BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kebutuhan kecepatan dan bandwidth untuk komunikasi semakin meningkat secara signifikan. Salah satu teknologi yang menjadi solusi adalah sistem transmisi berbasis cahaya yaitu komunikasi serat optik. Keuntungan utama dari sistem komunikasi ini dibandingkan dengan komunikasi lain seperti komunikasi tembaga, radio, dan satelit adalah tingkat kecepatan yang tinggi dan bandwidth yang lebar. Disamping itu, dengan redaman dan Bit Error Rate (BER) yang sangat kecil, serat optik mampu menjadi jalan keluar bagi permasalahan kebutuhan yang semakin meningkat. Pengiriman untuk jarak jauh dengan kapasitas yang besar sangat efektif apabila digunakan sistem multipleks pada transmisinya. Penggunaan multipleks pada serat optik untuk jarak jauh yang umum digunakan adalah Dense Wavelength Division Multiplexing (DWDM) yang mampu membawa banyak kanal komunikasi dalam satu serat optik dengan panjang gelombang yang berbeda-beda. Di Indonesia sendiri, penggunaan DWDM sudah banyak diaplikasikan untuk menghubungkan pulau-pulau besar di Indonesia seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Jawa. Salah satu jaringannya adalah JASUKA yaitu jaringan fiber optik yang menghubungkan pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. JASUKA memiliki total jarak 1800 km dengan penggunaan 32 panjang gelombang. Namun penggunaan sistem transmisi optik memiliki efek yang membatasi pengiriman dan kecepatan pengiriman data. Efek ini terbagi menjadi efek linier dan efek non-linier. Efek linier meliputi redaman dan dispersi pada serat optik yang digunakan. Sedangkan efek nonlinier timbul akibat respon dari bahan dielektrik terhadap cahaya. Dispersi diakibatkan oleh modus-modus cahaya pada pulsa optik yang bergerak dengan kecepatan grup berbeda-beda, sehingga menyebabkan pelebaran pulsa ketika sampai di penerima. Fenomena ini disebut juga Group Velocity Dispersion (GVD).[1] Dispersi dapat mengurangi kecepatan pengiriman data karena modus-modus yang menjalar saling berhimpit di dalam serat optik. Disamping sifat dispersi pada serat optik, respon dari bahan dielektrik terhadap cahaya akan menimbulkan efek non-linier. Efek non-linier akibat perubahan indeks bias terhadap 1
daya optik (non-linier refractive index) terbagi menjadi Self Phase Modulation (SPM) yang menyebabkan pergeseran fasa pada serat optik, Cross Phase Modulation (XPM) atau pengaruh panjang gelombang terhadap fasa gelombang lain, dan Four Wave Mixing (FWM) atau pemunculan panjang gelombang setelah tiga panjang gelombang lain digunakan.[4] Salah satu sifat dari masing-masing efek diatas dapat dikombinasikan untuk saling mengimbangi selama penjalaran cahaya pada serat optik. Yaitu antara SPM dan GVD, prinsip ini digunakan pada pulsa soliton. Seorang ilmuan Jepang bernama Akira Hasegawa di tahun 1973 pertama kali menunjukkan bahwa soliton dapat digunakan dalam komunikasi serat optik. Dilanjutkan oleh Robin Bullough secara matematis dan mengusulkan sistem transmisi berbasis soliton pada serat optik. Pulsa soliton sendiri merupakan pulsa yang dapat mempertahankan bentuk pulsanya sampai di penerima dengan jarak yang sangat jauh.[1][6][8] SPM sebagai gejala munculnya modulasi baru dalam pengiriman sinyal akan diseimbangkan dengan GVD sebagai gejala dispersi. Sehingga ketika salah satu sifat tersebut hilang, maka hilang juga sifat solitonnya. Penelitian ini pulsa soliton yang dibangkitkan dengan Gaussian Pulse Generator (GPG) dan Secant Hyperbolic Pulse Generator (SPG) dibandingkan secara kualitatif dan kuantitatif. Parameter yang diubah adalah bit rate. Skenario pertama dilakukan simulasi dengan single link sampai jarak 1800 km dengan melakukan perubahan bit rate dari 10, 20, 30, dan 40 Gbps. Setelah itu dilakukan simulasi DWDM dengan menggunakan parameter yang hampir sama dengan jaringan JASUKA diantaranya jarak 1800 km, 32 panjang gelombang dan bit rate 10 Gbps.
1.2 Tujuan Mensimulasikan dan menganalisis perbedaan pulsa soliton yang dibangkitkan oleh GPG dan SPG dengan melihat parameter Q factor dan bentuk pulsa dalam domain waktu dengan mengubah parameter jarak dan laju pengiriman data. Jarak diubah dari 180 – 1800 km, sedangkan bit rate diubah dari 10, 20, 30, dan 40 Gbps. Setelah itu, pada transmisi DWDM dilakukan simulasi untuk membandingkan kualitas sinyal pada masing-masing pembangkit tersebut. Simulasi ini dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak.
2
1.3 Rumusan Masalah Peningkatan kebutuhan bandwidth dan kecepatan pengiriman data mengharuskan teknologi terus berkembang. Salah satu yang sedang berkembang adalah transmisi soliton. Soliton merupakan sebuah pulsa yang dapat mempertahankan bentuknya akibat keseimbangan efek GVD dan SPM. Pulsa soliton sendiri dapat dibangkitkan dengan dua pembangkit yaitu Gaussian Pulse Generator (GPG) dan Sech Pulse Generator (SPG).[6][8] Apabila dilihat dari bentuk pulsanya, baik pulsa Gaussian maupun pulsa Sech memiliki kemiripan dengan pulsa yang biasa digunakan seperti LED dan LASER. Namun kedua pembangkit ini memiliki keunggulan yaitu sistem modulasi secara langsung (internal modulation). Yaitu pulsa secara langsung dibangkitkan dan dimodulasikan dalam domain cahaya. Meskipun memiliki bentuk yang serupa, namun kedua pembangkit ini memiliki kekurangan. Saat dibangkitkan, pulsa sech akan memiliki lebar pulsa yang lebih sempit daripada pulsa Gaussian. Ketika ditransmisikan pulsa sech akan mengalami pelebaran pulsa cenderung stabil dibandingkan dengan pulsa Gaussian.[2][8] Pada penelitian ini dilakukan perbandingan antara kedua pulsa Gaussian dan pulsa sech dengan parameter yang sama ditransmisikan dengan memberikan efek linier dan nonlinier pada serat optik. Data yang diperoleh dibandingkan secara kualitatif antara kedua pulsa tersebut, baik transmisi untuk single link maupun DWDM. Parameter yang diubah adalah bit rate 10 – 40 Gbps dan jarak sampai 1800 km. Setelah itu, perbandingan dilakukan pada jaringan DWDM dengan bit rate dan jarak yang tetap. 1.4 Batasan Masalah Batasan masalah dalam penelitian ini yaitu: 1.
Software yang digunakan untuk simulasi adalah optisystem versi 13.0
2.
Melakukan simulasi transmisi soliton dengan pembangkit GPG dan SPG tanpa membahas perangkat secara mendalam.
3.
Panjang lintasan transmisi maksimal 1800 km dengan bit rate 10, 20, 30, dan 40 Gbps.
4.
Menggunakan amplifier EDFA.
5.
Panjang lintasan untuk DWDM adalah 1800 km dengan bit rate 10 Gbps.
6.
Pada transmisi DWDM digunakan spasi kanal 50 GHz atau 0.4 nm dengan jumlah kanal 2, 4, 8, 16, 32. 3
7.
Panjang gelombang yang digunakan dari 1552.52 nm – 1540.16 nm atau 193.1 THz – 194.65 THz.
8.
Analisis yang dilakukan menggunakan BER analyzer dan OTDV.
1.5 Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan metode simulasi menggunakan software. Pertama pulsa soliton dibangkitkan secara bergantian dengan GPG dan SPG. Setelah itu dilakukan pengubahan parameter jarak dari 0 – 1800 km dan bit rate 10 – 40 Gbps. Selanjutnya dilakukan simulasi pada jaringan DWDM dengan parameter jumlah kanal dari 2, 4, 8, 16, 32 panjang gelombang, spasi kanal 0.4 nm, bit rate 10 Gbps dan jarak 1800 km. Parameter yang dianalisis adalah Q factor menggunakan BER analyzer dan bentuk pulsa dalam domain waktu menggunakan Optical Time Domain Visualizer (OTDV). 1.6 Sistem Penulisan Penulisan buku tugas akhir ini disusun secara sistematis dengan uraian sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN Bab ini membahas latar belakang, tujuan, perumusan dan batasan masalah, tahapan penelitian serta sistem penelitian.
BAB II
DASAR TEORI Bab ini membahas tentang teori yang berkaitan langsung dengan penelitian yang dilakukan, seperti sistem komunikasi optik, prinsip soliton, efek linier dan non-linier, dan DWDM.
BAB III
PERANCANGAN DAN SIMULASI Bab ini menjelaskan tentang perancangan dan simulasi sistem transmisi soliton menggunakan GPG dan SPG pada single link dan DWDM.
4
BAB IV
ANALISIS SIMULASI Bab ini membahas analisis hasil percobaan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis dilakukan terhadap parameter kinerja sistem yang diamati yang memuat grafik, tabel, dan penjelasan hasil simulasi.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini menjelaskan tentang kesimpulan dari analisis soliton dengan GPG dan SPG, pengaruh bit rate dan jarak serta kanal maksimum pada transmisi DWDM. Selain itu, bab ini berisi saran yang mendukung untuk perkembangan penelitian selanjutnya.
5