BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Belakangan, banyak permasalahan-permasalahan kontemporer yang kian mengemuka dalam kancah perpolitikan global. Permasalahan-permasalahan tersebut terkadang sangat sulit untuk dipecahkan karena terdapat perbedaan cara pandang yang cukup mendasar diantara aktor-aktor dalam mengamati suatu fenomena atau kegagalan mereka untuk mencari keterkaitan diantara fenomenafenomena tersebut. Di samping itu, perbedaan interpretasi terhadap konsep yang ada juga turut menyumbang kerumitan dalam menyikapi persoalan.Semua berawal dari pandangan mainstream dalam HI, bahwa dunia memang terkotakkotak dalam nation-state dan nasib daripada masing-masing ditentukan oleh bagaimana tiap kotaknya bisa memajemen power yang dimiliki.Di luar itu batas itu, maka negara tidak akan lagi memiliki tanggung jawab moral yang mengikat. Dalam kajian politik sendiri, setidaknya terdapat tiga asumsi dasar yang seringkali dijadikan acuan terhadap bagaimana kita memandang dunia secara keseluruhan. Pertama, asumsi yang menyatakan bahwa dunia adalah ruang tanpa adanya dimensi moral, pandangan ini mirip dengan penggambaran mere nature oleh Thomas Hobbes, dimana dunia diliputi oleh kompetisi antar individu dalam memperebutkan kekuasaan tanpa adanya common power.
1
Asumsi kedua
menyatakan bahwa dunia tidak sepenuhnya absen dari dimensi moral, hanya saja moral yang ada dibatasi dan ditentukan oleh institusi yang disebut negara bangsa. Asumsi kedua inilah yang saat ini mendominasi konsep-konsep moralitas internasional ; tentang bagaimana negara menyepakati ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan antar mereka. Ketiga adalah asumsi yang mengemukakan bahwa tidak seharusnya moralitas manusia dibatasi oleh sekat-sekat negara
1
th
T. Hobbes dan J C. A. Gaskin.,Leviathan, 15 edn, Oxford University Press, Oxford, 1998, Ch. 1315 p.2.
1
bangsa, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang tunggal dan oleh karenanya harus ada nilai-nilai universal yang mengatur moralitas bersama.2 Pada prakteknya, asumsi kedua dan ketiga melahirkan suatu konsepkonsep yang terkadang saling berbenturan atau setidaknya diinterpretasikan secara beragam oleh satu sama lain. Dalam penelitian ini, akan diangkat dua konsep dasar
dalam
hubungan
internasional,
yaitu
hak
asasi
manusia
dan
kewarganegaraan. Kewarganegaraan pada dasarnya berakar dari ide nasionalisme, yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara bangsa.3Di sisi lain, konsep HAM mengacu pada nilai-nilai universal dan sangat mendasar dari diri manusia yang patut untuk dipenuhi sebagai bagian dari atribut yang telah ada dalam diri individu sejak mereka dilahirkan ke dunia. 4 Artinya, nilai yang diusung dalam HAM adalah menyeluruh, tanpa membatasi dan menyekat manusia dalam kotak-kotak yang disebut dengan negara bangsa. Kesetiaan tertinggi pada negara kurang disoroti, dan menekankan pada penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Perdebatan mengenai dualisme struktur ideal bagi dunia ini sebenarnya dapat ditelusuri dari sejarah bangsa-bangsa kuno. Bangsa Ibrani dan Yunani misalnya, mereka memiliki kesadaran yang tegas, bahwa mereka berbeda dan lebih superior dari bangsa-bangsa lainnya, yaitu antara bangsa Ibrani dan nonIbrani (Gentile), serta bangsa Yunani dan non-Yunani (Barbarian).5 Dari sinilah kemudian diilhami sebuah ikatan kebangsaan yang lebih lanjut dimanifestasikan dalam kewarganegaraan pada konsep negara bangsa modern. Pada akhir abad keempat sebelum Masehi, dibawah cita-cita Iskandar Zulkarnain, kaum filsuf Stoika Yunani mengajarkan kepada umat manusia bahwa tanah air mereka adalah alam semesta, dan bahwa manusia bukanlah suatu warganegara dari negara 2
Beitz, Charles, R., Political Theory and International Relations, Princeton, NJ:Princeton University Press, 1979, p. 7-9 3 H. Kohn, Nationalism : Its Meaning and History, edisi Bahasa Indonesia Nasionalisme : Arti dan Sejarahnya, diterjemahkan oleh Sumantri Mertodipuro, PT Pembangunan, Jakarta, 1958, p.11. 4 K. D. Asplund, S. Marzuki dan Eko Riyadi (ed.), Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2008, p.11. 5 Kohn, Nasionalisme, arti dan sejarahnya, p.15.
2
bangsa tertentu melainkan warga dunia seluruhnya.
6
Tokoh Yunani kuno
Aristoteles dalam karyanya Nicomachean Ethicsjuga mengajukan dukungan terhadap keberadaan ketertiban moral yang bersifat alamiah dalam serangkaian kriteria universal yang komprehensif. 7 Ide ini kemudian juga diteruskan oleh Imperium Romawi di masa berikutnya hingga melahirkan gagasan-gagasan universalis yang lebih lanjut, namun kemudian dikalahkan oleh ide-ide nasionalisme utamanya abad Renaisance yang didominasi oleh pemikiran Nicollo Machiavelli. Pada pertengahan abad ketujuhbelas, konsep negara modern lahir yang ditandai dengan Perjanjian Westphalia. Hal tersebut berimplikasi pada hubungan warga negara sebagai subjek politik dan pemerintah sebagai otoritas pemegang kendali. Perang agama, hegemoni dan territorial pada tahun 1600an berimplikasi pada serangkaian peristiwa paling konfliktual dalam sejarah umat manusia, termasuk perang tiga puluh tahun (1618 – 1648). Sejarah tersebut mengingatkan kembali pada pemikiran-pemikiran filsuf Perancis, Jean Bodin (1530 – 1596) tentang ide suatu negara bangsa. 8 Hal ini membuat pemikiran pada abad ketujuhbelas semakin didominasi oleh pembentukan negara bangsa yang dapat memberikan pertahanan, menjamin keamanan serta menciptakan tatanan. Masalah baru kemudian muncul dari pola kepemimpinan absolut yang seringkali berujung pada tindakan koersif. Baru setelah konsep “natural rights” yang kerap diasosiasikan sebagai buah pemikiran John Locke (1632 – 1704) serta tokoh-tokoh abad pencerahan Eropa lain muncul, tradisi absolutisme pemimpin mulai berkurang, salah satunya ditandai dengan lahirnya Bill of Rights. Pada akhir Perang Dunia II, The Universal Declaration of Human Rights(UDHR) lahir.Sebelumnya, pada rentang tahun 1946-1948, terdapat debat terkait universalisme versus relativisme moral. Secara umum negara-negara demokratis di Eropa sangat setuju dengan nilai yang dimuat dalam proposal Deklarasi Universal karena dianggap mencerminkan kepentingan domestik yang ingin diraih. 6
Kohn, Nasionalisme, arti dan sejarahnya, p.15. Asplund(ed.), Hukum Hak Asasi Manusia,p.19. 8 J. Bodin, On Sovereignty, Cambridge University Press, Cambridge, 1992, p. 5. 7
3
Tetapi, banyak negara-negara yang merasa hal ini terlalu membatasi gerak mereka dalam memperoleh kepentingannya karena tidak sesuai dengan nilai-nilai lokal.9 Pada faktanya, hingga saat ini masih banyak fenomena-fenomena dalam hubungan internasional yang menantang dualisme serta keterkaitan antara konsep HAM serta nasionalisme, yang mana lebih lanjut akan difokuskan ke dalam ranah kewarganegaraan. Dua konsep diatas masih secara luas menjadi landasan perilaku banyak aktor dalam mengambil keputusan politik belakangan ini. Bukan hanya itu, HAM dan kewarganegaraan juga seringkali dijadikan sebagai justifikasi upaya untuk memperoleh kepentingan baik di level domestik maupun internasional. Manusia dikategorikan ke dalam berbagai kewarganegaraan yang bagi kaum nasionalis memang relevan adanya, tetapi HAM tidak memandang hal ini.Kewarganegaraan lahir dari konteks yang sangat khusus, sedangkan HAM lahir dari buah pemikiran yang sangat universal. Perbedaan sifat antar keduanya tidak jarang menimbulkan banyak persoalan yang rumit karena sama-sama merupakan bagian dari norma umum dalam hubungan internasional modern. Di Myanmar, determinasi kebangsaan yang sedang dibangun ini menimbulkan kekaburan penentuan identitas tentang siapakah yang bisa disebut sebagai “warga negara” dan siapa yang bukan. Keberagaman suku, ras, serta agama nampaknya merupakan faktor krusial dalam proses kemunculan permasalahan tersebut.Pada tahun 1982, terdapat Hukum Kewarganegaraan baru yang membedakan etnis indigenous dan non-indigenous 10 , dimana hal tersebut kemudian memunculkan perbedaan perlakuan terhadap hak dan kewajiban pula diantara keduanya. Dalam kasus ini, etnis Rohingya yang mayoritas Muslim cenderung dikeluarkan dari definisi warga negara Myanmar atas dasar perbedaan etnis dan identitas agama.
9
nd
D. P. Forsythe, Human Rights in International Relations, 2 edn, Cambridge University Press, New York, 2006, p. 40. 10 Human Rights Watch, Report :Discrimination in Arakan (daring),
, diakses 29 Oktober 2015.
4
Dalam dimensi hubungan antar negara, status Rohingya tidak kalah rumitnya. Di samping pernyataan pemerintah Myanmar yang menyatakan bahwa etnis Rohingya merupakan imigran illegal dari Bangladesh yang tidak memiliki dokumen keimigrasian resmi, pemerintah Bangladesh mengutuk tindakan sistematis Myanmar yang menyebabkan ribuan etnis Rohingya melarikan diri ke wilayahnya. Padahal, banyak bukti yang mengarah bahwa etnis Rohingya telah mendiami wilayah yang saat ini disebut dengan Rakhine tersebut sejak abad ke7.11Pada tahun 1977, populasi Muslim terkonsentrasi di dua kota di Rakhine, yaitu Maungdaw dan Buthidaung. Menurut otoritas Myanmar, kota-kota ini merupakan entry point dari orang-orang Rohingya yang mereka klaim sebagai „imigran gelap‟ dari Bangladesh. Persoalan domestik yang terjadi di Myanmar kemudian menjadi headline surat-surat kabar terkemuka di seluruh penjuru dunia, menunjukkan rasa solidaritas masyarakat internasional terhadap isu terkait. Dalam hal ini, HAM dijadikan sebagai alat pembelaan atas apa yang terjadi pada Rohingya, mengutuk pemerintah Myanmar yang dianggap tidak mampu mengimplementasikan prinsip dasar kemanusiaan pada level nasional.Hal tersebut tidak terlepas dari laporanlaporan etnis Rohingya yang berhasil melarikan diri ke Bangladesh utamanya tahun
1991-1992
serta
negara-negara
Asia
Tenggara
lain.
Namun,
pemerintahMyanmar sendiri juga memiliki kapasitas untuk menginterpretasikan apa yang ia bayangkan sebagai HAM dan bagaimana cara pemenuhannya didukung dengan prinsip kedaulatan. 1.2 Rumusan Masalah Terkait latar belakang diatas, terdapat dua rumusan masalah yang hendak dijawab melalui penulisan skripsi ini. Kedua rumusan masalah tersebut adalah : (1) Bagaimanakah kebijakan kewarganegaraan pemerintah Myanmar dan apa dampaknya bagi etnis Rohingya? 11
Burma Briefing, ‘Burma’s Treatment of the Rohingya and International Law’, Burma Campaign UK, no, 2003, p. 2.
5
(2) Bagaimana implementasi kebijakan kewarganegaraan pemerintah Myanmar ini dilihat dari perspektif HAMuniversal? 1.3 Landasan Konseptual 1.3.1Hak Asasi Manusia Pembatasan landasan konseptual terkait HAM akan diambil dari ketetapan-ketetapan
yang
ada
pasca
dicetuskannya
The
Universal
Declaration of Human Rights(UDHR).UDHR memuat prinsip-prinsip utama yang meliputi hak partisipasi politik dan kebebasan sipil, hak untuk bebas dari ketakutan, dan hak-hak dasar manusia lainnya yang berkaitan dengan akses pendidikan, pangan, kesehatan, dll.Piagam PBB secara eksplisit juga telah memuat dukungan terhadap HAM, diantaranya pasal 1 (3) mencantumkan bahwa salah satu tujuan PBB adalah “memajukan dan mendorong penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar bagi semua orang tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama. 12 Selanjutnya dalam pasal 55 ditegaskan pula, bahwa PBB “harus memajukan … penghormatan universal terhadap ketaatan kepada hak asasi manusia dan kebebasan dasar bagi setiap orang”.13 Dalam konteks penelitian ini, aspek Hak Asasi Manusia akan lebih difokuskan pada instrumen-instrumen yang merupakan sumber dari hukum HAM internasional seperti UDHR serta Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR),serta Konvensi Orang tanpa Kewarganegaraan. Contoh dari beberapa bagian dalam ICCPR yang sangat relevan digunakan untuk menganalisa persoalan terkait adalah artikel 24 yang menyatakan bahwa “semua anak harus didaftarkan segera setelah dilahirkan dan diberi hak untuk memperoleh kewarganegaraan”, serta artikel 11 tentang hak
12
United Nations, CHARTER OF THE UNITED NATIONS AND STATUTE OF THE INTERNATIONAL COURT OF JUSTICE, UN, San Francisco, 1945, p.3. 13 United Nations, CHARTER OF THE UNITED NATIONS AND STATUTE OF THE INTERNATIONAL COURT OF JUSTICE, p.11.
6
kebebasan berpindah.14Dalam konvensi ini disebutkan pula bahwa mereka berhak mencari perlindungan dimanapun (termasuk di negara tempat tinggal) dan oleh karenanya meskipun pemerintah Myanmar bukan merupakan parties dari konvensi terkait, haknya untuk melindungi hak stateless tidak terbantahkan. Penjelasan di atas dapat merangkum esensi dari hak asasi manusia, yaitu merupakan hak dasar yang melekat dalam diri manusia tanpa memandang kewarganegaraan, tempat tinggal, jenis kelamin, etnis, ras, agama, dll. 15 Menurut Burns Weston, hak asasi manusia bukanlah suatu konsep ataupun konteks yang tetap, melainkan senantiasa berubah dan menyesuaikan dengan keadaan. Meskipun masyarakat internasional telah menetapkan konsensus dalam pemakmaan dan aplikasinya, namun disaat yang sama juga bersifat adaptif terhadap ide dari asumsi-asumsi baru.16Pada awalnya, ide dan gagasan mengenai hak asasi manusia dipelopori oleh teori hak kodrati (natural rights theory).Teori ini sendiri lahir dari buah pemikiran tokoh-tokoh seperti Santo Thomas Aquinas serta Hugo de Groot.17Perkembangan tentang gagasan hukum kodrati ini terlihat signifikan berkat John Locke yang menuangkan gagasannya dalam buku “The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration”, dimana Locke mengajukan bahwa semua individu dikaruniai oleh hak alam yang melekat atas hidup, kebebasan dan kepemilikan, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut oleh siapapun termasuk negara.18 1.3.2 Kewarganegaraan
14
United Nations, International Covenant on Civil and Political Rights, UN General Assembly, 1966, p.176. 15 United Nations Office of the High Commissioner for Human Rights, What are Human Rights? (daring), , diakses 7 September 2015. 16 rd R. P. Claude dan Burns H. Weston (ed.), Human Rights in The World Community, 3 edn, University of Pennsylvania Press, Philadelphia, 2006, p.4. 17 Asplund (ed.), Hukum Hak Asasi Manusia, p.12. 18 J. Locke, The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration, Blackwell Publishing, Oxford, 1964, p.3.
7
Pada dasarnya konsepsi kewarganegaraan telah mengalami proses perkembangan yang panjang. Bangsa Yunani kuno menekankan aspek partisipasi aktif dalam kepentingan umum sebagai titik beratnya.Di abad pertengahan, konsepsi ini diasosiasikan dengan prinsip keanggotaan dalam gereja
dan
masyarakat.Banyak
kalangan
yang
meragukan
bahwa
kewarganegaraan adalah konsep yang baru datang belakangan, sebab dalam sejarahnya telah banyak gejala-gejala awal kemunculan konsep ini. Misalnya saja kebudayaan kota dalam city state, sekulerisasi yang membatasi agama hanya untuk ranah pribadi masyarakat (dimana hal ini menunjukkan tanda hubungan negara dan warganya secara lebih terinstitusionalisasi), kemunculan “wilayah publik”, berkurangnya nilai-nilai pluralistik yang tergantikan dengan hukum negara/kerajaan, hingga adanya kerangka administratif yang lebih lanjut pada negara bangsa. 19 Dalam perkembangannya, konsep ini sarat akan unsur dan pengaruh Barat. Terlepas dari hal tersebut, wilayah-wilayah lain seperti Asia Tenggara pada sistem Mandala serta peradaban Muslim di Timur Tengah nampaknya juga menunjukkan adanya suatu proses pengorganisasian masyarakat yang mirip dengan perkembangan kewarganegaraan di Barat. 20 Oleh karena itu, sangat dimungkinkan apabila konsep kewarganegaraan itu sendiri bukanlah merupakan suatu konsep yang lahir hanya dari satu produk sosial (yaitu Barat), melainkan hasil dari proses yang paralel dan terjadi secara bersamaan. Sayangnya, tidak ada batasan definisi yang jelas tentang perbedaan dari konsepsi ini dalam berbagai masyarakat tersebut karena implikasi dari kolonialisme yang mana kemudian mendominasi ide-ide terkait kewarganegaraan. Namun hingga era pasca kolonialisme pun, konsep ini memperoleh definisi yang beragam, salah satunya adalah definisi dari welfare state yang mengemukakan bahwa kewarganegaraan adalah suatu metode pendistribusian sumber daya yang diperuntukkan pada mereka yang
19
B. S. Turner (ed.), Citizenship and Social Theory, Sage Publications, London, 1993, p.vii. Turner (ed.), Citizenship and Social Theory, p.x.
20
8
tidak
bisa
mendapatkan
lingkungannya.
akses
kebutuhan
oleh
karena
faktor
21
Dalam era kontemporer, kewarganegaraan memegang arti penting dalam berbagai hal, seperti konsep kewarganegaraan dalam teori demokrasi.Pada perspektif filsafat politik dan hukum kontitusional, kewarganegaraan biasanya didefinisikan sebagai sekumpulan hak dan kewajiban seorang individu sebagai bagian dari komunitas politik.Wujud daripada hak dan kewajiban tersebut secara mendasar umumnya mengacu pada hak untuk mendapatkan akses tanda identitas warga negara, serta pembayar pajak aktif negara. Apabila dilihat dalam kerangka sosiologis yang lebih luas, maka kewarganegaraan dapat didefinisikan sebagai sekumpulan praktek (yuridis, politik, ekonomi, serta kultural) yang menempatkan
individu
sebagai
aggota
masyarakat,
dan
memiliki
konsekwensi dalam membentuk aliran sumber daya dari individu tersebut dalam
kelompok
sosialnya.
22
Menurut
Marshall,
kewarganegaraan
setidaknya terdiri dari tiga komponen utama yang meliputi ; hak sipil yang dibutuhkan untuk kebebasan individu, hak politik untuk berpartisipasi dalam proses politik, serta hak sosial yang mencakup seluruh bagian dalam hal kesejahteraan ekonomi, hidup beradab sesuai dengan standar masyarakat, dll.23 1.4 Argumentasi Utama Kajian HI mainstream yang masih menjadikan negara-bangsa sebagai entitas pertama dan utama dalam membangun tatanan dunia yang teratur, dalam beberapa level menghambat pengaplikasian nilai-nilai dalam HAM yang bersifat sangat universal.Implementasi Hukum Kewarganegaraan Myanmar tahun 1982 membuat sebagian besar dari etnis Rohingya keluar dari definisi warga negara.Hal ini, tentu saja sangat berpengaruh dalam pemenuhan hak-hak esensial mereka 21
Turner (ed.), Citizenship and Social Theory, p.3. Turner (ed.), Citizenship and Social Theory, p.xi 23 Turner (ed.), Citizenship and Social Theory, p.20 22
9
yang pada dasarnya dijamin oleh nilai HAM internasional.Melalui perspektif HAM, tentu hal ini tidak dibenarkan karena sejatinya HAM berlaku untuk seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Perlakuan yang diterima oleh etnis Rohingya menyalahi nilai dasar dari instrumen hukum HAM internasional sepertiThe Universal Declaration of Human Rights (UDHR), Convention relating to the Status of Stateless Persons tahun 1954 serta International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).Dari sini dapat dilihat bahwa konsepsi HAM dan kewarganegaraan menjadi sangat kompleks ketika keduanya saling berhadapan di ranah politik, karena manifestasi penerapannya dalam realita kerap kali bersinggungan dan sangat dipengaruhi oleh kepentingan penguasa. 1.5 Metode Penelitian Penulis akan menggunakan metode penelitian kualitatif untuk menjawab kedua rumusan masalah, yaitu melalui pengumpulan data dari sumber yang relevan. Metode kualitatif yang akan digunakan dalam hal ini adalah studi terhadap dokumen yang memuat informasi terkait berupa buku, jurnal, surat kabar, atau sumber lain terkait dengan HAM dan kewarganegaraan. Pada bagian studi kasus Rohingya di Myanmar, data dari sumber onlineakan lebih banyak digunakan mengingat eskalasi persoalan yang terus mengemuka hingga saat ini, dimana pada umumnya sumber online menawarkan informasi yang diperoleh secara cepat dan akurat. Data yang akan digunakan dalam penelitian ini utamanya merupakan data kualitatif, dengan tambahan kuantitatif untuk mempermudah penjelasan apabila diperlukan. Melalui metode kualitatif ini, seluruh sumber yang telah didapatkan penulis akan dianalisa secara lebih mendalam untuk memunculkan analisis terkait rumusan masalah penelitian dan kemudian akan disimpulkan oleh penulis. 1.6 Jangkauan Penelitian Secara umum keterkaitan konsep HAM dan kewarganegaraan bereskalasi utamanya
setelah
Rights(UDHR)
kemunculan yang
The
menandai
Universal kelahiran
Declaration HAM
of
Human
yang
lebih
10
terinstitusionalisasi.Perdebatan ini masih berlangsung hingga sekarang, sehingga penulis akan membahas keterkaitannya sampai periode saat penelitian ini dibuat. Di samping itu, penelitian ini akan mengambil isu Rohingya di Myanmar sebagai studi kasus dari keterkaitan antara HAM dan kewarganegaraan.Pada kasus Rohingya sendiri akan dipaparkan fakta historis secara singkat, kemudian peneliti akan menyoroti persoalan tersebut utamanya setelah diterapkannya Kebijakan Kewarganegaraan baru pada tahun 1982 yang telah memasukkan etnis Rohingya sebagai etnis non-indigenous sehingga akses mereka terhadap kepentingan umum dibatasi. 1.7 Sistematika Penulisan Penelitian ini akan terdiri dari empat bagian. Pada bagian pertama adalah bagian pendahuluan, meliputi latar belakang, rumusan masalah, landasan konseptual, argumentasi utama, metode penelitian, jangkauan penelitian dan sistematika penelitian. Pada bagian kedua, penulis akan membahas mengenai Kebijakan Kewarganegaraan pemerintah Myanmar dan dampaknya bagi etnis Rohingya. Pada bagian ketiga, akan dianalisa persoalan terkait khususnya dari sudut pandang HAM universal. Pada bagian keempat, penulis akan menarik kesimpulan serta refleksi dari keterkaitan konsep yang ada dan menjelaskan signifikansi fenomena semacam ini dalam studi Hubungan Internasional.
11