BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Isu tenaga kerja merupakan isu penting yang masih hangat untuk
diperbincangkan, terutama tenaga kerja di daerah perkotaan. Daerah perkotaan dengan segala daya tariknya memberikan sejuta harapan bagi para urbanit atau orang yang melakukan urbanisasi untuk melakukan perpindahan dari desa ke kota. Tujuan migrasi dari desa ke kota adalah jelas untuk mendapatkan kehidupan yang jauh lebih baik, khususnya dari segi perekonomian, yaitu untuk memperoleh pekerjaan dengan gaji tinggi. Besarnya daya tarik daerah perkotaan bagaikan dua sisi mata uang, di satu sisi memiliki sisi positif namun di sisi lain memiliki sisi negatif. Sisi positifnya adalah sumberdaya manusia di perkotaan semakin bertambah sehingga mampu merangsang pertumbuhan ekonomi, namun perpindahan arus penduduk dari desa ke kota terjadi tanpa bisa dikontrol. Pada tahun 2005, penduduk Indonesia yang tinggal di wilayah perkotaan telah mencapai 107 juta jiwa atau sebesar 48,1persen dari seluruh penduduk Indonesia dan bila diproyeksikan hingga tahun 2025, jumlah penduduk kota akan meningkat hingga 70persen dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia. Angka ini cukup mengagetkan, mengingat dalam kurun waktu 55 tahun hampir setengah penduduk Indonesia menempati daerah perkotaan. Jumlah penduduk yang cenderung berpusat di perkotaan ini tidak berbanding lurus dengan jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia di perkotaan. Hal ini menjadi antiklimaks yang berimplikasi pada meningkatnya jumlah pengangguran karena tidak semua tenaga kerja dapat terserap di sektor formal. Masalah ini semakin diperparah oleh kaum urbanit yang tidak memiliki keahlian dan keterampilan sehingga makin menimbulkan berbagai masalah di perkotaan, seperti pengangguran, kriminalitas, dan lain-lain. Sektor formal yang tidak mampu menyerap semua tenaga kerja menuntut kaum urbanit yang
1
tidak memiliki keahlian dan keterampilan untuk menciptakan lapangan kerja baru diluar koridor sektor formal, yaitu sektor informal. Sektor informal adalah bagian dari sistem ekonomi kota dan desa yang belum mendapatkan bantuan ekonomi dari pemerintah atau belum mampu menggunakan bantuan yang telah disediakan atau sudah menerima bantuan tetapi belum sanggup berdikari. (Hidayat, 1983). Sektor informal mulai populer saat krisis moneter melanda Indonesia pada tahun 1998. Banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) karena sektor industri mengalami collapse dan banyak perusahaan yang mengalami kebangkrutan. Solusi untuk mengurangi beban dan tekanan adalah beralih ke sektor informal. Sektor informal banyak dipilih dan digeluti karena lebih mampu bertahan ditengah masa krisis dan lebih fleksibel mengingat pekerjaan di sektor informal tidak terikat dengan kontrak perusahaan dan jam kerjanya pun ditentukan sendiri oleh pelaku sektor informal. Semakin maju suatu wilayah, maka semakin besar kesempatan sektor informal untuk memasuki celah-celah kota. Keberadaanya tersebar di pusat-pusat perekonomian seperti pasar, kantor, sekolah, pusat perbelanjaan, terminal, dan stasiun. Realitanya, di abad ke-21 ini pekerja yang bergerak di sektor informal terus mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Menurut ILO (International Labor Organization) dalam “Makalah Kerja Perekonomian Informal: Transisi Menuju Formalisasi”, tercatat terdapat sekitar 65persen pekerjaan sektor informal di sektor non-pertanian di Asia, 51persen di Amerika Latin. 48 persen di Afrika Utara, dan 72 persen di Afrika sub-Sahara. Besaran angka tersebut tidak terlalu mengherankan, terlebih lagi sektor informal memang berkembang pesat di negara dunia ketiga. Angka tersebut bisa terus berkembang semakin besar di era perekonomian global ini, mengingat kompetisi di sektor formal akan semakin sengit yang berimplikasi pada peralihan sektor formal menuju sektor informal akan terus terjadi. Peralihan dari sektor formal menuju sektor informal bukan lagi menjadi tempat singgah sementara bagi para pekerja yang belum mampu memasuki
2
ranah sektor informal. Sesungguhnya keberadaan sektor formal dan sektor informal saling mengisi satu sama lain, yaitu sektor informal sebagai pemenuh kebutuhan barang dan jasa yang murah bagi sektor formal. Sebagian besar sektor informal terserap ke sektor perdagangan, salah satu yang populer adalah pedagang kaki lima. Pedagang Kaki Lima adalah bagian dari sektor informal kota yang mengembangkan aktivitas produk barang dan jasa diluar kontrol pemerintah dan tidak terdaftar. (Evens & Korff, 2002:234). Eksistensi pedagang kaki lima yang mendominasi setiap sudut kota dalam kaitannya membantu pemenuhan kebutuhan masyarakat menengah ke bawah menjadikan pedagang kaki lima sebagai alternatif solusi untuk mengatasi kesulitan bertahan hidup di kota. Ironis memang, keberadaannya yang seharusnya mendapat dukungan penuh dari pemerintah karena pedagang kaki lima berperan sebagai pemenuh kebutuhan masyarakat luas, terutama masyarakat menengah ke bawah, justru kerap menjadi obyek penderita seperti penggusuran dan relokasi yang dilakukan oleh pemerintah atas nama ketertiban, keindahan kota, dan kenyamanan pejalan kaki. Sektor informal seharusnya tak lagi dipandang sebagai sektor “pengganggu” perekonomian kota, melainkan harus dipandang sebagai katup pengaman perekonomian perkotaan karena sumbangannya yang begitu besar terhadap laju pertumbuhan ekonomi daerah kaitannya dengan PAD (Pendapatan Asli Daerah), terutama pedagang kaki lima. Sektor informal mulai merambah banyak kota besar di Indonesia. Hingga Agustus 2009, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pekerja yang bekerja di sektor informal mencapai 72,72 juta orang. Data statistik juga menunjukkan bahwa 68 persen pekerja Indonesia saat ini bekerja di sektor informal. Predikat Kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan, kota budaya, dan kota wisata menjadi magnet yang kuat bagi para urbanit untuk melakukan perpindahan dan mencari pekerjaan di Kota Yogyakarta. Pedagang kaki lima mulai merambah di berbagai sudut di Kota Yogyakarta, mulai dari pedagang
3
kaki lima yang menjajakan cinderamata, makanan, minuman, pakaian, kelontong, dan lain-lain. Di DIY, timbul dan tumbuhnya sektor informal tidak terlepas dari latar belakang sejarah perekonomian tradisional. Yaitu perekonomian pedesaan yang sebagian terbesar didasarkan pada struktur pertanian dengan pola bercocok tanam sederhana. Dewasa ini struktur dan pola tani itu semakin berkembang, akan tetapi perkembangannya dirasa kurang mampu memberi imbalan upah yang layak bagi tenaga kerjanya, sehingga banyak tenaga kerja yang memilih alternatif lain untuk bekerja di sektor non-pertanian. (Cahyono, 1983). Pedagang kaki lima dahulu pernah mengalami penggusuran dan relokasi oleh pemerintah daerah, relokasi besar-besaran yang monumental dahulu terjadi pada pedagang kaki lima yang tersebar di alun-alun Kraton Yogyakarta. Tidak seperti relokasi pedagang kaki lima di kota-kota lain yang dibumbui dengan kekerasan oleh Satpol PP, relokasi pedagang kaki lima tidak menuai konflik dan kekerasan, namun dapat dilakukan dengan damai. Sampai saat ini pun tidak ada masalah yang terjadi berkaitan dengan pedagang kaki lima. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor komunikasi yang baik antara pemerintah daerah dengan pedagang kaki lima terkait penataan pedagang kaki lima, bahkan saat ini pedagang kaki lima yang tersebar di seluruh sudut Kota Yogyakarta sudah tergabung dalam satu paguyuban sesuai dengan lokasi berdagang dan bahkan memiliki koperasi. Selain itu, pedagang kaki lima juga diberi tempat berdagang dan diklasterkan, contohnya adalah Malioboro yang merupakan kawasan pedagang kaki lima terbesar di Asia Tenggara. Peningkatan jumlah pedagang kaki lima di kawasan Malioboro tidak bisa lepas dari adanya peraturan pemerintah Kota Yogyakarta yang mengizinkan pedagang kaki lima untuk beroperasi. Adanya izin dari pemerintah inilah menjadi pintu masuk utama bagi para pedagang kaki lima untuk mengembangkan usahanya, khususnya pedagang kaki lima di kawasan Malioboro. Terdapat beberapa peraturan pemerintah daerah yang mengatur pedagang kaki lima di kawasan Malioboro, yaitu Peraturan Daerah Kota
4
Yogyakarta Nomor 26 Tahun 2002 tentang Pedagang Kaki Lima, Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 93 Tahun 2009 tentang Pembentukan Lembaga Pemberdayaan Komunitas Kawasan Malioboro Kota Yogyakarta, Peraturan Walikota Nomor 37 Tahun 2010 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima Kawasan Khusus Malioboro-A. Yani. Peraturan pemerintah daerah tersebut menjadi bukti nyata bahwa pemerintah Kota Yogyakarta mendukung eksistensi pedagang kaki lima, khususnya di kawasan Malioboro. Hal tersebutlah yang menjadi celah bagi pekerja sektor informal untuk menjadi pedagang kaki lima. Dalam peraturan tersebut dijelaskan dengan terperinci peraturan-peraturan yang diberlakukan bagi pedagang kaki lima, perizinan, fasilitas yang didapatkan, lokasi berdagang pedagang kaki lima, dan sanksi yang diberlakukan bagi pedagang kaki lima yang melanggar ketentuan yang telah diberlakukan. Dalam penataan pedagang kaki lima, pemerintah Kota Yogyakarta tidak bekerja sendiri, namun dibantu oleh pelaku kegiatan di kawasan Malioboro yang meliputi bidang usaha perdagangan, kepariwisataan dan transportasi sebagai pengurus LPKKM (Lembaga Pemberdayaan Komunitas Kawasan Malioboro). Seperti yang tertuang dalam peraturan daerah tersebut: a. bahwa keberadaan komunitas di kawasan Malioboro pada dasarnya merupakan aset pariwisata, budaya, ekonomi, dan sosial yang keberadaannya perlu untuk diberdayakan; b. dalam rangka optimalisasi penataan kawasan Malioboro sebagai suatu kawasan yang bersih, tertib, indah, dan nyaman sebagai daya dukung kawasan pusat kota yang meliputi semua aspek pembangunan, maka diperlukan Lembaga Pemberdayaan Komunitas Kawasan Malioboro. Malioboro menjadi contoh nyata bahwa pedagang kaki lima tidak selamanya merusak keindahan kota, kenyataannya pedagang kaki lima dapat menjadi ciri khas Malioboro dan menjadi daya tarik bagi wisatawan domestik dan luar negeri. Keberadaan pedagang kaki lima justru menjadi satu ciri khas Malioboro yang menjadikan Kota Yogyakarta identik dengan Malioboro. Banyaknya pedagang kaki lima yang menghiasi Kota Yogyakarta ditilik dari
5
homogenitas produk dagangan yang dijajakan, otomatis menciptakan suatu kompetisi atau persaingan atarpedagang, baik dari segi harga, variasi produk, jumlah produksi, serta kualitas produk dagangan. Terlebih lagi ditengah arus urbanisasi yang semakin tidak terkontrol menuntut mereka untuk dapat bertahan hidup dengan pekerjaan yang sekarang digeluti, mengingat semakin ketatnya persaingan di dunia kerja yang mengharuskan keahlian dan keterampilan sebagai modal utama. Penelitian ini menitikberatkan pada strategi penghidupan yang fokus pada konteks kerentanan berupa seasonality. Seasonality merupakan salah satu konteks kerentanan yang terdapat dalam pendekatan penghidupan, dimana dapat diartikan sebagai kondisi yang fluktuatif atau berubah-ubah. Seasonality dapat mempengaruhi aspek-aspek kehidupan seseorang, baik aspek ekonomi, sosial, lingkungan, budaya, dan politik. Menurut “Buiding Livelihood : A Field Manual for Practitioners in Humanitarian Settings”, seasonality merupakan perubahan musim, seperti yang mempengaruhi penghidupan, produksi, praktik-praktik pertanian, musim panen, iklim kerja, kesempatan kerja, iklim, dan kesehatan. Di perdesaan misalnya, petani mengalami kerentanan berupa seasonality saat musim kemarau yang dipengaruhi iklim, dimana hasil panen tidak sebanyak saat musim hujan tiba. Saat musim hujan, petani lebih banyak mendapat hasil panen karena sawah banyak mendapat aliran air sehingga tanah menjadi subur dan menghasilkan hasil panen yang berlimpah. Petani sangat bergantung pada fluktuasi musiman dalam mengakses makanan, tenaga kerja, pendapatan, dan status kesehatan. Berbeda dengan seasonality yang terjadi di perkotaan, misalnya ahli ekonomi mengkaitkan fluktuasi musiman dengan tingkat pendapatan, bukan dari kasus malaria. Sedangkan seorang dokter mengamati pola musiman dengan morbiditas, bukan dari hutang-piutang (Chambers, 1981:4). Menurut Chambers (1981:226), seasonality memiliki banyak implikasi pada aktivitas pemerintahan dan lembaga-lembaga administrasi karena mempengaruhi kondisi keuangan yang terkait dengan dana, terutama pada financial year.
6
Penelitian ini fokus pada strategi penghidupan pedagang kaki lima di kawasan Malioboro terkait dengan iklim kerja dalam menghadapi dinamika yang terjadi saat menghadapi low season atau periode musim sepi pengunjung dan peak season, yaitu musim ramai pengunjung dalam periode satu tahun. Menurut Reverso Dictionary, low season merupakan periode tahunan dimana suatu tempat memiliki jumlah pengunjung paling sedikit, ongkos murah, dan biaya akomodasi juga murah. Sedangkan menurut Bussines Dictionary, low season merupakan kondisi dimana permintaan berada pada level terendah atau dapat dikatakan bahwa permintaan (demand) lebih sedikit daripada ketersediaan (supply). Dapat ditarik benang merah bahwa low season merupakan periode dimana terjadi dinamika jumlah pengunjung atau wisatawan yang lebih sedikit dibandingkan saat musim liburan (peak season) dan permintaan (demand) lebih kecil daripada ketersediaan (supply). Ketersediaan (supply) berupa barang dagangan yang dijual oleh pedagang kaki lima, yaitu berupa makanan, minuman, cinderamata, tas, sepatu, pakaian, dan sejenisnya. Sedangkan permintaan (demand) merupakan permintaan dari konsumen yaitu wisatawan terhadap barang dagangan yang dijual oleh pedagang kaki lima. Periode low season dan peak season ini otomatis mempengaruhi omzet produksi pedagang kaki lima dan strategi penghidupan yang dilakukan. Strategi penghidupan meliputi strategi konsolidasi, strategi bertahan hidup (survive), dan strategi akumulasi. Biasanya, low season terjadi pada bulan Januari hingga Maret serta pada bulan Oktober hingga Desember, yaitu saat musim libur panjang telah usai, baik libur panjang sekolah ataupun hari raya. Sedangkan peak season terjadi saat hari libur atau musim liburan. Disini akan terlihat bagaimana strategi penghidupan yang dilakukan para pedagang kaki lima saat menghadapi low season dan peak season. Berangkat dari fenomena diatas, penulis tertarik untuk meneliti “Strategi Penghidupan Pedagang Kakil Lima di Kawasan Malioboro, Kota Yogyakarta”.
7
1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan masalah diatas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut: Bagaimana strategi penghidupan pedagang kaki lima di kawasan Malioboro Kota Yogyakarta?
1.3.
Tujuan Penelitian Mengidentifikasi strategi penghidupan yang dilakukan oleh pedagang kaki lima yang terdapat di kawasan Malioboro, Kota Yogyakarta.
1.4.
Kegunaan Penelitian 1. Sebagai prasyarat akademis untuk menempuh gelar sarjana Strata-1 di Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. 2. Sebagai referensi tambahan bagi penelitian selanjutnya, khususnya dalam bidang strategi penghidupan di perkotaan.
1.5. Tinjauan Pustaka 1.5.1. Pengertian Sektor Informal ILO
(International
Labor
Organization)
merupakan
organisasi
internasional yang fokus pada tenaga kerja atau buruh. Sampai saat ini, banyak penenlitian yang telah dikembangkan oleh ILO dalam kaitannya dengan tenaga kerja khususnya di negara dunia ketiga atau negara berkembang. Sektor informal termasuk dalam bahasan kajian ILO yang dianggap mampu mengurangi masalah kemiskinan yang terjadi serta kaitannya dengan pengaruh migrasi, urbanisasi, dan pengangguran. ILO juga aktif menggelar acara internasional seperti simposium dan konferensi untuk membahas sektor informal yang sangat banyak menyerap tenaga kerja, bahkan jumlahnya nyaris menyamai jumlah tenaga kerja sektor formal. Simposium yang pernah digelar adalah “Simposium Inter-Regional tentang Perekonomian Informal: Transisi Menuju Formalisasi” pada tahun 2007 di Jenewa. Hasil dari simposium ini kemudian diterbitkan menjadi majalah kerja yang diterbitkan dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
8
Menurut Hidayat (1983), sektor informal merupakan suatu sistem antara desa dan kota yang belum mampu mandiri karena belum mendapat bantuan ataupun proteksi dari pemerintah. Sementara itu House menyatakan bahwa: Sektor informal memiliki karakteristik mudah dimasuki, berskala kecil, dan memanfaatkan tenaga kerja intensif, dimana teknologi telah diadaptasi dan keterampilan didapat bukan dari sistem pendidikan formal, tingkat kompetisi tinggi dan terdapat pasar. Sementara itu, dalam Makalah Kerja Perekonomian Informal: Transisi Menuju Formalisasi” (2007:5-6), Konferensi ILO (International Labor Organization) yang diselenggarakan pada tahun 2002 di Jenewa membahas mengenai kecenderungan serta perkembangan pasar tenaga kerja, faktorfaktor penyebab utama terjadinya informalitas serta tantangan untuk mengatasi defisit pekerjaan layak yang paling sering dialami pekerja dan pengusaha di segmen perekonomian informal. Dari konferensi tersebut, didapatkan hasil bahwa ILO menerapkan “Resolusi tentang Pekerjaan yang Layak dan Perekonomian Informal” yang berupa ringkasan elemen-elemen utama konsensus global sebagai berikut: 1. Istilah “perekonomian informal” yang diusulkan menyebutkan bahwa “sektor informal” mencakup semua kegiatan perekonomian yang menurut hukum atau praktiknya tidak termasuk atau tidak dicakup secara memadai oleh pengaturan formal. 2. Perekonomian informal mencakup pekerja berupah dan wirausahawan, mereka yang membantu anggota keluarga serta mereka yang pindah dari satu lingkungan ke lingkungan lain. 3. Perekonomian informal juga mencakup sebagian dari mereka yang bekerja di lingkungan perusahaan utama atau di titik terendah dari rantai produksi. 4. Bisa jadi terdapat daerah “abu-abu” dimana kegiatan ekonomi mempunyai karakteristik perekonomian formal maupun informal, misalnya pekerja formal diberi upah yang tidak disebutkan atau beberapa kelompok pekerja
9
di perusahaan formal mempunyai upah dan kondisi kerja yang serupa dengan upah dan kondisi informal. 5. Saat ini sebagian masyarakat bekerja di perekonomian informal karena sebagian besar dari mereka tidak dapat memperoleh pekerjaan lain atau tidak dapat memulai usaha dalam perekonomian formal. 6. Perekonomian informal mempunyai potensi pekerjaan dan pendapatan yang signifikan karena relatif mudah dimasuki dengan persyaratan yang rendah terkait pendidikan, keterampilan, teknologi, dan permodalan. Namun lapangan kerja yang diciptakan biasanya gagal memenuhi kriteria pekerjaan yang layak. Dibawah ini beberapa karakteristik atau ciri-ciri sektor informal yang dapat disarikan dari berbagai sumber literatur (Mustafa, 2008; Tamba dan Sijabat, 2006; Hidayat, 1978; Jayadinata, 1999; Hart, 1971; Manning dan Effendi, 1985; Konferensi ILO, 2002): 1. Memiliki modal sedikit 2. Memanfaatkan teknologi sederhana 3. Memanfaatkan sumberdaya lokal 4. Padat karya 5. Bersifat swakarya dan swadaya 6. Tidak memiliki hubungan dengan pemerintah (perizinan, perpajakan, perlindungan) 7. Keterampilan terbatas 8. Kalangan miskin 9. Migran 10. Tingkat pendapatan biasanya rendah 11. Jam kerja tidak tetap 12. Mudah dimasuki 13. Pemilikan oleh keluarga 14. Tidak memiliki batasan umur bagi yang berada di jalur sektor informal 15. Adaptif terhadap perubahan situasi yang terjadi
10
16. Modal berasal dari tabungan pribadi atau pinjaman 17. Keterkaitan dengan usaha-usaha lain sangat kecil 18. Usaha sangat beraneka ragam 19. Tempat kerja kecil atau tidak ditentukan batas-batasnya 20. Kondisi kerja tidak aman dan tidak sehat 21. Produktivitas rendah 22. Jam kerja lama 23. Umumnya tidak diakui, tidak didaftarkan, tidak diatur atau tidak dilindungi undang-undang ketenagakerjaan dan perlindungan sosial 24. Tidak menikmati hak kepemilikan yang aman 25. Sulit mengakses sistem hukum dan pengadilan untuk melaksanakan kontrak kerja 26. Akses terbatas ke sarana publik dan tunjangan 27. Perempuan, remaja, dan pendatang sangat rentan terhadap kurangnya pekerjaan layak. 1.5.2. Pengertian Pedagang Kaki Lima Menurut Evens & Korrf (2002), pedagang kaki lima merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sektor perkotaan yang lebih fokus pada sektor informal, meskipun dalam mengembangkan produknya tidak dikontrol oleh pemerintah dan tidak mendapatkan izin usaha. Pedagang kaki lima tidak dapat dilepaskan dari konteks perkotaan dan sektor informal. Sektor informal diidentikkan dengan pedagang kaki lima karena pedagang kaki lima memiliki ciri khas tertentu dan sangat populer di kalangan penduduk usia kerja yang kurang memiliki cukup keterampilan. Menurut Peraturan Walikota Nomor 37 Tahun 2010 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima Kawasan Khusus Malioboro-A. Yani, Pedagang kaki lima adalah penjual barang dan atau jasa yang secara perorangan berusaha dalam kegiatan ekonomi yang menggunakan daerah milik jalan atau fasilitas umum dan bersifat sementara/tidak menetap dengan menggunakan peralatan bergerak maupun tidak bergerak. 11
Istilah pedagang kaki lima merupakan warisan peninggalan penjajahan negara Inggris. Raffles yang saat itu menjabat sebagai gubernur jenderal membuat kebijakan yang berkaitan dengan lalu-lintas pejalan kaki. Gubernur Jenderal Raffles memerintahkan untuk membuat jalur jalan sepanjang lima kaki (1 kaki = 31 cm) di sepanjang kanan-kiri jalan untuk dimanfaatkan para pejalan kaki (An Nal, 1983). Ruang bagi pejalan kaki atau trotoar tersebut dimanfaatkan oleh para pedagang untuk menjajakan dagangannya dengan gerobak, menggelar tikar ataupun mendirikan tenda. Dalam bahasa inggris, pedagang kaki lima diistilahkan sebagai street hawker atau street trader. Pedagang kaki lima identik dengan pedagang yang menjajakan dagangannya di trotoar. Barang dagangan yang dijajakan bermacam-macam mulai dari makanan, minuman, kelontong, barang bekas, mainan, cinderamata, alat elektronik, dan lain-lain. Peningkatan jumlah populasi penduduk yang berbanding lurus dengan kebutuhan ruang menuntut pedagang kaki lima untuk lebih cerdik mencari lokasi berdagang. Pedagang kaki lima mulai memanfaatkan ruang yang dinilai strategis, memiliki peluang dan keuntungan bagi mereka. Misalnya berdagang di depan sekolah, di depan toko, depan kantor, gang perkampungan, alun-alun, dan lain-lain. Pedagang kaki lima juga lebih inovatif dalam mengembangkan usahanya, berkeliling menggunakan gerobak dorong tak lagi menjadi satu-satunya jalan untuk menjajakan dagangan. Contohnya pedagang kaki lima yang menekuni usaha kuliner berinovasi dengan mendirikan tenda yang dilengkapi dengan meja, kursi, dan tikar yang disulap menjadi warung tenda. Konsumen tidak hanya membeli barang dagangan lalu pulang, namun dapat menikmati makanan langsung ditempat. 1.5.3. Pengertian Strategi Penghidupan Menurut Robert Chambers dan Gordon Conway (1992), penghidupan yang dilakukan pada level rumah tangga meliputi kemampuan, aset, dan aktivitas, dimana aset terdiri dari simpanan, sumberdaya, klaim, dan akses. Suatu
12
penghidupan dikatakan berkelanjutan jika mampu mengentaskan kemiskinan dan pulih dari berbagai kerentanan, yaitu tekanan dan guncangan baik yang terjadi saat ini maupun masa mendatang. Penghidupan berkelanjutan dapat memberi peluang bagi generasi mendatang untuk memanfaatkan aset yang dimiliki dan dapat memberikan kontribusi yang menguntungkan baik pada tingkat lokal dan global. Menurut Carney et.al (1999), suatu penghidupan terdiri dari kemampuan, aset, dan aktivitas yang dibutuhkan sebagai alat mata pencaharian; suatu penghidupan dikatakan berkelanjutan ketika mampu mengatasi dan pulih dari tekanan dan guncangan serta mempertahankan atau meningkatkan kemampuan, aset, dan aktivitas baik saat ini dan di masa mendatang, tanpa merusak sumberdaya utama. Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa inti dari penghidupan berkaitan dengan kemampuan, akses, dan aset yang dibutuhkan oleh setiap individu agar mampu bertahan hidup di tengah kondisi kerentanan atau rawan.
Karena
menyangkut
kehidupan,
maka
penghidupan
harus
berkelanjutan. Berkelanjutan disini memiliki arti mampu mengatasi kemiskinan dan pulih dari kondisi yang kritis atau rentan, misalnya kecenderungan (trend), perubahan (change), perubahan musim (seasonality), dan ketegangan atau guncangan (shock) yang terjadi saat ini maupun masa mendatang. Hal yang tidak boleh dilupakan dalam membahas penghidupan berkelanjutan adalah pemanfaatan aset dengan baik, namun tanpa merusak sumberdaya yang tersedia. Penghidupan tidak hanya menyangkut kehidupan individu masa kini, namun justru melihat ke depan pada generasi mendatang, apakah aset yang tersedia saat ini masih bisa dimanfaatkan di masa mendatang. Penghidupan memiliki prinsip-prinsip utama dalam pengembangannya, fokus pada bagaimana mengatasi kerentanan. Prinsip-prinsip penghidupan dipaparkan oleh Ashley dan Carrney (1999: 7) sebagai berikut: 1. Berpusat pada masyarakat Pengurangan kemiskinan yang berkelanjutan akan dicapai hanya jika terdapat dukungan eksternal yang fokus pada masalah yang dihadapi oleh
13
masyarakat, memahami perbedaan antara sekelompok individu dan bekerjasama dalam cara yang sesuai dengan strategi penghidupan mereka saat ini, lingkungan sosial, dan kemampuan beradaptasi. 2. Responsif dan partisipatoris Masyarakat miskin merupakan aktor utama dalam mengidentifikasi dan menangani prioritas penghidupan. Agen pembangunan membutuhkan proses yang memungkinkan mereka untuk mendengarkan dan menanggapi masyarakat miskin. 3. Multi-level Pengentasan kemiskinan merupakan suatu tantangan yang sangat besar yang hanya mampu diatasi dengan bekerja pada level yang beragam, memastikan bahwa aktivitas level mikro menginformasikan kebijakan pengembangan dan lingkungan kondusif yang efektif, dan struktur tingkat makro serta proses mendukung masyarakat untuk membangun kekuatan mereka sendiri. 4. Kemitraan Kemitraan dilakukan antara sektor publik dan sektor swasta. 5. Berkelanjutan Terdapat empat kunci untuk mengukur keberlanjutan – ekonomi, kelembagaan, sosial, dan keberlanjutan lingkungan. Semuanya merupakan hal yang penting – harus terdapat keseimbangan diantara kesemuanya. 6. Dinamis Dukungan eksternal meliputi kedinamisan alami dari strategi penghidupan, fleksibilitas terhadap perubahan situasi masyarakat, dan mengembangkan komitmen jangka panjang. Strategi penghidupan menggambarkan upaya yang dilakukan masyarakat dalam mencapai penghidupan yang memadai. Strategi ini berkaitan dengan bagaimana masyarakat mengelola aset-aset penghidupan yang tersedia, menyikapi perubahan yang terjadi, dan menentukan prioritas untuk mempertahankan atau memperbaiki penghidupan. (Badan Diklat NAD dan UNDP – CIDA).
14
Menurut White (1991) dalam Baiquni (2006), strategi penghidupan digolongkan menjadi tiga jenis yaitu strategi survival, strategi konsolidasi, dan strategi akumulasi. Strategi survival dilakukan oleh kelompok rumah tangga miskin yang belum mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, memiliki aset yang terbatas, dan bekerja untuk orang lain demi keberlangsungan hidupnya. Strategi konsolidasi dilakukan oleh kelompok rumah tangga kelas menengah yang sudah mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya dengan aset yang dimiliki yaitu mengutamakan keamanan dan stabilitas pendapatan dari aset yang dimiliki, dan strategi akumulasi dilakukan oleh kelompok rumah tangga kaya dengan jumlah aset berlimpah sehingga mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya dan mampu melakukan diversifikasi usaha seperti investasi.
1.6. Keaslian Penelitian Sudah banyak penelitian yang mengangkat tema mengenai strategi penghidupan baik berkaitan dengan strategi penghidupan nelayan, petani miskin, pengusaha kecil, strategi menghadapi bencana, dan lain-lain. Namun kebanyakan mengangkat lokasi di perdesaan, jarang sekali penelitian mengenai strategi penghidupan yang mengangkat lokasi di perkotaan. Untuk menguji keaslian penelitian, maka perlu dilakukan perbandingan dengan penelitian sebelumnya yang mengangkat tema yang sama yaitu strategi penghidupan, khususnya strategi penghidupan yang fokus pada sektor informal di perkotaan. Terdapat beberapa penelitian yang mengangkat strategi penghidupan yang dilakukan oleh pelaku sektor informal di perkotaan, untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
15
1.1. NO. 1.
NAMA PENELITI Fatmah Kamiliani
2.
Alexander Seguseda
3.
Centauri Indrapertiwi
Tabel Keaslian Penelitian JUDUL
TAHUN
TUJUAN
Strategi Penghidupan Pengusaha Kost di Kelurahan Bumijo Menghadapi Penurunan Jumlah Mahasiswa Universitas Janabadra Kajian Strategi Penghidupan Masyarakat Pelaku Usaha Sekitar Kampus Eks-UMY Jalan H.OS. Cokroaminoto Yogyakarta berdasarkan Tipologi Pelaku Usaha
2009
Mengetahui strategi penghidupan pengusaha kost di Kelurahan Bumijo dalam menghadapi penurunan jumlah mahasiswa Universitas Janabadra
2010
1. Mengetahui dampak relokasi kampus UMY terhadap kondisi usaha masyarakat sekitar 2. Mengidentifikasi adakah penurunan pendapatan pelaku usaha 3. Mengetahui strategi penghidupan para pelaku usaha
Eksistensi kawasan pasar telo Karangkajen dan penghidupan masyarakat
2012
1. Mendeskripsikan profil dari pasar telo Karangkajen. 2. Mengkaji strategi
16
TEKNIK ANALISIS Deskriptif Kualitatif
Deskriptif Kualitatif
HASIL Dari kelima aset penghidupan, aset finansial merupakan aset yang paling menentukan terhadap penurunan jumlah pengguna jasa kost. Hal tersebut mempengaruhi keuangan pemilik kost. Jadi, pengusaha kost yang memiliki strategi dengan menutup usaha dan beralih ke usaha lain merupakan pengusaha yang paling terkena imbasnya. 1. Relokasi kampus UMY memberikan dampak yang berbeda-beda pada tiap jenis usaha dan kelompok usaha. Hampir semua usaha mengalami pergeseran tipologi konsumen dari sebelum relokasi dan sesudah relokasi. 2. Relokasi kampus UMY enyebabkan sebagian besar usaha di skitar eks kampus UMY mengalami penurunan pendapatan. 3. Pasca relokasi kampus UMY, sebagian besar pelaku usaha masih mempertahankan usaha. 4. Sebagian besar pelaku usaha memiliki upaya untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga diluar usaha yang telah digeluti untuk meningkatkan kondisi penghidupan. Hanya sebagian kecil yang tidak berupaya untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga. Penghasilan dari perdagangan ketela mampu meningkatkan penghidupan pegdagang ketela seperti aset yang dimiliki sehingga kesejahteraannya semakin
pedagang ketela di Kota Yogyakarta
3.
4.
Hengki Setiawan
Penghidupan (Livelihood) buruh pabrik rokok di Kabupaten Kebumen
2010
1.
2.
3.
penghidupan stakeholder terhadap keberlanjutan eksistensi pasar telo Karangkajen. Mengkaji strategi penghidupan para pedagang ketela di pasar telo Karangkajen Mengetahui penghidupan (livelihood) buruh pabrik rokok PT Sampoerna di Kabupaten Kebumen. Mengetahui perbedaan penghidupan antara buruh pabrik rokok yang bertempat tinggal jauh dari pabrik dengan buruh yang bertempat tinggal dekat dari pabrik. Mengetahui langkah strategis yang dilakukan buruh pabrik guna meningkatkan penghidupannya.
17
meningkat.
1. Buruh pabrik tidak memiliki modal natural, modal finansial dan fisik juga tergolong rendah. 2. Tidak terdapat perbedaan kondisi livelihood antara buruh yang tinggal jauh dan dekat dengan pabrik. 3. Pekerjaan sebagai buruh sangat menyita waktu sehingga tidak memiliki waktu untuk bekerja sampingan.
1.7.
Kerangka Pemikiran Ketenagakerjaan merupakan masalah yang tidak dapat lepas dari pembangunan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Masalah pengangguran dan sempitnya kesempatan kerja banyak terjadi di daerah perkotaan yang memiliki daya tarik yang besar untuk menarik para pendatang untuk mendiami daerah perkotaan, terutama untuk mencari pekerjaan dengan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bekerja di desa. Akibat sektor formal yang tidak mampu menampung seluruh tenaga kerja kemudian terciptalah sektor informal yang lebih fleksibel dan lebih mampu bertahan di tengah kerentanan. Pedagang kaki lima merupakan bagian dari sektor informal yang paling populer di kalangan para pelaku sektor informal. Pedagang kaki lima mulai merambah kota-kota besar di Indonesia, salah satunya di Kota Yogyakarta yang mempunyai pusat pedagang kaki lima terbesar yaitu di kawasan Malioboro. Pedagang kaki lima di kawasan Malioboro
dikelompokkan
menurut
jenis
barang
dagangan
yang
diperdagangkan seperti makanan, minuman, cinderamata, pakaian, tas, sepatu, dan sejenisnya. Para pedagang tersebut pasti memiliki strategi penghidupan yang berbeda-beda dalam menghadapi kerentanan yang terjadi. Strategi penghidupan diidentifikasi dari aset-aset penghidupan yang dimiliki oleh pedagang kaki lima yaitu berupa modal manusia (human capital), modal alam (natural capital), modal fisik (physical capital), modal keuangan (financial capital), dan modal sosial (social capital). Dalam mengidentifikasi strategi penghidupan tidak dapat dilepaskan dari konteks kerentanan yang saling memiliki keterkaitan dengan aset-aset penghidupan. Konteks kerentanan terdiri dari kecenderungan (trend), perubahan (change), perubahan musim (seasonality), dan ketegangan atau guncangan (shock). Penelitian ini memfokuskan pada kerentanan seasonality (perubahan musim) pada periode musim sepi pengunjung atau low season dan musim ramai pengunjung atau peak season. Jadi dengan mengidentifikasi
18
aset-aset pengidupan pedagang kaki lima dalam menghadapi low season dan peak season, akan didapatkan strategi penghidupan para pedagang kaki lima di kawasan Malioboro, Kota Yogyakarta.
19
Kerangka Pemikiran Konteks Kerentanan Seasonality
Low Season dan Peak Season
Komponen Penghidupan
Akses
Aset
Kemampuan
Aktivitas
Ekonomi
Modal Manusia
Sosial Modal Sosial
Strategi Penghidupan Pedagang Kaki Lima di Kawasan Malioboro
Modal Fisik Modal Alam Modal Keuangan
20
Budaya Politik