BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerekan tempat (Place Branding) saat ini masih merupakan salah satu strategi yang sedang tren digunakan oleh berbagai pemerintah, mulai dari skala kota hingga negara (city, region and nation). Kita sering mendengar Istilah seperti: Hi Seoul- Soul of Asia, I Amsterdam, Copenhagen – Open for you, Brisbane – Australia‘s New World City, Bandung – Ever lasting Beauty, Malaysia – Truly Asia dan lain sebagainya mudah untuk diingat, bahkan bagi yang pertama kali mendengarnya. Pemilihan brand name semacam ini merupakan bagian dari strategi pemasaran wilayah. Hal ini seperti diungkapkan oleh Kavartzis (2004): ―City Branding merupakan cara yang tepat untuk menggambarkan dan menerapkan pemasaran kota (city marketing). Penerapan city marketing sangat dipengaruhi oleh adanya komunikasi, susunan dan manajemen citra kota‖ (Kavartzis 2004:58) Di Indonesia sendiri, eksistensi branding di setiap daerah dapat diambil atau digali dari nilai khas yang dimiliki, baik dari segi budaya; aturan; geografis; fisik; aktifitas dan sebagainya. Ke-khas-an ini terkadang kurang terlihat ketika memasuki-keluar dari suatu daerah. Bahkan terkadang masyarakat atau pemerintah kurang jeli dalam menangkap dan mengelola ke-khas-an yang dimiliki oleh daerahnya. Padahal seandainya satu daerah dapat memperkuat dan mempertahankan ke-khas-annya, ia akan memiliki nilai tambah (added value) dibandingkan daerah yang lain. Ketika aroma khas suatu daerah sudah memiliki kesan baik, maka ini menandakan bahwa daerah tersebut memiliki branding yang baik. Seperti dijelaskan diatas, bahwa pemerekan wilayah (regional branding) erat kaitannya dengan pemasaran (marketing). Di Indonesia, fenomena semacam pemerekan ini sudah ada semenjak diberlakukannya otonomi daerah dalam UU No.22 /1999 dan revisinya UU No 32/2004 (Riyadi, 2009). Bahkan hampir setiap daerah di seluruh Indonesia (umumnya daerah tingkat II) memiliki slogan atau
1
semboyan masing-masing. Hanya saja slogan semacam: Semarang Kota Atlas, Kudus Semarak, Klaten Bersinar, Sleman Sembada, Bantul Projotamansari, Magelang Gemilang dan Kendal Beribadat, secara umum cenderung berupa akronim yang senantiasa dikaitkan dengan tema kebersihan, keagamaan, kesehatan, keamanan dan sebagainya. Selain itu, slogan atau semboyan ini digunakan bersamaan dengan kepentingan dalam memperoleh penghargaan adipura dari pemerintah pusat (Kementerian Lingkungan Hidup). Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa munculnya slogan yang digunakan pada era otonomi daerah lebih condong kepada visi -misi jangka panjang (citacita) umum suatu daerah, tanpa ada positioning-diferensiasi yang jelas. Berbeda halnya dengan slogan, branding merupakan sebuah strategi untuk memasarkan suatu daerah atau pemasaran yang dilakukan dengan kerjasama antar daerah. Pemerek-an tempat (place branding) pada mulanya digunakan dalam ilmu kepariwisataan guna meningkatkan citra suatu destinasi wisata. Tidak berbeda jauh, city branding; nation branding; regional branding juga digunakan untuk meningkatkan citra serta memberikan daya tarik bagi suatu daerah. Ada sekitar 550 kabupaten dan kota di Indonesia. Hanya sebagian kecil yang dikenal, baik nama maupun identitasnya oleh warga negara Indonesia sendiri. Kota-kota besar cenderung diidentikkan dengan citra (image of the city) tertentu semisal: Jakarta dengan macet sekaligus sebagai ibu kota Indonesia; Surabaya dengan kota pahlawan; Bandung dengan paris van java; Yogyakarta-Solo dengan keraton; Semarang dengan bangunan kunonya; dan lain sebagainya. Di sisi lain, daerah-daerah selain di atas (yang kurang terekspos) berada pada kelas yang relatif tertinggal dikarenakan citra mereka yang lemah. Sehubungan dengan ini, branding dibuat untuk membentuk citra atau positioning statement yang kuat terhadap target pasar, seperti halnya positioning sebuah produk atau jasa dari perusahaan yang dikenal oleh konsumennya. (baik skala lokal maupun interlokal). Oleh karena itu, branding dianggap sebagai suatu strategi penting untuk dimiliki suatu daerah dalam memasarkan dan menjual nilai-nilai khas daerah, termasuk di dalamnya kota dan kabupaten di Indonesia.
2
Dalam penelitian ini, peneliti mengambil kasus Yogyakarta dan Solo dikarenakan keduanya saling berdekatan secara geografis, historis dan budaya. Namun, keduanya dalam melakukan positioning statement dalam melakukan branding sangat berbeda. Dalam hal ini, Yogyakarta ingin memposisikan dirinya sebagai: Asia yang tak ada habisnya (Never Ending Asia), sementara Solo ingin memposisikan dirinya sebagai: jiwanya (kebudayaan) Jawa (The Spirit of Java). Keduanya memiliki target pasar yang berbeda: Asia dan Jawa (nasional). Perbedaan target pemasaran wilayah keduanya inilah yang membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan membandingkan regional branding antara kedua wilayah tersebut. 1.2 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan paparan latar belakang di atas, serta penggunaan metode studi kasus dalam penelitian ini, dirumuskan suatu masalah, yakni: ―Mengapa kedua wilayah tersebut (Yogyakarta dan Solo) membuat regional branding?‖. Selanjutnya, sesuai rumusan terdapat tiga pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini : a. Bagaimanakah proses pembuatan dan penerapan regional branding di kedua wilayah? b. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi dibuatnya dan ter-implementasikannya regional branding di kedua wilayah tersebut?
1.3 Tujuan Penelitian Dengan melihat latar belakang dan pertanyaan di atas, penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut : a. Mendeskripsikan regional branding yang diterapkan di Yogyakarta dan Solo, serta membandingkan persamaan dan perbedaan keduanya. b. Mengidentifikasi faktor-faktor dalam penerapan regional branding pada studi kasus penelitian
3
c. Menarik pelajaran penting (lesson learned) dari penerapan regional branding pada daerah yang menjadi studi kasus penelitian
1.4 Batasan Penelitian Penelitian ini memiliki batas ruang lingkup spasial wilayah dan fokus penelitian dengan menggunakan metode penelitian studi kasus. Batasan yang digunakan mencakup: a. Lokasi Penelitian Dengan menggunakan pendekatan studi kasus terkait konsep regional branding, penelitian ini mengambil dua wilayah yang berdekatan, yakni Yogyakarta dan Solo. b. Fokus Penelitian Fokus penelitian meliputi: gambaran konsep regional branding secara umum di kedua wilayah yang diangkat sebagai kasus, aspek-aspek yang mempengaruhi keberhasilannya, strategi-program dan tujuan. Dimana data-data tersebut diperoleh dari berbagai sumber (primer maupun sekunder) untuk mendukung penelitian.
Gambar1. Lokasi Penelitian: Yogyakarta (Hijau) dan Solo (Biru) Sumber: http://map-bms.wikipedia.org/wiki/Gambar:Mataram_Baru_1830.png Diakses: 17 Oktober 2013, digambar ulang oleh penulis, 2013 4
1.5 Manfaat Penelitian Adapun hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan gambaran mengenai apa itu regional branding, model pembuatan dan penerapannya di Wilayah Yogyakarta dan Solo. Selain itu, diharapkan pula hasil penelitian dapat memberikan sumbangan pengetahuan kepada ilmu perencanaan wilayah dan kota, tentang penggunaan branding sebagai alat untuk memasarkan wilayah (regional marketing) di Solo dan Yogyakarta. 1.6 Keaslian Penelitian Menurut sepengetahuan penulis, terdapat penelitian yang telah dilakukan terkait regional branding untuk kasus Yogyakarta dan Solo, berikut perinciannya: Penelitian lain terkait yang sudah pernah dilakukan, antara lain: a. Tesis yang ditulis oleh Ekklesia Hendra Pratama, Mahasiswa S2 Magister Administrasi Publik UGM (2011) dengan judul ―Evaluasi Branding Jogja Never Ending Asia Sebagai Strategi Memasarkan Daerah di Era Otonomi‖. Tesis ini mengevaluasi brand JNEA dengan mencari penyebab mengapa brand JNEA tidak terimplementasi dengan baik, serta untuk mengetahui persepsi responden terkait brand tersebut. Jumlah responden yang dilibatkan sebanyak 100 orang (pelaku usaha, masyarakat, mahasiswa, wisatawan nusantara, wisatawan mancanegara), dipilih sebagai sampel dengan pengambilan sampel secara acak. Selain itu juga mewawancarai pihak yang terlibat dalam pembuatan brand, seperti: mantan pengurus IMA Chapter DIY dan mantan Sekda Propinsi DIY. Hasil dari penelitian ini antara lain: branding ini tidak terimplementasi dengan baik karena sosialisasi yang tidak efektif; tidak adanya partisipasi dan koordinasi dalam proses lahirnya dan implementasi branding; banyak responden yang belum mengetahui brand dan maknanya. Selain itu, hingga saat ini banyak pihak yang hanya menggunakan logonya (logo khas Jogja) saja tanpa disertai dengan pencantuman Never Ending Asia.
5
b. Skripsi yang ditulis oleh Dommyco Yoga Mahasiswa S1 Komunikasi UMY (2007) dengan judul: ―Kegagalan Brand Name Jogja Never Ending Asia‖. Skripsi ini mengidentifikasi beberapa faktor penyebab kegagalan dari brand name Jogja Never Ending Asia. Faktor utama (2001-2005) adalah terjadinya beberapa peristiwa ―bencana‖ seperti: ledakan bom di Hotel JW Marriot (2003), tragedi Bom Bali (2002 dan 2005), mewabahnya virus SARS (2002), mewabahnya virus Flu Burung (Avian Influenza), Bom Kuningan (2004) . Selain itu penulis juga mengidentifikasi beberapa faktor lain yang berasal dari brand itu sendiri, di antaranya adalah: penggunaan kata ―Asia‖yang cenderung rawan untuk sebuah image dalam jangka panjang; penggunaan kata ―Asia‖ jika merujuk pada benua, kawasan wisata global dan aspek penunjangnya seperti transportasi dan akomodasi yang bertolak belakang dengan kondisi riil Yogya yang kurang bisa mewakili nilai-nilai regional Asia, Perubahan dan penulisan pengucapan dari kata Yogya menjadi Jogja sempat menimbulkan kebingungan dan pertanyaan di kalangan awam, Masyarakat Yogya selaku ―pemilik‖ Yogya kurang diikut sertakan dalam pembuatan brand JNEA (lebih banyak dari kalangan dunia bisnis dan pariwisata).
c. Skripsi yang ditulis oleh Zakia Wardani, Mahasiswa S1 Geografi UGM (2011) dengan judul ―Persepsi Pelaku Bisnis Pariwisata terhadap Regional Branding Solo, The Spirit of Java‖. Skripsi ini melakukan kajian terhadap: keragaman persepsi-respon para pelaku bisnis; identifikasi faktor-faktor pembentuk persepsi pelaku bisnis terhadap regional branding SSOJ. Jumlah responden yang terlibat sebanyak 50 anggota KADIN Kota Surakarta. Hasil dari penelitian antara lain: (1) adanya persepsi terhadap Solo Raya 82% tinggi, 18% sedang; (2) sikap terhadap brand 70% mendukung, 26% netral, 4% menolak; (3) Harapan berupa penambahan even budaya (58%), pembatasan modernisasi pembangunan (32%), dan pelestarian cagar budaya (16%). Sementara itu, ditemukan pula
6
adanya faktor-faktor yang berkorelasi positif terhadap pembentukan persepsi, yakni: pendapatan, usia, tingkat pendidikan, dan status di perusahaan.
d. Skripsi yang ditulis oleh Dewi Udhany, Mahasiswa Komunikasi UNS (2009) dengan judul ―Efektifitas Branding dalam Pencitraan Kota (Studi Korelasi antara Efektivitas Branding Solo The Spirit of Java dengan Pencitraan Kota Solo menurut Masyarakat Kota Surakarta Tahun 2009 di Surakarta)‖. Ada dua variabel yang digunakan dalam penelitian ini: dependen (kesan dan manfaat menurut masyarakat Kota Surakarta dari brand SSOJ) dan independen (kesadaran merek, segmentasi, target, diferensiasi, promosi dan pelayanan). Responden yang dilibatkan sebanyak 100 orang (usia dewasa, secara acak) yang tersebar di 5 kecamatan dari Kota Surakarta. Hasil dari penelitian ini menyebutkan diantaranya: (1) 46% mengenal brand pada tahun 2006, 48% mengenalnya setelah tahun 2007; (2) 70% mengaku paham akan brand SSOJ, 24% kurang paham dan 6% tidak tahu; (3) 61% menganggap sudah sesuai, 34% kurang sesuai, 5% tidak tahu; (4) 60% menganggap penggunaan brand kurang efektif, 35% efektif dan 5% tidak tahu. Penelitian ini juga memberikan rekomendasi agar segmentasi konsumen dalam brand SSOJ perlu difokuskan lagi.
7