BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemenangan Bharatiya Janata Party (BJP) dalam pemilu India tahun 2014 merupakan kemenangan yang melebihi ekspektasi banyak pihak. Kemenangan BJP kali ini tentunya berbeda dengan kemenangannya pada pemilu 1996. Dalam pemilu 1996 dan 1998, perolehan kursi di Lok Sabha dimenangkan BJP namun bukan sebagai partai mayoritas, melainkan sebagai partai terbesar di Lok Sabha dengan perolehan 161 kursi dan 176 kursi berturut-turut. 1 Sementara pada pemilu 2014 secara luar biasa BJP mampu menyapu separuh lebih kursi di Lok Sabha dengan perolehan 282 kursi dari 543 kursi yang diperebutkan. Kemenangan BJP ini tidak hanya mengejutkan media nasional namun juga internasional. BBC misalnya menyebut kemenangan BJP dengan istilah ‘truly gigantic’. 2 Pasalnya banyak ilmuwan yang memprediksi bahwa pada pemilu kali ini National Democratic Alliance (NDA) koalisi partai yang dipimpin BJP akan mengambil alih pemerintahan yang selama satu dekade terakhir dipegang oleh Partai Kongres dan UPA (United Progressive Alliance), namun tidak banyak yang menyangka bahwa BJP akan memperoleh kemenangan seperti ini. Fenomena ini merupakan fenomena yang tidak pernah terjadi di India selama dua puluh tahun terakhir. Tepatnya sejak pemilu tahun 1984 dimana hasil pemilu India tidak pernah menempatkan satu partai mayoritas. Sementara itu, sejak pemilu 1999 Partai Kongres mulai menunjukan peningkatan positif dalam perolehan jumlah kursi di Lok Sabha, yaitu 114 kursi pada pemilu 1999, 145 kursi pada pemilu 2004, dan 206 kursi pada pemilu 2009. BJP sebaliknya justru menunjukan penurunan dengan perolehan 182 kursi pada pemilu 1999, 138 kursi pada 2004 dan 116 kursi 1
2
J. McGuire & G. Reeves, ‘The Bharatiya Janata Party, Ayodhya, and the Rise of Populist Politics in India,’ dalam G. Mazzoleni, J. Stewart & B. Horsfield (eds.), The Media and Neo-populism: A Contemporary Comparative Analysis, Praeger Publisher, Westport, 2003, p. 96. E. Thorsen & C. Sreedharan (eds.), India Election 2014: First Elections, The Centre for the Study of Journalism, Culture and Community, Bournemouth University, Poole, 2015, p. 8.
1
pada pemilu 2009. Pasca-diumumkannya hasil pemilu 2009, banyak pihak yang melihat pemilu 2009 sebagai awal kembalinya dominasi Partai Kongres dalam politik dan pemerintahan India.3 Namun yang terjadi justru sebaliknya. Dalam pemilu 2014 dimana BJP berada pada perolehan jumlah kursi tertingginya, maka Partai Kongres menderita kekalahan terparah sepanjang sejarah politiknya, yaitu hanya memperoleh 44 kursi. Pemilu parlemen di India tahun 2014 berlangsung dengan damai tanpa kekerasan yang berarti. Pemilu ini digadang-gadang menjadi proses pengambilan suara terbesar dan terlama di dunia, dengan jumlah kandidat 8.251 jiwa dan jumlah pemilih terdaftar mencapai angka 834,08 juta; serta berlangsung selama 36 hari dari 7 April sampai 12 Mei 2014 dan terbagi ke dalam sembilan fase.4 Pemilu ini juga diikuti oleh 484 partai, baik partai nasional maupun regional (state-based parties). Jumlah ini 121 lebih banyak bila dibandingkan dengan pemilu parlemen tahun 2009 dan hampir dua kali lipat dari jumlah partai yang berkompetisi di tahun 2004. Akan tetapi, meledaknya jumlah partai yang turut serta dalam kompetisi memperebutkan kursi di Lok Sabha ini tidak memengaruhi hasil dari pemilu dimana jumlah partai yang berhasil menjadi perwakilan di parlemen justru malah menurun dari 39 menjadi 35. Dalam pemilu kali ini India juga memiliki jumlah pemilih (turnout voters) terbanyak dalam sepanjang sejarah pemilunya, yaitu mencapai 66,4%. 5 Hal ini menunjukan bahwa India tidak hanya memperlihatkan kompetisi politik yang tinggi, melainkan juga peningkatan partisipasi politik di kalangan warga negaranya. Hal menarik lainnya dari pemilu India kali ini adalah meledaknya jumlah pemilih perdana (first time electors) yang mencapai angka 120,53 juta jiwa atau sekitar 14,47% dari jumlah pemilih terdaftar secara keseluruhan.6 Mereka adalah anak-anak muda yang pada pemilu parlemen 3
4 5 6
P. Wallace, ‘Introduction: Political Stability and Governance Coherence,’ dalam P. Wallace & R. Roy (eds.), India’s 2009 Elections: Coalition Politics, Party Competition, and Congress Continuity, Sage Publications, New Delhi, 2011, p. 10. E. Thorsen & C. Sreedharan (eds.), p. 7. E. Thorsen & C. Sreedharan (eds.), p. 34. D. Basu & K. Misra, ‘BJP’s Demographic Dividend in the 2014 GeneralElections: an Empirical Analysis,’ dalam Working Paper 2012-06, Department of Economics, University of Massachusetts, Amherst, 2014, p. 11.
2
India tahun 2009 belum mengikuti syarat sebagai pemilih (kisaran usia 15– 19 tahun di tahun 2011) namun mendapat kesempatan memilih pada pemilu kali ini. Dengan jumlah sebanyak ini, maka pemilih perdana menjadi vote bank yang diincar oleh partai politik. Hal ini kemudian menjadi salah satu penyebab masifnya penggunaan internet dalam pemilu parlemen India kali ini. Propaganda melalui internet, seperti situs-situs jaringan Twitter, Facebook, Youtube, dan website, yang menjanjikan akses langsung terhadap pemilih perdana menjadi semacam trend dalam pemilu India kali ini. Kemenangan BJP seolah mematahkan dogma yang selama ini telah hidup di India, bahwa partai politik tidak akan dapat menguasai parlemen di India tanpa dukungan dari pemilih Muslim, selaku penduduk minoritas dengan jumlah populasi terbanyak di India. BJP sendiri dikenal sebagai partai dengan ideologi Hindu nasionalis yang pada tahun 1990-an memobilisasi masyarakat Hindu untuk menuntut sejumlah kebijakan melawan Muslim seperti penghapusan pasal 370 yang memberikan status khusus kepada wilayah Jammu dan Kashmair, pembangunan kembali kuil Rama di tanah kelahirannya, Ayodhya, yang saat itu tempat di mana Masjid Babri berdiri (dikenal dengan gerakan Ram Janmabhooni), serta pengimplementasian uniform civil code. 7 BJP mengklaim bahwa India memerlukan positive secularism karena perbedaan perlakuan terhadap warga India berdasarkan agama tidak akan menciptakan persamaan bagi kelompok masyarakat dan warga India secara keseluruhan. 8 Namun pada pemilu parlemen India kali ini, BJP dapat memenangkan pemilu dan menjadi partai mayoritas di Lok Sabha meskipun hanya dengan sedikit dari dukungan Muslim. Menurut penulis, hal inilah yang membuat faktor kemenangan BJP dalam pemilu parlemen India tahun 2014 menjadi semakin menarik untuk ditelusuri.
7
8
A. Sharma, ‘A Shift from Identity Politics in the 2014 India election: the BJP towards Moderation,’ dalam E. Thorsen & C. Sreedharan (eds.), p. 18. A. Nadadur, ‘The Muslim Threat and the Bharatiya Janata Party’s Rise to Power,’ dalam Peace and Democracy in South Asia (jurnal), vol. 2, no. 1&2, 2006, p. 101 – 102.
3
1.2. Rumusan Masalah India sebagai negara demokrasi mengandalkan pemilu sebagai sarana untuk mempertahankan keberlangsungan demokrasinya. Pemilu tidak hanya menjadi pertanda adanya pergantian kekuasaan secara berkala, namun juga memberikan kesempatan bagi partisipasi dan kontestasi politik bagi rakyat India secara bebas dan adil. Dalam pelaksanaannya pemilu India kerap diwarnai perselisihan yang sengit antara dua kubu partai terbesar yakni UPA dan NDA, khususnya bagi pemimpin koalisi yaitu Partai Kongres dan BJP. Dalam pemilu parlemen 2014 sendiri BJP secara mengesankan mampu menjadi partai mayoritas dengan kemenangan jumlah kursi Lok Sabha sebanyak 282 kursi dari 543 yang diperebutkan. Demikian, berdasarkan pemaparan latar belakang tersebut, dalam penelitian ini penulis mengajukan rumusan masalah sebagai berikut, “mengapa BJP menang dalam pemilu parlemen India tahun 2014?”
1.3. Landasan Konseptual Penulis akan menggunakan konsep campaign strategies of political actors (strategi kampanye aktor politik) yang disusun oleh Hanspeter Kriesi, Laurent Bernhard, dan Regula Hanggli, untuk menjawab rumusan masalah di atas. Konsep ini menjelaskan bagaimana strategi kampanye yang dilakukan oleh aktor politik bisa memberikan pengaruh kepada hasil pemilu dimana pada kampanye politik merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pemilu meskipun banyak ilmuwan politik yang beranggapan bahwa kampanye politik hanya memiliki efek yang minimal dalam memengaruhi perilaku pemilu. Hingga kemudian studi yang berkembang dewasa ini mulai memperhitungkan kampanye sebagai proses yang bisa menjadi sangat menentukan politik formal. Akan tetapi, studi mengenai kampanye politik sendiri cenderung fokus pada perilaku pemilih (voter behaviour) saja dan sangat sedikit memberikan perhatian kepada aktor yang melakukan kampanye politik. Hal ini yang melatarbelakangi Kriesi, Bernhard, dan Hanggli mengajukan konsep strategi kampanye aktor politik
4
(campaign strategies of political actors) yang penjelasannya beranjak dari pendekatan heuristik sederhana. 9 Kerangka dari konsep ini berangkat dari tiga asumsi. Asumsi pertama yaitu bahwa publik pada umumnya tidak terlalu banyak memberikan perhatian pada politik dan hanya mengetahui sedikit saja tentang politik. Akan tetapi sebagian besar dari publik siap untuk mempelajari tentang kandidat dan isu-isu yang disampaikan, bila sudah mendekati tanggal pemilu. Asumsi kedua yaitu aktor politik sangat bergantung pada media khususnya untuk mendapatkan perhatian (attention) terhadap pesan-pesan dan seruan kampanyenya serta utamanya untuk mendapat dukungan (support) dari publik dalam bentuk suara (vote). Dan asumsi ketiga, bahwa aktor politik yang membuat pilihan-pilihan strategis sangat dipengaruhi dan melekat pada konteks politik (political context) yang terdiri dari aspek-aspek institusional, kultural, isu, dan aktor. Konteks politik spesifik ini akan menentukan konfigurasi aktor yang terlibat dalam proses kampanye dan menentukan kesempatan untuk sukses. Dengan kata lain, kampanye dan hasil pemilu sangat mungkin dibangun oleh institutional setting dan kemampuan aktor politik memanfaatkan konteks politik yang ada dalam memperbesar kesempatan untuk sukses. Berikut adalah konteks politik yang berlangsung pada proses pemilu parlemen India tahun 2014, yaitu: (a) adanya faktor anti-Incumbency terhadap Partai Kongres yang meluas di kalangan warga India, (b) meledaknya jumlah first time electors (pemilih perdana) dan pemilih muda, dan (c) strategi kampanye partai politik yang mulai banyak dilakukan di media sosial online. Faktor anti-incumbency maksudnya adalah gerakan melawan partai politik yang sedang berkuasa (incumbent) dan didasari rasa ketidakpuasan terhadap pemerintahan yang dijalankan atau sekedar jenuh dengan penguasa tersebut. Gerakan ini dalam pemilu mendorong pemilih untuk tidak memberikan suaranya kepada partai yang menjadi incumbent dan lebih memilih partai oposisi. Tujuannya agar incumbent tidak kembali menjabat 9
H. Kriesi, L. Bernhard, & R. Hanggli, Political Strategies in Direct-Democratic Campaigns, Working Paper No. 8, National Centre of Competence in Research (NCCR), Zurich, Juli 2007.
5
sebagai ruling party di pemerintahan mendatang. Di India gerakan antiincumbency merupakan hal umum di setiap pemilu di negara bagian dan terjadi pada partai politik apa pun. Namun di level nasional kecenderungan anti-incumbency terjadi hanya pada Partai Kongres yang telah menguasai politik India hampir 60 tahun lebih sejak India merdeka. Namun faktor antiincumbency kali ini tidak hanya dilatarbelakangi oleh Partai Kongres sebagai ruling party utama yang menguasai India sejak kemerdekaannya, melainkan
lebih disebabkan
karena pemerintahan
Partai Kongres,
khususnya pada periode pemerintahan UPA II (2009-2014) menunjukan penurunan popularitas yang tajam dengan diwarnai oleh skandal korupsi dan kinerja pemerintahan yang oleh partai oposisi disebut dengan paralysis of governance.10 First time electors merupakan istilah yang digunakan dalam penelitian ini untuk menyebutkan pemilih yang memiliki kesempatan untuk turut serta dalam pemilu untuk pertama kalinya atau sebagai pemilih perdana. Data yang digunakan merupakan hasil sensus yang dilakukan pada tahun 2011 dengan menghitung jumlah penduduk India yang berusia 15 – 19 tahun. Pada kisaran usia ini, dapat kita lihat jika mereka berusia 15 tahun pada 2011 maka mereka akan berusia 18 tahun yang artinya telah memenuhi syarat minimal usia untuk memilih, sedangkan mereka yang usia 19 tahun di tahun 2011, maka mereka berusia 17 tahun pada tahun 2009 yang artinya mereka belum memenuhi syarat untuk memiliki hak pilih pada pemilu parlemen tahun 2009, sehingga pemilu tahun 2014 akan menjadi pemilu pertama mereka. Sensus India yang dilakukan pada tahun 2011 menunjukan adanya sejumlah 120 juta penduduk India yang berusia 15 – 18 tahun, dan 23 juta penduduk berusia 18-19 tahun yang pada pemilu tahun 2014 memenuhi syarat untuk memilih. 11 Sehingga total first time electors atau pemilih perdana yang memiliki kesempatan memilih untuk pertama kalinya pada pemilu parlemen India tahun 2014 berkisar 120,53 juta jiwa atau 14,47% 10
11
V. S. Sambandan, ‘Computer-mediated Communication and the Ascent of Narendra Modi,’ dalam E. Thorsen & C. Sreedharan (eds.), p.127. S. Rukmini, ‘2014 Lok Sabha Poll will See Most First Time Voters,’ dalam The Hindu(daring), 21 Februari 2014,
, diakses pada 21 Maret 2016.
6
dari total pemilih. First time electors yang tergolong dalam anak-anak muda ini umumnya cenderung tidak melekatkan diri pada partai, tidak berideologi, dan pragmatis sehingga menjadi sasaran mobilisasi partai politik di India yang berdampak pada mulai meluasnya penggunaan internet sebagai sarana melakukan kampanye politik. Dalam proses komunikasi selama kampanye berlangsung, media memang menjadi salah satu perantara penting antara aktor politik dengan publik. Aktor politik dalam proses kampanye akan berusaha mengontrol sesama politikus, media, dan publik agar menanamkan pesan-pesan kampanyenya. Aktor politik pada dasarnya menjadi inti dari konsep ini karena mereka yang umumnya menginisiasi kegiatan politik dan menyediakan informasi-informasi penting dalam kampanye, namun media memiliki peranan penting juga dalam menyampaikan informasi ke publik. BAGAN 1 : Hubungan tiga aktor utama dalam proses kampanye politik12
Dalam strategi kampanye, aktor politik yang terlibat akan membentuk koalisi (coalition formation), kemudian melancarkan strategi kampanye yang oleh Kriesi, Bernhard, dan Hanggli dibedakan dalam dua rangkaian, yakni mobilisasi dan mengolah pesan kampanye (crafting of the messages). Pembentukan koalisi merupakan dimensi yang krusial bagi hasil pemilu karena upaya pembentukan koalisi yang kohesif menunjukan dua 12
H. Kriesi, L. Bernhard, & R. Hanggli, Political Strategies in Direct-Democratic Campaigns, Working Paper No. 8, National Centre of Competence in Research (NCCR), Zurich, Juli 2007, p. 4.
7
hal, 13 yaitu: pertama menunjukan kapasitas strategis aktor politik yang meliputi pengetahuan yang menonjol, proses heuristik, motivasi, sumber finansial, personalia dan informasi; sedangkan yang kedua menunjukan sejumlah dukungan yang besar bagi aktor politik tersebut. Semakin besar dan kohesif koalisi yang dibentuk, maka semakin besar pula jumlah dukungan dari
pemilih
yang
kecenderungannya
sejalan
dengan
alasan
yang
dipertahankan oleh koalisi ini. Berikutnya dalam strategi mobilisasi, ada tiga hal yang perlu diperhatikan, pertama mengenai waktu (timing). Menurut mereka, penting untuk memulai agenda kampanye lebih awal dan lebih intens. Timing juga bisa dipengaruhi oleh exogenous shock, yaitu peristiwa yang terjadi di luar kampanye dan tidak bisa dipengaruhi oleh aktor kampanye, tetapi dapat digunakan untuk keuntungan kampanye. Exogenous shock ini bisa jadi terjadi sebelum kampanye yang turut membentuk suasana politik pada umumnya. Yang kedua adalah targeting. Targeting yaitu proses memilih dan memilah kelompok pemilih dalam pemilu. Tujuannya yaitu untuk memaksimalkan perolehan suara dengan melakukan mobilisasi pada setiap kelompok pemilih yang menjadi target. Kelompok pemilih bisa dibedakan berdasarkan kriteria politik, sosio-ekonomi, dan geografis. Selain itu, strategi targeting juga dipengaruhi oleh distribusi kecenderungankecenderungan politik yang ada. Kecenderungan ini dibedakan antara kecenderungan politik secara umum dan berdasarkan spesifik isu. Berdasarkan kecenderungan politik secara umum kelompok pemilih terbagi ke dalam tiga kelompok: konstituen mereka, konstituen lawan, dan scorekeeper –yaitu mereka yang tidak melekatkan diri pada partai politik manapun, cenderung tidak berideologi dan bersifat pragmatis atau umum disebut dengan median voter. Sebagian besar rakyat India cenderung dikategorikan sebagai kelompok yang ketiga ini, kecuali di beberapa negara bagian tertentu.
13
H. Kriesi, L. Bernhard, & R. Hanggli, pp. 18-19.
8
Sedangkan berdasarkan spesifik isu, pemilih juga terbagi ke dalam tiga kelompok: kelompok yang favorable atau menguntungkan bagi posisi aktor politik, kelompok yang sebaliknya tidak menguntungkan posisi aktor politik atau berlawanan posisi dengan aktor politik, dan kelompok yang ambigu. Kelompok yang ambigu ini bisa jadi karena mereka tidak terlalu perduli atau concern terhadap isu tersebut, atau belum pernah memikirkan isu tersebut sama sekali, atau keduanya. Konstituen utama seorang aktor politik adalah mereka yang partisan (melekat) terhadap partai politik dan mereka yang menguntungkan bagi posisi aktor politik dalam menanggapi suatu isu. Hubungan antara kecenderungan politik secara umum dan spesifik isu tidak begitu dekat. Pemilih atau konstituen cenderung cross-pressured. Walaupun pemilih cenderung berusaha keras untuk konsisten, tapi ketika mereka berada pada posisi cross-pressured, maka resolusinya bukan pada loyalty terhadap partai, namun bisa dijelaskan dengan Michigan model’s yang disebut funnel of causality. 14 Jadi dalam hal ini partai politik bisa diibaratkan sebagai pelabuhan, sementara spesifik isu bisa dilihat sebagai daya tarik yang menarik pemilih agar berlabuh di pelabuhan mereka. Sehingga semakin besar jumlah pemilih yang ambigu dan yang kecenderungannya cross-pressured, maka semakin besar pula ruang manuver untuk kampanye partai politik. Pemilih yang mengambang ini pada gilirannya akan banyak dipengaruhi oleh isu-isu yang menonjol dan dekat dengan mereka. Salah satu kelompok pemilih yang penting dalam setiap pemilu di India adalah median voters, pemilih yang mengambang, pragmatis, dan tidak berideologi. Dalam pemilu parlemen India tahun 2014, pemilih-pemilih perdana (first time electors) muncul sebagai vote bank yang menjadi incaran partai politik, tidak terkecuali BJP.
14
F. Marcinkowski & B. Pfetsch (eds.), p. 349.
9
TABEL 1 : Klasifikasi pemilih berdasarkan kecenderungan politik secara umum dan spesifik isu15 Issue-specific predisposition Favorable
General political predispositions Own constituency Scorekeepers Adversaries Core constituency Favorable Cross-pressured scorekeepers adversaries Ambiguous/ weak Ambiguous/ weak Ambiguous/ weak Ambiguous/ weak or non-existent constituency scorekeepers adversaries Unfavorable Cross-pressured Unfavorable Core adversaries constituemcy scorekeepers
Setelah
menentukan
kelompok
pemilih,
aktor
politik
bisa
melancarkan upaya untuk memobilisasi dengan memilih jalur komunikasi (choosing the communication channels) yang paling sesuai dengan kelompok tersebut. Di sini, partai politik akan sangat bergantung pada media. Oleh karenanya. Partai politk harus bisa memanfaatkan media sebaik mungkin untuk memengaruhi menggerakan dukungan pemilih. Dalam pemilu parlemen India kali ini, didapati peranan yang masif dari media online dan internet sebagai sarana kampanye BJP. Rangkaian strategi yang kedua yaitu crafting the message. Dalam rangkaian ini, terdapat dua jenis proses, yaitu framing (membingkai) melalui penekanan pada sebuah isu dan persuading (meyakinkan) melalui evaluasi terhadap kecenderungan politik yang sudah ada sebelumnya dan berusaha membujuk atau meyakinkan pemilih agar mendukung dan memberikan suaranya kepada aktor politik. Pada akhirnya, kedua proses ini akan menghasilkan pesan kampanye berupa seruan-seruan retorik (rhetorical appeals). Frasa-frasa retorik ini, menurut Johnston dkk, tidak hanya berperan dalam proses persuading, melainkan lebih besar lagi, yaitu mengarahkan perhatian pemilih ke suatu isu yang spesifik dan yang melingkupinya. Menurut Kriesi, Bernhard, dan Hanggli, dalam upaya memengaruhi posisi akhir publik dalam pemilu, aktor politik dalam memutuskan strategi kampanye akan didasarkan pada tiga pertimbangan berikut: argumen 15
H. Kriesi, L. Bernhard, & R. Hanggli, ‘The Politics of Campaigning – Dimension of Strategic Action,’ dalam F. Marcinkowski & B. Pfetsch (eds.), Politik in der Medien Demokratie, VS Verlag, Weisbaden, 2009, p. 350.
10
kognitif; pertimbangan emosional; dan pertimbangan heuristik. Berdasarkan argumen kognitif, seruan-seruan retorik (rhetorical appeals) dibedakan menjadi seruan negatif (negative appeals) dan seruan positif (positive appeals). Pada umumnya, sebagian besar seruan merupakan seruan-seruan negatif yang menyudutkan lawan. Riker menjelaskan bahwa melalui seruan negatif, aktor politik meletakan pemilih untuk mengambil keputusan di bawah tekanan akan resiko. 16 Menurutnya, meng-eksploitasi rasa takut pemilih merupakan salah satu elemen yang penting dalam kampanye karena strategi ini merugikan posisi lawan politik, sementara seruan positif cenderung hanya menarik pemilih yang sudah terlebih dahulu memang berada di pihak mereka. Selain itu, strategi aktor politik dalam menyerukan seruan retorik akan berbeda antara defenders of the status quo (SQ) dan reformers. SQ biasanya memiliki kesulitan untuk mempertahankan posisinya karena tidak memiliki
subyek
untuk
menggaungkan
perubahan
atau
reformasi
berdasarkan interpretasi retorik. SQ kemudian akan mencurahkan segala usahanya
mengeluarkan
argumen-argumen
negatif
untuk
melawan
reformers atau disebut dengan rhetoric of reaction yang memiliki tiga jenis argumen negatif menentang perubahan, yaitu perubahan menunjukan bahaya atau resiko (jeopardy), perubahan beresiko kesia-siaan atau kegagalan, dan bahkan argumen-argumen yang menentang segala perubahan (perversity of the reform). Partai
Kongres
dalam
hal
ini
selaku
aktor
politik
yang
mempertahankan status quo (SQ), melakukan berbagai upaya untuk menjatuhkan BJP dengan mempertanyakan ideologi partai. Partai Kongres menekankan bahwa BJP dan Modi akan membahayakan sekularisme India yang selama ini menyatukan keberagaman India. Selain itu, Partai Kongres yang menjadi lebih defensif juga membandingkan kinerja UPA dengan NDA untuk menunjukan bahwa pemerintahan BJP nantinya belum tentu akan lebih baik. Sebaliknya, BJP selaku reformers menawarkan suatu alternatif dari SQ yang pada dasarnya rentan dari serangan SQ. Kampanye 16
F. Marcinkowski & B. Pfetsch (eds.), p. 357.
11
yang dilakukan reformers sebagian besar mengandung argumen-argumen negatif yang berisi tentang kekurangan SQ yang perlu segera diatasi, kemudian menjanjikan perubahan yang dapat memperbaiki kekurangankekurang tersebut melalui kalimat-kalimat rhetoric of change, yang menekankan pada kondisi yang mendesak untuk perubahan, kesempatan yang lebih terbuka, dan kemungkinan-kemungkinan baru mengenai solusi isu. Dalam proses adu argumen terhadap suatu isu, masing-masing aktor akan berusaha menonjolkan isu yang menguntungkan posisinya dengan terus menggali segi-segi baru dari isu tersebut agar isu tersebut dapat mendominasi wilayah publik (public sphere). Dari kondisi semacam ini, kekuatan framing pada akhirnya akan ditentukan oleh kredibilitas aktor, salah satunya yaitu berupa reputasi yang telah dibangun dalam riwayat aktor. Pertimbangan yang kedua yaitu pertimbangan emosional yang berusaha menunjukan dampak emosi pemilih dalam menentukan pilihan. Bahwa seruan retorik pada dasarnya ditujukan untuk membangkitkan tanggapan-tanggapan emosional pemilih baik positif maupun negatif, seperti antusiasme, harapan, dan rasa kebanggaan ataupun rasa takut, gelisah, muak, marah, dan dendam. Psikolog telah menemukan bahwa emosi positif akan mampu memperkuat komitmen seseorang akan suatu kebiasaan (habitual commitments), sedangkan rasa takut menyela kebiasaan tersebut, meningkatkan motivasi untuk belajar, untuk mengetahui lebih lanjut mengenai isu atau kandidat, dan membuat mereka menjadi objek persuasi. Di sinilah pentingnya aktor politik menggabungkan argumen kognitif dan pesan-pesan emosional dalam kampanye politik. Pertimbangan yang ketiga berdasarkan pertimbangan heuristik, dibedakan antara actor-centered dan atau rule-based yang keduanya bisa menjadi positif maupun negatif. Melibatkan tokoh atau figur politik yang terkemuka
dan prestius bisa menimbulkan argumen positif. BJP
menampilkan sosok Narendra Modi sebagai calon perdana menteri yang akan membawa perubahan bagi India. Namun actor-centered ini pada dasarnya juga rentan mengingat publik pada umumnya mendambakan sosok
12
pemimpin yang sempurna. Stigmatisasi dan pendiskreditan terhadap aktor utama akan menjadi poin negatif yang bisa menjatuhkan partai secara keseluruhan. Sementara itu, rule-based melibatkan kemahiran, kompetensi, dan kelayakan otoritas penguasa untuk dapat dipercaya. Namun sebaliknya sangat mudah pula mengkritik penguasa dan prosedur pengambilan keputusan yang menunjukan ketidakmampuan, ketidaklayakan, dan penyalahgunaan kepercayaan. Sisi negatif dari rule-based ini menjadi ciri khas dari reformers yang populis dengan klaim bahwa rakyat telah dikhianati oleh penguasa, yaitu elit yang menyalahgunakan wewenang. Dengan begitu kedaulatan perlu dikembalikan ke tangan rakyat, berdasarkan interpretasi retorik. BAGAN 2 : Struktur pendekatan konsep strategi kampanye aktor politik (Kriesi, Bernhard, & Hanggli)17 context condition
institution culture/ mood issues exogenous shock predispositions
coalition formation
configuration of actors goals/ beliefs resources
strategies
impact
mobilizing - timing - targeting - choosing the channels) crafting the messages - framing - persuading
attention support
Dalam hal ini, penulis sedikit banyak akan membandingkan strategi kampanye yang dilakukan Narendra Modi bersama BJP dengan Partai Kongres,
untuk
menunjukan
keunggulan
Narendra
Modi
dalam
menjalankan kampanye politiknya dan membawa kemenangan bagi BJP dalam pemilu India kali ini.
17
F. Marcinkowski & B. Pfetsch (eds.), p. 346.
13
1.4. Argumen Utama Dalam penelitian ini, penulis beragumen bahwa kemenangan BJP dipengaruhi oleh tiga faktor utama. Pertama, faktor anti-incumbency terhadap Partai Kongres. Kedua,
faktor dukungan first time electors
(pemilih perdana). Dan ketiga, faktor strategi kampanye BJP yang agresif. Dalam melakukan kampanyenya terutama BJP memanfaatkan faktor antiincumbency dan mengkultuskan sosok Narendra Modi melalui media untuk menarik perhatian dan dukungan publik. Media yang paling masif digunakan adalah media internet yang menjangkau first time electors di samping media konvensional dan media-media berteknologi tinggi yang tidak lazim dalam sejarah kampanye pemilu India. Pemberitaan BJP dan Modi yang terus menerus di televisi dan surat kabar membuat popularitas Modi terus meningkat dan dominasi BJP dalam aliran informasi selama kampanye pemilu berlangsung. Kemenangan BJP dalam pemilu parlemen India tahun 2014 menurut penulis merupakan hasil dari kemampuan BJP mengkonversikan faktor yang pertama dan kedua, yaitu faktor antiincumbency dan first time electors, menjadi faktor ketiga yaitu strategi kampanye politik yang efektif. Sehingga ketiga faktor ini memiliki keterkaitan yang erat yang tidak dipisahkan dalam mengantarkan BJP dan Narendra Modi ke tampuk kekuasaan dalam politik dan pemerintahan India.
1.5. Metodologi Dalam tulisan ini penulis akan menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu studi pustaka. Penulis akan menggunakan buku, artikel online maupun surat kabar cetak, jurnal, serta makalah ilmiah lainnya yang membahas dan menyajikan data mengenai BJP dan pemilu parlemen di India, selama data tersebut relevan dengan topik dalam tulisan ini dan dapat dipertanggung-jawabkan ke-valid-annya. Bahasan dan data tersebut akan dirangkai secara sistematis sesuai kebutuhan dan kemudian diolah dan dianalisis berdasarkan landasan konseptual untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang diangkat dalam penelitian ini.
14
1.6. Jangkauan Penelitian Fokus dalam penelitian ini adalah selama diberlangsungkannya pemilu parlemen India tahun 2014, sejak proses kampanye hingga diumumkannya hasil pemilu. Namun demikian penulis akan menyertakan peristiwa-peristiwa di luar waktu tersebut, seperti sejarah dan kebangkitan BJP, perkembangan kampanye politik dalam pemilu India, dan atau kondisi sosial dan politik India selama pemerintahan UPA II, sebagai pengantar untuk memahami politik di India secara mendalam dan membentuk jawaban penelitian yang lebih komprehensif.
1.7. Sistematika Penulisan BAB I yang merupakan bagian PENDAHULUAN terdiri dari latar belakang penelitian, rumusan masalah penelitian, landasan konseptual, argumen
utama,
metodologi
penelitian, jangkauan
penelitian, dan
sistematika penulisan. BAB II yaitu BJP DALAM POLITIK DAN PEMERINTAHAN INDIA, terdiri dari lima subbab yakni subbab struktur pemerintahan nasional India, sistem pemilihan di India, partai dan sistem kepartaian di India, Bharatiya Janata Party dalam politik India, dan profil Narendra Modi. BAB III yaitu KEMENANGAN BJP DALAM PEMILU PARLEMEN INDIA TAHUN 2014 secara khusus akan menjawab pertanyaan dari penelitian ini, yaitu faktor yang mengantarkan kemenangan BJP dalam pemilu parlemen India tahun 2014. Terdiri dari tiga subbab, yaitu subbab Faktor Anti-Incumbency terhadap Partai Kongres, subbab Faktor Dukungan First Time Electors, dan subbab Faktor Keunggulan Strategi Kampanye BJP yang Agresif. BAB IV merupakan PENUTUP yang menjabarkan temuan penelitian secara ringkas dan menarik simpulan yang diperoleh dari penelitian.
15