BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Minyak dan gas bumi (migas) sampai saat ini masih merupakan sumber energi yang menjadi pilihan utama untuk digunakan pada industri, transportasi, dan rumah tangga. Selain itu, pemanfaatan berbagai produk akhir atau produkproduk turunan minyak bumi juga semakin meningkat sehingga permintaan minyak dan gas bumi di seluruh dunia telah mengakibatkan pertumbuhan dan ekspansi pada kegiatan eksplorasi dan pengolahan minyak mentah di berbagai negara, termasuk Indonesia. Namun demikian, kita selalu dihadapkan pada dilema antara peningkatan produksi dengan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan serta dampak yang ditimbulkan dari proses produksi tersebut (Nugroho 2006). Kegiatan produksi minyak bumi merupakan suatu rangkaian proses yang kompleks dengan melibatkan berbagai kegiatan industri minyak bumi dari hulu sampai hilir, yang meliputi kegiatan eksplorasi, eksploitasi, pengolahan, dan transportasi. Hal ini berarti perkembangan industri baik pengolahan minyak bumi maupun industri yang menggunakan minyak bumi, ternyata merupakan salah satu sumber pencemar lingkungan (Nugroho 2006). Indramayu merupakan salah satu kota di Jawa Barat yang sudah berkembang menjadi kawasan industri, salah satunya kegiatan eksploitasi minyak bumi lepas pantai. Berdasarkan berita Harian Kompas tanggal 17 September 2008 disebutkan bahwa kawasan pesisir pantai Kabupaten Indramayu kembali dicemari tumpahan minyak mentah menyusul terjadinya kebocoran dalam kegiatan proses transfer di lepas pantai dari Kapal Tanker MT Arendal ke tanki darat di Kilang Pertamina UP VI Balongan Indramayu. Kasus kebocoran minyak ini sebenarnya sudah terjadi dari tahun 2002, Koalisi Masyarakat Pesisir Indramayu (KOMPI) menyatakan pada tanggal 18 November 2002, terdapat surat dari Kepala Kantor Pelabuhan Indramayu disampaikan kepada GM. Pertamina yang menginstruksikan agar kebocoran saluran pipa minyak mentah di dasar laut agar segera ditangani dengan serius untuk menghindari pencemaran dan hal-hal yang tidak diinginkan.
1
2
Tertumpahnya ratusan ribu liter minyak mentah di laut lepas akan menimbulkan dampak kerusakan lingkungan di kawasan pesisir pantai Indramayu. Terutama kerusakan hutan bakau dan kawasan perairan yang tertutup tumpahan minyak mentah tersebut. Pencemaran minyak dapat menimbulkan masalah cukup serius terhadap ekosistem pantai, sungai, darat dan lingkungan di dekat eksplorasi minyak serta menyebabkan keracunan pada makhluk hidup, mengganggu
penyerapan
cahaya
untuk
fotosintesis
tanaman
air
dan
mempengaruhi keseimbangan ekosistem sekitar. Minyak bumi mentah yang baru keluar dari sumur eksplorasi mengandung ribuan macam zat kimia yang berbeda baik dalam bentuk gas, cair, maupun padatan. Lebih dari separuh (50-98%) dari zat-zat tersebut berupa hidrokarbon. Senyawa utama yang terkandung di dalam minyak bumi adalah alifatik paraffinic hydrocarbon, alisiklik, naphthenic hydrocarbons, dan aromatic (Supriharyono 2002). Komponen hidrokarbon tersebut dapat menimbulkan efek terhadap perairan. Efek yang ada dapat mengakibatkan kualitas suatu perairan menurun atau efek terhadap organisme air yang terpapar dengan zat racun yang terlarut di perairan. Untuk itu perlu dicari suatu cara penanggulangan yang tepat, cepat, efektif, dan tidak mengganggu lingkungan perairan. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menanggulangi pencemaran minyak bumi. Secara garis besar dapat dilakukan dengan cara fisik, kimiawi, dan biologis (Udiharto 1996). Teknologi penanggulangan pencemaran secara biologis merupakan teknologi yang ramah lingkungan. Sebenarnya, sudah banyak tersedia teknologi untuk digunakan dalam rangka upaya pemulihan lahan tercemar (remediasi), namun yang terpenting adalah bagaimana memilih teknologi yang sesuai dengan jenis bahan pencemar, sesuai dengan karakteristik lahan tercemar, biaya yang dibutuhkan serta faktor waktu sebagai pembatas. Salah satu teknik remediasi yang memanfaatkan mikroba dikenal sebagai bioremediasi. Hal ini sangat menarik, karena prosesnya ramah lingkungan dengan biaya lebih kompetitif dibandingkan dengan teknik fisikokimia (Komarawidjaja 2009).
3
Penanggulangan secara biologis merupakan alternatif untuk mengatasi limbah minyak bumi, tanpa merusak lingkungan dengan memanfaatkan mikroorganisme pendegradasi (Udiharto 1996). Penguraian suatu bahan organik kompleks menjadi bentuk lain yang lebih sederhana CO2, H2O dan logam dengan aktivitas
mikroorganisme
disebut
biodegradasi.
Proses
biologis
melalui
biodegradasi oleh bakteri berpotensi untuk pengolahan limbah kontaminasi minyak mentah. Beberapa mikroba menggunakan senyawa hidrokarbon sebagai sumber
karbon
untuk
hidrokarbonoklastik.
melakukan
Bakteri
yang
metabolisme diketahui
yang
sebagai
disebut
mikroba
bakteri
pengguna
hidrokarbon yang paling penting berdasarkan frekuensi isolasinya adalah Achromobacter, Acinetobacter, Aeromonas, Alcaligenes, Arthrobacter, Bacillus, Benecdea, Brevibacterium, Corynebacterium, Flavobacterium, Methylobacter, Methvlobacterium, Methylococcus, Methylocystis, Methylomonas, Methylosinus, Micromonospora, Mycobacterium, Nocardia, Pseudomonas, Spirillum, Vibrio (Nugroho 2006). Proses biodegradasi senyawa hidrokarbon oleh mikroba hidrokarbonoklastik ini disebabkan oleh produk-produk enzim tertentu yang dihasilkan mikroba melalui jalur-jalur metabolismenya (Nugroho 2006). Dalam proses biodegradasi, salah satu faktor yang membatasi kemampuan mikroorganisme dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon adalah sifat kelarutannya dan bioavailability yang rendah (Riffiani 2010), sehingga senyawa hidrokarbon sulit untuk berinteraksi dengan sel. Upaya yang umum dalam meningkatkan kemampuan bakteri mendegradasi senyawa hidrokarbon adalah dengan pemberian surfaktan sintetis yang bersifat toksik, non-degradable serta menghambat proses degradasi oleh mikroorganisme (Desai dan Banat 1997). Cara lainnya yang lebih aman dalam meningkatkan kelarutan hidrokarbon yaitu
penggunaan
biosurfaktan.
Biosurfaktan
merupakan
komponen
mikroorganismeyang terdiri atas molekul hidrofobik dan hidrofilik, yang mampu mengikat molekul hidrokarbon tidak larut airdan mampu menurunkan tegangan permukaan. Selain itu biosurfaktan secara ekstraseluler menyebabkan emulsifikasi hidrokarbon sehingga mudah untuk didegradasi (Fatimah 2007). Mengingat pentingnya penanggulangan pencemaran minyak bumi, pencarian strain lokal
4
bakteri yang memiliki kapasitas tinggi dalam mendegradasi senyawa pencemar dan menghasilkan biosurfaktan sangat diperlukan sehingga dapat mengoptimalkan bioremediasi lingkungan perairan di Indonesia (Riffiani 2010).
1.2 Identifikasi Masalah 1.
Apa saja bakteri lokal dari air dan sedimen asal Pantai Karangsong yang mampu menghasilkan biosurfaktan?
2.
Seberapa besar kemampuan bakteri penghasil biosurfaktan tersebut dalam mendegradasi Total Petroleum Hydrocarbon?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini, yaitu: 1.
Mengisolasi bakteri lokal dari air dan sedimen penghasil biosurfaktan asal Pantai Karangsong.
2.
Menskrining
bakteri-bakteri
penghasil
biosurfaktan
dengan
uji
emulsifikasi. 3.
Menguji kemampuan bakteri lokal penghasil biosurfaktan dalam mendegradasi Total Petroleum Hydrocarbon.
4.
Mengidentifikasi jenis bakteri penghasil biosurfaktan yang juga mampu mendegradasi Total Petroleum Hydrocarbon.
1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai jenis bakteri penghasil biosurfaktan dari Pantai Karangsong yang juga mampu mendegradasi Total Petroleum Hydrocarbon, sehingga dapat mendukung pengembangan penanggulangan masalah pencemaran minyak bumi di pantai dan laut.
1.5 Kerangka Pemikiran Pencemaran minyak di perairan mengganggu kehidupan organisme. Minyak bumi yang tumpah di laut akan sulit dibersihkan sehingga menghalangi
5
masuknya sinar matahari dan mengurangi kadar oksigen terlarut. Komponen hidrokarbon aromatik penyusun minyak bumi lebih beracun dan sangat mudah berubah menjadi gas dan menguap. Hidrokarbon aromatik pada titik didih rendah, merupakan fraksi yang paling toksik dan penyebab utama kematian organisme (Mukhtasor 2006). Salah satu cara yang dapat mengurangi efek berbahaya yang ditimbulkan dari pencemaran minyak bumi
ini
adalah dengan bioremediasi
yang
memanfaatkan proses biologis oleh mikroorganisme. Dalam bioremediasi ini akan ada peningkatan laju biodegradasi polutan oleh mikroorganisme. Biodegradasi secara garis besar didefinisikan sebagai pemecahan senyawa organik oleh mikroba membentuk biomassa dan senyawa yang lebih sederhana yang akhirnya menjadi air, karbondioksida atau metana. Sehingga dengan adanya biodegradasi ini, senyawa hidrokarbon dapat dipecah di perairan. Biodegradasi minyak buangan merupakan suatu proses yang kompleks dan tergantung pada komunitas mikrobanya, kondisi lingkungan, dan minyak buangan yang akan didegradasi (Hamdiyah 2000). Residu minyak bumi yang sebagian besar komponennya dibangun oleh senyawa hidrokarbon merupakan substrat yang baik bagi pertumbuhan bakteri tertentu. Bakteri dalam aktivitas hidupnya memerlukan molekul karbon sebagai salah satu sumber nutrisi dan energi untuk melakukan metabolisme dan perkembangbiakannya. Secara khusus, kelompok mikroba yang mampu menggunakan sumber karbon yang berasal dari senyawa hidrokarbon disebut mikroba hidrokarbonoklastik (Nugroho 2006). Isolasi dan identifikasi bakteri hidrokarbonoklastik telah banyak dilakukan diantaranya pada tahun 1928, Gray dan Thomton telah mengisolasi 208 strain bakteri pengoksidasi fraksi aromatik dari tanah antara lain Micrococcus, Mycoplarra, Bacterium, Pseudomonas, dan Mycobacterium. Pada tahun 1975 berbagai genus bakteri yang dapat tumbuh pada perairan laut yang tercemar minyak bumi telah diisolasi oleh Le Petit et al. diantaranya Pseudomonas, Alcaligenes, Acinetobacter, Arthrobacter, Corynebacterium, Flavobacterium, dan
6
Brevibacterium yang diketahui menggunakan jenis bakteri yang berbeda (Nugroho 2006). Aditiawati, Pikoli dan Indriani (2001) berhasil mengisolasi bakteri secara bertahap dari minyak sumur Bangko, Sumatera dengan menggunakan medium SMSSe (Stone Mineral Salt Sollution yang mengandung 0,01% ekstrak ragi) pada temperatur 50°C adalah Bacillus polymyxa, B.licheniformis, Bacillus sp.1 dan Pseudomonas aeruginosa dari tahap I; Bacillus sp.2, B. stearothermophllus dan B.brevis dari tahap II; dan B. coagulans dari tahap III dengan persentase degradasi masing-masing tahap I, II, dan III yaitu12,5%, 37,03% dan 55,54%.Hasil penelitian Ghazali (2001) dalam Sumastri (2001) mendapatkan bahwa bakteri Pseudomonas spp dan Bacillus spp merupakan bakteri yang dominan dalam mendegradasi hidrokarbon minyak bumi. Berdasarkan hasil penelitian Silvia dan Jusfah (2010), diperoleh biodegradasi hidrokarbon minyak bumi tertinggi terdapat pada Corynebacterium sp. sebesar 44,54%, sedangkan pada Bacillus sp. sebesar 44,02% dan Alcaligenes sp. sebesar 33,95%. Bioremediasi dapat dilakukan dengan menggunakan bakteri indigenous maupun menginokulasikan bakteri terpilih dari tempat lain (Herdiyantoro 2005). Hidrofobisitas senyawa hidrokarbon minyak menjadikan limbah minyak sulit larut dalam air sehingga membatasi kecepatan degradasinya oleh mikroba di perairan maupun di tanah (Ni’matuzahroh, Agustin, dan Tanjung 2009). Penambahan surfaktan dapat meningkatkan kelarutan minyak dan meningkatkan ketersediaannya untuk didegradasi oleh bakteri pengurai minyak (bakteri hidrokarbonoklastik). Namun, penggunaan surfaktan sintetis cenderung bersifat toksik bagi dinding sel bakteri. Alternatif lain untuk meningkatkan biodegradasi hidrokarbon adalah penggunaan biosurfaktan. Penggunaan surfaktan yang dihasilkan oleh mikroorganisme ini mempunyai keuntungan lebih dibandingkan penggunaan surfaktan sintetis, karena sifatnya yang tidak toksik dan lebih mudah didegradasi oleh mikroorganisme (Fatimah 2007). Banat(1995) melaporkan tak kurang dari 29 jenis mikroorganime yang dapat memproduksi biosurfaktan. Mikroorganisme penghasil biosurfaktan lain yang ditemukan adalah Bacillus macerans strain TS9-8 yang diisolasi dari kilang Penyulingan Minyak
7
PETRONAS di Kertih Terengganu Malaysia, dapat menghasilkan biosurfaktan yang mempunyai ciri-ciri kimianya menyerupai surfaktan standar yang dihasilkan oleh Bacillus subtilis. Secara teoritis dan alami, dimana saja limbah berada, bakteri pengurai akan datang untuk memakan limbah yang tersedia. Demikian juga bakteri penghasil biosurfaktan akan muncul pada limbah yang mengandung tumpahan minyak sebagai pencemar. Namun, jenis bakteri yang ditemukan di wilayah terkontaminasi minyak bumi bisa berbeda tergantung kepada fisiologi bakteri dan kondisi beberapa parameter lingkungan setempat. Parameter lingkungan ini juga dapat mempengaruhi kecepatan biodegradasi masing-masing bakteri terhadap senyawa pencemar. Untuk mengetahui jenis bakteri penghasil biosurfaktan perlu dilakukan isolasi dan identifikasi secara ilmiah. Hasil isolasi dan pengujian kemampuan bakteri lokal dari air dan sedimen terkontaminasi minyak bumi tersebut diharapkan dapat mengidentifikasi bakteri yang berkemampuan tinggi dalam menghasilkan biosurfaktan dan mendegradasi senyawa hidrokarbon minyak bumi sehingga dapat memperkaya keanekaragaman hayati yang bermanfaat untuk mengoptimalkan penanggulangan pencemaran lingkungan perairan.
1.6 Hipotesis Terdapat bakteri lokal dari air laut dan sedimen asal Pantai Karangsong yang mampu memproduksi biosurfaktan serta dapat meningkatkan persentase degradasi Total Petroleum Hydrocarbon.