BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Rheumatoid arthritis adalah penyakit inflamasi kronis progresif yang
mempengaruhi sendi-sendi kecil dari tangan, kaki, pergelangan tangan dan pergelangan kaki secara simetris, hal ini terjadi ketika sistem kekebalan tubuh yang biasanya melindungi tubuh dari serangan organisme asing ternyata menyerang membran yang melapisi sendi hal ini ditandai dengan adanya erosi pada radiografi. Kehadiran erosi pada x-ray adalah patognomonik untuk diagnosis RA. Dikatakan bahwa hingga 80% pasien dengan RA akan memiliki erosi dalam 3 bulan pertama penyakit. Namun, pada awal penyakit mereka tidak selalu hadir dan pembengkakan jaringan lunak hanya mungkin satu-satunya manifestasi. (Jessica Berman, 2012) Kekakuan terlihat pada RA aktif yang terburuk paling sering terjadi di pagi hari. Ini dapat berlangsung satu sampai dua jam (atau bahkan sepanjang hari). Kekakuan untuk waktu yang lama di pagi hari adalah petunjuk bahwa Anda mungkin memiliki RA, karena beberapa penyakit rematik lainnya berperilaku seperti ini. Misalnya, osteoarthritis paling sering tidak menyebabkan kekakuan pagi berkepanjangan. (Jessica Berman, 2012) Prevalensi RA diselidiki dengan survei dari rumah ke rumah, nyeri muskuloskeletal dalam populasi total 4683 pedesaan dan perkotaan 1.071 subyek usia 15 tahun ke atas di Jawa Tengah. Mereka diidentifikasi memiliki nyeri sendi perifer durasi lebih dari 6 minggu (82 laki-laki dan 129 perempuan) yang diperiksa oleh rheumatologist (JD) dan tes serologi dan sinar-X. Prevalensi pasti RA dengan kriteria ARA adalah 0,2% di pedesaan dan 0,3% pada subyek perkotaan. Tingkat keparahan kasus didiagnosis ditunjukkan oleh klasifikasi fungsional Steinbrocker 2 dan 3 dan arthritis erosif X-ray di tangan dari nilai 2-4. Tingkat prevalensi rendah RA dibandingkan dengan yang ditemukan di negara maju adalah karena sebagian untuk struktur usia yang berbeda dari populasi dan
1
2
harapan hidup yang lebih rendah. Ada juga bukti kematian yang tinggi akibat penyakit ini. Hal ini diduga disebabkan oleh keadaan sosial ekonomi, penggunaan intermiten kortikosteroid dosis tinggi dan kehadiran infeksi berat di komunitas ini. Faktor-faktor ini harus dipertimbangkan ketika menilai prevalensi rendah RA dalam survei di negara-negara berkembang lainnya. (Muirden KD, Valkenburg HA, Wigley RD, 2008) Diagnosis dan penatalaksanaan RA harus dilakukan secara dini agar tidak terjadi kerusakan yang dapat menimbulkan cacat yang permanen ataupun komplikasi lain. Sehingga sangat penting bagi dokter umum yang memiliki kompetensi 3A dalam kasus ini untuk mempelajari cara mendiagnosis dan penatalaksanaan RA agar dapat meningkatkan keberhasilan terapi. Kriteria dari American College Of Rheumatology (ACR) tahun 1987 masih digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis RA. Sedangkan American College of Rheumatology (ACR) pada tahun 2012 telah mengeluarkan guidelines terbaru perihal penatalaksanaan rheumatoid arthritis. 1.2
Tujuan Referat ini dibuat dengan tujuan untuk mengkaji lebih lanjut mengenai
diagnosis dan tatalaksana rheumatoid arthritis dengan guidelines terbaru yang direkomendasikan oleh ACR.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Definisi Rheumatoid arthritis adalah penyakit inflamasi kronis progresif yang mempengaruhi sendi-sendi kecil dari tangan, kaki, pergelangan tangan dan pergelangan kaki secara simetris, hal ini terjadi ketika sistem kekebalan tubuh yang biasanya melindungi tubuh dari serangan organisme asing ternyata menyerang membran yang melapisi sendi hal ini ditandai dengan adanya erosi pada radiografi. Keradangan sinovium dapat merusak tulang dan kartilago. Sel radang melepaskan enzim yang dapat mencerna tulang dan kartilago, sehingga dapat terjadi kehilangan bentuk dan kelurusan pada sendi, yang menghasilkan rasa sakit dan pengurangan kemampuan bergerak.(Jessica Berman, 2012)
2.2
Epidemiologi Rheumatoid Arthritis merupakan penyakit yang jarang pada laki-laki dibawah umur 30 tahun. Insiden penyakit ini memuncak pada umur 60-70 tahun. Pada wanita, prevalensi penyakit ini meningkat dari pertengahan abad ke-20 dan konstan pada level umur 45-65 tahun dengan masa puncak 65-75 tahun. Prevalensi dari artritis reumatoid mendekati 0,8 % dari populasi (kisaran 0,3 - 2,1%), wanita terkena tiga kali lebih sering dibandingkan dengan laki-laki. Prevalensi penyakit ini meningkat dengan umur, dan jenis kelamin, perbedaannya dikurangi pada kelompok usia tua. Penyakit ini menyerang orang-orang di seluruh dunia dari berbagai suku bangsa. Onset dari penyakit ini sering pada dekade ke-empat dan ke-lima dari kehidupan. (Darmawan J, 2002)
4
2.4
Etiologi Penyebab utama rheumatoid arthritis masih belum diketahui sampai saat ini namun ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya rheumatoid arthritis. Rheumatoid arthritis merupakan manifestasi dari respon terhadap agen infeksius pada orang-orang yang rentan secara genetik. Beberapa kemungkinan agen penyebab tersebut diantaranya termasuk mikoplasma, virus Epstein-Barr (EBV), sitomegalovirus, parvovirus, dan virus rubella, tetapi berdasarkan bukti-bukti, penyebab ini ataupun agen infeksius yang lain yang menyebabkan artritis reumatoid tidak muncul pada penderita artritis reumatoid. Terdapat kerentanan genetik yang jelas, dan penelitian pada orang kembar mengindikasikan indeks sekitar 15-20%. Sebanyak 70% dari pasien artrirtis reumatoid ditemukan human leucocyte antigen-DR4 (HLA-DR4), sedangkan faktor lingkungan seperti merokok dan agen infeksius dikatakan memiliki peranan penting pada etiologi, namun kontribusinya sampai saat ini belum terdefinisikan. (Eric Ruderman, 2012)
2.5
Patogenesis Rheumatoid arthritis adalah penyakit sendi. Sebuah sendi adalah titik di
mana dua atau lebih tulang bertemu. Dengan beberapa pengecualian (dalam tengkorak dan panggul, misalnya), sendi yang dirancang untuk memungkinkan gerakan antara tulang dan untuk menyerap kejutan dari gerakan-gerakan seperti berjalan atau gerakan yang berulang. Ujung-ujung tulang ditutupi oleh jaringan elastis yang disebut tulang rawan, dikelilingi oleh kapsul yang melindungi dan mendukungnya. Kapsul sendi dilapisi dengan jenis jaringan yang disebut sinovium, yang menghasilkan cairan sinovial, zat jelas bahwa melumasi dan memelihara tulang rawan dan tulang di dalam kapsul sendi. Rheumatoid Arthritis menyerang sinovium, menyebabkan sinovium meradang dan menghancurkan tulang rawan dan tulang di dalam sendi. Otot-otot sekitarnya, ligamen, dan tendon yang mendukung dan menstabilkan sendi menjadi lemah dan tidak mampu bekerja secara normal. Efek ini menyebabkan rasa sakit
5
dan kerusakan sendi sering terlihat di rheumatoid arthritis. Para peneliti mempelajari rheumatoid arthritis sekarang percaya bahwa itu mulai merusak tulang selama satu atau dua tahun pertama, salah satu alasan mengapa diagnosis dini dan pengobatan sangat penting. Beberapa orang dengan rheumatoid arthritis juga memiliki gejala di tempattempat lain selain sendi mereka. Banyak orang dengan rheumatoid arthritis mengalami anemia, atau penurunan dalam produksi sel darah merah. Efek lain yang terjadi kurang sering termasuk sakit leher dan mata kering dan mulut. Sangat jarang ditemukan orang mungkin memiliki keradangan pembuluh darah (vaskulitis), lapisan paru-paru (pleuritis), atau kantung melampirkan jantung (pericarditis). (Bethesda, 2012) 2.6
Gejala Klinik Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada penderita rheumatoid arthritis. Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat yang bersamaan oleh karena penyakit ini memiliki gambaran klinis yang bervariasi. 1. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan menurun dan demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya. 2. Poliartritis simetris, terutama pada sendi perifer: termasuk sendi-sendi di tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalang distal. Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang. 3. Kekakuan pagi hari, selama lebih dari satu jam: dapat bersifat generalisata tetapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan kekakuan sendi pada osteoartritis, yang biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang dari satu jam 4. Artritis erosif: merupakan ciri khas dari penyakit ini pada gambaran radiologik. Keradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi tulang. 5. Deformitas: kerusakan struktur penunjang sendi. Sendi-sendi yang
6
besar juga dapat terserang dan mengalami pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam melakukan gerak ekstensi. 6. Nodul-nodul rheumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada sekitar sepertiga orang dewasa pasien rheumatoid arthritis. Lokasi yang paling sering dari deformitas ini sendi siku atau sepanjang permukaan ekstensor dari lengan. 7. Manifestasi ekstra-artikular; artritis reumatoid juga dapat menyerang organ-organ lain di luar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis), mata, dan pembuluh darah dapat rusak. (Daud R, 2002)
Dibawah ini merupakan tabel revisi kriteria untuk klasifikasi dari artritis reumatoid dari American Rheumatism Association tahun 1987 Tabel 1: 1987 Revised American Rheumatism Association Criteria for the Classification of Rheumatoid Arthritis
Kriteria
Definisi
1. Kekakuan pagi hari
Kekakuan pagi hari pada sendi atau disekitar sendi, lamanya setidaknya 1 jam Setidaknya tiga area sendi secara bersama-sama dengan
2.
Artrit is pada tiga atau lebih area sendi
keradangan pada jaringan lunak atau cairan sendi. 14 kemungkinan area yang terkena, kanan maupun kiri proksimal interfalangs (PIP), metacarpofalangs (MCP), pergelangan tangan, siku, lutut, pergelangan kaki, dan sendi metatarsofalangs (MTP)
3.
Artrit is pada sendi tangan
4.
sendi MCP atau sendi PIP
Artrit
Secara bersama-sama terjadi pada area sendi yang sama
Nodu
pada kedua bagian tubuh Adanya nodul subkutaneus melewati tulang atau
is simetris 5.
Setidaknya satu sendi bengkak pada pergelangan tangan,
l-nodul reumatoid
permukaan regio ekstensor atau regio juksta-artikular
7
6.
Seru
Menunjukkan adanya jumlah abnormal pada serum faktor
m faktor
reumatoid dengan berbagai metode yang mana hasilnya
reumatoid
positif jika < 5% pada subyek kontrol yang normal Perubahan radiografik tipikal pada artritis reumatoid pada
7.
Perub radiografik tangan dan pergelangan tangan ahan radiografik
posteroanterior, dimana termasuk erosi atau dekalsifikasi
terlokalisasi yang tegas pada tulang. Untuk klasifikasi, pasien dikatakan menderita atrtritis reumatoid jika pasien memenuhi setidaknya 4 dari 7 kriteria diatas. Kriteria 1 - 4 harus sudah berlangsung sekurang-kurangnya 6 minggu. Pasien dengan dua diagnosis klinis, tidak dikeluarkan pada kriteria ini.
2.7
Kriteria Diagnosis Rheumatoid Arthritis Menurut American Rheumatism Association 1987, diagnosa arthritis
reumatoid dapat dikatakan positif apabila sekurang-kurangnya empat dari kriteria sudah berlangsung selama 6 minggu. Kriteria tersebut adalah: 1. Kekakuan dipagi hari lamanya paling tidak 1 jam 2. Arthritis pada tiga atau lebih sendi 3. Arthritis sendi-sendi jari tangan 4. Arthritis yang simetris 5. Nodul rheumatoid 6. Faktor rheumatoid dalam serum 7.Perubahan-perubahan radiologik, seperti: Pembengkakan jaringan lunak Erosi Osteoporosis artikular
2.8
Pemeriksaan Laboratorium
8
a. Tanda keradangan, seperti LED dan CRP, berhubungan dengan aktivitas penyakit, selain itu, nilai CRP dari waktu ke waktu berkorelasi dengan kemajuan radiografi. b. Parameter hematologi termasuk jumlah CBC dan analisis cairan sinovial. c. Jumlah sel darah lengkap (anemia, trombositopenia, leukositosis, leucopenia). d. Analisis cairan sinovial 1)
Inflamasi cairan sinovial (WBC count > 2000/μL) hadir dengan jumlah WBC umumnya dari 5,000-50,000 / uL.
2)
Biasanya, dominasi neutrofil (60-80%) yang diamati dalam cairan sinovial (kontras dengan dominasi sel mononuklear di sinovium).
3)
Karena cacat transportasi, kadar glukosa cairan pleura, perikardial, dan sinovial pada pasien dengan RA sering rendah dibandingkan dengan kadar glukosa serum.
e. Parameter imunologi meliputi autoantibodies (misalnya RF, antiRA33, anti-PKC, antibodi antinuclear). f. Rheumatoid factor Rheumatoid Faktor, RF ditemukan pada sekitar 60-80% pasien dengan RA selama penyakit mereka, tetapi kurang dari 40% pasien dengan RA dini. g. Antibodi Antinuclear: Ini adalah hadir di sekitar 40% pasien dengan RA, namun hasil tes antibodi terhadap antigen subset paling nuklir negatif. h. Antibodi yang lebih baru (misalnya, anti-RA33, anti-PKC): Penelitian terbaru dari antibodi anti-PKC menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas sama atau lebih baik daripada RF, dengan peningkatan frekuensi hasil positif di awal RA. Kehadiran kedua-anti antibodi PKC dan RF sangat spesifik untuk RA. Selain itu, anti-PKC antibodi, seperti halnya RF, menunjukkan prognosis yang buruk. 2.9
Foto Polos
9
Tanda pada foto polos awal dari artritis reumatoid adalah keradangan periartikular jaringan lunak bentuk fusiformis yang disebabkan oleh efusi sendi dan inflamasi hiperplastik sinovial. Nodul reumatoid merupakan massa jaringan lunak yang biasanya tampak diatas permukaan ekstensor pada aspek ulnar pergelangan tangan atau pada olekranon, namun adakalanya terlihat diatas prominensia tubuh, tendon, atau titik tekanan. Karakteristik nodul ini berkembang sekitar 20% pada penderita artritis reumatoid dan tidak terjadi pada penyakit lain, sehingga membantu dalam menegakkan diagnosis. (Corwin, 2009) 2.10
CT-Scan Computer tomography (CT) memiliki peranan yang minimal dalam mendiagnosis artritis reumatoid. Walaupun demikian, CT scan berguna dalam memperlihatkan patologi dari tulang, erosi pada sendi-sendi kecil di tangan yang sangat baik dievaluasi dengan kombinasi dari foto polos dan MRI. CT scan jarang digunakan karena lebih rendah dari MRI dan memiliki kerugian dalam hal radiasi. CT scan digunakan sebatas untuk mengindikasikan letak destruksi tulang dan stabilitas tertinggi tulang secara tepat, seperti pada pengaturan pre-operatif atau pada tulang belakang. (Corwin, 2009)
2.11
USG Sonografi dengan resolusi tinggi serta pemeriksaan dengan frekuensi tinggi digunakan untuk mengevaluasi sendi-sendi kecil pada artritis reumatoid. Efusi dari sendi adalah hipoekhoik, sedangkan hipertrofi pada sinovium lebih ekhogenik. Nodul-nodul reumatoid terlihat sebagai cairan yang memenuhi area kavitas dengan pinggiran yang tajam. Erosi tulang dapat terlihat sebagai irregularitas pada korteks hiperekhoik. Komplikasi dari arthritis reumatoid, seperti tenosinovitis dan ruptur tendon, juga dapat divisualisasikan dengan menggunakan ultrasonografi.
10
Hal ini sangat berguna pada sendi MCP dan IP. Tulang karpal dan sendi karpometakarpal tidak tervisualisasi dengan baik karena konfigurasinya yang tidak rata dan lokasinya yang dalam. Sonografi telah digunakan dalam mendiagnosis artritis reumatoid dengan tujuan meningkatkan standar yang tepat untuk radiografi konvensional. Ultrasonografi, terkhusus dengan menambahkan amplitude color doppler (ACD) Imaging, juga menyediakan informasi klinis yang berguna untuk dugaan artritis reumatoid. ACD imaging telah diaplikasikan untuk artritis reumatoid dengan tujuan mengevaluasi manifestasi dari hiperemia pada keradangan jaringan sendi. Hiperemia sinovial merupakan ciri patofisiologi yang fundamental untuk artritis reumatoid. (Black and Hawks, 2008) 2.12
MRI Diagnosis awal dan penanganan awal merupakan manajemen utama pada artritis reumatoid. Dengan adanya laporan mengenai sensitivitas MRI dalam mendeteksi erosi dan sinovitis, serta spesifitas yang nyata untuk perubahan edema tulang, hal itu menandakan bahwa MRI merupakan penolong untuk mendiagnosis awal penyakit artritis reumatoid. MRI juga memberikan gambaran yang berbeda pada abnormalitas dari artritis reumatoid, sebagai contoh, erosi tulang, edema tulang, sinovitis, dan tenosinovitis. (Black and Hawks, 2008)
2.13
Diagnosis Banding
2.13.1 Gout Arthritis Gout merupakan gangguan metabolik yang ditandai dengan meningkatnya konsentrasi asam urat (hiperurisemia). Gout dapat bersifat primer maupun sekunder. Gout primer merupakan akibat langsung dari pembentukan asam urat tubuh yang berlebihan atau akibat penurunan eksresi asam urat, sedangkan gout sekunder disebabkan oleh pembentukan
11
asam urat yang berkurang akibat proses penyakit lain atau pemakaian obat-obatan tertentu. Pada artritis gout akut, terjadi pembengkakan yang mendadak dan nyeri yang luar biasa, biasanya pada sendi ibu jari kaki, sendi metatarsofalangeal. Artritis bersifat monoartrikular dan menunjukkan tanda-tanda keradangan lokal. Mungkin terdapat demam dan peningkatan sejumlah leukosit. Serangan dapat dipicu oleh pembedahan, trauma, obatobatan, alkohol, atau stres emosional. Sendi-sendi lain dapat terserang, termasuk sendi jari tangan, lutut, mata kaki, pergelangan tangan, dan siku. (Muirden KD, 2008) 2.13.2 Osteoarthritis Osteoartritis adalah gangguan pada sendi yang bergerak. Penyakit ini bersifat kronik, berjalan progresif lambat, tidak meradang, dan ditandai oleh adanya deteorisasi dan abrasi rawan sendi dan adanya pembentukan tulang baru pada permukaan persendian. Gambaran klinis osteoartritis umumnya berupa nyeri sendi, terutama apabila sendi bergerak atau menanggung beban. Nyeri tumpul ini berkurang bila sendi digerakkan atau bila memikul beban tubuh. Dapat pula terjadi kekakuan sendi setelah sendi tersebut tidak digerakkan beberapa lama, tetapi kekakuan ini akan menghilang setelah digerakkan. Kekakuan pada pagi hari, jika terjadi, biasanya hanya bertahan selama beberapa menit, bila dibandingkan dengan kekakuan sendi di pagi hari yang disebabkan oleh artritis reumatoid yang terjadi lebih lama. (Muirden KD, 2008) 2.14
Penatalaksanaan Tujuan terapi rheumatoid arthritis, yaitu : 1. Menghilangkan gejala keradangan/inflamasi yang aktif baik lokal maupun sistemik. 2. Mencegah terjadinya kerusakan pada jaringan. 3. Mencegah terjadinya deformitas atau kelainan bentuk sendi dan menjaga fungsi persendian agar tetap dalam keadaan baik.
12
4. Mengembalikan kelainan fungsi organ dan persendian yang mengalami RA agar sedapat mungkin menjadi normal kembali. Adapun penatalaksanaan dari artritis reumatoid adalah sebagai berikut: 1.
Obat-obatan Non-steroid anti-inflammatoy drugs (NSAID) NSAID antara lain, aspirin, ibuprofen, ketoprofen dan diklofenac juga obat selektif baru nabumeton dan meloxicam yang sangat berguna untuk mengurangi keradangan dengan menghalangi proses produksi mediator keradangan. Tepatnya, obat ini menghambat sintetase
prostaglandin
atau
siklooksigenase.
Enzim-enzim
ini
mengubah asam lemak sistemik andogen, yaitu asam arakidonat menjadi prostaglandin, prostasiklin, tromboksan dan radikal-radikal oksigen. Obat standar yang sudah dipakai sejak lama dalam kelompok ini adalah aspirin. (Balabaud, 2007) Salisilat Kelompok obat ini merupakan cikal bakal berkembangnya OAINS. Salisilat menimbulkan efek analgesia, anti inflamasi, dan anti piretik dengan menekan produksi prostaglandin dan tromboksan dengan menghambat siklooksigenase (Cox-1 dan Cox-2). Oleh karena itu salisilat dan turunannya disebut juga dengan OAINS konvensional, karena tak selektif terhadap salah satu tipe siklooksigenase. OAINS, asam asetil salisilat, lebih dikenal sebagai antiplatelet pada dosis rendah ketimbang sebagai pengobatan gejala arthritis. Namun turunannya, yaitu diflunisal biasa digunakan untuk meredakan gejala arthritis. Efek analgesia diflunisal muncul 1 jam setelah pemberian dan efek maksimal dicapai setelah 2-3 jam. Namun, kelompok salisilat ini berbahaya terhadap saluran cerna. (Balabaud, 2007)
13
Arylalkanoic Acid Kelompok ini yang kerap dikenal dalam pengobatan arthritis di antaranya adalah indometasin dan diklofenak. Keduanya diindikasikan mengatasi gejala arthritis dan gout ( ankylosing spondylitis, rheumatoid arthritis, arthritic gout, osteoarthritis, juvenile arthritis, dan pseudogout). Indometasin merupakan turunan indol metilat dengan efek lebih kuat dibanding aspirin. Kekuatan ini tak lain berasal dari 2 mekanisme tambahan di samping menghambat pembentukan prostaglandin. Modus kerja tambahan ini mencakup inhibisi motilitas leukosit polimorfonuklear, seperti halnya kolkisin dan melepaskan fosforilasi oksidatif pada mitokondria kartilago, seperti layaknya salisilat. Akhirnya kedua mekanisme ini memperkuat efek analgesia dan antiinflamasi indometasin. 2-Arylpropionic acid (profen) Profen merupakan salah satu kelompok OAINS yang sangat banyak digunakan. Ibuprofen dan ketoprofen, misalnya, digunakan secara luas hampir disebagian besar negara di dunia. Ibuprofen dosis rendah (200 mg dan terkadang 400 mg) dan ketoprofen 12,5 mg dapat diperoleh tanpa resep atau over the counter (OTC) untuk mengatasi sakit kepala, nyeri haid, demam, dan nyeri ringan lainnya. Dosis lebih tinggi digunakan untuk mengatasi nyeri sedang seperti gejala arthritis. (Hughes LB, 2005) Coxib Potensi coxib dibedakan berdasarkan selektifitasnya. Coxib yang lebih baru (valdecoxib, etoricoxib, lumiracoxib) menghambat COX-2 lebih selektif dari celecoxib atau rofecoxib. Bagaimana relevansi klinis dari peningkatan selektivitas ini masih belum jelas. Celecoxib dan valdecoxib sama-sama memiliki suatu ikatan sulfonamida, yakni suatu metabolit aktif dari prodrug parecoxib. Uji klinis
14
memperlihatkan bahwa kedua obat ini efektif mengatasi OA dan RA. Pada uji juga terlihat, insiden ulser gastrik dan duodenum secara endoskopi pada pasien yang menggunakan obat ini lebih rendah secara bermakna ketimbang pasien yang menerima OAINS nonselektif. Namun valdecoxib tak seberuntung celecoxib. Pada 2005 silam, valdecoxib ditarik secara sukarela dari beberapa market utama terkait dengan efek reaksi kulit yang serius. Menurut FDA, setidaknya 7 pasien dengan atau tanpa riwayat alergi sulfonamide meninggal. (Smeltzer and Bare, 2002) a. Disease-modifying antirheumatic drugs (DMARD) Kelompok obat-obatan ini termasuk metotrexat, senyawa emas, Dpenicilamine, antimalaria, dan sulfasalazine. Walaupun tidak memiliki kesamaan kimia dan farmakologis, pada prakteknya, obat-obat ini memberikan beberapa karakteristik. Pemberian obat ini baru menjadi indikasi apabila NSAID tidak dapat mengendalikan artritis reumatoid. Beberapa obat-obatan yang telah disebutkan sebelumnya tidak disetujui oleh U.S Food and Drugs Administration untuk dipakai sebagai obat artritis reumatoid. Tujuan pengobatan
dengan
mengendalikan
obat-obat
manifestasi
kerja klinis
lambat dan
ini
adalah
untuk
menghentikan
atau
memperlambat kemajuan penyakit. Sulfasalazine (Azulfidine) adalah obat oral yang digunakan dalam perawatan penyakit keradangan usus besar yang ringan sampai beratnya sedang, seperti ulcerative colitis dan penyakit Crohn. Azulfidine digunakan untuk merawat rheumatoid arthritis dalam kombinasi dengan obat-obat anti keradangan. Azulfidine umumnya ditolerir dengan baik. Efek-efek sampingan yang umum termasuk ruam (rash) dan gangguan lambung. Karena Azulfidine terbentuk dari senyawa-senyawa sulfa dan salicylate, maka harus dihindari oleh pasien-pasien dengan alergi-alergi sulfa yang diketahui.
15
Methotrexate adalah suatu obat penekan imun. Ia dapat mempengaruhi sumsum tulang dan hati, bahkan jarang menyebabkan sirosis.
Semua
pasien-pasien
yang
mengkonsumsi
methotrexate
memerlukan tes-tes darah secara teratur untuk memonitor jumlah-jumlah darah dan tes-tes darah fungsi hati. Garam-garam emas (Gold salts) telah digunakan untuk merawat rheumatoid arthritis sepanjang kebanyakan abad yang lalu. Gold thioglucose (Solganal) dan gold thiomalate (Myochrysine) diberikan dengan suntikan, awalnya pada suatu dasar mingguan untuk berbulanbulan sampai
bertahun-tahun. Emas
oral,
auranofin
(Ridaura),
diperkenalkan pada tahun sembilan belas delapan puluhan (1980s). Efekefek sampingan dari emas (oral dan yang disuntikan) termasuk ruam kulit (skin rash), luka-luka mulut, kerusakan ginjal dengan kebocoran protein dalam urin, dan kerusakan sumsum tulang dengan anemia dan jumlah sel putih yang rendah. Pasien-pasien yang menerima perawatan emas dimonitor secara teratur dengan tes-tes darah dan urin. Emas oral dapat menyebabkan diare. D-penicillamine (Depen, Cuprimine) dapat bermanfaat pada pasien-pasien yang terpilih dengan bentuk-bentuk rheumatoid arthritis yang progresif. Efek samping adalah serupa dengan yang dari emas, yaitu demam, kedinginan, luka-luka mulut, suatu rasa metal/logam dalam mulut, ruam kulit, kerusakan ginjal dan sumsum tulang, gangguan lambung, dan mudah memar. Pasein-pasien pada obat ini memerlukan tes-tes darah dan urin yang rutin. D-penicillamine jarang dapat menyebabkan gejala-gejala dari penyakit-penyakit autoimun lain. Obat-obat penekan imun adalah obat-obat sangat kuat yang menekan sistim imun tubuh. Sejumlah obat-obat penekan imun digunakan untuk merawat rheumatoid arthritis. Obat-obat penekan imun termasuk methotrexate (Rheumatrex, Trexall) seperti yang digambarkan diatas,
16
azathioprine (Imuran), cyclophosphamide (Cytoxan), chlorambucil (Leukeran), dan cyclosporine (Sandimmune). Karena efek-efek sampingan yang berpotensi serius, obat-obat penekan imun (lain daripada methotrexate) umumnya dicadangkan untuk pasien-pasien dengan penyakit yang sangat agresif atau mereka yang dengan komplikasikomplikasi keradangan rheumatoid yang serius, seperti keradangan pembuluh darah (vasculitis). (Balbaud, 2007) 2.
Terapi glukokortikoid Terapi glukokortikoid sistemik dapat memberikan efek untuk terapi simptomatik pada penderita artritis reumatoid. Prednison dosis rendah (7,5 mg/hari) telah menjadi terapi suportif yang berguna untuk mengontrol gejala. Walaupun demikian, bukti-bukti terbaru mengatakan bahwa terapi glukokortikoid dosis rendah dapat memperlambat progresifitas erosi tulang. (Darmawan J, 2002)
3.
Operasi Tindakan operasi bertujuan untuk memperbaiki fungsi dan bentuk sendi yang cacat dan untuk menghilangkan sinovium yang rusak sehingga sinovium baru dapat terbentuk, transfer tendon bisa memperbaiki fungsi bila telah putus. Operasi memiliki peranan penting dalam penanganan penderita artritis reumatoid dengan kerusakan sendi yang parah. Meskipun artroplastia dan penggantian total sendi dapat dilakukan pada beberapa sendi, prosedur yang paling sukses adalah operasi pada pinggul, lutut, dan bahu. Tujuan realistik dari prosedur ini adalah mengurangi nyeri dan mengurangi disabilitas. Tindakan operasi yang lain, yaitu sinovektomi terbuka dan radikal, sehingga mempunyai resiko antara lain pendarahan, penggunaan anastesi, infeksi pada sendi artifisial, bekuan darah, dan sendi artifisial yang tidak cocok. Pemulihan pasca tindakan operasi membutuhkan waktu hingga 2 minggu rawat inap di rumah sakit. Rehabilitasi sendi pasca tindakan operasi
17
memerlukan waktu beberapa minggu hingga beberapa bulan. (Darmawan J, 2002) 2.10 Komplikasi Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus peptik yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit ( disease modifying antirhematoid drugs, DMARD ) yang menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada arthritis reumatoid. Komplikasi saraf yang terjadi memberikan gambaran jelas , sehingga sukar dibedakan antara akibat lesi artikuler dan lesi neuropatik. Umumnya berhubungan dengan mielopati akibat ketidakstabilan vertebra servikal dan neuropati iskemik akibat vaskulitis. 2.11 Prognosis Beberapa tampakan klinis pada pasien artritis reumatoid nampaknya memiliki nilai prognostik. Remisi dari aktivitas penyakit cenderung lebih banyak terjadi pada tahun pertama. Jika aktivitas penyakit berlangsung lebih dari satu tahun biasanya prognosis buruk. Wanita kulit putih cenderung memiliki sinovitis yang lebih persisten dan lebih erosif dibanding pria. Harapan hidup rata-rata orang dengan artritis reumatoid memendek 37 tahun dari orang normal. Peningkatan angka mortalitas tampaknya terbatas pada pasien dengan penyakit sendi yang lebih berat, sehubungan dengan infeksi dan perdarahan gasrointestinal. Faktor yang dihubungkan dengan kematian dini mencakup disabilitas, durasi dan tingkat keparahan penyakit, penggunaan glukokortikoid, umur onset, serta rendahnya status sosioekonomi dan pendidikan.
18
BAB III KESIMPULAN 1) Rheumatoid arthritis adalah inflamasi sistemik kronik yang menyerang beberapa sendi dan termasuk gangguan auto-imun (hipersensitivitas tipe III). Proses inflamasi ini terutama mempengaruhi lapisan sendi (membran sinovial), tetapi dapat juga mempengaruhi organ tubuh lainnya. 2) Faktor risiko rheumatoid arthritis yaitu transfusi darah, usia, jenis kelamin (perempuan : laki-laki = 2: 1), faktor genetik, suku, rokok dan kopi. 3) Gejala umum yang terjadi adalah pada sendi terjadi pembengkakan, warna kemerahan, terasa hangat, bila ditekan terasa lunak dan disertai rasa sakit. 4) Dasar diagnosis rheumatoid arthritis antara lain anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, foto polos, USG, CT-Scan, MRI. 5) Diagnosis banding rheumatoid arthritis yaitu gout arthritis dan osteoarthritis 6) Penatalaksaannya yaitu dengan NSAIDs, DMARD, Glukokortikoid, dan operasi.
19
DAFTAR PUSTAKA Lipsky, Peter E. Rheumatoid Arthritis. In: Kasper LK, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, and Jameson JL, editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th ed. New York: McGraw-Hill; 2005.p.1968-76 Kent PD and Matteson EL, editors. Clinical Feature and Differential Diagnosis. In: St.Clair EW, Pisetsky DS, and haynes BF, editors. Rheumatoid Arthritis 1st ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2004.p.11-23 Snaith, Michael L. ABC of Rheumatology 3rd ed. London: BMJ Books; 2004.p.50-5 Sommer OF, Kladosek A, Weiller V, Czembirek H, Boeck M, and Stiskal S. Rheumatoid Arthritis: A Practical Guide to State-of-the-Art Imaging, Image Interpretation, and Clinical Implications. Austria: RadioGraphics; 2005.p.381-398 Eisenberg RL and Johnson NM, editors. Comprehensive Radiographic Pathology 4th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2003.p.1134-5 Coote A and Haslam P, editors. Crash Course Rheumatology and Orthopaedics 1 st ed. New York : Mosby; 2004.p.51-9 Waugh A and Grand A, editors. Rose and Wilson Anatomy and Physiology in Health and Illness 9th ed. Edinburg: Churchill Livingstone; 2001.p.414-5 Cothran Jr RL and Matinez S, editors. Radiographic Findings. In: St.Clair EW, Pisetsky DS, and haynes BF, editors. Rheumatoid Arthritis 1st ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2004.p.80-9