BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (Undang-Undang No.7 Tahun 2004). DAS dapat dipandang sebagai sistem alami yang menjadi tempat berlangsungnya proses biofisik - hidrologis maupun kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat yang kompleks (Kementerian
Kehutanan,
2012).
Kementerian
Kehutanan
melalui
SK.328/Menhut-II/2009 tentang Penetapan DAS Prioritas dalam RPJM tahun 2010-2014, menyatakan bahwa terdapat 108 DAS tersebar di seluruh wilayah Indonesia yang masuk dalam prioritas penanganan. Salah satu DAS prioritas tersebut adalah DAS Bogowonto. DAS Bogowonto membentang di wilayah selatan Propinsi Jawa Tengah dan sebagian Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan melewati 4 (empat) wilayah administrasi, yaitu: Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Purworejo, dan Kabupaten Kulonprogo. Terdiri dari 12 sub DAS yaitu Sub DAS Bagelen, Bogowonto Hulu, Bogowonto Tengah, Dekso, Gading, Gesing, Keduren, Kodil, Mongo, Ngasinan, Plamping, dan Semanggung. Sungai utama dalam DAS Bogowonto mempunyai panjang kurang lebih 67 km dengan hulu berada di lereng Gunung Sumbing dan hilir di pesisir selatan Jawa. Pemanfaatan Sungai Bogowonto selama ini adalah sebagai sumber air bersih Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Purworejo, pertanian, pariwisata, dan sarana transportasi tradisional. Fungsi DAS ini untuk menampung, menyimpan, dan mengalirkan air hujan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini dapat dilihat dari keadaan di lapangan bahwa pada musim kemarau debit sungai adalah kecil dan pada musim
1
penghujan debit sungai adalah besar. Menurut Balai Pengelolaan DAS Serayu Opak Progo (2013), salah satu permasalahan lingkungan yang terjadi di DAS Bogowonto adalah sedimentasi. Permasalahan lingkungan di DAS Bogowonto dalam penelitian ini difokuskan pada sedimentasi di tengah dan hilir. Hal ini disebabkan sedimentasi dapat terjadi sepanjang musim baik musim kemarau maupun musim penghujan, sehingga penelitian tidak terpacu pada waktu atau perubahan musim. Sedimentasi tersebut merupakan rangkaian beberapa kejadian yang diawali dengan perubahan penggunaan lahan karena beberapa faktor, seperti penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kesesuaian lahan, peningkatan jumlah penduduk, pengelolaan lahan di daerah hulu yang tidak memperhatikan kaidah konservasi, dan peningkatan kebutuhan lahan pertanian. Perubahan penggunaan lahan ini akan mengurangi jumlah tutupan lahan sehingga berdampak erosi. Akhirnya hasil erosi berupa sedimen akan hanyut terbawa aliran sungai dan mengendap di tengah dan hilir. Sedimentasi merupakan masalah serius karena dapat menyebabkan pendangkalan sungai dan bahkan penutupan muara (Kusuma, 2012). Sedimentasi di DAS Bogowonto telah diteliti keberadaannya oleh instansi yang membidangi. Balai Pengelolaan Sumber Daya Air Progo Bogowonto Luk Ulo (BPSDA Probolo) tahun 2010 melakukan pemantauan kualitas air dan sedimen dalam tiga tahap pelaksanaan yaitu bulan Maret, Agustus, dan November (BPSDA Probolo, 2010). Hasil pemantauan sedimentasi selengkapnya dalam Tabel 1.1. Tabel 1.1 Pemantauan Sedimen oleh Balai PSDA Progo Bogowonto Luk Ulo Lokasi Sungai Luk Ulo Sungai Bogowonto Sungai Progo Sungai Luk Ulo Sungai Bogowonto Sungai Progo Sungai Luk Ulo Sungai Bogowonto Sungai Progo
Kandungan sedimen (mg/l) Tahap 1 (Maret 2010) 2,58 2,59 24,8 2,54 Tahap 2 (Agustus 2010) 2,63 114 2,10 166 2,77 188 Tahap 3 (November 2010) 2,56 369 2,46 1996 2,12 76,8
Berat jenis (g/cc)
Besar Butiran (%) 23-45 mm 0,002-23 mm -
-
27,63 17,06 29,36
72,37 82,94 70,64
15,91 0 2,84
84,09 100 97,26
Sumber: BPSDA Probolo dengan modifikasi, 2010
2
Selanjutnya tahun 2012, BPSDA Probolo juga melakukan analisis sedimen di sungai – sungai wilayahnya (BPSDA Probolo, 2012). Hasil yang diperoleh yaitu telah terjadi sedimentasi di Sungai Bogowonto. Selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel 1.2. Tabel 1.2 Kondisi Sungai Wilayah Balai PSDA Progo Bogowonto Luk Ulo Sedimentasi DAS/Sungai
Desa
DAS Bogowonto/ Jenarwetan S. Bogowonto Purwosari Purwodadi Bubutan
Kecamatan
Purwodadi
Kabupaten
Purworejo
Ada
Tidak
Ada Ada Ada -
-
Kanan Panjang Kondisi (m)
Kiri Panjang Kondisi (m)
Terkikis Terkikis Terkikis
Terkikis -
150 100 150
100 -
Sumber: BPSDA Probolo dengan modifikasi, 2012
Menurut Kementerian Pekerjaan Umum, dalam Kepmen PU nomor 37/KPTS/M/2013 tentang Pola Pengelolaan Wilayah Sungai (WS) Serayu Bogowonto, menyebutkan bahwa sedimentasi di DAS Bogowonto mencapai 3.521,55 ton/tahun (Kementerian PU, 2010). Tabel 1.3 Sedimentasi di WS Serayu Opak
Sumber: Kementerian PU, 2010
Sedimentasi di DAS Bogowonto juga telah diinformasikan dalam pemberitaan media. Harian Jogja, 11 Februari 2014, menyatakan DAS di Kulonprogo yaitu DAS Serang, Bogowonto, dan Progo kritis yang disebabkan oleh penurunan vegetasi dan sedimentasi. DAS kritis akan mengakibatkan
3
bencana seperti banjir dan longsor apabila tidak segera ditangani (Sabandar, 2014). Selanjutnya Suara Merdeka, 12 Oktober 2012, menyatakan bahwa ratusan hektar lahan pertanian, tambak udang, dan permukiman warga di sekitar hilir Sungai Bogowonto terancam banjir akibat tertutupnya muara (Damaryanti, 2012). Permasalahan yang muncul dalam Focus Group Discussion (FGD) penyusunan Rencana Pengelolaan DAS Bogowonto Terpadu diantaranya adalah sedimentasi (BPDAS Serayu Opak Progo, 2012). Masyarakat di bagian hulu DAS Bogowonto banyak bertani tanaman kentang tanpa disertai dengan tindakan konservasi. Keadaan ini menyebabkan tanah menjadi mudah tererosi dan tentunya akan diikuti dengan sedimentasi. Permasalahan di DAS Bogowonto hasil FGD dapat dilihat dalam Tabel 1.4. Tabel 1.4 Permasalahan Tiap Sub DAS di DAS Bogowonto Nama Sub No. DAS 1. Bagelen
2. 3.
Bogowonto Tengah Dekso
4.
Gading
5.
Gesing
6.
Keduren
7.
8. 9. 10. 11.
Permasalahan
Lokasi
- Debit pada musim kemarau kecil - Musim penghujan debit melimpah, menyebabkan banjir - Sedimentasi Menurunnya debit
Kecamatan Bagelen, Purwodadi, Ngombol
- Debit pada musim kemarau kecil - Musim penghujan debit melimpah, menyebabkan banjir - Rawan longsor - Menurunnya debit pada musim penghujan - Rawan longsor/erosi Debit pada musim kemarau kering
Kecamatan Purwodadi, Ngombol
- Pada musim penghujan banjir - Musim kemarau kekurangan air Kodil - Pada musim penghujan banjir - Sedimentasi - Musim kemarau kekurangan air Mongo Debit musim kemarau kecil Ngasinan Debit musim kemarau kecil Plamping Debit musim kemarau menurun drastis cenderung kering Semanggung - Debit musim kemarau kecil - Sedimentasi
Kecamatan Gebang
Kecamatan Loano
Kecamatan Kaligesing, Purworejo, Ngombol Kecamatan Purwodadi, Ngombol Kecamatan Purwodadi, Ngombol Kecamatan Bener, Loano Kecamatan Bagelen Kecamatan Bagelen Kecamatan Bagelen, Ngombol, Purwodadi
Sumber: BPDAS Serayu Opak Progo, 2012
4
Berdasarkan data analisis statistik Balai Pengelolaan DAS Serayu Opak Progo (2013) menyebutkan bahwa dari total luasan DAS Bogowonto sebesar 59.498,44 Ha sekitar 14,98% dalam kondisi kritis dan 34,58% dalam kondisi agak kritis. Lahan kritis menjadi salah satu indikator suatu DAS mengalami degradasi (Paimin, dkk., 2006). Degradasi lahan erat kaitannya dengan perubahan penggunaan lahan. Hal ini disebabkan setiap perubahan penggunaan lahan selalu diikuti dengan perubahan penutup lahan. Perubahan penggunaan lahan mengubah tata ruang dan keseimbangannya (Sumaatmadja, 1988). Perencanaan wilayah khususnya tentang pengaturan pemanfaatan
lahan
sangat
diperlukan
untuk
mencegah
terjadinya
ketidakseimbangan antara penggunaan lahan dan kebutuhan lahan. Perencanaan wilayah menghasilkan produk berupa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang digunakan sebagai pedoman pembangunan terutama terkait dengan pengembangan struktur ruang dan pembentukan pola ruang. Namun demikian produk RTRW yang ada di berbagai daerah selama ini masih jauh dari harapan (Syarifudin, 2013). Penggunaan lahan merupakan aktifitas nyata yang dilakukan oleh manusia dan selalu berkembang seiring meningkatnya kebutuhan (Purwantoro & Hadi, 1996). Perubahan penggunaan lahan akan memberikan dampak, terutama dalam pendekatan DAS adalah tidak berjalannya fungsi alami DAS. Arahan pemanfaatan lahan telah diatur dalam RTRW daerah, khususnya pada rencana pola ruang. Akan tetapi belum tentu hal ini dilaksanakan sepenuhnya, terbukti dengan adanya sedimentasi seperti dijelaskan sebelumnya. Terkait dengan hal tersebut, maka dilakukan penelitian ini dengan judul “Kajian Perubahan Penggunaan Lahan DAS Bogowonto terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah dalam Rangka Pengendalian Sedimentasi”. Diharapkan dengan penelitian ini, dampak yang terjadi dapat dikurangi atau dicegah.
1.2 Perumusan Masalah Aktifitas di DAS seperti perubahan penggunaan lahan akan mengubah ekosistem sehingga mempengaruhi output DAS di hilir seperti sedimen.
5
Peningkatan jumlah penduduk mengakibatkan perbandingan jumlah penduduk dan lahan pertanian tidak seimbang. Keadaan tersebut didukung dengan keterbatasan lapangan pekerjaan mendorong dilakukannya perambahan hutan untuk dijadikan lahan pertanian. Sementara itu karena kendala keterampilan, pengolahan lahan pertanian dilakukan dengan tidak memperhatikan kaidah konservasi. Akhirnya lahan menjadi kritis dan rentan terhadap erosi. Penebangan terhadap pepohonan untuk dijadikan lahan pertanian ataupun lahan terbuka lainnya akan mengurangi vegetasi penutup lahan. Pada saat terjadi hujan maka akan terjadi peningkatan daya pukul curah hujan, limpasan, dan terjadi erosi. Meningkatnya erosi terutama di daerah hulu pada akhirnya akan meningkatkan muatan sedimen yang dibawa oleh aliran sungai menuju hilir. Terakumulasinya sedimen (sedimentasi) akan menimbulkan masalah terutama di daerah hilir. Pada saat musim penghujan, sungai tidak dapat menampung debit aliran yang besar sehingga meluap dan menggenangi daerah di sekitarnya. Sedimentasi juga dapat menyebabkan tertutupnya muara sungai sehingga dapat menimbulkan banjir pada saat debit besar datang. Banjir akan merugikan masyarakat sekitar karena merusak pertanian tambak dan udang. Permasalahan di DAS Bogowonto tersebut disebabkan oleh adanya degradasi lahan yang semakin meningkat seiring berjalannya waktu. Degradasi lahan berhubungan erat dengan perubahan penggunaan lahan. Menurut (Sumaatmadja, 1988), perubahan penggunaan lahan akan mengubah tata ruang dan keseimbangannya. Perencanaan wilayah khususnya tentang pengaturan pemanfaatan
lahan
sangat
diperlukan
untuk
mencegah
terjadinya
ketidakseimbangan. Daerah administrasi dalam DAS Bogowonto telah membuat perencanaan wilayah tersebut dalam bentuk RTRW, terutama pada bagian rencana pola ruang. Akan tetapi arahan tersebut belum diterapkan sepenuhnya, sehingga dapat menimbulkan dampak sedimentasi yang dapat merugikan masyarakat. Berdasarkan penjelasan rumusan masalah tersebut, maka pertanyaan untuk penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana perubahan penggunaan lahan di DAS Bogowonto?
6
2. Bagaimana perubahan penggunaan lahan di DAS Bogowonto terhadap RTRW? 3. Bagaimana dampak perubahan penggunaan lahan terhadap index lindung lingkungan dan sedimentasi? 4. Bagaimana rekomendasi arahan fungsi penggunaan lahan yang tepat untuk pengendalian sedimentasi di DAS Bogowonto?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasar pertanyaan dalam rumusan masalah sebelumnya, maka tujuan penelitian ini, antara lain: 1. Mengkaji perubahan penggunaan lahan di DAS Bogowonto. 2. Mengevaluasi perubahan penggunaan lahan eksisting terhadap RTRW. 3. Mengkaji dampak perubahan penggunaan lahan terhadap index lindung lingkungan dan sedimentasi. 4. Memberikan rekomendasi arahan fungsi penggunaan lahan yang tepat untuk pengendalian sedimentasi.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini terdiri atas manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat teoritis penelitian yaitu dapat menjelaskan hubungan antara perubahan penggunaan lahan dan sedimentasi dalam lingkup DAS. Manfaat praktis penelitian yaitu dapat memperoleh informasi terkait penggunaan lahan, dinamika perubahan yang terjadi, dan dampak sedimentasi yang ditimbulkan sehingga diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman para pengambil kebijakan dalam me-review RTRW khususnya rencana pola ruang.
7