BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Globalisasi mempermudah pertukaran informasi dan interaksi antar negara. Globalisasi memberikan dampak positif dan juga dampak negatif. Salah satu dampak negatif dari globalisasi adalah adanya peluang bagi perdagangan ilegal (Cheng et al, 2011). Produk tiruan (counterfeit product) merupakan salah satu produk ilegal yang beredar di berbagai belahan dunia. Peniruan atau pemalsuan (counterfeiting) didefinisikan sebagai produk yang memiliki merek dagang yang identik atau merek dagang yang terdaftar kepada pihak lain, sehingga melanggar hak-hak pemegang merek dagang (Bian dan Moutinho, 2009). Sedangkan menurut Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP, 2009), pemalsuan adalah memproduksi suatu produk yang menyalin atau meniru penampakan fisik suatu produk asli sehingga menyesatkan para konsumen bahwa ini adalah produk dari pihak lain. Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD, 2007) mengestimasi bahwa produk-produk tiruan yang beredar secara global bernilai lebih dari USD 200 milyar dan ini diyakini hanya sebagian kecil yang berada di pasar. BASCAP (2011) dalam Fernandez (2013) mengestimasi bahwa pada tahun 2015 produk-produk tiruan yang beredar secara internasional akan meningkat ke level USD 770 milyar sampai dengan USD 960 milyar. OECD (2007) mengatakan bahwa produk palsu memberikan efek negatif pada perekonomian. Dampak negatif yang pertama adalah terhambatnya inovasi. Paten, hak cipta dan hak kekayaan intelektual merupakan hal yang utama bagi pencipta inovasi, tanpa hal itu para pencipta inovasi akan kesulitan membiayai inovasi yang telah dibuat dan yang akan dibuat. Dampak negatif kedua adalah meningkatnya aktifitas kriminal. Menurut OECD (2007) sebagian dari produk tiruan yang beredar merupakan kegiatan pendanaan dari aktifitas kriminal. Dampak yang ketiga adalah munculnya lapangan pekerjaan yang tidak layak, yaitu kurangnya keamanan dan jaminan kesehatan bagi tenaga kerja. Dampak yang
terakhir adalah kurangnya kepercayaan investasi asing. Penghormatan kepada hak kekayaan intelektual suatu negara menjadi salah satu pertimbangan bagi investor asing. Produsen merek asli juga mengalami kerugian (OECD, 2007). Kerugian yang pertama adalah penurunan penjualan dan harga. Kerugian ini timbul karena konsumen tertipu keaslian produk yang mereka beli dan juga kerugian akibat konsumen yang membeli produk tiruan karena tergiur harga yang lebih murah. Kerugian yang kedua adalah rusaknya nilai merek dan reputasi perusahaan. Konsumen yang percaya bahwa mereka membeli produk asli namun ternyata palsu akan merugikan produsen merek asli karena kualitas yang dirasakan tidak sesui dengan yang diharapkan. Kerugian yang ketiga adalah kerugian royalti, yaitu kerugian karena seharusnya pemilik merek mendapat royalti atas pemakaian merek yang dipakai pihak lain, dan itu tidak terjadi. Kerugian keempat adalah menurunnya pendanaan investasi pengembangan produk akibat menurunnya pendapatan. Kerugian kelima yaitu tingginya biaya melawan beredarnya produk palsu. Kerugian yang keenam adalah menurunnya profitabilitas dan nilai merek yang mengakibatkan menurunnya skala produksi. Masih menurut OECD (2007), konsumen produk tiruan juga akan mengalami kerugian. Baik mereka yang mengetahui mengkonsumsi produk tiruan maupun yang tidak sadar mengkonsumsi produk tiruan. Kerugian yang pertama adalah ancaman kesehatan dan keselamatan karena produk tiruan menawarkan kualitas yang rendah, kurangnya unsur keselamatan (misalya produk otomotif dan elektronik), dan kurangnya unsur kesehatan (misalnya produk makanan dan minuman, obat-obatan, dan produk farmasi). Kerugian yang kedua adalah utilitas konsumen. Bagi konsumen yang tidak mengetahui bahwa mereka mengkonsumsi produk tiruan akan megalami kerugian karena uang yang mereka keluarkan tidak sesuai kualitas yang didapat. Bagi konsumen yang sadar mengkonsumsi produk tiruan mereka akan menghadapi kendala kualitas dan beberapa efek negatif yang mungkin tidak disadari. Pemerintah juga mengalami kerugian akibat beredarnya produk tiruan. Kerugian yang pertama adalah biaya aktifitas guna menanggulangi beredarnya
produk tiruan.
Kerugian yang kedua adalah kehilangan pendapatan pajak.
Pemerintah kehilangan pajak potensial dari pajak penghasilan perusahaan, pajak penjualan, tarif impor, dan lain sebagainya (OECD, 2007). Produk tiruan atau produk palsu juga menjadi masalah bagi Indonesia. Indonesia menempati urutan ketiga dalam produksi produk tiruan di Asia (Lu dan Lu, 2010 dalam Darmayanti dan Boediono, 2012). Menurut penelitian yang dilakukan Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) bersama dengan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-FEUI) (2009) terhadap 12 sektor industri pada periode 2002 sampai dengan 2005, menyebutkan bahwa tindakan pemalsuan menimbulkan kerugian mencapai Rp 4,4 triliun, belum termasuk pemalsuan terhadap produk software yang menimbulkan kerugian Rp 3,6 triliun. Dikutip dari SWA.co.id (2013), penelitian yang dilakukan MIAP dan LPEM-FEUI pada tahun 2010 terhadap 12 sektor industri terjadi peningkatan kerugian dibanding penelitian periode sebelumnya. Negara kehilangan Produk Domestik Bruto sebesar Rp 43,2 triliun. Selain itu ditemukan fakta persentase barang palsu yang beredar untuk produk farmasi sebesar 3,5%, kosmetika 6,4%, oli 7%, pestisida 7,7%, minuman 8,9%, rokok 11,5%, elektronik 13,7%, lampu 16,4%, suku cadang otomotif 16,8%, pakaian 30,2%, software 34,1%, barang dari kulit 35,7%. Dilansir situs Harian Pelita (2010), negara mengalami kehilangan penerimaan dari sektor pajak sebesar Rp 202,76 milliar. Dikutip dari Tempo.co (2014), MIAP dan LPEM-FEUI pada tahun 2014 kembali melakukan penelitian terhadap 12 sektor industri. Dari hasil penelitian tahun 2014, kembali terjadi peningkatan dibanding penelitian sebelumnya pada tahun 2010. Negara diperkirakan kehilangan Produk Dosmestik Bruto mencapai Rp 65,1 triliun. Persentase produk palsu yang beredar adalah produk farmasi 3,8%, makanan dan minuman 8,5%, kosmetika 12,6%, software 33,5%, barang dari kulit 37,2%, pakaian 38,9%, tinta printer 49,4%. Sementara itu, Liputan6.com (2014) menyebutkan bahwa negara mengalami kehilangan penerimaan dari sektor pajak sebesar Rp 424 milliar.
Dari data diatas, secara umum Indonesia mengalami kerugian semakin besar dari tahun ke tahun. Pada sektor industri pakaian, jumlah pakaian tiruan yang beredar juga semakin besar, yaitu 30,2% pada tahun 2010 meningkat menjadi 38,9% pada tahun 2014. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan berbagai alasan mengapa konsumen membeli produk fesyen tiruan. Darmayanti dan Boediono (2012) menyatakan bahwa konsumen di Jakarta tertarik membeli produk tas Louis Vuitton tiruan karena citra merek yang dimilikinya. Cheng et al (2011) mengemukakan bahwa norma subyektif menjadi pengaruh yang paling kuat bagi konsumen dalam niatan membeli produk tiruan. Phau dan Teah (2009) menyatakan bahwa integritas dan konsumsi status mempunyai pengaruh kuat terhadap niat membeli produk tiruan. Sedangkan penelitian yang dilakukan Fernandes (2013) di Uni Emirat Arab menyatakan bahwa niat pembelian produk tiruan dipengaruhi oleh penilaian etika, ambiguitas diri, dan kesadaran nilai. Di Indonesia, ada lima tingkatan untuk membedakan kualitas produk tiruan yang disebut dengan istilah KW (Darmayanti dan Boediono, 2012). Pertama adalah KW3, merupakan kategori paling rendah yang kualitasnya buruk. Kedua adalah KW2, memiliki produk yang lebih bagus dibanding KW3 namun kualitas masih jauh lebih rendah dari pada produk asli. Ketiga adalah KW1, memiliki kualitas yang bagus dan biasanya merupakan produk impor. Keempat adalah Kualitas Semi Super, yaitu produk tiruan yang mirip aslinya dan memiliki merek dan juga nomer sertifikat layaknya merek asli. Kelima adalah Kualitas Super Premium, yaitu produk tiruan yang sangat mirip dengan produk asli dan memiliki logo merek terperinci seperti logo merek asli. Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya untuk mengurangi peredaran produk tiruan melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Mengenai Merek. Perbuatan pihak lain (pihak ketiga) yang menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya atau pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, menurut Pasal 94 ayat (2) UU No.15 Tahun 2001 Tentang Merek (UU Merek) adalah perbuatan yang dilarang dan termasuk jenis pelanggaran. Namun menurut Sinurat et al (2014) karakteristik tindak pidana pemalsuan merek yang terjadi pasca
berlakunya UU Merek mengkategorikan semua tindak pidana sebagai tindak pidana pelanggaran bukan sebagai tindak pidana kejahatan. Sehingga karakteristik demikian dinilai kurang memberikan efek jera kepada pelaku pemalsuan merek. Hal ini terbukti dengan terus meningkatnya persentase jumlah produk tiruan yang beredar di Indonesia. Upaya pemerintah untuk mengurangi produk tiruan masih terkesan kurang maksimal. Upaya mengurangi beredarnya produk tiruan dari sisi penawaran dengan dibuatnya UU merek masih belum membuat jera pelaku pemalsuan. Upaya mengurangi beredarnya produk tiruan dari sisi permintaan juga dilakukan dengan adanya sosialisasi bahaya produk tiruan melalui situs Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan. Akan tetapi, upaya tersebut juga belum maksimal terbukti dengan pembaharuan terbaru halaman situs terakhir kali dilakukan pada tahun 2012. Berdasarkan latar belakang diatas, tindakan pemalsuan merugikan berbagai pihak. Mulai dari segi perekonomian, produsen merek asli, pemerintah dan konsumen. Akan tetapi permintaan akan produk palsu ini tetap saja tinggi. Oleh sebab itu, penulis tertarik melakukan penelitian lebih lanjut mengenai analisis perilaku pembelian produk fesyen tiruan di Indonesia. Studi ini mengemukakan lima konsep, yaitu kesadaran mode, norma subyektif, penilaian etika, kesadaran nilai, dan ambiguitas diri, serta mendiskusikan konsep tersebut dalam implikasinya terhadap niat beli produk tiruan.
1.2 Rumusan Masalah Indonesia menghadapi masalah banyak beredarnya produk tiruan, terutama produk fesyen seperti tas, baju, celana, kaos, sepatu dan jam tangan bermerek. Hal ini tentu saja merugikan perekonomian, negara, produsen merek asli, maupun konsumen. Kondisi perekonomian dirugikan dalam hal inovasi, kurangnya pekerjaan yang layak, dan mempengaruhi tingkat kepercayaan investasi asing. Produsen merek asli mengalami kerugian seperti mengalami penurunan penjualan, rusaknya nilai merek dan reputasi perusahaan, royalti yang menurun, menurunnya investasi untuk mengembangkan produk baru, biaya yang tinggi untuk melawan produk palsu, dan menurunnya pendapatan dan skala produksi perusahaan.
Pemerintah dirugikan akibat besarnya biaya mengurangi penyebaran produk tiruan dan kehilangan potensi penerimaan pajak. Sedangkan konsumen dirugikan adanya ancaman keselamatan dan kesehatan. Pemerintah sebagai pihak yang membuat kebijakan, masih fokus mengurangi fenomena pemalsuan dari sisi penawaran. Belum ada kebijakan dari pemerintah untuk mengurangi tindakan pemalsuan dari sisi permintaan. Berdasarkan pada uraian latar belakang serta keingintahuan peneliti untuk menganalisis setiap variabel, penulis tertarik melakukan penelitian lebih lanjut mengenai analisis perilaku pembelian produk fesyen tiruan di Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi niat konsumen membeli produk tiruan.
1.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka pertanyaan penelitian ini adalah : 1) Apakah kesadaran mode berpengaruh positif pada niat beli produk fesyen tiruan? 2) Apakah norma subyektif berpengaruh positif pada niat beli produk fesyen tiruan? 3) Apakah penilaian etika berpengaruh negatif pada niat beli produk fesyen tiruan? 4) Apakah kesadaran nilai berpengaruh positif pada niat beli produk fesyen tiruan? 5) Apakah ambiguitas diri berpengaruh positif pada niat beli produk fesyen tiruan?
1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan menganalisis pengaruh kesadaran mode, norma subyektif, penilaian etika, kesadaran nilai, ambiguitas diri, pada niat beli produk fesyen tiruan. Penelitian ini mendiskusikan faktor-faktor yang mempengaruhi niat pembelian produk fesyen tiruan dalam rangka mencegah dan mengurangi beredarnya produk fesyen tiruan dari sisi permintaan.
1.5 Lingkup Penelitian Penelitian ini memiliki ruang lingkup sebagai berikut: 1) Penelitian ini merupakan modifikasi dari penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Fernandes (2013) yang berjudul "Analysis of counterfeit fashion purchase behaviour in UAE." 2) Objek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah produk fesyen tiruan.
1.6 Kontribusi Penelitian 1) Kontribusi Akademik Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada akademisi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi konsumen terhadap niat membeli produk fesyen tiruan. Penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam melakukan penelitian serupa atau bahkan untuk mengembangkan penelitian ini. 2) Kontribusi Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada praktisi dibidangnya. Penelitian ini diharapkan menjadi acuan bagi produsen merek asli untuk mendalami perilaku konsumen produk fesyen tiruan, sehingga produsen merek asli dapat mengambil langkah-langkah untuk mengurangi pemalsuan produk fesyen. Penelitian ini juga diharapkan menjadi acuan bagi pemerintah untuk mendalami perilaku konsumen produk fesyen tiruan, sehingga dapat dikeluarkan kebijakan untuk mengurangi produk fesyen tiruan dari sisi permintaan.