BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Tato atau dalam kebudayaan Indonesia dikenal sebagai salah satu bentuk
praktik menato tubuh memberikan fenomena tersendiri dalam
masyarakat
terkait
pemakaiannya
dan
ketidaksetujuan mengenai tato. Perbedaan menilai
tato
memberikan
ilustrasi
yang
persepsi
setuju
atau
persepsi individu dalam tidak hanya secara equal
menjadikannya sebagai bentuk pilihan antara memakai atau tidak, suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, tetapi juga memperhatikan nilainilai lain di luar dua pilihan hitam-putih. Lebih dari sekedar bentuk persetujuan, penulis melihat tato bukan hanya sebagai wacana dalam bentuk ilustrasi gambar saja. Perkembangan pemaknaan tato yang individualistik tentunya memberikan warna tersendiri untuk dapat dilihat dari berbagai aspek. Tato memiliki banyak genre dari segi motif dan gambar, untuk zaman modern disaat ini, penulis melihat dan memperhatikan terjadinya peralihan. Lahirnya kembali motif-motif tato kuno dari berbagi daerah seperti Mentawai dan Dayak dan ada juga motif tato khas tradisional suku Maori dari Selandia Baru yang motifnya lebih digemari oleh mayoritas etnis Cina saat ini. Bicara tato-tato kuno mengajak penulis untuk kembali melihat sejarah, melihat peralihan saat ini membuat penulis untuk lebih mencari tahu bahwa memang sepertinya ada sesuatu yang berbeda entah itu dari penggayaan bentuk motif atau makna garis yang sekilas terlihat cukup asbtrak walaupun untuk model tato zaman dahulu sekalipun. Aturan budaya yang masih sangat kental, terlibat dalam ritual upacara adat dan masih berbau mistik juga supernatural. Banyak sumber yang didapat dari penulis bahwa tato pertama kali di dunia ialah berasal dari kepulauan Mentawai, serta dilansir dalam catatan Drs. Ady Rosa, M.Sn seorang dosen seni rupa Universitas Negeri Padang Sumatera Barat
sekaligus pengajar untuk Kajian Ilmu Budaya di Universitas Bung Hatta dan juga sebagai peneliti tato yang sudah 10 tahun lebih. Menurut magister seni murni Institut Teknologi Bandung (ITB) ini, orang Mentawai sudah menato badan sejak kedatangan mereka ke pantai barat Sumatera. Bangsa Proto Melayu ini datang dari daratan Asia (Indocina), yakni pada Zaman Logam, 1500 SM-500 SM, dan itu artinya, tato Mentawai-lah yang paling tua di dunia. Tato dikenal dengan istilah Titi. Dan di dalam penelitan Ady Rosa, selain Mentawai dan Mesir, tato juga terdapat di Siberia (300 SM), Inggris (54 SM), Indian Haida di Amerika, suku-suku di Eskimo, Hawaii dan Kepulauan Marquesas. Budaya me-rajah tubuh juga ditemukan pada suku Rapa Nui di Kepulauan Easter, suku Maori di Selandia Baru, dan Suku Dayak di Kalimantan. 1 Di Nusantara, tato juga dikenal terutama di beberapa suku-suku seperti suku dayak dan Mentawai. Pada masyarakat dayak, tato difungsikan sebagai tanda bangsawan yang diletakkan di pergelangan tangan dan kaki. Tato memiliki kedudukan guna menunjukkan jati diri seseorang,
perbedaan
serta
profesi
amat
berpengaruh
terhadap
kedudukan seseorang, seperti pada suku Dayak, Sikerei ialah sebutan untuk seorang dukun, dan beda ________________________ 1.
Effendy,Onong Uchjana. 2003. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Cetakan kesembilanbelas. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.
halnya lagi dengan seseorang yang ahli dalam berburu. Ahli berburu dapat dikenal lewat tato dengan gambar binatang tangkapannya, seperti tato dengan gambar babi, rusa, kera, burung atau buaya, dan sedangkan sikerei dapat diketahui lewat tato bintang atau dengan sebutan sibalu-balu di badannya. Bahkan ada referensi yang mengatakan bahwa jika seorang suku Dayak berhasil memenggal kepala musuhnya dalam perang atau biasa di sebut dengan ngayau maka dia mendapat tato di tangannya yang
menunjukkan ia sebagai seorang pejuang dan telah menjadi seorang bangsawan. Tato sebagai simbol keseimbang alam dan itu diakui oleh masyarakat Mentawai. Ekofak ialah benda-benda seperti batu, hewan dan tumbuhan merupakan kepercayaan yang mereka anggap memiliki jiwa sehingga harus diabadikan di kulit tubuh mereka. Manusia adalah mahluk budaya, dan budaya manusia penuh dengan simbol, sehingga dapat dikatakan bahwa budaya manusia penuh diwarnai dengan simbolisme yaitu suatu tata pemikiran atau paham yang menekankan atau mengikuti pola-pola yang mendasarkan diri kepada simbol atau lambang. Teori yang cukup representatif untuk mengkaji simbol ritual, membuat penulis mengutip pernyataan: “The symbol is the smallest of ritual which still retains the specific properties of ritual behavior. It is the ultimate unit of specific structure in a ritual context”. Simbol adalah unit atau bagian terkecil dalam ritual yang mengandung makna dari tingkah laku ritual yang bersifat khusus dan simbol tersebut merupakan unit pokok dari struktur khusus dalam konteks ritual. (Turner, 1982:19) pada bagian lain Turner juga ber-statement berkaitan dengan teori yang sama: “The ritual is an aggregation of symbols”. Agregasi atau simbol binatang dan tumbuhan merupakan ritual. (Turner, 1981:12) Mengulas kebudayaan, penulis ingin memaparkan secara singkat tentang semiotic dan kebudayaan, yang dikutip penulis berdasarkan buku Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya hasil karya Benny H. Hoed. Semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri makna. Sampai apa yang dimaksud dengan tanda, mulai ada masalah. Para strukturalis, merujuk pada Ferdinand de Saussure (1916), melihat tanda sebagai pertemuan antara bentuk (yang tercitra dalam kognisi seseorang ) dan makna (atau isi, yakni yang dipahami oleh manusia pemakai tanda). De Saussure menggunakan
istilah signifiant (signifier, Ing.; penanda, Ind.) untuk segi bentuk suatu tanda, dan signifie untuk segi maknanya. Dengan demikian, de Saussure dan para pengikutnya (antara lain Roland Barthes) melihat tanda sebagai sesuatu yang menstruktur (proses pemaknaan berupa kaitan antara penanda dan petanda) dan terstruktur (hasil proses tersebut) di dalam kognisi manusia. Dalam teori de Saussure, signifiant
bukanlah bunyi
bahasa secara konkret, tetapi merupakan citra tentang bunyi bahasa (image acoustique). Dengan demikian, apa yang ada dalam kehidupan kita dilihat sebagai “bentuk” yang mempunyai “makna” tertentu. Masih dalam pengertian de Saussure, hubungan antara bentuk dan makna tidak bersifat pribadi, tetapi social, didasari oleh “kesepakatan” (konvensi) social.2 ________________________ 2.
1.2
Hoed, Benny H. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Cetakan Pertama; April 2008. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya ( FIB) UI Depok.
Rumusan Masalah Perancangan yang akan dibuat adalah sebuah buku dengan esensi tato. Menceritakan sejarah tato berdasarkan sumber-sumber yang cukup akurat serta mengutip dari berbagai informasi berdasarkan hasil penelitian Drs. Ady Rosa, M.Sn. Lahirnya kembali seni tato tradisional yang terdapat di kepulauan Mentawai dan Dayak Kalimantan, mengajak penulis untuk mengumpulkan berita-berita tentang seni tato hand tapping.
Proses
pembuatan tato oleh suku-suku kuno yang masih menggunakan alat manual, dengan bahan kayu tipis, ranting pohon dan juga tulang-tulang binatang, serta ritual adat yang dahulu masih mereka terapkan dan berkaitan dengan motif tato sesuai kepercayaan masyarakat kuno. Maksud dan tujuan penulis mengangkat tato tradisional untuk di zaman saat ini yang
mayoritas bagi mereka yang memiliki tato lebih
cenderung bergaya pada tato dengan gambar-gambar modern, dan penulis
mengamati dari dokumentasi foto hasil tato-tato yang sudah
dikerjakan oleh Durga si seniman tato tradisional
bahwa ternyata
masyarakat luar dari Indonesia justru jauh lebih tertarik dengan tato peninggalan dari suku yang berada di pulau Kalimantan dan juga kepulauan Nusantara suku Mentawai. Hasil wawancara penulis dengan para pemilik tato yang penulis temukan, 40% responden, para pemilik tato tidak mengetahui sama sekali akan adanya Hand Tapping Tattoo atau tato tradisional, dan 80% responden yang tidak tahu akan tato purba peninggalan suku Mentawai dan Dayak didapat dari mereka yang tidak memiliki tato. Hal ini yang membawa penulis untuk merancang buku tato tradisional dalam representasi mengenalkan kembali keistimewaan peninggalan salah satu budaya dari Indonesia, yang memang faktanya bahwa praktik menato tubuh untuk di suku mentawai kini sudah dihancurkan secara sistematis dan ritual tersebut sudah tidak boleh lagi dilakukan. Kemajuan teknologi, pertukaran informasi, akulturasi budaya, dan menjamurnya studio tato, seharusnya mampu dijadikan cara dan tempat sebagai lewatnya untuk memperkenalkan tato-tato tradisional kepada para pecinta seni tato maupun yang tetap menikmati tetapi tidak mengambil keputusan untuk memasukan tinta ke dalam lapisan kulit dermis.
Terkadang para penikmat seni tato hanya melihat “tato-tato”
bentuk gambar dengan kombinasi warna dan berbagai ornamen-ornamen pendukung lainnya, tanpa mereka sadari bahwa sebenarnya itu tidak lahir begitu saja, melainkan selalu ada sejarah atau kisah yang patut diketahui sampai hadirnya motif-motif unik dari dayak dan garis-garis melengkung kepunyaan khas suku Mentawai. Tribal, banyak dari para penikmat tato memiliki tato dengan genre tribal khususnya bagi mereka etnis Cina, yang berbentuk lebih mengarah seperti lingkaran dan elips, dengan warnawarna solid, tapi mereka tidak tahu bahwa faktanya tato jenis tribal lahir dari suku Maori Selandia Baru, maka dari inilah buku tato yang akan dirancang oleh penulis guna mengantarkan ilmu pengetahuan budaya yang masih kental akan ritual yang berbau supernatural dan spiritual, dimana lahirnya para tato-tato kuno yang motifnya mulai dikembangkan
dengan bergaya lebih modern namun masih tetap meninggalkan ciri ke khasan sesungguhnya dari tato zaman dahulu.