BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kabupaten Sleman merupakan salah satu propinsi di Daerah Istimewa Yogyakarta yang sebagian besar wilayahnya tersususun atas bentuklahan vulkanik di bagian selatan gunungapi Merapi. Gunungapi Merapi merupakan gunungapi tipe strato, dengan ketinggian 2980 meter dari permukaan laut. Secara geografis terletak pada posisi 7’ 32.5’ Lintang Selatan dan 110' 26.5’ Bujur Timur. Secara administratif terletak pada 4 wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Sleman di Provinsi DI Yogyakarta, dan Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, dan Kabupaten Klaten di Provinsi Jawa Tengah Secara umum, formasi batuan di Kabupaten Sleman tersusun dari Formasi Gunungapi Merapi Tua, Formasi Gunungapi Merapi Muda, dan Formasi Sleman (Bemmelen, 1949). Formasi Gunungapi Merapi Muda dan Formasi Sleman merupakan major aquifer dan Formasi Gunungapi Merapi Tua merupakan poor aquifer. Major aquifer memiliki permeabilitas baik sehingga mataair banyak muncul di tempat tersebut. Mataair yang merupakan pemusatan pengeluaran air tanah yang muncul di permukaan tanah dan umum digunakan sumber air potensial yang selama ini telah dimanfaatkan sebagai sumber utama air bersih terutama oleh PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) , juga oleh perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) dan masyarakat awam. Mata air yang berasal dari tanah dalam, hampir tidak terpengaruh oleh musim, dan kuantitas atau kualitasnya sama dengan keadaan air dalam (Sutrisno, 2004). Mataair dapat diidentifikasi dari pendekatan bentanglahan terpilih menggunakan parameter fisik lahan tertentu. Salah satu cara untuk mengetahui keberadaan mataair adalah menggunakan citra penginderaan jauh dan sistem informasi geografis. Citra penginderaan jauh dapat digunakan untuk menyadap informasi bentang lahan yang diperlukan dalam identifikasi hidrologi.
1
ASTER
(Advance
Spaceborne
Thermal
Emission
and
Reflection
Radiometer) merupakan sensor optik multispektral dengan resolusi spasial 15 m yang dimuat pada satelit Terra yang diluncurkan pada bulan Desember 1999. ASTER mempunyai 14 band spektral dari mulai spektrum tampak sampai dengan saluran thermal yang terbagi menjadi 3 radiometer, yaitu: VNIR (Visible Near Infrared Radiometer), SWIR (Short Wave Infrared Radiometer) dan TIR (Thermal Infrared Radiometer) (Ersdac, 2003). Satu kelebihan sensor ASTER adalah memiliki 2 saluran inframerah dekat dengan panjang gelombang yang sama, yaitu band 3N (nadir: arah tegak lurus) dan 3B (backward: arah belakang). Citra ASTER VNIR dapat digunakan sebagai kajian penutup dan penggunaan lahan. Salah satu turunan citra ASTER, yaitu ASTER GDEM dengan resolusi spasial 30 m, merupakan citra yang dapat digunakan untuk merepresentasikan elevasi permukaan bumi dalam bentuk digital. Dengan citra ini, bentuk topografi permukaan bumi dapat divisualisasikan dalam bentuk tiga dimensi. Aplikasi
penginderaan
jauh
untuk
pemetaan
sumberdaya
wilayah
memerlukan pertimbangan tertentu agar dapat menghasilkan keluaran dengan kualitas baik. Selain mempertimbangkan resolusi spasial, temporal, dan radiometrik, juga diperlukan pertimbangan resolusi spektral berupa pemilihan saluran, serta kombinasi saluran. Penentuan teknik dan metode pengolahan juga dapat berpengaruh terhadap hasil akhir suatu aplikasi penginderaan jauh. Sistem Informasi Geografis (SIG) diperlukan dalam analisis sumberdaya wilayah karena memiliki kemampuan
menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi
geografi dan kemampuan untuk melakukan tumpang susun antar beberapa paramater, serta memiliki kemampuan memvisualisasikan hasil pengolahan spasial citra penginderaan jauh.
1.2 Rumusan Masalah Aplikasi teknik penginderaan jauh banyak digunakan untuk inventarisasi sumberdaya alam. Seperti diuraikan dalam latar belakang penelitian, salah satu aplikasi penginderaan jauh dapat diterapkan dalam inventarisasi bidang hidrologi. Inventarisasi yang dimaksud adalah inventarisasi mataair.
2
Kabupaten Sleman sebagian besar terletak di daerah dengan bentuklahan vulkanik. Pada bentuklahan vulkanik banyak ditemui mataair. Oleh karena itu, informasi mengenai lokasi daerah munculnya airtanah berupa mataair perlu dilakukan dalam upaya pengelolaan sumberdaya air terintegrasi. Penelitian ini mengkhususkan pada usaha seberapa jauh kemampuan teknik penginderaan jauh menggunakan parameter fisik lahan yang berpengaruh terhadap lokasi pemunculan mataair di Kabupaten Sleman. Berdasarkan uraian di atas, maka timbul pertanyaan penelitian: 1. Apakah citra penginderaan jauh dapat digunakan untuk mengidentifikasi lokasi pemunculan mataair berdasarkan parameter fisik lahan dan apakah sistem informasi geografis dapat digunakan untuk memetakan dan menganalisis sebaran mataair di Kabupaten Sleman? 2. Sejauh mana kemampuan penginderaan jauh dan sistem informasi geografis dalam identifikasi pemunculan mataair di Kabupaten Sleman? Berdasarkan permasalahan yang muncul, maka penelitian ini mengambil judul: “Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Untuk Identifikasi Lokasi Pemunculan Mataair di Kabupaten Sleman”
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui lokasi pemunculan mataair di Kabupaten Sleman berdasarkan parameter fisik lahan menggunakan citra penginderaan jauh dan memetakan serta menganalisis sebaran mataair menggunakan sistem informasi geografis. 2.
Mengkaji kemampuan citra penginderaan jauh dan sistem informasi geografis dalam mengidentifikasi lokasi pemunculan mataair berdasarkan parameter fisik lahan di Kabupaten Sleman.
3
1.4 Kegunaan 1. Sebagai bahan masukan dan sumbangan pemikiran dalam ilmu penginderaan jauh, khususnya yang berkaitan dengan interpretasi citra penginderaan jauh untuk kajian hidrologi berupa identifikasi lokasi pemunculan mataair. 2. Memberikan informasi terkait keberadaan mataair daerah penelitian sebagai salah satu bahan pertimbangan pengelolaan sumberdaya wilayah untuk dinas terkait di Kabupaten Sleman. 3. Sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan studi sarjana di Fakultas Geografi UGM.
1.5 Tinjauan Pustaka 1.5.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek, daerah, atau gejala yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990). Menurut Sutanto (1987), alat yang dimaksud dalam batasan tersebut adalah sensor yang dipasang pada wahana yang berupa pesawat terbang, satelit, pesawat ulang alik, atau wahana lain yang dilakukan dari jarak jauh, sehingga disebut penginderaan jauh. Jarak yang jauh memerlukan tenaga yang dipancarkan atau dipantulkan oleh suatu obyek yang diindera sehingga antara obyek dan tenaga terjadi interaksi. Setiap obyek memiliki karakteristiknya sendiri terhadap interaksinya terhadap tenaga. Hal tersebut dapat dijelaskan melalui kurva pantulan spektral obyek pada gambar 1.
4
Gambar 1. Kurva pantulan umum vegetasi, tanah, dan air (Lillesand, et al., 1979) Obyek di permukaan bumi pada dasarnya dibedakan menjadi tiga, yaitu obyek berupa vegetasi, tanah, dan air. Masing-masing obyek memiliki bentuk dan sifat yang juga berbeda. Pemotretan menggunakan panjang gelombang tertentu menghasilkan karakter reflektan yang berbeda sehingga dapat digunakan sebagai dasar pemilihan citra penginderaan jauh juga sebagai dasar interpretasi obyek. Kerincian informasi yang disadap dari data penginderaan jauh sangat bergantung pada resolusi. Terdapat empat macam resolusi, yaitu resolusi spasial, resolusi spektral, resolusi radiometrik, dan resolusi temporal. Resolusi spasial ialah ukuran obyek terkecil yang dapat disajikan, dibedakan, dan dikenali dari citra. Resolusi spektral menunjukkan kerincian spektrum elektromagnetik yang yang digunakan dalam suatu sistem penginderaan jauh. Resolusi radiometrik menunjukkan kepekaan sistem sensor terhadap perbedaan terkecil kekuatan sinyal. Sementara, resolusi temporal merupakan frekuensi perekaman ulang bagi daerah yang sama (Sutanto, 1987).
1.5.2. Citra ASTER ASTER
merupakan sensor optik multispektral dengan resolusi spasial
tinggi yang dimuat pada satelit Terra yang diluncurkan pada bulan Desember 1999. ASTER mempunyai 14 band spektral dari mulai spektrum tampak sampai dengan saluran thermal yang terbagi menjadi 3 radiometer, yaitu: VNIR, SWIR dan TIR (Ersdac, 2003). VNIR merupakan instrument yang mampu mendeteksi
5
pantulan dari permukaan bumi pada gelombang visibel sampai inframerah dekat (0,52 – 0,86 μm). Satu kelebihan sensor ASTER adalah memiliki 2 saluran inframerah dekat dengan panjang gelombang yang sama, yaitu band 3N (nadir: arah tegak lurus) dan 3B (backward: arah belakang), dimana band 3B dipergunakan untuk memperoleh pandangan ke arah belakang dengan sudut dari titik nadir sejauh 27,60 derajat (Ersdac, 2002). Satu scene citra ASTER meliputi daerah berukuran sekitar 60 km x 60 km. Tabel 1. Karakteristik Citra ASTER Subsistem
Band Kisaran spectral VNIR 1 0,52 – 0,60 2 0,63 – 0,69 3N 0,78 – 0,86 3B 0,78 – 0,86 SWIR 4 1,6 – 1,7 5 2,145 – 2,185 6 2,185 – 2,225 7 2,235 – 2,285 8 2,295 – 2,365 9 2,360 – 2,430 TIR 10 8,125 – 8,475 11 8,475 – 8,825 12 8,925 – 9,275 13 10,25 – 10,95 14 10,95 – 11,65 Sumber: ASTER Science Team (2001)
Resolusi Spasial 15 m
Kuantisasi Sinyal 8 bit
30 m
8 bit
90 m
12 bit
Produk lain dari ASTER yang dikembangkan oleh METI (Ministry of Economy, Trade, and Industry) Jepang dan NASA (National Aeronautics and Space Administration) adalah ASTER GDEM (Global Digital Elevation Model). Instrumen GDEM ASTER diluncurkan dengan pesawat ruang angkasa NASA Terra pada bulan Desember 1999 yangg memiliki kemampuan along-track stereokopik menggunakan band spektral inframerah dekat untuk memperoleh data stereo. Sebanyak 1.524.360 scene produk level 1A ASTER yang diperoleh pada bulan Maret 2000 sampai dengan Agustus 2010 digunakan untuk menghasilkan GDEM ASTER. ASTER GDEM dibuat dari tumpang susun antara data yang
6
tertutup awan dengan data yang tidak tertutup awan dengan menggunakan algoritma statistik untuk menghapus data yang tidak normal. Secara umum, estimasi akurasi vertikal citra ini adalah sebesar 20 m. Resolusi yang dihasilkan cukup bagus, yakni 30 m. Karakteristik citra ASTER GDEM ditunjukkan oleh tabel Tabel 2. Karakteristik Citra ASTER GDEM Tile Size Posting Interval Geographic Coordinates DEM Output Format
Special DN Value Coverage Sumber: ASTER GDEM Readme File
3601 x 3601 (1o – by – 1o) 1 arc-second Geographic latitude and longitude GeoTIFF, 16 bits Referenced to the WGS 84/EGM/96 geoid -9999 for void pixels, and 0 for sea water body North 83o to south 83o
1.5.3 Interpretasi Citra Data penginderaan jauh pada dasarnya adalah rekaman pola pantulan energi elektromagnetik pantulan dan emisi yang ditampilkan sebagai citra menyerupai gambar yang sifatnya sangat bervariasi. Untuk dapat menyadap informasi penting dari data tersebut, diperlukan latihan menilai kenampakan penting di luar yang tidak penting. Tingkat awal interpretasi dikenal sebagai deteksi (Lo, 1976). Deteksi dibantu oleh karakteristik spasial, spektral, radiometrik dan temporal data. Pengenalan karakteristik obyek pada citra memerlukan sembilan butir unsur interpretasi, yaitu rona atau warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, tinggi, bayangan, situs dan asosiasi. Rona adalah tingkat kegelapan atau kecerahan obyek pada citra. Warna adalah ujud yang tampak oleh mata dengan menggunakan spektrum sempit, lebih sempit daripada spektrum tampak (0,4 – 0,7 μm). Bentuk merupakan variable kualitatif yang memberikan konfigurasi atau kerangka suatu obyek (Lo, 1976). Bentuk merupakan atribut yang jelas sehingga banyak obyek dapat dikenali dilihat dari bentuknya saja. Ukuran adalah atribut obyek yang antara lain berupa jarak, luas, ketinggian, lereng, dan volum. Tekstur
7
merupakan frekuensi perubahan rona pada citra (Lillesand dan Kiefer, 1979). Pola atau susunan keruangan merupakan cirri yang menandai bagi banyak obyek bentukan manusia dan bagi beberapa obyek alamiah. Bayangan bersifat menyembunyikan detail atau obyek yang berada di daerah gelap. Namun begitu, bayangan sering merupakan kunci pengenalan yang penting bagi beberapa obyek. Asosiasi dapat diartikan sebagai keterkaitan antara obyek yang satu dengan obyek yang lain. Bersama-sama dengan asosiasi, situs dikelompokkan ke dalam kerumitan paling tinggi dalam interpretasi citra. Situs bukan merupakan ciri obyek secara langsung, melainkan dalam kaitannya dengan lingkungan sekitar (Sutanto, 1987). Purwadhi (2011) menyebutkan bahwa interpretasi citra dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu interpretasi citra secara manual dan interpretasi citra secara digital. 1. Interpretasi Manual Merupakan pengenalan karakteristik obyek secara keruangan atau spasial yang mendasarkan pada unsure interpretasi citra penginderaan jauh. Interpretasi manual dilakukan terhadap citra fotografi dan non fotografi yang sudah dikonversi ke dalam bentuk foto atau citra. Interpretasi manual pada citra penginderaan jauh dilakukan pada citra yang terkoreksi baik radiometrik maupun geometrik sehingga pengguna tinggal melakukan identifikasi obyek yang tergambar pada citra atau foto. Interpretasi didasarkan pada sistem kalsifikasi yang bertujuan untuk mengelompokkan atau melakukan segmentasi kenampakan permukaan bumi yang homogen dengan teknik kualitatif. Perhitungan kuantitatif dilakukan secara manual berdasar skala dan resolusi citra penginderaan jauh. 2. Interpretasi Digital Interpretasi digital dilakukan dengan bantuan komputer. Di dalam interpretasi citra penginderaan jauh digital, pengguna dapat melakukan mulai dari pengolahan, pra pengolahan (koreksi citra), penajaman citra, hingga klasifikasi citra. Namun dapat juga melakukannya pada citra penginderaan jauh yang sudah terkoreksi sehingga pengguna tinggal melakukan klasifikasi,
8
1.5.4 Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sistem yang berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasiinformasi geografi. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis obyek-obyek dan fenomena dimana lokasi geografi merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Dengan demikian, SIG merupakan sistem komputer yang memilik empat kemampuan berikut dalam menangani data yang bereferensi geografi: (a) masukan, (b) manajemen data (penyimpanan atau pemanggilan data), (c) analisis dan manipulasi data, (d) keluaran (Aronoff, 1989 dalam Prahasta, 2002). Aronoff (1989) menguraikan komponen SIG menjadi: (a) Data masukan Komponen ini bertugas untuk mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial dan atribut dari berbagai sumber. Komponen ini yang bertanggungjawab dalam mengkonversi atau mentransformasikan format data asli ke dalam format yang dapat digunakan dalam SIG. (b) Data keluaran Komponen ini menampilkan atau menghasilkan keluaran seluruh atau sebagian basisdata baik dalam bentuk softcopy atau bentuk hardcopy seperti: tabel, grafik, peta, dan lain-lain. (c) Data manajemen Komponen ini mengorganisasikan baik data spasial maupun atribut ke dalam sebuah basisdata sedemikian rupa sehingga mudah dipanggil, diupdate dan di-edit. (d) Data manipulasi dan analisis Komponen data ini menentukan informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG, juga dapat melakukan manipulasi dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan.
9
SIG merupakan suatu sistem komputer yang terintegrasi di tingkat fungsional dan jaringan. Komponen SIG yang dirangkum pada gambar 3, terdiri dari : a.
Perangkat keras (hardware) Komputer (komputer tunggal, komputer sistem jaringan dengan
server, komputer dengan jaringan global internet) dan periperalnya merupakan komponen yang harus tersedia untuk mengoperasikan SIG berbasis komputer. Perangkat keras untuk SIG meliputi perangkat keras:
pemasukan
data,
pemrosesan
data,
penyajian
hasil,
penyimpanan(storage). b.
Perangkat Lunak (software) Perangkat lunak yang mempunyai fungsi di atas dan fasilitas
untuk penyimpanan, analisis dan penayangan informasi geografi. Persyaratan yang penting harus dipenuhi software SIG adalah :
Merupakan Database Management System (DMBS).
Fasilitas untuk pemasukan dan manipulasi data geografis.
Fasilitas untuk query, analisis dan visualisasi.
Graphycal User Interface (GUI) yang baik untuk mempermudah akses fasilitas yang ada.
Gambar 2. Komponen-komponen SIG
10
c.
Data Data merupakan komponen yang paling penting dalam SIG.
Keakurasian data dituntut dalam SIG. Dikenal konsep GIGO (Garbits In Garbits Out) dan sebaliknya Gold In Gold Out. d.
Sumberdaya Manusia Teknologi SIG menjadi sangat terbatas kemampuannya jika tidak
ada sumberdaya yang mengelola sistem dan mengembangkan untuk aplikasi yang sesuai. Pengguna dan pembuat sistem harus saling bekerjasama untuk mengembangkan teknologi SIG. e.
Metode (Methods) Model dan teknik pemrosesan perlu dibuat untuk berbagai
aplikasi SIG. Sistem komputer untuk SIG terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak dan prosedur untuk penyusunan pemasukan data, analisis, pemodelan dan penayangan data geospatial. Fungsi pengguna adalah memilih informasi yang diperlukan, membuat standar, membuat jadwal pemutakhiran (updating) yang efisien, menganalisis hasil yang dikeluarkan untuk kegunaan yang diinginkan dan merencanakan aplikasi.
1.4.5 Siklus Hidrologi Daur hidrologi, sering juga dipakai istilah Water Cycle atau Siklus Air. Suatu sirkulasi air yang meliputi gerakan mulai dari laut ke atmosfer, dari atmosfer ke tanah, dan kembali ke laut lagi atau dengan arti lain Siklus hidrologi merupakan rangkaian proses berpindahnya air permukan bumi dari suatu tempat ke tempat lainnya hingga kembali ke tempat asalnya. Gambaran umum mengenai siklus hidrologi dapat dilihat pada gambar 3. Air naik ke udara dari permukaan laut atau dari daratan melalui evaporasi. Air di atmosfer dalam bentuk uap air atau awan bergerak dalam massa yang besar di atas benua dan dipanaskan oleh radiasi tanah. Panas membuat uap air lebih naik lagi sehingga cukup tinggi/dingin untuk terjadi kondensasi. Uap air berubah
jadi embun dan seterusnya jadi hujan atau salju. Curahan
11
(precipitation) turun ke bawah, ke daratan atau langsung ke laut. Air yang tiba di daratan kemudian mengalir di atas permukaan sebagai sungai, terus kembali ke laut. Air yang tiba di daratan kemudian mengalir di atas permukaan sebagai sungai, terus kembali ke laut melengkapi siklus air.
Gambar 3. Siklus hidrologi (USGS) Dalam perjalanannya dari atmosfer ke luar air mengalami banyak interupsi. Sebagian dari air hujan yang turun dari awan menguap sebelum tiba di permukaan bumi, sebagian lagi jatuh di atas daun tumbuh-tumbuhan (interception) dan menguap dari permukaan daun-daun. Air yang tiba di tanah dapat mengalir terus ke laut, namun ada juga yang meresap dulu ke dalam tanah (infiltration) dan sampai ke lapisan batuan sebagai air tanah. Sebagian dari air tanah dihisap oleh tumbuh-tumbuhan melalui daundaunan lalu menguapkan airnya ke udara (transpiration). Air yang mengalir di atas permukaan menuju sungai kemungkinan tertahan di kolam, selokan dan sebagainya (surface detention), ada juga yang sementara tersimpan di danau, tetapi kemudian menguap atau sebaliknya sebagian air mengalir di atas permukaan tanah melalui parit, sungai, hingga menuju ke laut ( surface run off), sebagian lagi infiltrasi ke dasar danau-danau dan bergabung di dalam tanah sebagai air tanah yang pada akhirnya ke luar sebagai mataair.
12
1.4.6 Identifikasi Mataair Kejadian pemunculan air, baik yang berupa mataair maupun rembesan merupakan salah satu kejadian dalam proses hidrologi yang merupakan salah satu karakteristik hidrologi. Pendekatan hidrogeomorfologi dan hidrogeologi digunakan dalam interpretasi citra (Gunawan, 2001). Mataair adalah pemusatan keluarnya airtanah yang muncul di perukaan tanah sebagai arus dari aliran air tanah (Todd 1980). Menurut Bryan (1919) dalam Todd (1980), berdasarkan sebab terjadinya, mataair diklasifikasikan menjadi dua, yaitu mataair yang dihasilkan oleh tenaga non gravitasi dan tenaga gravitasi. Mataair yang dihasilkan oleh tenaga non gravitasi meliputi mataair vulkanik (volcanic spring) yang berhubungan dengan keberadaan batuan vulkanik, mataair celah (fissure spring) dan mataair panas.
Gambar 4. Ilustrasi mataair yang disebabkan tenaga gravitasi (a) mataair depresi, (b) mataair kontak, (c) mataair rekahan (Bryan 1919 dalam Todd 1980)
Mataair yang disebabkan oleh tenaga gravitasi diklasifikasikan menjadi beberapa tipe, yaitu mataair depresi (depression spring) yang terbentuk bila permukaan air tanah terpotong oleh topografi; mataair kontak (contact spring) yang terjadi bila lapisan yang lulus air terletak di atas lapisan kedap air; mataair artesis (artesian spring) yang keluar dari akuifer tertekan; imperveous rock spring yang terjadi pada saluran atau pecahan batuan kedap air; dan mataair rekahan (fracture spring) yang terjadi akibat pecahan batuan
13
lava atau solusional pada batuan impermeabel yang berhubungan dengan air tanah. Identifikasi pemunculan mataair menerapkan pendekatan yang dikembangkan Todd (1959) dan Fetter (1988) sebagai kunci interpretasi pemunculan air (mataair dan rembesan) dalam interpretasi foto udara, antara lain: adanya perubahan kemiringan lereng yang memotong muka air tanah, vegetasi yang menggerombol dan keluar aliran sungai, adanya jalur patahan (sesar). Menurut Tolman (1987) pemunculan mataair dipengaruhi oleh faktor berikut: 1. Curah hujan Merupakan sumber utama dari air tanah dan mata air, air hujan yang jatuh ke permukaan bumi tidak seluruhnya mengalir ke sungai, tetapi sebagian besar akan meresap ke dalam tanah dan masuk ke dalam sistem aliran air tanah 2. Karakteristik hidrologi material permukaan air tanah terutama kelulusan Tanah yang permeabilitasnya semakin besar maka jumlah air yang masuk ke dalam akuifer juga semakin besar, hal ini disebabkan air yang diloloskan dalam batauan atau tanah tersebut dalam jumlah besar dan sebaliknya maerial permukaan yang memiliki permeabilitas semakin kecil maka air yang diloloskan juga relatif kecil. 3. Kondisi topografi Pengaruh yang paling penting adalah kemiringan lereng. Makin besar kemiringan lereng, surface runoff juga makin besar sehingga sedikit air yang meresap ke dalam tanah, pada daerah perubahan lereng yang curam (break of slope) banyak terdapat mataair karena pada bagian tersebut terdapat lapisan airtanah atau akuifer terpotong oleh permukaan tanah. 4. Karakteristik hidrologi formasi akuifer Karakteristik yang berpengaruh adalah: bentuk, batuan penyusun akuifer dan tinggi rendahnya muka airtanah. Bila muka airtanah
14
terpotong oleh permukaan tanah, maka akan muncul mata air sebagai mata air depresi, kecuali itu faktor kemampuan akuifer meloloskan air juga berpengaruh terhadap pemunculan mata air. 5. Struktur geologi Mata air biasanya muncul pada daerah patahan, karena proses patahan menyebabkan akuifer terpotong akibat perpindahan atau pergeseran batuan atau tanah sehingga airtanah akan keluar ke permukaan bumi. Salah satu wilayah yang mempunyai potensi mataair besar adalah wilayah lereng gunungapi. Gunungapi tipe strato muda, umumnya mempunyai pola persebaran mataair yang melingkari badan gunungapi membentuk pola seperti sabuk mataair yang dinamakan sabuk mataair atau springbelt. Pada ketinggian tertentu terdapat jalur mataair yang berkaitan dengan sifat orohidrologinya juga berkaitan dengan perubahan lereng yang diakibatkan
oleh
perubahan
struktur
batuan
pembentuknya
(Purbohadiwidjojo, 1967) Persebaran mataair dengan berbagai debit aliran terdapat pada tubuh gunungapi bagian tengah hingga bawah dengan tempat pemunculan kurang lebih berkesesuaian dengan tempat terjadinya perubahan kemiringan lereng yang mengindikasikan perubahan tingkat kelulusan air (Purbohadiwidjojo, 1967). Semakin tua umur batuan gunungapi, maka semakin kecil pengaruhnya terhadap debit mataair yang muncul. Curah hujan merupakan hal pokok yang berkaitan dengan keterdapatan mataair di suatu daerah, namun hal tersebut masih mempertimbangkan keadaan litologinya (Ardina, 1985). Meinzer dalam Todd (1980) membagi debit mataair berdasarkan magnitude yang ditunjukkan pada tabel 4.
15
Tabel 3. Klasifikasi Mataair Berdasar Debit Magnitude Pertama Kedua Ketiga Keempat Kelima Keenam Ketujuh Kedelapan Sumber: Todd (1980)
Debit Rata-Rata >10 m3/s 1 – 10 m3/s 0,1 – 1 m3/s 10 – 100 l/s 1 – 10 l/s 0,1 – 1 l/s 10 – 100 ml/s <10 ml/s
16
1.6 Diagram Alir Kerangka Pemikiran Kabupaten Sleman terletak di daerah vulkanik pada daerah major aquifer Dimungkinkan banyak muncul mataair
Parameter fisik lahan berpengaruh terhadap pemunculan mataair
Data Sekunder
Data debit mataair
Citra Penginderaan Jauh
Parameter curah hujan
Parameter struktur geologi (lineament)
Parameter bentuklahan
Parameter penggunaan lahan
Parameter lereng
Identifikasi lokasi pemunculan mataair
Analisis sebaran mataair di Kabupaten Sleman Gambar 5. Diagram Alir Kerangka Pemikiran
17
1.7 Kerangka Pemikiran Mataair adalah hasil dari siklus hidrologi berupa pemusatan pengeluaran airtanah yang muncul di permukaan tanah atau batuan. Keberadaan mataair sangat dibutuhkan terutama untuk penyaluran air minum oleh PDAM dan pemenuhan kebutuhan produksi dan konsumsi oleh perusahaan air minum dan masyarakat. Pendekatan karakteristik fisik lahan diperlukan untuk mengetahui sebaran lokasi mataair. Parameter yang dapat digunakan untuk identifikasi lokasi pemunculan mata air adalah faktor lereng, struktrur geologi berupa kelurusan atau lineament, bentuklahan, penggunaan lahan dan curah hujan. Faktor yang diinterpretasi dan diidentifikasi dari citra adalah faktor bentuklahan, penggunaan lahan, dan pola kelurusan. Kemiringan lereng diperoleh dari analisis topografi dari kontur RBI skala 1:25.000
daerah kajian. Sementara parameter curah hujan
didapatkan dari analisis data sekunder dengan bantuan sistem informasi geografis. Interpretasi parameter fisik lahan menggunakan dua citra berbeda, yaitu citra ASTER VNIR yang memiliki resolusi spasial sebesar 15 meter dengan ASTER GDEM yang memiliki resolusi spasial sebesar 30 meter. Pemunculan air dikontrol oleh bentuk sesar sehingga hal ini dapat digunakan untuk indikator pemunculan air baik berupa mataair maupun rembesan. Kelurusan dapat terekam dari citra satelit berupa lembah, gawir, penjajaran bukit, penjajaran vegetasi, ataupun offset morfologi dan berkaitan dengan kehadiran rekahan ataupun patahan. Bentuklahan merupakan indikator lain yang dapat digunakan sebagai analisis lokasi mataair. Perubahan gradien atau kemiringan lereng menyebabkan aliran airtanah terpotong oleh kemiringan lereng sehingga timbullah mataair. Pada bentuklahan vulkanik, mataair banyak ditemui pada takik lereng atau perubahan lereng. Intensitas curah hujan berpengaruh terhadap kesempatan air yang masuk ke dalam tanah sehingga intensitas curah hujan menjadi salah satu indikator pemunculan mataair. Curah hujan yang tinggi di wilayah imbuhan (recharge) mempengaruhi kondisi ideal ketersediaan air tanah di suatu wilayah sehingga secara alami air tanah akan mengalir menuju daerah lepasan dan muncul di
18
permukaan tanah atau batuan membentuk suatu mataair. Analisis curah hujan daerah kajian menggunakan bantuan SIG untuk interpolasi curah hujan dari masing-masing stasiun hujan. Melalui SIG, dilakukan tumpangsusun terhadap parameter yang telah dipilih kemudian dilakukan analisis pencocokan terhadap parameter tersebut. Hasil analisis sementara diuji melalui cek lapangan kemudian diinterpretasi ulang sehingga menghasilkan Peta Lokasi Pemunculan Mataair dan Peta Sebaran Mataair di Kabupaten Sleman.
1.8 Batasan Istilah Operasional Penginderaan Jauh Penginderaan jauh dapat diartikan sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui sebuah analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand & Keifer, 1990). Mataair Mataair (spring) adalah pemusatan pengeluaran air tanah yang muncul di permukaan tanah sebagai arus dari aliran air (Todd, 1980) Siklus Hidrologi Proses transportasi air secara kontinyu dari laut ke atmosfer dan dari atmosfer ke permukaan tanah yang akhirnya kembali lagi ke laut (Hadisusanto, 2011). Kelurusan (Lineament) Bentukan linear yang mungkin merepresentasikan kenampakan morfologi diskontinuitas struktural batuan atau bentukan lain yang berhubungan dengan aktifitas tektonik (Ramsay and Huber, 1987). Bentuklahan Kenampakan medan yang dibentuk oleh proses-proses geomorfologi yang memiliki julat karakteristik fisikal dan visual dimana bentuklahan itu dijumpai (Zuidam, 1983)
19
Penggunaan Lahan Semua jenis penggunaan atas lahan oleh manusia, mencakup penggunaan lahan untuk pertanian hingga lapangan olahraga, rumah mukim, hingga rumah makan, rumah sakit, hingga kuburan (Lindgren, 1985 dalam Purwadhi, 2009). Sistem Informasi Geografis (SIG) Kumpulan yang terorganisir dari perangkat lunak komputer, perangkat keras, data geografi, dan personel yang dirancang secara efisien untuk memperoleh , menyimpan, mengupdate, memanipulasi, menganalisis, dan menampilkan semua bentuk yang bereferensi geografis (ESRI, 1990)
1.9. Penelitian Sebelumnya Arsadi (2007) memetakan mataair menggunakan citra LANDSAT ETM +7 dan peta topografi skala 1:50.000. Identifikasi mataair dilakukan secara visual dengan melihat obyek pada citra. Penafsiran berkaitan dengan kemungkinan adanya kelurusan, bentuk tapal kuda hasil erosi, serta struktur batuan lainnya. Selanjutnya dilakukan pengukuran lapangan meliputi plotting lokasi mataair serta pengukuran sifat fisik mataair di antaranya rasa, bau, warna, pH, daya hantar listrik, dan suhu air. Mataair yang berhasil teridentifikasi adalah sebanyak 97 mataair yang secara genetik berasal dari kontak perlapisan dan rekahan batuan yang terpotong oleh topografi. Rahardjo, dkk (2008) melakukan pemetaan mataair di Pulau Bali. Penelitian tersebut bertujuan untuk memetakan lokasi mataair, mengetahui karakteristik mataair, serta menghitung potensi mataair untuk penggunaan domestik. Karakteristik mataair dianalisis melalui spasial analisis berdasarkan kondisi geologi, geomorfologi, serta kondisi hidrogeologi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi mataair di Pulau Bali tidak homogen dan dikontrol oleh struktur geologi berupa patahan dan kontak batuan antara batuan vulkanik (tuff dan lahar) pada formasi Buyan-Bratan-Batur dengan formasi lain di sekitarnya. Sabuk mataair ditemukan pada perubahan lereng gunungapi strato
20
pada Gunungapi Agung. Penggunaan domestik mataair adalah sebesar 60 l/orang/hari untuk daerah pedesaan dan 120 l/orang/hari untuk daerah perkotaan. Potensi mataair di Bali sebesar 628.800 m3/bulan dengan penggunaan domestik 9.079.990 m3/bulan. Sehingga potensi mataair adalah sekitar 6,9% untuk penggunaan domestik di Pulau Bali. Gunawan
(2001)
menggunakan
foto
udara
untuk
menyadap
karakteristik hidrologi di suatu wilayah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik interpretasi foto udara skala 1:10.000 dan skala 1:25.000. Citra penginderaan jauh tidak dapat digunakan langsung begitu saja tanpa data bantu untuk melakukan analisis karakter hidrologi, terutama untuk hidrologi air tanah. Diperlukan data lain seperti peta geologi, peta kontur muka air tanah, dan data pengukuran geolistrik dari data sekunder. Hasil identifikasi kenampakan bentuklahan disajikan dalam peta ekosistem bentanglahan (hasil overlay peta bentuklahan dan penggunaan lahan), peta Daerah Aliran Sungai (DAS), peta hidrogeomorfologi. Penelitian ini mampu mengidentifikasi tiga macam karakteristik hidrologi berupa (1) pemunculan mata air atau rembesan, yaitu mata air Bito yang berada di zona patahan, mata air Parangtritis dan Parangwedang, dan mata air Beji yang terdapat pada perubahan lerang antara perbukitan batuan gamping dan breksi volkanik, (2) sepuluh sub DAS yang berada di atas perbukitan gamping dan kipas alluvial yang berfungsi sebagai daerah umpan air (recharge area), (3) tiga lokasi cadangan air tanah potensial, yaitu di daerah Tirtoharjo, Kretek, dan Parangtritis. Harsoyo (2001) dalam penelitian skripsinya khusus membahas identifikasi mataair yang terdapat pada bentuklahan karst. Alat interpretasi berupa foto udara inframerah berwarna skala 1: 30.000 dan foto udara pankromatik skala 1:50.000 untuk mengetahui lineament dan melakukan interpretasi visual untuk kerapatan vegetasi serta melakukan pembatasan untuk mengetahui Daerah Tangkapan Air (DTA). Data yang dapat disadap dari foto udara berupa fenomena struktur batuan seperti sesar atau patahan yang ditunjukkan oleh lineament (kelurusan),
21
bentuklahan, pola aliran permukaan, dan bentuk penutup lahan. Selain menentukan lokasi mataair, ditentukan pola lokasi daerah umpan air (recharge area). Tingkat ketelitian interpretasi yang diperoleh sebesar 81,81 %. Lokasi mataair banyak terdapat pada perbukitan karst dengan tingkat solusional tinggi. Pola penyebaran menunjukkan bahwa setiap satuan bentuklahan memiliki potensi airtanah yang berbeda karena perbedaan tingkat solusional batuannya. DTA pada daerah karst tidak dapat terlihat secara tegas pada foto udara. Satya C.R (2010) melakukan penelitian di kawasan karst Gunungsewu menggunakan citra ALOS AVNIR-2 dalam 3 skala waktu, melakukan Image Thresholding untuk memisahkan tubuh air dan penggunaan lahan lainnya, serta melakukan perhitungan neraca air untuk mengetahui kondisi imbangan air pada saat perekaman citra penginderaan jauh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa deteksi telaga dapat dilakukan berdasarkan kombinasi band ratio spektrum merah dan inframerah dari citra ALOS AVNIR-2 didukung dengan perhitungan neraca air. Abarca (2006) dari ITC melakukan membandingkan berbagai metode ekstraksi lineament dari berbagai sumber data, yaitu dari kontur SRTM, kontur topografi skala 1:25.000, dan kontur topografi skala 1:50.000. Hasil olahan DEM dan kontur direpresentasikan menggunakan gradient slope, map curvature, dan shaded relief. Akurasi tertinggi diperoleh pada ekstraksi pola kelurusan
menggunakan
kontur
peta
topografi
skala
1:25.000
yangdirepresentasikan menggunakan metode Evans-Young dengan total akurasi sebesar 16,35%. Narulia (2006) menggunakan distribusi spasial dan temporal curah hujan rata-rata tahunan di Cekungan Bandung selama kurun waktu 25 tahun (1986 – 2004). Data curah hujan pada masing-masing stasiun diinterpolasi menggunakan geostatistik metode inverse distance untuk membuat distribusi curah hujan dari titik-titik sampel. Titik sampel berupa titik ketinggian, diambil dari ekstraksi data kontur yang selanjutnya dihitung nilai curah hujan rata-rata tahunan dengan mencari hubungan spasial antara curah hujan rata-rata tahunan dengan ketinggian tempat. Nilai korelasi tergolong baik, mendekati angka 1,
22
yaitu sebesar 0,9. Selanjutnya dicari perbandingan antara pola curah hujan, debit aliran terukur, dan air larian terhitung serta dilakukan pendugaan koefisien aliran. Hasil analisis data menunjukkan bahwa cekungan Bandung menghasilkan volume hujan rata-rata tahunan 3.395 juta m3/th. Air yang melimpas rata-rata 1.748 juta m3/th, dan angka koefisien air larian tahunan rata-rata adalah 0,53.
23
1.10 Tabel Perbandingan Penelitian Tabel 4. Perbandingan penelitian Peneliti
Judul
Edy M. Arsadi PEMETAAN MATAAIR DI dan Hendra Bakti KABUPATEN BELU NTT (2007) (Penelitian LIPI)
Rahardjo, Noorhadi & Setyawan Purnama (2008)
PEMETAAN POTENSI MATAAIR DI PULAU BALI (Makalah Teknik Lingkungan Vol 4)
Lokasi
Metode Penelitian
Kabupaten Belu, Identifikasi mataair dilakukan secara NTT visual dengan melihat obyek pada citra. Penafsiran berkaitan dengan kemungkinan adanya kelurusan, bentuk tapal kuda hasil erosi, serta struktur batuan lainnya. Pengukuran lapangan meliputi plotting lokasi mataair serta pengukuran sifat fisik mataair di antaranya rasa, bau, warna, pH, daya hantar listrik Pulau Bali Analisis data karakteristik mataair dilakukan secara deskriptif menggunakan analisis spasial. Data pemunculan mataair diplot dala peta sesuai dengan lokasinya. Faktor dominan yang mempengaruhi karakteristik pemunculan mataair dan debit mataair didapat dari hasil overlay geologi, geomorfologi, dan hidrogeologi. Potensi mataair dihitung berdasarkan data debit seluruh mataair yang terdapat pada masing-masing SWS Pulau Bali.
Hasil Penelitian Mataair yang berhasil teridentifikasi adalah sebanayak 97 mataair yang secara genetik berasal dari kontak perlapisan dan rekahan batuan yang terpotong oleh topografi.
Distribusi mataair di Pulau Bali tidak homogen dan dikontrol oleh struktur geologi berupa patahan dan kontak batuan antara batuan vulkanik (tuff dan lahar) pada formasi Buyan-BratanBatur dengan formasi lain di sekitarnya. Sabuk mataair ditemukan pada perubahan lereng gunungapi strato pada Gunungapi Agung. Potensi mataair di Bali sebesar 628.800 m3/bulan dengan penggunaan domestik 9.079.990 m3/bulan (6,9%)
Lanjutan Tabel Totok Gunawan KONTRIBUSI FOTO UDARA (2001) DALAM IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK HIDROLOGI DI DAERAH PARANGTRITIS DAN SEKITARNYA KABUPATEN BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (Jurnal Majalah Geografi Indonesia) Budi Harsoyo APLIKASI TEKNIK (2001) PENGINDERAAN JAUH UNTUK IDENTIFIKASI MATAAIR DAN SEBARANNYA DI KAWASAN KARST DAERAH PONJONG, GUNUNGKIDUL, YOGYAKARTA (Penelitian Skripsi S1) Manuel LINEAMENT EXTRACTION FROM Alejandro Arenas DIGITAL TERRAIN MODELS Abarca (2006) (CASE STUDY SAN ANTONIO DEL SUR AREA, SOUTH EASTERN CUBA) (Thesis ITC)
Bentukan lahan dataran alluvial dan Pesisir Parangtritis, Bantul
Menggunakan foto udara skala 1: 10.000 dan foto udara 1: 25.000. Kajian utama adalah seluruh karakteristik hidrologi, yaitu hidrologi permukaan dan hidrologi air tanah. Interpretasi penggunaan dan penutup lahan berupa vegetasi dilakukan secara manual Bentuklahan Menggunakan foto udara untuk karst, Ponjong, mengetahui lineament dan Kabupaten melakukan interpretasi visual untuk Gunungkidul kerapatan vegetasi serta melakukan pembatasan untuk mengetahui Daerah Tangkapan Air (DTA)
Identifikasi karakteristik hidrologi daerah dengan bentuklahan alluvial baik hidrologi permukaan maupun air tanah.
San Antonio del Melakukan perbandingan ekstraksi Sure, South lineament menggunakan kontur peta Eastern Cuba topografi skala 1:25.000 dan 1:50.000 dengan data DEM dari SRTM yang direpresentasikan menggunakan gradient slope, map curvature, dan shaded relief. Metode Sobel, dan transformasi hough.yang digunakan adalah metode Transformasi Evans Young, Laplace,
Akurasi tertinggi diperoleh pada ekstraksi lineament menggunakan kontur peta topografi skala 1:25.000 yangdirepresentasikan menggunakan metode Evans-Young dengan total akurasi sebesar 16,35%.
Identifikasi fenomena yang menunjukkan lokasi kejadian mataair di daerah dengan bentuklahan karst serta menentukan daerah umpan air di daerah tersebut.
25
Lanjutan Tabel Fredy Satya C.R. DETEKSI TELAGA POTENSIAL & Ahmad UNTUK PEMENUHAN Cahyadi (2010) KEBUTUHAN AIR MUSIM KEMARAU DI KAWASAN KARST MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH MULTITEMPORAL (Simposium Nasional Sains Geoinformasi) Narulia, Ida DISTRIBUSI SPASIAL DAN (2006) TEMPORAL CURAH HUJAN RATA-RATA TAHUNAN TIPE OROGRAFIK UNTUK MENDUGA ANGKA KOEFISIEN ALIRAN DI CEKUNGAN BANDUNG (Penelitian LIPI)
Putri Marulia S.
PEMANFAATAN CITRA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK IDENTIFIKASI LOKASI PEMUNCULAN MATAAIR DAN SEBARANNYA DI KABUPATEN SLEMAN
Bentuklahan Menggunakan ALOS AVNIR-2 karst, Kabupaten dalam 3 skala waktu. Melakukan Gunungkidul Imange Thresholding untuk memisahkan tubuh air dan penggunaan lahan lainnya, serta melakukan perhitungan neraca air untuk mengetahui kondisi imbangan air pada saat perekaman citra penginderaan jauh. Bandung, Jawa Data curah hujan pada masingBarat masing stasiun diinterpolasi menggunakan geostatistik metode inverse distance untuk membuat distribusi curah hujan dari titik-titik sampel dan dianalisis regresi dengan data ketinggian tempat. Selanjutnya dicari perbandingan antara pola curah hujan, debit aliran terukur, dan air larian terhitung serta dilakukan pendugaan koefisien aliran. Kabupaten Menggunakan bantuan citra ASTER Sleman, Daerah VNIR, ASTER GDEM untuk Istimewa analisis. Pemunculan mataair Yogyakarta diidentifikasi melalui analisis parameter fisik lahan berupa bentuklahan, penggunaan lahan, lereng, pola aliran sungai, serta pola
Deteksi telaga berdasarkan kombinasi band ratio speckrum merah dan inframerah dari citra ALOS AVNIR-2 serta berdasarkan perhitungan neraca air.
Hasil analisis regresi antara curah hujan dengan ketinggian tempat adalah sebesar 0,9. Cekungan Bandung menghasilkan volume hujan rata-rata tahunan 3.395 juta m3/th. Air yang melimpas rata-rata 1.748 juta m3/th, dan angka koefisien air larian tahunan rata-rata adalah 0,53
Pemunculan mataair beserta karakteristiknya. Terdapat 30 mataair yang berhasil diidentifikasi. Mataair di Kabupaten Sleman terjadi akibat perubahan lereng pada bentuklahan vulkanik sehingga muncul sabuk mataair, kontak batuan, juga akibat
26
kelurusan. Sebaran mataair air berdasarkan debit dianalisis menggunakan data hujan dan data tabular debit mataair.
kontol struktur pada perbukitan struktural Baturagung. Debit mataair tertinggi terdapat pada perubahan lereng atas gunungapi dengan lereng tengah gunungapi.
27