinci pada Tabel 2.1.
Pusat Data dan Informasi Pertanian
5
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
Tabel 2.1. Perkembangan neraca perdagangan komoditas pertanian Indonesia, tahun 2004 – 2008
Sumber : BPS diolah Pusdatin
Dari Tabel 2.1 terlihat neraca perdagangan dengan surplus terbesar terjadi pada tahun 2008 sebesar 14,45 juta ton dengan nilai sebesar US$ 17, 97 milyar. Sementara bila dilihat pertumbuhan rata-rata per tahun volume neraca perdagangan tahun 2004 - 2008 terlihat mengalami peningkatan sebesar 20,71 % per tahun dengan pertumbuhan volume ekspor meningkat hanya sebesar 3,58 % per tahun sedangkan volume impor menurun sebesar 4,99 % per tahun. Sementara rata-rata pertumbuhan nilai neraca perdagangan terlihat mengalami peningkatan yang cukup besar yaitu 11,62 % per tahun yang diikuti oleh peningkatan pertumbuhan nilai ekspor sebesar 10,33 % per tahun dan nilai impor sebesar 8,53 % per tahun. Volume ekspor dan impor komoditas pertanian ini secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut ini, yang menunjukkan volume ekspor selalu lebih tinggi dibandingkan volume impornya atau surplus .
6
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
30.000 25.000 000 Ton
20.000
15.000 10.000 5.000 -
2004
2005
2006
Volume Ekspor
2007
2008
Volume impor
Gambar 2.1. Perkembangan volume ekspor dan impor komoditas pertanian, tahun 2004 – 2008 Sementara dari sisi nilai neraca perdagangan komoditas pertanian dapat dilihat pada Gambar 2.2, yang menunjukkan bahwa surplus nilai neraca perdagangan terbesar dicapai pada tahun 2008 yaitu sebesar US$ 17, 97 milyar, dengan nilai ekspor sebesar US$ 29,29 milyar dan nilai impor sebesar US$ 11, 32 milyar. 35,000 30,000
Juta US$
25,000
20,000 15,000 10,000 5,000
2004
2005 Nilai Ekspor
2006 Nilai Impor
2007
2008
Neraca Perdagangan
Gambar 2.2. Perkembangan nilai neraca perdagangan komoditas pertanian, tahun 2004 - 2008 Dari keempat sub sektor pada sektor pertanian, perkebunan menjadi andalan
sub sektor
nasional karena setiap tahunnya neraca
perdagangan sub sektor perkebunan selalu mengalami surplus, sehingga
Pusat Data dan Informasi Pertanian
7
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
dapat menutupi defisit yang dialami oleh sub sektor lainnya, hal ini dapat dilihat lebih jelas pada Lampiran 2.1. Terjadinya surplus tersebut karena lebih dari 90 % nilai ekspor komoditas pertanian berasal dari komoditas perkebunan dengan persentase impor yang lebih kecil, sementara untuk sub sektor lainnya persentase impor lebih tinggi dibandingkan ekspornya, dengan persentase nilai impor rata-rata 2004 – 2008 yang terbesar terjadi pada sub sektor tanaman pangan sebesar 39,07 %. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.3.
93,12%
20,19% 39,07%
32,71%
1,61% 3,36%
8,03%
1,92% - Nilail ekspor tanaman pangan - Nilai ekspor hortikultura - Nilai ekspor perkebunan - Nilai ekspor peternakan
- Nilai impor tanaman pangan - Nilai impor hortikultura - Nilai impor perkebunan - Vol impor peternakan
Gambar 2.3. Kontribusi sub sektor pertanian berdasarkan rata-rata nilai ekspor dan impor tahun 2004 - 2008 Demikian pula halnya dari sisi volume ekspor, terlihat pada Gambar 2.4 menunjukkan sub sektor perkebunan merupakan sub sektor yang berkontribusi cukup besar terhadap total volume ekspor pertanian yaitu lebih dari 90 % volume ekspor komoditas pertanian berasal dari komoditas perkebunan dan bila dilihat volume impor sub sektor perkebunan sebesar 17,39 % yang berarti lebih rendah dibandingkan volume ekspornya, sementara untuk sub sektor lainnya persentase impor lebih tinggi dibandingkan ekspornya, dengan persentase volume impor yang terbesar terjadi pada sub sektor tanaman pangan sebesar 68,04 %. Secara rinci 8
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
volume ekspor dan impor per sub sektor pertanian tahun 2004 – 2008 disajikan pada Lampiran 2.2. 1,53%
4,65%
1,84%
17,39%
6,86%
7,71%
68,04%
91,99% - Vol ekspor tanaman pangan - Vol ekspor hortikultura - Vol ekspor perkebunan - Vol ekspor peternakan
- Vol impor tanaman pangan - Vol impor hortikultura - Vol impor perkebunan - Vol impor peternakan
Gambar 2.4. Kontribusi sub sektor pertanian berdasarkan rata-rata volume ekspor dan impor tahun 2004 - 2008 Bila dilihat pada Lampiran 2.1. nilai surplus sub sektor perkebunan tahun 2004 sebesar US$ 7,78 milyar mengalami kenaikan menjadi US$ 22,83 milyar tahun 2008 atau mengalami rata-rata pertumbuhan per tahun sebesar 10,28 %, dengan rata-rata pertumbuhan per tahun nilai ekspor naik sebesar 10,17 % dan nilai impor naik sebesar 9,79 %. Sementara nilai neraca perdagangan sub sektor tanaman pangan, hortikultura dan peternakan selalu mengalami defisit, dengan rata-rata pertumbuhan nilai neraca perdagangan tahun 2004 s/d 2008 sub sektor tanaman pangan dan peternakan mengalami kenaikan sebesar 7,73 % dan 7,24 % yang berarti defisit semakin meningkat, sedangkan rata-rata pertumbuhan nilai neraca perdagangan sub sektor hortikultura mengalami penurunan sebesar 1,19% yang berarti defisit makin berkurang.
Hal ini dapat dilihat pada Gambar
2.5.
Pusat Data dan Informasi Pertanian
9
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
25.000
Juta US$
20.000 15.000 10.000 5.000 -
2004
2005
2006
2007
2008
(5.000) Tanaman Pangan
Hortikultura
Perkebunan
Peternakan
Gambar 2.5. Perkembangan neraca perdagangan sub sektor pertanian, tahun 2004 – 2008
10
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
Lampiran 2.1. Perkembangan neraca perdagangan sub sektor pertanian, tahun 2004 - 2008 No.
Uraian
Tahun (000 US$) 2004
2005
2006
2007
2008
Rata-rata
Pertmbhn (%)
2004 - 2008
2004 - 2008
1 Nilai Ekspor - Tanaman Pangan
274.497
286.744
- Hortikultura
177.090
227.974
- Perkebunan
9.107.469
10.673.186
- Peternakan
328.537
396.526
9.887.593
11.584.429
2.423.418
2.115.140
Pertanian
264.155
289.049
348.914
5,24
238.063
254.765
432.727
17,87
292.672 266.124 13.972.064 19.964.870 27.357.941 16.215.106 388.939 748.531 1.148.170 602.141 14.863.221 21.257.215 29.287.752 17.376.042
10,17 14,46 10,33
2 Nilai Impor - Tanaman Pangan
2.568.453
2.729.147
3.526.961
- Hortikultura
344.791
367.425
527.415
795.846
909.669
- Perkebunan
1.323.371
1.532.520
1.675.067
3.376.402
4.527.328
- Peternakan
936.175
1.121.832
1.190.396
1.696.459
2.352.219
5.027.755
5.136.916
5.961.331
8.597.854
11.316.178
(2.148.921)
(1.828.396)
(2.304.299)
(2.440.098)
(3.178.047)
- Hortikultura
(167.701)
(139.451)
(289.352)
(541.081)
(476.942)
- Perkebunan
7.784.098
9.140.666
12.296.997
16.588.468
22.830.613
Pertanian
2.672.624 589.029 2.486.938 1.459.416 7.208.007
7,46 4,59 9,79 10,35 8,53
3 Neraca Perdagangan - Tanaman Pangan
- Peternakan Pertanian
(607.638)
(725.306)
(801.457)
(947.928)
(1.204.049)
4.859.838
6.447.513
8.901.890
12.659.361
17.971.575
(2.379.952) (322.905) 13.728.168 (857.276) 10.168.035
7,73 -1,19 10,28 7,24 11,62
% terhadap Pertanian 4 Nilai Ekspor - Tanaman Pangan
2,78
2,48
1,78
1,36
1,19
1,92
- Hortikultura
1,79
1,97
1,60
1,20
1,48
1,61
- Perkebunan
92,11
92,13
94,00
93,92
93,41
93,12
- Peternakan
3,32
3,42
2,62
3,52
3,92
3,36
5 Nilai Impor - Tanaman Pangan
48,20
41,18
43,09
31,74
31,17
39,07
- Hortikultura
6,86
7,15
8,85
9,26
8,04
8,03
- Perkebunan
26,32
29,83
28,10
39,27
40,01
32,71
- Peternakan
18,62
21,84
19,97
19,73
20,79
20,19
Sumber : BPS diolah Pusdatin
Pusat Data dan Informasi Pertanian
11
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
Lampiran 2.2. Perkembangan volume ekspor dan impor sub sektor pertanian, tahun 2004 - 2008 No.
Uraian
Tahun (Ton) 2004
2005
2006
1.170.247
1.123.431
2007
2008
Rata-rata
Pertmbhn (%)
2004 - 2008
2004 - 2008
1 Volume Ekspor - Tanaman Pangan
861.219
999.460
812.330
993.337
-4,79
- Hortikultura
296.479
384.316
456.890
393.863
523.455
411.001
8,57
- Perkebunan
15.556.889
18.579.809
21.378.189
22.089.288
25.061.619
20.533.159
3,74
- Peternakan Pertanian
221.664
246.487
198.407
458.900
635.304
352.152
10,84
17.245.279
20.334.043
22.894.705
23.941.511
27.032.709
22.289.649
3,58
2 Volume Impor - Tanaman Pangan
9.670.604
8.936.436
11.456.509
9.398.520
7.414.295
9.375.273
-5,25
- Hortikultura
798.322
856.393
923.867
1.293.411
1.421.524
1.058.703
3,03
- Perkebunan
1.353.601
2.091.654
1.776.174
4.268.242
2.681.456
2.434.225
-7,50
- Peternakan
873.619
910.930
880.430
950.518
1.065.235
936.146
3,11
12.696.146
12.795.413
15.036.980
15.910.691
12.582.509
13.804.348
-4,99
Pertanian
% terhadap Pertanian 3 Volume Ekspor - Tanaman Pangan
6,79
5,52
3,76
4,17
3,00
4,65
- Hortikultura
1,72
1,89
2,00
1,65
1,94
1,84
- Perkebunan
90,21
91,37
93,38
92,26
92,71
91,99
- Peternakan
1,29
1,21
0,87
1,92
2,35
1,53
4 Volume Impor - Tanaman Pangan
76,17
69,84
76,19
59,07
58,93
68,04
- Hortikultura
6,29
6,69
6,14
8,13
11,30
7,71
- Perkebunan
10,66
16,35
11,81
26,83
21,31
17,39
- Peternakan
6,88
7,12
5,86
5,97
8,47
6,86
Sumber : BPS diolah Pusdatin
12
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
III. KINERJA PERDAGANGAN KEDELE Kedele merupakan komoditas utama tanamaan pangan yang memiliki peran dalam ketahanan pangan, dan sebagai bahan pokok dalam industri pakan dan pangan.
Kebutuhan kedele terus meningkat seiring dengan
pertumbuhan jumlah penduduk dan kebutuhan bahan olahan pangan seperti tahu, tempe, kecap, susu kedelai, tauco dan sebagainya. Menurut hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) BPS tahun 2008, konsumsi per kapita per tahun kedele sebesar 0,052 kg, dan sebagian besar dalam bentuk olahan yaitu konsumsi tahu sebesar 7,124 kg, tempe sebesar 7,228 kg dan tauco sebesar 0,026 kg dan apabila jumlah penduduk Indonesia tahun 2008 diperkirakan sebesar 228,5 juta orang maka kebutuhan total kedele dalam negeri berkisar 2.834 ribu ton, sementara produksi dalam negeri tahun 2008 baru mencapai 776.491 ton atau sekitar 27,4 % berasal dari kedele dalam negeri dan selebihnya berasal dari kedele impor. Permasalah utama kedele dalam negeri antara lain adalah makin menurunnya produksi akibat meningkatnya kedele impor dan melemahnya daya saing, rendahnya kualitas dan daya saing
produk domestik, serta
rendahnya harga kedelai impor karena efisiensi usahatani yang sudah cukup baik dan adanya kebijakan perlindungan dari negara asalnya. 3.1. SENTRA PRODUKSI KEDELE Bila dilihat dari rata-rata produksi kedele per provinsi tahun 2004 – 2008, terdapat 7 (tujuh) provinsi sentra kedele dengan kontribusi 89,21 % terhadap produksi kedele Indonesia, seperti yang disajikan pada Gambar 3.1.
Pusat Data dan Informasi Pertanian
13
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
3,40%
10,79%
3,50%
4,13%
41,21%
4,79%
12,89%
19,29% Jawa Timur
Jawa Tengah
NTB
DI Yogyakarta
NAD
Jawa Barat
Sulawesi Selatan
Propinsi Lainnya
Gambar 3.1. Provinsi sentra produksi kedele berdasarkan rata-rata produksi tahun 2004 – 2008 Dari Gambar 3.1. terlihat provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan NTB merupakan provinsi sentra produksi terbesar yang berkontribusi masingmasing sebesar 41,21 %, 19,29 % dan 12,89 % terhadap produksi kedele Indonesia, disusul berturut-turut Provinsi DIY, NAD, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan masing-masing berkontribusi sebesar 4,79 %, 4,13 %, 3,50 %, dan 3,40 % dari produksi kedele Indonesia. Secara rinci provinsi sentra kedele di Indonesia Tahun 2004 – 2008 disajikan pada Lampiran 3.1. 3.2. KINERJA PERDAGANGAN KEDELE DALAM NEGERI Untuk melihat kinerja perdagangan kedele dalam negeri diantaranya dengan melihat perkembangan rata-rata harga produsen dan konsumen, baik perkembangan harga nasional maupun harga di sentra produksi. Perkembangan harga produsen dan harga konsumen kedele di Indonesia selama tahun 1984 – 2007 menunjukkan kecenderungan meningkat dengan rata-rata pertumbuhan per tahun masing-masing meningkat sebesar 11,03 % dan 12,24 % (Lampiran 3.3). Peningkatan harga yang cukup tajam terjadi pada saat setelah krisis ekonomi di Indonesia yaitu tahun 1998 dan 1999 masing-masing naik
14
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
sebesar 63,72 % dan 25,09 % dari tahun sebelummnya untuk harga produsen dan naik sebesar 132,67 % dan 19,65 % untuk harga konsumen seperti terlihat pada Gambar 3.2. Jika sebelum krisis moneter harga ratarata kedele di tingkat produsen sebesar Rp 828 per kg, maka sejak terjadinya krisis moneter rata-rata harga produsen kedele tahun 1998 – 2007 menjadi Rp 3.258,46 per kg. Hal ini diakibatkan oleh dampak krisis ekonomi yaitu melonjaknya nilai tukar rupiah yang menyebabkan harga komoditas pertanian ikut meningkat. Rp/Kg 6.000,00 5.000,00 4.000,00
3.000,00 2.000,00
1.000,00
Hrg. Produsen
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
1986
1985
1984
0,00
Hrg. Konsumen
Gambar 3.2. Perkembangan rata-rata harga produsen dan konsumen kedele di Indonesia tahun 1984 – 2007
Bila dikaitkan sentra produksi kedele pada uraian di atas dengan ratarata harga produsen kedele tahun 2007, terlihat pada provinsi DIY yang merupakan sentra pada urutan ke-4 memiliki rata-rata harga produsen terendah yaitu Rp 3.782 per kg sementara harga tertinggi di sentra Jawa Barat yaitu Rp 4.311 per kg (Gambar 3.3), namun rata-rata harga konsumen tahun 2007 tertinggi terjadi juga di Jawa Barat mencapai Rp 5.543 per kilogram, sehingga margin yang dihasilkan mencapai Rp 1.234 kg, hal ini secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 3.2.
Pusat Data dan Informasi Pertanian
15
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
6.000
5.000
5.545 4.688
4.573 4.033
3.991 Rp/Kg
4.000
4.580
4.311
3.782
3.000 2.000
1.000 Jatim (1)
Jateng (2) Harga Produsen
DIY (4)
Jabar (6)
Harga Konsumen
Gambar 3.3. Harga produsen dan konsumen kedele di provinsi sentra tahun 2007 Krisis moneter tahun 1997 juga berdampak pada semakin lebarnya disparitas harga produsen dan harga konsumen, Jika sebelum krisis moneter margin harga kedele rata-rata sebesar Rp 210 per kg, maka sejak terjadinya krisis moneter margin harga kedele rata-rata mencapai Rp 792 per kg, dengan margin harga kedele terbesar dicapai pada tahun 1999 sebesar Rp 1.552 per kg, disusul tahun 1998 sebesar Rp 1.389 per kg dan tahun 2002 sebesar Rp 1.205 per kg, selanjutnya hingga 2007 menurun hingga margin hanya Rp 259 per kg. Keragaan harga kedele secara rinci disajikan pada Lampiran 3.3. Perkembangan margin harga yang menurun ini menyebabkan petani kurang berminat untuk budidaya kedele meskipun permintaan dalam negeri cukup banyak, disamping teknik budidaya kedele yang perlu perawatan yang intensif serta adanya persaingan harga kedele impor yang cukup banyak beredar di pasaran. 3.3. KINERJA PERDAGANGAN KEDELE INTERNASIONAL Kinerja
perdagangan
kedele
internasional
dapat
didekati
diantaranya dengan melihat neraca perdagangan kedele, yaitu ekspor
16
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
dikurangi impor kedele. Perkembangan neraca perdagangan kedele tahun 2004 – 2008 terlihat selalu mengalami defisit yang berarti volume dan nilai impor kedele lebih besar dibandingkan volume dan nilai ekspornya. Defisit kedele terbesar terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 3,26 juta ton dengan nilai sebesar US$ 1,17 milyar, hal ini dapat dilihat pada Tabel 3.1. Tabel 3.1. Perkembangan neraca perdagangan kedele Indonesia, tahun 2004 - 2008 No.
Uraian
1 Ekspor - Volume (Ton) - Nilai (000 US$) 2 Impor - Volume (Ton) - Nilai (000 US$) 3 Neraca Perdagangan - Volume (Ton) - Nilai (000 US$)
Tahun 2004
2005
2006
2007
2008
Pertmbhn (%) 2004 - 2008
18.381 6.703
9.151 6.564
8.789 8.406
21.727 32.049
9.014 8.252
-13,70 -15,49
2.773.668 967.957
2.881.735 801.779
2.982.986 809.056
3.279.257 1.200.951
1.203.035 732.722
-15,66 -9,43
(2.755.287) (961.254)
(2.872.584) (795.214)
(2.974.197) (800.650)
(3.257.530) (1.168.902)
(1.194.021) (724.470)
-15,66 -9,21
Sumber : BPS diolah Pusdatin
Dari Tabel 3.1. rata-rata pertumbuhan per tahun volume neraca perdagangan terlihat mengalami penurunan defisit sebesar 15,66 % per tahun dengan pertumbuhan volume ekspor turun sebesar 13,70 % per tahun dan volume impor turun sebesar 15,66 %. Demikian juga rata-rata pertumbuhan per tahun nilai neraca perdagangan kedele terlihat mengalami penurunan defisit sebesar 9,21 % per tahun yang diikuti oleh penurunan pertumbuhan nilai ekspor sebesar 15,49 % per tahun dan nilai impor turun sebesar 9,43 % per tahun. Perkembangan nilai neraca perdagangan kedele secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 3.4.
Pusat Data dan Informasi Pertanian
17
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
000 US$ 1.500.000 1.000.000 500.000
(500.000)
2004
2005
2006
2007
2008
(1.000.000) (1.500.000) Nilai Ekspor
Nilai Impor
Neraca Perdagangan
Gambar 3.4. Perkembangan nilai neraca perdagangan kedele Indonesia tahun 2004 - 2008 Dari Gambar 3.4 menunjukkan bahwa defisit nilai neraca perdagangan kedele terbesar dicapai pada tahun 2007 yaitu sebesar US$ 1,17 milyar , dengan nilai ekspor hanya sebesar US$ 32 juta dan nilai impor cukup besar mencapai US$ 1,2 milyar, dan defisit semakin menurun di tahun 2008 yaitu sebesar US$ 724 juta, dengan nilai ekspor hanya sebesar US$ 8 juta dan nilai impor cukup besar mencapai US$ 732 juta. Bila dilihat dari wujud kedele yang diekspor selama tahun 2004 – 2008 adalah sebagian besar atau lebih dari 80 % dalam bentuk kedele olahan, dimana berdasarkan volume ekspor 2008 sebesar 88,63 % ( 7,99 ribu ton) ekspor Indonesia dalam bentuk olahan dengan kontribusi nilai ekspor sebesar 82,97 % ( US$ 6,85 juta)(Gambar 3.5).
18
Pusat Data dan Informasi Pertanian
Persen
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
100,00 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 -
96,84 88,63
94,40
82,97
17,03
11,37
Vol Ekspor
Nilai ekspor
Kedele Segar
3,16
5,60
Vol Impor
Nilai Impor
Kedele Olahan
Gambar 3.5. Persentase ekspor dan impor kedele segar dan olahan Indonesia, tahun 2008 Sementara dari sisi volume impor kedele tahun 2008 sebagian besar dalam bentuk kedele segar sebesar 96,84 % (1,17 juta ton) dengan kontribusi nilai impor 94,40 % (US$ 694,71 juta). Secara rinci perkembangan ekspor dan impor kedele segar dan olahan Indonesia tahun 2004 – 2008 dapat dilihat pada Lampiran 3.3. Bila dilihat lebih jauh berdasarkan kode HS (Harmony Sistem) ekspor kedele tahun 2008 sebagian besar dalam wujud kecap manis (HS 2103100010) sebesar 80,67 % dari total nilai ekspor kedele atau US$ 6,66 juta , 17,03 % kedele segar lainnya (HS 1201009000) atau US$ 1,41 juta dan 2,07 % tepung kedele lainnya (HS 1208900000) atau US$ 171 ribu (Gambar 3.6).
Pusat Data dan Informasi Pertanian
19
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
0,23
17,03
2,07
80,67 Kedele segar lainnya (1201009000)
Tepung kedele lainnya (1208900000)
Kecap (2103100000)
Lainnya
Gambar 3.6. Persentase wujud kedele ekspor berdasarkan kode HS tahun 2008 Bila ditelusuri lebih jauh negara tujuan ekspor utama kedele segar lainnya (HS 1201009000) tahun 2008 sebesar 86,17 % ke Jepang, 9,60 % ke Korea dan 2,01 % ke Singapore (Gambar 4.7), sementara negara tujuan ekspor kecap (HS 2103100000) terbesar adalah ke negara Australia sebesar 26,49 %, 13,87 % ekspor ke Saudi Arabia, 12,59 % ekspor ke Belanda, 9,80 % ke USA dan 6,36 % ke Malaysia (Gambar 3.8).
Volume dan Nilai ekspor
kedele Indonesia menurut kode HS beserta negara tujuan ekspor tahun 2008 secara rinci disajikan pada Lampiran 3.4. 100,00 90,00
86,17
80,00
Persen
70,00 60,00 50,00
40,00 30,00 20,00
9,60
10,00
2,01
2,21
Singapore
Negara lainnya
0,00 Jepang
Korea
Gambar 3.7. Persentase nilai ekspor kedele segar lainnya ke negara tujuan utama tahun 2008
20
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
35,00
30,00
30,88 26,49
Persen
25,00 20,00 13,87
15,00
12,59 9,80
10,00
6,36
5,00 0,00 Australia
Saudi Arabia
Netherland
USA
Malaysia
negara lainnya
Gambar 3.8. Persentase nilai ekspor kecap ke negara tujuan utama tahun 2008 Sementara bila dilihat dari sisi impor kedele Indonesia tahun 2008, sebesar 87,20 % berasal dari USA, 4,50 % dari Malaysia dan 8,30 % berasal dari negara lainnya (Gambar 3.9). 100,00 90,00
87,20
80,00
Persen
70,00 60,00 50,00
40,00 30,00 20,00 4,50
10,00
8,30
USA
Malaysia
Negara lainnya
Gambar 3.9. Persentase negara asal impor kedele Indonesia tahun 2008 Berdasarkan wujud kedele yang diimpor dari USA sebagain besar dalam wujud kedele segar lainnya yaitu sebesar 99,37 % atau dengan nilai impor sebesar US$ 637,62 juta dan 0,47 % tepung kedele atau US$ 3,04 juta dan 0,16 % minyak kacang kedele atau US$ 1,04 juta (Gambar 3.10).
Pusat Data dan Informasi Pertanian
21
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
0,47
0,16
99,37
Kedele segar lainnya (1201009000) Tepung kedele(12080100000) Minyak kacang kedele (1507901000,1507902000 dan 15079090000)
Gambar 3.10. Persentase wujud kedele impor Indonesia asal USA tahun 2008 Sementara wujud kedele yang diimpor dari Malaysia tahun 2008 sebesar 52,90 % dalam wujud kedele segar lainnya atau US$ 17,53 juta dan 46,67 % minyak kacang kedele atau US$ 15,47 juta dan sisanya dalam wujud tepung kedele dan kecap (Gambar 3.11). Volume dan nilai impor kedele Indonesia menurut kode HS beserta negara asal impor tahun 2008 secara rinci disajikan pada Lampiran 3.5. 0,28 46,67
52,90
0,16 Kedele segar lainnya (1201009000) Tepung kedele(12080100000) Minyak kacang kedele (1507901000,1507902000 dan 15079090000) Kecap (2103100000)
Gambar 3.11. Persentase wujud kedele impor Indonesia asal Malaysia tahun 2008
22
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
Bila dilihat perdagangan kedele di dunia, berdasarkan data FAO, pada tahun 2003–2007 terdapat 3 (tiga) negara eksportir kedele terbesar di dunia yang secara kumulatif memberikan kontribusi sekitar 88,81 % terhadap total nilai ekspor kedele di dunia. USA, Brazil dan Argentina merupakan negara eksportir kedele terbesar di dunia dengan memberikan kontribusi masing-masing sebesar 44,06 % terhadap total nilai ekspor kedele dunia atau senilai US$ 7,58 milyar, 37,86 % atau US$ 5,48 milyar dan 12,89 % atau US$ 2,22 milyar (Gambar 3.12). Indonesia merupakan negara eksportir kedele namun berada pada urutan ke-38 dengan rata-rata nilai ekspor tahun 2003 – 2007 sebesar US$ 1,28 juta. Negara eksportir kedele dunia tahun 2003 – 2007 secara lebih rinci disajikan pada Lampiran 3.6. 11.19 12.89
44.06
31.86
USA
Brazil
Argentina
Negara lainnya
Gambar 3.12. Negara pengekspor kedele terbesar dunia (rata-rata 2003 2007 Pada perdagangan kedele dunia, dilihat nilai impor kedele dunia ratarata tahun 2003–2007 terdapat 5 (lima) negara importir kedele terbesar di dunia yang secara kumulatif memberikan kontribusi sekitar 67,78 % terhadap total nilai impor kedele di dunia, yaitu China, Jepang, Netherland, Jerman dan Meksiko. Netherland sebagai negara eksportir kedele ternyata juga menjadi negara importir kedele terbesar ke -3 dengan berkontribusi terhadap total nilai impor dunia sebesar 7,05 % atau senilai US$ 1,30 milyar Pusat Data dan Informasi Pertanian
23
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
per tahun (Gambar 3.13). China berada di peringkat pertama dengan ratarata nilai impor kedele tahun 2003-2007 sebesar US$ 7,59 milyar per tahun atau memberikan kontribusi sebesar 41,27 % terhadap total nilai impor kedele dunia. Nilai ini jauh lebih besar dibandingkan dengan rata-rata nilai ekspornya yang hanya US$ 149 juta. Jepang merupakan importir kedele terbesar kedua setelah China dengan nilai impor mencapai US$ 1,5 milyar per tahun atau memberikan kontribusi sebesar 8,15 % terhadap total nilai impor kedele dunia. Negara-negara importir kedele terbesar lainnya adalah Belanda, Jerman dan Meksiko masing-masing berkontribusi sebesar 7,05 %, 5,80 % dan 5,51 % terhadap total nilai impor kedele dunia.
Sementara
Indonesia berada pada urutan ke-9 dengan rata-rata nilai impor kedele Indonesia tahun 2003 – 2007 sebesar US$ 339 juta. Negara importir kedele dunia tahun 2003 – 2007 secara rinci disajikan pada Lampiran 3.7. 45.00
41.27
40.00 32.22
35.00 Persen
30.00 25.00 20.00 15.00 10.00
8.15
7.05
5.80
5.51
5.00
-
Gambar 3.13. Negara pengimpor kedele terbesar dunia (rata-rata 2003 – 2007 3.4. ANALISIS KINERJA PERDAGANGAN KEDELE Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) digunakan untuk menganalisis posisi atau tahapan perkembangan suatu komoditas.
ISP kedele segar,
olahan dan kedele total Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3.2.
24
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
Tabel 3.2. Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) kedele segar, olahan dan total kedele Indonesia Tahun 2004 - 2008
Dari Tabel 3.2. di atas terlihat ISP kedele segar maupun olahan yang dihitung berdasarkan nilai ekspor dan impor terlihat
bernilai negatif
berkisar antara -0,715 s/d -0,998 yang berarti komoditas kedele Indonesia memiliki daya saing rendah atau dikatakan Indonesia sebagai negara pengimpor kedele (suplai domestik lebih rendah dari permintaan domestik), meskipun untuk kedele olahan terdapat kenaikan ISP pada tahun 2008 yang berarti ada kenaikan daya saing meskipun sangat kecil. Sejalan dengan nilai ISP diatas maka bila dilihat dari ratio ketergantungan terhadap impor kedele untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, Indonesia termasuk dalam katagori yang tinggi ketergantungnnya terhadap impor, hal ini terlihat dari nilai IDR tahun 2004 -2008 berkisar antara 61,13 % sampai dengan 85,17 %, dengan IDR tertinggi tahun 2007 mencapai 85,17 %. Demikian pula bila dilihat dari sisi kemampuan produksi kedele dalam negeri terlihat masih rendah, hal ini dapat dilihat dari SSR sekitar 15,39 % sampai dengan 39,32 % (Tabel 3.3).
Pusat Data dan Informasi Pertanian
25
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
Tabel 3.3. Import Dependency Ratio (IDR) dan Self Sufficiency Ratio (SSR) kedele Indonesia tahun 2004 - 2008
Indeks Keunggulan Komparatif atau RCA (Revealead Comparative Advantage) merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif di suatu wilayah, untuk mengukur keunggulan komparatif kedele Indonesia dalam perdagangan dunia. Hasil analisis RCA kedele Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3.4 Tabel 3.4. Indeks keunggulan komparatif kedele Indonesia dalam perdagangan dunia , 2004 - 2007
Dari Tabel 3.4. diatas terlihat komoditas kedele Indonesia memiliki keunggulan komperatif yang rendah di pasar dunia, hal ini ditunjukkan nilai RCA dari tahun 2004 – 2007 menunjukan kurang dari 1 yaitu hanya 0,13 sampai 0,31 .
26
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
Lampiran 3.1. Provinsi sentra produksi kedele di Indonesia, tahun 2004 – 2008
Sumber : BPS dan Ditjen Tanaman Pangan diolah Pusdatin Keterangan : *) Angka Sementara
Pusat Data dan Informasi Pertanian
27
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
Lampiran 3.2.Perkembangan harga produsen dan konsumen kedele di Indonesia, tahun 1984 - 2007
Sumber : BPS diolah Pusdatin
28
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
Lampiran 3.3. Perkembangan ekspor dan impor kedele segar dan olahan, tahun 2004 - 2008
Sumber : BPS diolah Pusdatin
Pusat Data dan Informasi Pertanian
29
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
Lampiran 3.4. Negara tujuan ekspor kedele Indonesia per kode HS (Harmony Sistem), tahun 2008
Sumber : BPS diolah Pusdatin Keterangan : *) Kedele lainnya meliputi minyak kedele, bungkil kedele dan tauco
30
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
Lampiran 3.5. Negara asal impor kedele Indonesia per kode HS (Harmony Sistem), tahun 2008
Sumber : BPS diolah Pusdatin
Pusat Data dan Informasi Pertanian
31
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
Lampiran 3.6. Negara eksportir kedele dunia tahun 2003 - 2007
Sumber : FAO diolah Pusdatin
32
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
Lampiran 3.7. Negara importir kedele dunia tahun 2003 - 2007
Sumber : FAO diolah Pusdatin
Pusat Data dan Informasi Pertanian
33
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
34
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
IV. KINERJA PERDAGANGAN KENTANG Kentang mempunyai kandungan zat karbohidrat yang tinggi, lebih tinggi dari berbagai sumber karbohidrat yang lain seperti beras, jagung atau gandum. Hal tersebut menjadikan kentang sebagai prioritas alternatif yang mampu mensubstitusi kebutuhan pangan pokok masyarakat. Bahkan untuk kalangan tertentu (misalnya penderita diabetes), kentang merupakan makanan pokok untuk diet, karena kandungan kadar gulanya yang rendah sehingga kentang merupakan komoditas yang penting dan mampu berperan untuk memenuhi gizi masyarakat. Mengingat pola konsumsi masyarakat terhadap makanan terutama di perkotaan, menjadikan kentang sebagai menu makanan sehari-hari yang dikonsumsi bersama-sama dengan ayam goreng. Restoran fast food dan berbagai jenis panganan juga menggunakan kentang sebagai bahan menu utamanya. Berbagai kenyataan tersebut semakin menegaskan besarnya kebutuhan masyarakat terhadap kentang. Pada tahun 2003, konsumsi kentang perkapita 1.61 kg/kapita, kemudian pada tahun 2008 menunjukan adanya peningkatan yaitu 2.028 kg/kapita (Susenas BPS). Apabila jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2008 diperkirakan sebesar 236.400 juta jiwa maka kebutuhan akan kentang dalam negeri sebesar 479 ribu ton. Kebutuhan masyarakat yang semakin banyak dan beragam ini terutama kentang french fries, Indonesia masih sangat tergantung pada produk impor.
4.1 SENTRA PRODUKSI KENTANG Berdasarkan data rata-rata produksi kentang Indonesia lima tahun terakhir (2004-2008) daerah sentra produksi kentang terdapat 5 (lima) provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Utara, Sumatera Utara , dan Jawa Timur. Kelima propinsi ini memberikan kontribusi sebesar 87.17 % terhadap total produksi kentang Indonesia, seperti terlihat pada Gambar 4.1.
Pusat Data dan Informasi Pertanian
35
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
12,83%
33,99%
9,20% 11,18%
11,73%
21,07%
Jawa Barat Sulawesi Utara Jawa Timur
Jawa Tengah Sumatera Utara lainnya
Gambar 4.1. Provinsi sentra produksi kentang berdasarkan rata-rata produksi tahun 2004-2008. Seperti terlihat pada gambar 4.1. diatas, sentra produksi kentang terbesar di Indonesia adalah Jawa Barat dengan kontribusi rata-rata sebesar 33,99 % dari total produksi kentang Indonesia. Kemudian diikuti oleh Jawa Tengah dengan kontribusi 21,07 %, Sulawesi Utara 11,73 %, Sumatera Utara 11,18 % dan Jawa Timur 9.20 %. berkontribusi 12,83 %.
Sementara provinsi lainnya hanya
Rata-rata pertumbuhan produksi kentang pada
tahun 2004-2008 di Jawa Barat dan Sumatera Utara mengalami penurunan yaitu masing-masing turun sebesar 8,42 %
dan 0,52 %.
Rata-rata
pertumbuhan produksi kentang selama lima tahun terakhir di provinsi Jawa Tengah, Sulawesi Utara dan Jawa Timur masing-masing mengalami peningkatan sebesar 13,78 %, 18,46 % dan 0,70 % per tahun. Secara lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran 4.1.
4.2. KINERJA PERDAGANGAN KENTANG DALAM NEGERI Untuk mengkaji perdagangan dalam negeri yaitu dengan melihat perkembangan harga nasional kentang di tingkat produsen, tingkat konsumen dan di sentra produksi. Perkembangan rata-rata per tahun harga kentang di tingkat produsen dan konsumen di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir yaitu
36
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
tahun 1997 – 2007 menunjukkan kecenderungan meningkat dengan ratarata pertumbuhan per tahun masing-masing sebesar 19,77 % harga tingkat produsen dan 18,68 % harga tingkat konsumen (Gambar 4.2). 7.000 6.000
Rp/Kg
5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 0 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Harga konsumen
Gambar 4.2.
Harga Produsen
Perkembangan rata-rata harga produsen dan konsumen kentang tahun 1997 - 2007
Apabila dilihat harga rata-rata di tingkat produsen selama sepuluh tahun dari tahun 1997-2007 maka terjadi peningkatan harga yang cukup tajam pada tahun 1998 s/d 2000, dimana pada tahun 1997 harga produsen rata-rata kentang sebesar Rp 721/kg kemudian pada tahun 1998 menjadi Rp 1.100/kg atau meningkat sebesar 52,54 % dan terus meningkat hingga tahun 2000 harga kentang di tingkat produsen mencapai Rp 2.255/kg dan selanjutnya pertumbuhan relatif stabil.
Harga produsen kentang tahun
2007 menjadi Rp 3.939/kg atau meningkat 11,26 % dibandingkan tahun 2006. Sementara perkembangan harga konsumen kentang memiliki pola yang fluktuatif dengan pertumbuhan yang cukup tajam terjadi pada tahun 1998 s/d 1999 masing-masing naik 94,68 % dan 36,49 % dan kemudian di tahun 2000 mengalami penurunan sebesar 12,96 % dan selanjutnya naik kembali hingga akhirnya tahun 2007 mengalami peningkatan yang cukup besar yaitu 20,31 % atau menjadi Rp 6.089/kg atau merupakan margin terbesar selama sepuluh tahun terakhir yaitu mencapai Rp 2.130/kg. Secara
Pusat Data dan Informasi Pertanian
37
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
rinci perkembangan harga produsen dan konsumen kentang tahun 1997 – 2007 disajikan pada Lampiran 4.2. Apabila dilihat harga konsumen dan harga produsen kentang di provinsi sentra tahun 2007, maka harga tertinggi di tingkat konsumen terdapat di provinsi Sulawesi Utara yaitu Rp 4.979/kg, dan harga terendah terdapat di provinsi Jawa Tengah yaitu Rp 4.316/ kg. Demikian pula harga tertinggi di tingkat produsen juga terdapat di provinsi Sulawesi Utara dengan harga Rp 3.978/kg dan harga terendah terdapat di provinsi Sumatera Utara dengan harga Rp 3.089/kg (Gambar 4.3). Perkembangan harga rata-rata kentang baik di tingkat produsen maupun ditingkat konsumen di provinsi sentra selama kurun waktu tahun 2003-2007 menunjukan kecenderungan meningkat kecuali di provinsi Sulawesi Utara untuk harga produsen mengalami penurunan sebesar 0,11 % (Lampiran 4.3) 6.000 5.000 Rp/Kg
4.000
4.979
4.598
4.316
3.777
3.517
3.978
4.331
3.089
4.357
3.259
3.000 2.000
1.000 0 Jabar
Jateng
Harga Konsumen
Sulut
Sumut
Jatim
Harga Produsen
Gambar 4.3. Harga produsen dan konsumen kentang di provinsi sentra tahun 2007
4.3. KINERJA PERDAGANGAN KENTANG INTERNASIONAL Untuk mengkaji kinerja perdagangan kentang luar negeri yaitu dengan melihat neraca perdagangan kentang yang merupakan pengurangan antara volume/nilai ekspor dengan volume/nilai impor kentang baik segar, beku maupun olahan.
38
Pada periode tahun 2004 – 2008 terlihat bahwa baik
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
volume maupun nilai perdagangan kentang mengalami defisit yang berarti bahwa volume impor kentang lebih besar bila dibandingkan dengan volume ekspornya kecuali pada tahun 2006 volume neraca perdagangan mengalami surplus yang sangat besar sementara nilai neraca perdagangannya justru defisit, hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.1 Tabel 4.1. Perkembangan neraca perdagangan kentang Indonesia, tahun 2004 - 2008
Sumber : BPS diolah Pusdatin
Surplus yang sangat tinggi terjadi pada volume neraca perdagangan tahun 2006 yaitu sebesar 54.686 ton, dimana volume ekspor kentang jauh lebih besar bila dibandingkan dengan volume impornya. Volume ekspor kentang tahun 2006 mencapai 86.442 ton dengan nilai sebesar US$ 6,29 juta sementara volume impornya 31.756 ton dengan nilai US$ 23,22 juta. Rata-rata pertumbuhan volume neraca perdagangan dari tahun 2004 – 2008 mengalami penurunan defisit 129.74 % per tahun dengan ratarata pertumbuhan volume ekspor surplus 94,37 % per tahun dan rata-rata pertumbuhan volume impornya surplus 7,69 % per tahun. Sementara ratarata pertumbuhan nilai neraca perdagangannya mengalami surplus 11,68 % per tahun dengan rata-rata pertumbuhan nilai ekspor surplus 1,23 % per tahun dan rata-rata pertumbuhan nilai impornya surplus 15,44 % per tahun ( Gambar 4.4)
Pusat Data dan Informasi Pertanian
39
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
000US$ 40.000 30.000 20.000 10.000
0 -10.000
2004
2005
2006
2007
2008
-20.000 -30.000 - Nilai ekspor
- Nilai impor
- Neraca perdagangan
Gambar 4.4. Perkembangan neraca perdagangan kentang Indonesia tahun 2004-2008 Bila dilihat dari wujud kentang yang diekspor Indonesia sebagian besar adalah dalam bentuk kentang segar, dimana berdasarkan volume ekspor tahun 2008 sebesar 93,34 % kentang segar, 4,86 % kentang beku dan 1,4 % kentang olahan. Demikian juga dari sisi nilai ekspornya (Gambar 4.5). 100,00
93,34
90,00
82,56
80,00
72,79 65,16
Persen
70,00 60,00
50,00 40,00
30,00 20,00 10,00
11,13 6,32
4,861,80
22,02 12,82
13,43 13,79
0,00 Vol ekspor
Nilai ekspor
Kentang segar
Vol impor
Kentang beku
Nilai impor Kentang olahan
Gambar 4.5. Persentase ekspor dan impor kentang segar, beku dan olahan Indonesia tahun 2008 Sementara dari sisi volume impor kentang tahun 2008 sebesar 65,16 % dalam wujud kentang olahan dengan kontribusi nilai impor 72,79 %.
40
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
Secara rinci perkembangan ekspor dan impor kentang segar, beku dan olahan Indonesia tahun 2004 – 2008 dapat dilihat pada Lampiran 4.4. Bila dilihat lebih jauh berdasarkan kode HS (Harmony Sistem) ekspor kentang segar tahun 2008 sebagian besar dalam wujud kentang segar dengan kode HS 0701900000 sebesar 98,00 % dari total nilai ekspor kentang atau US$ 2,34 juta dan 2,00 % kentang bibit (HS 070110000) atau US$ 48 ribu. Sedangkan dari sisi nilai impor kentang segar Indonesia tahun 2008 sebesar 58,83 % dalam wujud kentang segar atau US$ 2,88 juta dan 41,17 % dalam wujud kentang bibit atau US$ 2,02 juta (Gambar 4.6). 99,31
98,00
100,00
Persen
80,00
64,49
60,00 35,51
40,00
20,00
0,69
58,83 41,17
2,00
0,00 Vol Ekspor
Nilai Ekspor
Kentang Bibit (0701100000)
Vol Impor
Nilai Impor
Kentang Segar(0701900000)
Gambar 4.6. Persentase wujud ekspor dan impor kentang segar Indonesia, tahun 2008 Berdasarkan negara tujuan ekspor kentang segar Indonesia tahun 2008, Singapura merupakan negara tujuan ekspor kentang segar Indonesia yang terbesar yaitu mencapai 81,15 % atau senilai US$ 1,90 juta disusul Malaysia sebesar 18,38 % atau US$ 430 ribu (Gambar 4.7). Negara tujuan ekspor kentang Indonesia tahun 2008 secara rinci disajikan pada Lampiran 4.5.
Pusat Data dan Informasi Pertanian
41
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
0,47% 18,38%
81,15%
SINGAPORE
MALAYSIA
Lainnya
Gambar 4.7. Negara tujuan ekspor kentang segar Indonesia, tahun 2008 Sementara berdasarkan negara asal impor kentang Indonesia tahun 2008, pada Gambar 4.8.
terdapat 5 (lima) negara asal impor terbesar
kentang Indonesia yaitu USA sebesar 35,91 % dari total nilai impor kentang Indonesia, kemudian diikuti oleh Canada sebesar 24,33 %, German 11,71 %, Netherland 6,48 %, Australia sebesar 5,47 % dan negara lainnya sebesar 16,10 %. Secara rinci negara asal impor kentang Indonesia tahun 2008 disajikan pada Lampiran 4.6. 5,47
16,10 35,91
6,48
11,71
24,33 USA
Canada
German
Netherlands
Australia
Negara lainnya
Gambar 4.8. Negara asal impor kentang Indonesia, tahun 2008
42
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
Amerika Serikat merupakan negera terbesar asal kentang Indonesia, sebesar 43,78 % atau senilai US$ 5,55 juta dalam wujud kentang olahan, kemudian dalam wujud kentang beku sebesar 30,40 % atau senilai 3.685 ton dengan US$ 3,86 juta, dalam wujud kentang irisan sebesar 23 % atau US$ 2,92 juta , wujud pati kentang sebesar 2,11 % atau nilai US$ 268 ribu dan kentang segar hanya 0,71 % atau US$ 91 ribu. Sementara dari Canada, Indonesia juga lebih banyak mengimpor dalam bentuk kentang olahan sebesar 68,53 % atau US$ 5,89 juta dan selebihnya dalam wujud kentang segar, bibit dan pati kentang.
Secara rinci negara asal impor kentang
Indonesia tahun 2008 berdasarkan wujud yang diimpor dan kode HS disajikan pada Lampiran 4.6. Bila dilihat pada perdagangan kentang dunia tahun 2003–2007 berdasarkan data dari FAO, Pada Gambar 4.9 terdapat 7 (tujuh) negara eksportir kentang terbesar di dunia yang secara kumulatif memberikan kontribusi sebesar 64,02 % terhadap total nilai ekspor kentang dunia. 25,00
Persen
20,00
20,16
16,30
15,00 10,00 5,00
7,24
5,79
5,13
4,74
4,66
0,00
Gambar 4.9 . Negara eksportir kentang terbesar di dunia (rata-rata 20032007) Netherland merupakan negara eksportir kentang terbesar di dunia dengan kontribusi sebesar 20,16 % terhadap total nilai ekspor kentang dunia yang diikuti oleh negara Perancis dengan kontribusi 16,30 %, German
Pusat Data dan Informasi Pertanian
43
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
sebesar 7,24 %, Belgium sebesar 5,79 %, Canada sebesar 5,13 %, USA sebesar 4,74% dan Inggris sebesar 4,66 % dan untuk negara eksportir lainnya dapat dilihat lebih rinci pada Lampiran 4.7.
Indonesia merupakan
negara eksportir kentang dengan urutan ke ke-39 dengan kontribusi 0,17 % terhadap total nilai ekspor kentang dunia. Sementara itu impor kentang dilakukan oleh hampir semua negara di dunia, Terdapat 9 (sembilan) negara importir terbesar di dunia yang secara kumulatif memberikan kontribusi 54,54 % terhadap total nilai impor kentang di dunia. Spayol berada di peringkat pertama dengan rata-rata nilai impor kentang tahun 2003 - 2007 sebesar US$ 223,25 juta per tahun atau memberikan kontribusi sebesar 8,58 % terhadap total nilai impor kentang dunia, kemudian diikuti oleh Belgium dengan rata-rata nilai impor US$ 219,72 juta atau memberikan kontribusi sebesar 8,44 %. Netherland merupakan importir terbesar ke 3 yang juga sebagai negara eksportir kentang terbesar di dunia, dimana rata-rata impornya US$ 208,67 juta atau memberikan kontribusi sebesar 8,02 %. Peringkat ke empat German
adalah
dengan rata-rata impor sebesar US$ 187,72 juta atau 7,22 %,
kemudian disusul oleh Inggris, Italy, Perancis, USA dan Rusia masing-
Persen
masing berkontribusi kurang dari 7 % (Gambar 4.10). 10,00 9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00
8,58
8,44
8,02
7,22
6,58
6,38 4,20
3,99
3,15
Gambar 4.10. Negara importir kentang terbesar di dunia (rata-rata 20032007)
44
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
Indonesia merupakan negara importir urutan ke 89 dengan rata-rata impornya US$ 2.612 ribu atau memberikan kontribusi sebesar 0,10 % terhadap total nilai impor kentang dunia. Negara importir kentang lainnya dapat dilihat lebih rinci pada Lampiran 4.8. 4.4. ANALISIS KINERJA PERDAGANGAN KENTANG Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) digunakan untuk mengetahui posisi suatu komoditas dalam perdagangan, hasil analisis ISP kentang segar, kentang olahan, kentang beku dan total kentang Indonesia disajikan pada Tabel 4.2 . Tabel 4.2. Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) kentang segar, beku, olahan dan total kentang Indonesia Tahun 2004 - 2008
Dari Tabel 4.2 diatas terlihat nilai ISP kentang Indonesia berada pada -0,57 s/d -0,85 berarti komoditas kentang Indonesia masih dalam tahap pengenalan, khususnya kentang beku dan kentang olahan. Namun demikian untuk kentang segar pada tahun 2004 – 2006 memiliki ISP positif
Pusat Data dan Informasi Pertanian
45
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
berkisar 0,05 s/d 0,36 yang berarti merupakan komoditas perluasan ekspor, dan mengalami penurunan ISP menjadi -0,13 dan -0,34 yang berarti tergolong substitusi impor. Bila dilihat dari ratio ketergantungan terhadap impor kentang untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, Indonesia termasuk dalam katagori yang rendah ketergantungnnya terhadap impor kentang, hal ini terlihat dari nilai IDR tahun 2004 -2008 hanya berkisar antara 1,90 persen sampai dengan 3,39 persen. Demikian pula bila dilihat dari sisi kemampuan produksi kentang dalam negeri terlihat cukup baik, hal ini dapat dilihat dari SSR sekitar 98 persen, yang berarti Indonesia mempunyai kemampuan untuk mememenuhi kebutuhan kentang dalam negeri yang diandalkan dari produksi dalam negeri sebesar 98 persen, bahkan pada tahun 2006 terdapat kelebihan sebesar 5,71 persen dari kebutuhan kentang dalam negeri. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.3. Tabel 4.3.
IDR (Import Dependency Ratio) dan SSR (Self Sufficiency Ratio) kentang indonesia tahun 2004-2008
RCA (Indeks Keunggulan Komperative), merupakan metode yang digunakan untu mengukur keunggulan komperatif kentang Indonesia. RCA kentang Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4.4.
46
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
Tabel 4.4. Indeks keunggulan komparatif kentang Indonesia dalam perdagangan dunia , 2004 - 2007
Dari Tabel 4.4 di atas terlihat komoditas kentang Indonesia memiliki keunggulan komperatif yang rendah dari tahun 2004 – 2007 dalam pasar perdagangan dunia , hal ini ditunjukkan nilai RCA berkisar 0,26 sampai dengan 0,78.
Pusat Data dan Informasi Pertanian
47
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
Lampiran 4.1. Provinsi sentra produksi kentang di Indonesia, tahun 2004 – 2008
Sumber : Ditjen Hortikultura diolah Pusdatin
48
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
Lampiran 4.2. Perkembangan harga di tingkat produsen dan konsumen kentang di Indonesia, Tahun 1997 – 2007
Sumber: BPS diolah Pusdatin
Pusat Data dan Informasi Pertanian
49
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
Lampiran 4.3. Perkembangan harga produsen dan konsumen kentang di provinsi sentra, tahun 2003 – 2007
Sumber : BPS diolah Pusdatin
50
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
Lampiran 4.4. Perkembangan ekspor dan impor kentang segar, beku dan olahan Indonesia, tahun 2004 - 2008
Sumber : BPS diolah Pusdatin Keterangan : *) terdiri dari pati kentang, kentang olahan, irisan dan potongan serta kentang lain-lain
Pusat Data dan Informasi Pertanian
51
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
Lampiran 4.5. Negara tujuan ekspor kentang Indonesia per kode HS (Harmony Sistem), tahun 2008
Sumber BPS diolah Pusdatin
52
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
Lampiran 4.6. Negara asal impor kentang Indonesia per kode HS (Harmony Sistem), tahun 2008
Sumber : BPS diolah Pusdatin
Pusat Data dan Informasi Pertanian
53
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
Lampiran 4.7. Negara eksportir kentang dunia tahun 2003 – 2007
Sumber : FAO diolah Pusdatin
54
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
Lampiran 4.8. Negara importir kentang dunia tahun 2003 - 2007
Sumber : FAO diolah Pusdatin
Pusat Data dan Informasi Pertanian
55
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
56
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
V. KINERJA PERDAGANGAN KOPI Produk kopi saat ini tak lagi identik dengan kalangan tertentu. Industrialisasi telah menjadikan produk berbahan baku kopi mulai diterima oleh seluruh lapisan masyarakat mulai anak-anak, remaja, dewasa hingga orang tua. Berbagai produk berbahan baku kopi disajikan dalam beraneka bentuk mulai dari permen, kue sampai beraneka minuman yang menyuguhkan kopi secara murni maupun kopi sebagai pelengkap rasa. Tidak hanya banyak jenis yang dihasilkan tetapi juga dengan mudah ditemukan di warung-warung, cafe sampai restoran mahal. Hal ini mengakibatkan permintaan kopi mentah di pasar lokal meningkat tajam. Salah satu contohnya di Jawa Timur, industri kopi mampu menyerap sekitar 30 ribu ton selama setahun yang dari sebelumnya yang hanya berkisar 10 15 ribu ton (Astuti, Sri. 2007). Kopi Indonesia sebagian besar diekspor yaitu sekitar 61 persen dari jumlah produksi, sisanya dikonsumsi di dalam negeri dan disimpan sebagai carry over stocks oleh pedagang dan eksportir sebagai cadangan bila terjadi gagal panen (Kustiari, Reni. 2007.). Lebih jauh melihat kinerja komoditas kopi dari tahun ke tahun menunjukkan perbaikan. Bahkan dalam kurun waktu 2004-2008 terjadi kenaikan sebesar tiga kali lipat yaitu dari US$ 294 juta pada tahun 2004 menjadi US$ 991 juta pada tahun 2008. Kenaikan nilai ekspor lebih dipengaruhi oleh pergerakan harga internasional yang cenderung naik, tren kenaikan ekspor kopi per tahun 30 persen lebih dikarenakan kenaikan harga sementara kenaikan volumenya hanya 3 persen. Untuk menjaga kinerja ekspor komoditi kopi tersebut perlu ditingkatkan
produksi
dan
mutu
kopi
termasuk
meningkatkan
profesionalitas kelembagaan AEKI (Benyamin, Maria Y. 2009).
Pusat Data dan Informasi Pertanian
57
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
5.1.
SENTRA PRODUKSI KOPI Kopi rakyat mendominasi produksi maupun arealnya di Indonesia.
Daerah penghasil utama atau sentra produksi kopi rakyat berdasarkan ratarata produksi tahun 2004-2008 adalah Provinsi Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Sumatera Utara, Jawa Timur dan NAD. Provinsiprovinsi tersebut memberi kontribusi produksi kopi sebesar 72,98 % terhadap produksi kopi nasional, seperti yang disajikan pada Gambar 5.1. 27,38%
21,89%
6,32%
7,00% 7,15% Sumsel Jatim
21,23%
9,03% Lampung Aceh
Bengkulu Lainnya
Sumut
Gambar 5.1. Provinsi sentra produksi kopi berdasarkan rata-rata produksi tahun 2004 – 2008 Kontribusi produksi kopi terbesar berasal dari Provinsi Sumatera Selatan yaitu sebesar 21,92 %, disusul kemudian Lampung sebesar 21,34 %, diikuti Bengkulu, Sumatera Utara, Jawa Timur dan Aceh yang memberikan kontribusi antara 6 hingga 9,24 %. Secara rinci provinsi sentra kopi di Indonesia Tahun 2004 – 2008 disajikan pada Lampiran 5.1. 5.2. KINERJA PERDAGANGAN KOPI DALAM NEGERI Untuk melihat kinerja perdagangan kopi dalam negeri, salah satu diantaranya dengan melihat perkembangan harga produsen dan konsumen kopi. Dikarenakan keterbatasan ketersediaan data maka harga produsen kopi adalah harga rata-rata kopi Robusta dan harga rata-rata konsumen kopi adalah kopi bubuk tanpa melihat jenis kopinya.
58
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
Perkembangan rata-rata harga produsen dan harga konsumen kopi di Indonesia selama tahun 1998–2007 meski berfluktuasi menunjukkan kecenderungan meningkat (Gambar 5.2). Rata-rata pertumbuhan per tahun harga rata-rata produsen kopi sebesar 5,73 % dan harga rata-rata konsumen sebesar 7,12 % (Lampiran 5.2). (Rp/Kg) 30.000 25.000 20.000 15.000 10.000 5.000 0 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Produsen
Konsumen
Gambar 5.2. Perkembangan rata-rata harga produsen dan konsumen kopi di Indonesia tahun 1998 – 2007 Harga rata-rata konsumen tertinggi terjadi tahun 2002 sebesar Rp 27.669,- selanjutnya turun cukup signifikan sebesar Rp 20.413,- atau turun sebesar 25,22 %. Tahun berikutnya secara perlahan tetapi pasti menunjukkan peningkatan harga. Sementara harga produsen tampak landai dengan harga tertinggi terjadi pada tahun 2007 sebesar Rp 10.674,- atau meningkat sebesar 28,87 % dari tahun sebelumnya (Gambar 5.2). Margin harga terbesar terjadi pada tahun 2002 dimana harga kopi berasan Robusta menurun sebesar 19,27 % dan harga kopi bubuk meningkat sebesar 13,77 %. Namun tahun-tahun selanjutnya besarnya margin harga berkisar Rp 14.300,- sampai dengan Rp 15.300,-. Margin ini menunjukkan adanya biaya pengolahan dari kopi berasan menjadi kopi bubuk. Keragaan harga kopi secara rinci disajikan pada Lampiran 5.3.
Pusat Data dan Informasi Pertanian
59
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
Bila dikaitkan sentra produksi kopi pada uraian di atas dengan harga produsen kopi, tampak pada 4(empat) provinsi sentra kopi (Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu dan Sumatera Utara) memiliki harga rata-rata produsen tahun 2007 berkisar Rp 10.500,- sampai dengan Rp 12.600,- per kilogram (Gambar 5.3). Sementara harga tertinggi terjadi di provinsi Aceh yaitu sebesar Rp 14.888,- per kilogram. Sedangkan pada harga konsumen, harga tertinggi terjadi di Lampung mencapai Rp. 30.144,- per kilogram, hal ini secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 5.3. (Rp/Kg) 35.000 30.000 25.000 20.000 15.000 10.000 5.000 0 Sumsel Lampung Bengkulu
Produsen
Sumut
Jatim
Aceh
Konsumen
Gambar 5.3. Harga produsen dan konsumen kopi di provinsi sentra tahun 2007 Margin terendah terjadi di provinsi Aceh dan terbesar di provinsi Lampung. Hal ini dimungkinkan karena adanya perbedaan hasil olahan atau digunakan tidaknya teknologi dalam pengolahan hasil dari kopi biji ke kopi bubuk. 5.3.
KINERJA PERDAGANGAN KOPI INTERNASIONAL Kinerja perdagangan kopi internasional dapat didekati diantaranya
dengan melihat neraca perdagangan kopi, yaitu ekspor dikurangi impor kopi. Perkembangan neraca perdagangan kopi tahun 2004–2008 terlihat selalu mengalami surplus yang berarti volume dan nilai ekspor kopi lebih besar dibandingkan volume dan nilai impornya. Surplus kopi terbesar 60
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 461,17 juta ton dengan nilai sebesar US$ 973,02 juta, keragaan ekspor-impor kopi Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.1. Tabel 5.1. Perkembangan neraca perdagangan kopi Indonesia, 2004 - 2008
Sumber : BPS diolah Pusdatin
Dari Tabel 5.1. rata-rata pertumbuhan per tahun volume neraca perdagangan terlihat mengalami peningkatan surplus sebesar 13,08 % per tahun. Secara absolut volume ekspor kopi Indonesia jauh lebih besar dari volume
impornya.
Namun
bila
melihat
perkembangan
rata-rata
pertumbuhan per tahunnya, pertumbuhan impor kopi jauh lebih tinggi (132,18 %) dibandingkan pertumbuhan ekspor kopi (10,45 %). Hal sama terjadi pada rata-rata pertumbuhan per tahun nilai neraca perdagangan kopi yang mengalami peningkatan surplus sebesar 34,77 % per tahun yang diikuti oleh peningkatan pertumbuhan nilai ekspor sebesar 33,14 % per tahun dan nilai impor meningkat sebesar 116,24 % per tahun. Perkembangan nilai neraca perdagangan kopi lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 5.4.
Pusat Data dan Informasi Pertanian
61
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
(US$ 000) 1.200.000 1.000.000 800.000 600.000 400.000 200.000 0 2004 Nilai Ekspor
2005
2006
Nilai Impor
2007
2008
Neraca Perdagangan
Gambar 5.4. Perkembangan nilai neraca perdagangan kopi Indonesia, Tahun 2004 – 2008 Dari
Gambar
5.4
menunjukkan
bahwa
surplus
nilai
neraca
perdagangan terbesar dicapai pada tahun 2008 yaitu sebesar US$ 973,02 juta, dengan nilai ekspor sebesar US$ 991,46 juta dan nilai impor sebesar US$ 18,44 juta. Bila dilihat dari wujud kopi yang diekspor selama tahun 2004–2008, sebagian besar atau rata-rata lebih dari 85 % dalam bentuk kopi biji dengan pertumbuhan
rata-rata
meningkat
sebesar
7157,19
%
per
tahun.
Pertumbuhan besar ini terutama adanya peningkatan volume ekspor yang signifikan di tahun 2005 dari 1,23 ribu ton di tahun 2004 menjadi 443,37 ribu ton di tahun 2005. Sementara untuk kopi yang diimpor ada kecenderungan dari wujud kopi olahan ke kopi biji (not roasted). Hal ini terlihat dari persentase volume impor kopi biji sejak tahun 2005 mulai menunjukkan trend yang meningkat dengan persentase rata-rata tahun 2005-2008 sekitar 61 %. Sebaliknya impor kopi olahan trennya menurun dari 99,98 % di tahun 2004 menjadi 21,55 % di tahun 2008 (Lampiran 5.4). Sementara bila dilihat lebih jauh berdasarkan kode HS (Harmony Sistem) pada tahun 2008, kopi Indonesia yang diekspor dibedakan :
Kopi biji
(kode HS 0901.111000, 0901.119000, 0901.121000 dan
0901.129000)
62
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
-
Kopi
Arabika
dan
Robusta
(berkafein
maupun
dihilangkan
kafeinnya)
Kopi lainnya (berkafein maupun dihilangkan kafeinnya)
Kopi olahan (kode HS 0901.211000, 0901.212000, 0901.221000, 0901.222000)
-
Kopi sangrai (berkafein maupun dihilangkan kafeinnya)
-
Kopi bubuk (berkafein maupun dihilangkan kafeinnya)
Lainnya -
Sekam dan selaput kopi (kode HS 0901.901000)
-
Pengganti kopi mengandung kopi (kode HS 0901.902000) Berdasarkan kode HS, pada tahun 2008 ekspor kopi Indonesia
sebagian besar merupakan bentuk kopi biji (99,84 %), demikian pula impornya sebagian besar dalam bentuk kopi biji (78,45 %) dan sisanya adalah impor kopi olahan (Gambar 5.5). (%) 120,00 100,00
99,84
99,79 78,45
80,00
69,07
60,00 30,93
40,00 20,00 0,00
21,55 0,16 Vol Ekspor
0,21 Nilai Ekspor Kopi Biji
Vol Impor
Nilai Impor
Kopi Olahan
Gambar 5.5. Persentase Ekspor dan Impor Kopi Biji dan Kopi Olahan Indonesia, Tahun 2008 Wujud kopi Indonesia yang diekspor pada tahun 2008, ternyata sebesar 90,76 % adalah kopi biji Arabika dan Robusta berkafein dan kopi biji lainnya berkafein sebesar 3,28 %, seperti pada Gambar 5.6.
Pusat Data dan Informasi Pertanian
63
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
0,03% 5,92%
3,28% 0,01%
90,76% kopi biji arabika+robusta berkafein kopi biji lainnya berkafein kopi olahan
kopi biji arabika+robusta tanpa kafein kopi biji lainnya tanpa kafein
Gambar 5.6. Persentase wujud kopi ekspor Indonesia berdasarkan kode HS tahun 2008 Cukup menyebar negara tujuan ekspor kopi biji Arabika dan Robusta berkafein ini. Dari negara-negara tujuan tersebut terbesar adalah ke Germany sebesar 19,31 % dari total volume ekspor kopi jenis ini, diikuti USA (14,24 %), Japan (11,45 %) dan ke negara lainnya sebesar 51,97 % yang tersebar disekitar 56 negara (Gambar 5.7). (%) 60,00
51,97
50,00 40,00 30,00 20,00
19,31
14,24
11,45
10,00 0,00
Germany
USA
Japan
Negara lainnya
Gambar 5.7. Negara tujuan ekspor kopi biji arabika dan robusta berkafein Indonesia tahun 2008 Sementara negara tujuan ekspor kopi biji lainnya berkafein adalah ke negara Germany (14,40 %), Inggris (13,09 %), Japan (7,64 %) dan 64,87
64
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
% tersebar ke 30 negara lainnya (Gambar 5.8). Secara rinci volume-nilai ekspor kopi menurut kode HS dan negara tujuan disajikan pada Lampiran 5.5 (%) 75,00 64,87 60,00 45,00 30,00 14,4
15,00
13,09 7,64
0,00 Germany
Inggris
Japan
Negara lainnya
Gambar 5.8. Negara tujuan ekspor kopi biji lainnya berkafein Indonesia tahun 2008 Tidak berbeda jauh dengan ekspornya, wujud kopi yang diimpor pada tahun 2008 didominasi oleh kopi biji arabika dan robusta berkafein. Besarnya volume impor jenis ini sebesar 74,90 % dari total volume impor kopi Indonesia. Wujud kopi impor berikutnya adalah kopi sangrai non kafein sebesar 13,67 %, kopi bubuk non kafein sebesar 3,42 % dan kopi biji lainnya berkafein sebesar 3,46 % (Gambar 5.9). 13,67%
3,42%
1,86%
2,69% 3,46%
74,90% kopi biji arabika+robusta berkafein
kopi biji lainnya berkafein
kopi sangrai berkafein
kopi sangrai tanpa kafein
kopi bubuk berkafein
lainnya
Gambar 5.9. Persentase wujud kopi impor Indonesia berdasarkan kode HS, tahun 2008
Pusat Data dan Informasi Pertanian
65
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
Impor kopi biji arabika dan robusta berkafein sebagian besar dari negara Vietnam sebesar 48,06 % terhadap total volume impor kopi jenis yang sama. Berikutnya adalah negara East Timor (27,76 %) dan Brazil (11,46 %). Sedangkan 12,72 % dari 19 negara lainnya (Gambar 5.10). (%) 60,00 50,00
48,06
40,00 27,76
30,00 20,00
11,46
12,72
Brazil
Negara lainnya
10,00 0,00 Vietnam
East Timor
Gambar 5.10. Persentase negara asal impor kopi biji arabika dan robusta berkafein, Tahun 2008 Wujud kopi impor terbesar lainnya adalah kopi sangrai non kafein yang diimpor dari negara Brazil sebesar 90,81 % terhadap total volume impor kopi sejenis (Lampiran 5.6). Bentuk olahan lainnya yang cukup besar diimpor adalah kopi bubuk berkafein yang diperoleh dari negara Malaysia sebesar 77,212 %, Australia sebesar 7,27 % dan sebesar 15,15 % dari negara lain yang tersebar di 11 negara (Gambar 5.11). (%) 90,00 80,00
77,21
70,00 60,00 50,00 40,00 30,00
15,52
20,00
7,27
10,00 0,00 Malaysia
Australia
Negara lainnya
Gambar 5.11. Negara asal impor kopi bubuk berkafein, tahun 2008
66
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
Dari sisi perdagangan kopi dunia, berdasarkan data FAO, pada tahun 2003–2007 terdapat 5 (lima) negara eksportir kopi terbesar di dunia yang secara kumulatif memberikan kontribusi sekitar 85,31 % terhadap total volume ekspor kopi di dunia. Brazil, Vietnam, Colombia, Indonesia dan Germany negara eksportir kopi terbesar di dunia dengan memberikan kontribusi masing-masing sebesar 33,55 %, 22,82 %, 14,22 %, 8,68 % dan 6,04 % terhadap total volume ekspor kopi dunia (Gambar 5.12). Indonesia merupakan negara eksportir kopi yang berada pada urutan ke-4 dengan rata-rata volume ekspor tahun 2003–2007 sebesar 367,35 juta ton. Volume ekspor dari negara-negara tersebut disajikan pada Lampiran 5.7.
(000 Ton)
1500 1000 500 0
Brazil
Viet Nam Colombia Indonesia Germany
Gambar 5.12. Negara eksportir kopi terbesar dunia, rata-rata tahun 20032007 Bila dilihat volume impor kopi dunia tahun 2003–2007 terdapat 6 (enam) negara importir kopi terbesar di dunia yang secara kumulatif memberikan kontribusi sekitar 81,29 % terhadap total volume impor opi di dunia, yaitu USA, Germany, Italy, Japan, France dan Spain. USA berada di peringkat pertama dengan rata-rata volume impor kopi tahun 2003-2007 sebesar 1252,31 juta ton per tahun atau memberikan kontribusi sebesar 29,10 % terhadap total volume impor kopi dunia. Urutan kedua adalah Germany dengan rata-rata volume impornya sebesar 951,14 juta ton dan memberikan kontribusi sebesar 22,10 % terhadap total volume impor. Germany ini sebagai negara importir sekaligus eksportir kopi dunia, negara
Pusat Data dan Informasi Pertanian
67
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
ini tampaknya melakukan re-ekspor.
Italy dan Japan memberikan
kontribusi yang hampir sama masing-masing sebesar 9,62 % dan 9,31 % terhadap total volume impor dunia (Gambar 5.13).
Indonesia sebagai
negara importir kopi pada urutan ke-45 dengan rata-rata volume impor kopi Indonesia tahun 2003–2007 sebesar 12,96 ribu ton. Secara rinci volume impor dan besarnya kontribusi negara-negara importir kopi dunia tersebut disajikan pada Lampiran 5.8.
(000 Ton)
1400 1050 700 350 0
USA Germany Italy
Japan France Spain
Gambar 5.13. Negara importir kopi terbesar dunia, rata-rata tahun 2003-2007 5.4.
ANALISIS KINERJA PERDAGANGAN KOPI Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) digunakan untuk menganalisis
posisi atau tahapan perkembangan suatu komoditas. ISP kopi segar, olahan dan kopi total Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.2.
68
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
Tabel 5.2. Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) kopi mentah dan olahan Indonesia tahun 2004 – 2008
Dari Tabel 5.2. di atas terlihat ISP kopi bernilai positif berkisar antara 0,7 s/d 0,99 yang berarti komoditas kopi Indonesia memiliki daya saing tinggi atau dikatakan Indonesia sebagai negara pengekspor kopi (suplai domestik lebih tinggi dari permintaan domestik). Namun untuk kopi olahan menunjukkan trend berdaya saing menurun atau berkecenderungan sebagai negara pengimpor kopi olahan. Bila dilihat dari ratio ketergantungan terhadap imporkopi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, Indonesia termasuk dalam katagori yang rendah ketergantungnnya terhadap impor kopi, hal ini terlihat dari nilai IDR tahun 2004 -2008 hanya berkisar antara 1,62 persen sampai dengan 3,42 persen, kecuali tahun 2007 terjadi kenaikan ketergantungan terhadap impor sebesar 12,27, namun kemudian turun kembali menjadi 3,42 di tahun 2008 (Tabel 5.3). Sejalan dengan hal tersebut bila dilihat dari sisi kemampuan produksi kopi dalam negeri terlihat cukup berlebih produksi dalam negeri, hal ini dapat dilihat dari SSR yang cukup besar 166,88 s/d 323,86, yang berarti Indonesia mempunyai kemampuan untuk mememenuhi kebutuhan kopi dalam negeri yang diandalkan dari produksi dalam negeri, bahkan terdapat kelebihan yang dapat digunakan untuk
Pusat Data dan Informasi Pertanian
69
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
melakukan ekspor yang lebih besar dan bersaing dengan Negara penghasil kopi dunia lainnya. Hal ini dapat dilihat secara rinci pada Tabel 5.3. Tabel 5.3. IDR (Import Dependency Ratio) dan SSR (Self Sufficiency Ratio) kopi Indonesia tahun 2004-2008
Melihat produksi kopi Indonesia yang cukup berlimpah tersebut, maka bila dianalisis lebih lanjut dengan indeks keunggulan komparatif atau RCA
(Revealead
Comparative
Advantage),
untuk
mengukur
keunggulan komparatif kopi Indonesia dalam perdagangan dunia. RCA kopi Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.4. Tabel
5.4.
Indeks keunggulan komparatif perdagangan dunia , 2004 - 2007
kopi
Indonesia
dalam
Dari Tabe 5.4. diatas terlihat komoditas kopi Indonesia memiliki keunggulan komperatif yang tinggi dalam pasar perdagangan dunia , hal ini ditunjukkan dari nilai RCA lebih besar dari 10 yaitu 10,363 hingga 16,192. 70
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
Lampiran 5.1. Provinsi sentra produksi kopi di Indonesia, tahun 2004 – 2008
Sumber : Ditjen Perkebunan diolah Pusdatin
Pusat Data dan Informasi Pertanian
71
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
Lampiran 5.2. Perkembangan harga di tingkat produsen dan konsumen kopi di Indonesia, Tahun 1998 – 2007
Sumber: BPS diolah Pusdatin
72
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
Lampiran 5.3. Perkembangan harga produsen dan konsumen kopi di provinsi sentra, tahun 2003 – 2007
Sumber : BPS diolah Pusdatin
Pusat Data dan Informasi Pertanian
73
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
Lampiran 5.4. Perkembangan ekspor dan impor kopi biji dan kopi olahan Indonesia, tahun 2004 - 2008
Sumber : BPS diolah Pusdatin
74
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
Lampiran 5.5. Negara tujuan ekspor kopi Indonesia per kode HS (Harmony Sistem), tahun 2008
Sumber BPS diolah Pusdatin
Pusat Data dan Informasi Pertanian
75
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
Lampiran 5.6. Negara asal impor kopi Indonesia per kode HS (Harmony Sistem), tahun 2008
Sumber : BPS diolah Pusdatin
76
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
Lampiran 5.7. Negara eksportir kopi dunia tahun 2003 - 2007
Sumber : FAO diolah Pusdatin
Pusat Data dan Informasi Pertanian
77
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
Lampiran 5.8. Negara importir kopi dunia tahun 2003 - 2007
Sumber : FAO diolah Pusdatin
78
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
VI. KINERJA PERDAGANGAN DAGING SAPI
Daging sapi merupakan komoditas utama sub sektor peternakan yang memiliki peran dalam ketahanan pangan. Konsumsi daging sapi cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan per kapita, perubahan pola konsumsi dan selera masyarakat serta peningkatan kesadaran akan semakin perlunya mengkonsumsi pangan bergizi tinggi. Selain itu meningkatnya wisatawan manca negara, penghuni hotal berbintang dan pengunjung restoran bergengsi, menciptakan pasar daging sapi berkualitas tinggi. Fenomena ini tercermin dari semakin banyaknya toko swalayan yang menjual daging sapi berkualitas tinggi (Dirgantoro, 2004). Kebutuhan akan daging sapi tersebut sebagian besar dipenuhi dari produksi dalam negeri dan sisanya diperoleh dari impor. Impor daging sapi didorong oleh tuntutan konsumen terhadap daging berkualitas tinggi dan harga daging impor yang relatif lebih murah dibandingkan dengan harga daging sapi domestik. Hal ini berdampak pada menurunnya daya saing daging sapi dari peternak dalam negeri yang berakibat pada menurunnya pendapatan dan tingkat kesejahteraan peternak sapi potong. Untuk mengatasi hal tersebut, maka pemerintah melakukan upaya-upaya sistematis guna menahan tekanan produk daging sapi impor yang dituangkan dalam paket-paket kebijakan. Salah satu paket kebijakan adalah dengan diberlakukannya pengenaan tarif impor untuk daging sapi. Berdasarkan kesepakatan AFTA (ASEAN Free Trade Area), Indonesia saat ini menerapkan tarif bea masuk sebesar 5% untuk daging sapi, daging domba segar, daging babi dan dagi unggas. Tarif tersebut akan segera dipangkas pada tahun 2020 sesuai dengan kesepakatan AANZFTA (Agreement Establishing ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area) yang ditandatangani pada 27 Februari 2009 (Departemen Perdagangan, 2009). Hal ini sejalan dengan kesepakatan akan adanya era perdagangan
Pusat Data dan Informasi Pertanian
79
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
bebas
(free
trade)
yang
akan
menghilangkan
rintangan-rintangan
perdagangan, baik berupa tarif maupun non tarif. Era perdagangan bebas dan perubahan pola konsumsi masyarakat sebenarnya memberikan peluang pasar yang sangat besar bagi peternak domestik, sehingga perlu dilakukan pembinaan berkesinambungan agar peternak dalam negeri mampu bersaing dalam penyediaan daging sapi berkualitas untuk mendukung program ketahanan pangan nasional. 6.1. SENTRA PRODUKSI DAGING SAPI Berdasarkan data rata-rata produksi daging sapi tahun 2004 – 2008, terdapat 10 (sepuluh) provinsi sentra daging sapi dengan kontribusi kumulatif mencapai 76,08 % terhadap total produksi daging sapi Indonesia.
4,02%
3,95% 3,63%
4,24%
2,64% 2,47%
2,44%
14,00% 23,92% 17,56% 21,14%
Jatim Banten
Jabar Sumbar
Jateng Sulsel
Sumsel
Sumut
Lainnya
Gorontalo NAD
Gambar 6.1. Provinsi sentra produksi daging sapi berdasarkan rata-rata produksi tahun 2004 – 2008 Provinsi Jawa Timur merupakan produsen daging sapi terbesar dengan persentase kontribusi mencapai 21,14% dari total produksi daging sapi Indonesia (Gambar 6.1). Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah berada di urutan kedua dan ketiga dengan kontribusi masing-masing sebesar 17,56 % dan 14,00 % dari total produksi daging sapi Indonesia. Provinsi-provinsi
80
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
sentra produksi lainnya memberikan kontribusi kurang dari 5 %, yaitu Gorontalo, Banten, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, NAD, Sumatera Selatan dan Sumatera Utara. Produksi dari provinsi sentra daging sapi di Indonesia disajikan pada Lampiran 6.1. 6.2. KINERJA PERDAGANGAN DAGING SAPI DALAM NEGERI Perdagangan daging sapi dalam negeri sangat ditentukan oleh harga di tingkat konsumen. Karena daging sapi bukan merupakan bahan pangan pokok masyarakat Indonesia serta adanya komoditas komplemen seperti daging ayam, daging kambing dan sebagainya, maka peningkatan harga daging sapi yang cukup tinggi tanpa diiringi peningkatan pendapatan akan menyebabkan penurunan konsumsi daging sapi. Menurut data dari Badan Pusat Statistik, harga daging sapi di tingkat konsumen
pada
periode
tahun
1997-2007
menunjukkan
adanya
peningkatan (Gambar 6.2).
(Rp/kg) 60.000 50.000
40.000 30.000 20.000
10.000
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
0
Gambar 6.2. Rata-rata harga daging sapi di tingkat konsumen di Indonesia, 1997-2007 Hasil survei harga yang dilakukan Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (P2HP) di beberapa kabupaten sentra Pusat Data dan Informasi Pertanian
81
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
produksi daging sapi secara umum juga menunjukkan adanya peningkatan harga daging sapi pada bulan Januari 2008 sampai dengan bulan September 2009. Peningkatan harga daging sapi terjadi baik di tingkat peternak, RPH (Rumah Potong Hewan) maupun di tingkat konsumen dengan pola perkembangan harga yang hampir serupa (Gambar 6.3). Daging sapi di tingkat peternak pada tahun 2008 berada pada kisaran harga Rp. 20,982/kg sampai dengan Rp. 23.609/kg berat hidup. Rata-rata laju pertumbuhan harga daging sapi selama tahun 2008 sebesar 0,61% dengan kenaikan harga tertinggi terjadi pada bulan September 2008. Harga daging sapi pada tahun 2009 relatif lebih stabil pada kisaran harga rata-rata Rp. 22.998,-/kg berat hidup (Lampiran 6.2). Rata-rata harga daging sapi di tingkat RPH pada tahun 2008 sebesar Rp. 46.454,-/kg dengan laju pertumbuhan sebesar 1,12%. Pada tahun 2009 rata-rata harga daging sapi di tingkat RPH naik dibandingkan tahun sebelumnya hingga mencapai Rp. 51.463,-/kg. Untuk tingkat konsumen, laju kenaikan harga daging sapi umumnya lebih tinggi dibandingkan di tingkat RPH, yaitu sebesar 1,41% pada tahun 2008 dan 0,98% pada tahun 2009. Namun demikian margin perdagangan daging sapi di tingkat RPH dan konsumen untuk tahun 2008 dan 2009 relatif sama sebesar Rp. 7.000,/kg. (Rp/Kg) 65,000
60,000 55,000 50,000 45,000
40,000 35,000 30,000 25,000
20,000 Jan '08
Mei '08
Sep '08
Tk. Peternak (Berat Hidup)
Jan '09 Tk. RPH
Mei '09
Sep '09
Tk. Konsumen
Gambar 6.3. Harga daging sapi di tingkat peternak, RPH dan konsumen di Indonesia, Januari 2008 – September 2009 82
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
6.3. KINERJA PERDAGANGAN DAGING SAPI INTERNASIONAL Kinerja perdagangan daging sapi pada skala internasional didekati dari neraca perdagangan daging sapi yang merupakan selisih antara ekspor dan impornya. Ekspor dan impor daging sapi dilakukan dalam bentuk segar/beku dan olahan. Perkembangan neraca perdagangan daging sapi tahun 2004-2008 menunjukkan posisi defisit, artinya volume dan nilai impor daging sapi lebih besar dibandingkan volume dan nilai ekspornya (Tabel 6.1). Tabel 6.1. Perkembangan neraca perdagangan daging sapi Indonesia, tahun 2004 - 2008
Sumber : BPS diolah Pusdatin
Dari Tabel 6.1. tampak bahwa defisit neraca perdagangan daging sapi semakin naik dari tahun ke tahun. Defisit neraca perdagangan pada sisi volume naik sebesar 34,02 persen per tahun, dimana pertumbuhan volume ekspor naik sebesar 107,18 persen per tahun dan volume impor naik sebesar 33,87 persen per tahun. Sementara itu defisit neraca perdagangan pada sisi nilai juga semakin meningkat dengan rata-rata kenaikan mencapai 49,27 persen per tahun. Defisit nilai perdagangan terjadi karena adanya
Pusat Data dan Informasi Pertanian
83
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
penurunan nilai ekspor sebesar 26,94 persen per tahun dan sebaliknya nilai impor naik 48,59 persen per tahun. Perkembangan nilai neraca perdagangan daging sapi dapat dilihat pada Gambar 6.4.
(000 US$) 150.000 100.000
50.000 0 -50.000
2004
2005
2006
2007
2008
-100.000
-150.000 Ekspor
Impor
Neraca Perdagangan
Gambar 6.4. Perkembangan nilai neraca perdagangan daging sapi Indonesia, tahun 2004 - 2008 Defisit daging sapi terbesar terjadi pada tahun 2008, yaitu sebesar 46,28 ribu ton senilai US$ 128,71 juta. Defisit terjadi karena ekspor daging sapi tahun 2008 hanya sebesar 68,10 ton senilai US$ 26,60 ribu, sedangkan impornya mencapai 46,34 ribu ton dengan nilai impor US$ 128,73 juta. Bila dilihat dari wujud perdagangannya, daging sapi yang diekspor selama tahun 2004 – 2008 sebagian besar adalah dalam bentuk segar. Share dari ekspor daging sapi dalam bentuk segar mencapai lebih dari 80 persen terhadap total volume ekspor daging sapi Indonesia, kecuali tahun 2006 dimana share ekspor daging sapi segar hanya 40,11 persen, sedangkan sisanya adalah ekspor dalam bentuk daging sapi olahan (Gambar 6.5). Untuk tahun 2008 ekspor daging sapi segar/dingin bentuk karkas dan setengah karkas (kode HS 0201100000) mencapai 60 ton, sedangkan daging sapi beku tanpa tulang (kode HS 0202300000) hanya sebesar 1,54 ton (Lampiran 6.3). Tujuan ekspor daging sapi segar/dingin terutama ke
84
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
negara Malaysia dan Korea. Pada tahun yang sama, ekspor daging sapi olahan (kode HS 1602500000) sebesar 6,56 ton dengan negara tujuan utama adalah Hongkong, Singapore, Maldives, American Samoa dan Samoa (Lampiran 6.4). (Ton)
10,41
100,00
6,56
80,00
9,15
60,00 40,00
0,48
8,37
20,00 0,00
19,16 2004
87,55 2005
5,60 2006
Segar
43,28 2007
61,54 2008
Olahan
Gambar 6.5. Perkembangan volume ekspor daging sapi segar dan olahan, tahun 2004-2008 Dibandingkan volume ekspornya, volume impor daging sapi dalam wujud daging sapi segar mencapai lebih dari 90 persen dan mengalami kenaikan setiap tahunnya (Gambar 6.6). Pada tahun 2008 impor daging sapi segar sebesar 45,71 ribu ton atau 98,63 persen dari total impor daging sapi dengan kode HS yang lebih bervariasi. Daging sapi impor dalam wujud segar umumnya berasal dari negara Australia, New Zealand, USA, Kanada dan Singapore. Harga impor daging sapi segar dari Australia umumnya lebih rendah dibandingkan negara lain, kecuali untuk daging sapi segar/dingin tanpa tulang (Lampiran 6.5). Sementara itu impor daging sapi dalam wujud olahan pada perio de tahun 2004-2008 justru cenderung turun (Lampiran 6.3). Tahun 2008 volume impor daging sapi olahan sebesar 0,64 ribu ton yang berasal dari negara Australia, Singapore, Malaysia dan New Zealand.
Pusat Data dan Informasi Pertanian
85
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
(000 Ton)
0,64
1,69
50,00
40,00
1,87
1,53
30,00
1,20
20,00
10,00 11,77
0,00
2004
2005
39,35
24,08
19,96
2006
2007
Segar
45,71 2008
Olahan
Gambar 6.6. Perkembangan volume impor daging sapi segar dan olahan, tahun 2004-2008 Berdasarkan data FAO, pada tahun 2003–2007 terdapat sebelas negara eksportir daging sapi terbesar di dunia yang secara kumulatif memberikan kontribusi sekitar 75,35 persen terhadap total volume ekspor daging sapi di dunia, namun dari kesebelas negara tersebut hanya Jerman dan Perancis yang memberikan kontribusi lebih dari 10 persen terhadap total volume ekspor daging sapi dunia (Gambar 6.7). Kontribusi volume ekspor daging sapi dari Jerman sebesar 15,05 persen dan dari Perancis sebesar 12,40 persen (Lampiran 6.6). Indonesia
merupakan negara
eksportir daging sapi namun berada pada urutan ke-72 dengan rata-rata volume ekspor tahun 2003 – 2007 sebesar 59,08 ton. 5.22%
4.83%
3.98%
6.36% 6.77%
3.87% 3.80% 3.61%
9.34% 24.65% 12.46% 15.12% Je rman Poland ia Ukraina
Pe rancis Be lgia Austria
Be land a Irland ia Australia
Spanyol Be larus Ne gara Lainnya
Gambar 6.7. Beberapa negara eksportir daging sapi terbesar di dunia, ratarata tahun 2003-2007 86
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
Jika ditinjau dari rata-rata volume impor daging sapi dunia tahun 2003–2007 terdapat sembilan negara importir daging sapi terbesar di dunia dengan kontribusi kumulatif mencapai 76,29 persen terhadap total volume impor daging sapi di dunia (Lampiran 6.7). Negara-negara tersebut adalah Italia, Rusia, Perancis, Belanda, Republik Korea, Yunani, Inggris, Jerman dan Portugal. Italia merupakan negara eksportir daging sapi terbesar di dunia dengan kontribusi sebesar 19,37 persen, diikuti Rusia di peringkat kedua dengan kontribusi sebesar 16,33 persen. Kontribusi negara-negara importir daging sapi lainnya kurang dari 10 persen (Gambar 6.8). Indonesia merupakan negara importir daging sapi ke-12 dunia dengan rata-rata volume impor sebesar 22,61 ribu ton.
6,36%
5,59%
8,00%
4,52%
3,58%
2,89%
9,64%
23,71%
16,33%
19,37% Italia
Rusia
Pe rancis
Be land a
Re publik Kore a
Yunani
Inggris
Je rman
Portugal
Ne gara Lainnya
Gambar 6.8. Beberapa negara importir daging sapi terbesar di dunia, rata-rata tahun 2003-2007 6.4. ANALISIS KINERJA PERDAGANGAN DAGING SAPI Berdasarkan data nilai ekspor dan impor daging sapi Indonesia diperoleh Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) sebagaimana disajikan pada Tabel 6.2.
Pusat Data dan Informasi Pertanian
87
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
Tabel 6.2. Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) daging sapi Indonesia, tahun 2004 – 2008
Daging sapi Indonesia dalam wujud segar ternyata memiliki daya saing rendah di pasar dunia, atau dengan kata lain Indonesia merupakan negara pengimpor daging sapi segar. Pada periode tahun 2004-2008 terjadi penurunan daya saing daging sapi segar. Hal ini dinyatakan dari ISP yang bernilai negatif dengan kisaran nilai indeks antara -0,99 sampai dengan 1,00. Selain itu Indonesia juga merupakan negara pengimpor daging sapi dalam wujud olahan. Meskipun nilai ISP masih rendah dengan kisaran nilai antara -0,81 sampai dengan -1,00, namun daya saingnya lebih baik dibandingkan daging sapi segar. Nilai ISP terbaik terjadi pada tahun 2005 dan kemudian melemah lagi hingga tahun 2008 menjadi -0,99. Dengan keragaan produksi dalam negeri dan perdagangan daging sapi Indonesia di tingkat internasional, secara umum pada tahun 2004-2008 ketahanan pangan Indonesia untuk komoditas daging sapi masih sangat baik. Nilai index dependency ratio (IDR) tahun 2004 sebesar 2,82 % menunjukkan bahwa kebutuhan daging sapi sebagian besar dapat dipenuhi dari produksi domestik dan hanya 2,82 % dari impor (Tabel 6.4). Nilai self
88
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
sufficiency ratio (SSR) yang merupakan kebalikan dari nilai IDR juga menyatakan hal yang sama. Pada tahun-tahun berikutnya nilai IDR semakin meningkat yaitu pada tahun 2008 sebesar 11,62 % berasal dari impor sedangkan nilai SSR semakin menurun yaitu 88,39 % berasal dari produksi domestik, artinya ketergantungan pada impor semakin meningkat karena pemenuhan permintaan daging sapi dari produksi dalam negeri semakin menurun. Dengan demikian perlu dilakukan tindakan antisipasi agar ketahanan pangan pada komoditas daging sapi tetap dapat dipertahankan. Tabel 6.3. IDR (Import Dependency Ratio) dan SSR (Self Sufficiency Ratio) daging sapi Indonesia tahun 2004-2008
Dari sisi nilai ekspor, kinerja ekspor daging sapi Indonesia pada tahun 2004-2007 juga sangat rendah. Berdasarkan Tabel 6.4 indeks keunggulan komparatif atau RCA (Revealead Comparative Advantage) terletak pada kisaran 0,001 sampai dengan 0,01 yang menunjukkan bahwa Indonesia memiliki tingkat keunggulan komparatif yang sangat rendah di pasar dunia untuk komoditas daging sapi.
Pusat Data dan Informasi Pertanian
89
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
Tabel 6.4. Indeks Keunggulan Komparatif Daging Sapi Indonesia Dalam Perdagangan Dunia , 2004-2007
90
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
Lampiran 6.1. Provinsi sentra produksi daging sapi di Indonesia, tahun 2004 – 2008
Sumber : Ditjen Peternakan diolah Pusdatin Keterangan : *) Angka Sementara:
Pusat Data dan Informasi Pertanian
91
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
Lampiran 6.2. Perkembangan harga daging sapi di tingkat peternak, RPH dan konsumen di Indonesia, Januari 2008 – September 2009
Sumber: Ditjen P2HP diolah Pusdatin
92
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
Lampiran 6.3. Perkembangan ekspor dan impor daging sapi segar dan olahan Indonesia, tahun 2004 - 2008
Sumber : BPS diolah Pusdatin
Pusat Data dan Informasi Pertanian
93
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
Lampiran 6.4. Negara tujuan ekspor daging sapi Indonesia per kode HS (Harmony Sistem), tahun 2008
Sumber BPS diolah Pusdatin
94
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
Lampiran 6.5. Negara asal impor daging sapi Indonesia per kode HS (Harmony Sistem), tahun 2008
Sumber : BPS diolah Pusdatin
Pusat Data dan Informasi Pertanian
95
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
Lampiran 6.6. Negara eksportir daging sapi dunia tahun 2003 - 2007
Sumber : FAO diolah Pusdatin
96
Pusat Data dan Informasi Pertanian
» Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009
Lampiran 6.7. Negara importir daging sapi dunia tahun 2003 - 2007
Sumber : FAO diolah Pusdatin
Pusat Data dan Informasi Pertanian
97
Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 «
DAFTAR PUSTAKA Astuti, Sri. 2007. Industrialisasi Kopi Lokal Merebak, Permintaan Meningkat. http://202.146.5.33/ver1/Ekonomi/0712/17/144144.htm. Terhubung berkala [12 September 209]. Benyamin, Maria Y. 2009. 843 Eksportir Kopi Dibekukan. http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/perdagangan/ 1id135794.html. Terhubung berkala [14 September 2009] BPS. 2009. Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2008. Jakarta Dik.
2009. Kinerja Ekspor Komoditi Kopi Sumut http://batakpos-online.com/content/view/7933/1/. berkala [14 September 2009].
Terancam. Terhubung
Departemen Pertanian. 2004. Kebijakan kemitraan Gapoktan dengan lembaga pemasaran lainnya. Jakarta: Direktorat Pemasaran Domestik Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. Departemen Pertanian. 2007. Pedoman Umum Kebijakan Pemasaran Antar Daerah/Wilayah. Jakarta: Direktorat Pemasaran Domestik, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (P2HP). Departemen Perdagangan. 2008. Kajian Pengembangan Pasar Eskpor Produk Makanan Olahan. Jakarta. Departemen Perdagangan. 2009. KTT ASEAN ke-14 dan Hasil-hasil Perundingan: Komitmen Bersama untuk Menjawab Situasi Ekonomi Dunia (Siaran Pers). Departemen Perdagangan, Jakarta. Dirgantoro, M.A. 2004. Strategi Pengenaan Tarif Impor Daging Sapi dan Dampaknya Terhadap Kesejahteraan Masyarakat. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kustiari, Reni. 2007. Perkembangan Pasar Kopi Dunia dan Implikasinya Bagi Indonesia. Forum Peneliti Agro Ekonomi, 25(1):43-55. Rachman, H.P.S., S.H. Suhartini dan G.S. Hardono. 2008. Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Kinerja Ketahanan Pangan Nasional. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
98
Pusat Data dan Informasi Pertanian