BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Ledakan jumlah penduduk mungkin bukan sebuah fenomena yang asing di
telinga untuk saat ini. Fenomena ledakan jumlah penduduk hampir terjadi di seluruh belahan dunia tidak terkecuali di Indonesia. Sensus penduduk tahun 2000 mencatat terdapat 206.264.595 jiwa penduduk dan pada tahun 2010 terdapat 237.641.326 jiwa penduduk di Indonesia (Publikasi BPS, 2010), dengan artian terdapat pertambahan jumlah penduduk sebanyak 31.376.731 jiwa hanya dalam rentang 10 tahun saja. Pertambahan jumlah penduduk yang sangat tajam ini sayangnya tidak diiringi oleh pertambahan jumlah sumber daya atau inovasi penggunaan sumber daya sehingga muncullah kelangkaan dan mendorong terciptanya persaingan ketat guna memenuhi kebutuhan dasar. Ketatnya persaingan memenuhi kebutuhan dasar memunculkan fenomena permasalahan sosial baru di masyarakat seperti kemiskinan, kelaparan, meningkatnya kriminalitas, kekumuhan, dan permasalahan lainnya. Salah satu permasalahan yang sedang melanda perkotaan di Indonesia adalah kekumuhan, tumbuh suburnya kekumuhan di berbagai kota di Indonesia juga merupakan imbas dari ketatnya persaingan mendapatkan kebutuhan dasar yang mana dalam kasus ini adalah kebutuhan dasar papan. Terbatasnya ketersediaan lahan di perkotaan tidak diikuti dengan pengereman permintaan akan lahan, sehingga menyebabkan melonjaknya harga lahan di kota. Bagi mereka yang mampu untuk menjangkau tingginya harga lahan, tentu tidak akan menjadi masalah berarti. Saat ini yang menjadi persoalan adalah bagi mereka warga berpenghasilan rendah yang tidak mampu menjangkau tingginya harga lahan di kota, pilihan yang ada adalah pergi dari kota menuju daerah pedesaan untuk membeli lahan yang masih relatif murah atau mencari lahan kosong di perkotaan. Lahan kosong yang dimaksud adalah lahan-lahan marjinal lemah pengawasan seperti bantaran sungai, kolong jembatan, dan tempat-tempat lainnya.
1
Bermula dari sekolompok keluarga yang mendiami lahan marjinal kemudian berkembang menjadi pemukiman kumuh yang akhirnya menjadi sebuah kawasan kumuh pada perkotaan di Indonesia. Salah satu penyebab menjadi kumuhnya suatu lingkungan diungkapkan oleh Komarudin (1997) yaitu rendahnya disiplin warga untuk memperbaiki lingkungannya demi kepentingan bersama. Meskipun mendiami lahan marjinal, belum tentu menjadi pemukiman kumuh jika kondisi lingkungannya sehat, salah satu indikator bahwa lingkungan tersebut kumuh adalah jumlah penduduk yang sangat padat, jalanan sempit, infrastruktur minim dan rendah kualitas, tata bangunan tidak beraturan, dan kepemilikan lahan illegal. Hal tersebut dikarenakan perkembangan lingkungan yang tidak terkontrol dan tingginya permintaan lahan sehingga saling berdesakan yang berujung pada kekumuhan. Usaha untuk mencegah atau mengatasi kekumuhan pun telah dilakukan oleh pemerintah, beberapa usaha yang dilakukan adalah melakukan peremajaan kota, program perbaikan kampung, penerapan rumah susun, relokasi, konsolidasi lahan, pembagian lahan, dan pengembangan lahan terarah (Soesilowati, 2007). Saat ini yang sedang populer yaitu penerapan rumah susun untuk menangani pemukiman kumuh. Rumah susun dianggap mampu memberikan solusi yang tepat akan tingginya kebutuhan hunian yang layak bagi masyarakat ekonomi lemah. Hal tersebut dikarenakan lahan yang tersedia di kota-kota besar kian terbatas jumlahnya sedangkan kebutuhan ruang terbuka publik maupun hijau pun juga tidak dapat digantikan, sehingga cara yang tepat untuk memaksimalkan lahan adalah dengan memberikan konsep hunian secara vertikal. Sehingga dalam lahan yang sempit dapat menampung kebutuhan hunian bagi banyak warga. Pembangunan rumah susun bertujuan untuk memenuhi kebutuhan rakyat terutama yang berpenghasilan rendah, meningkatkan daya guna lahan dan hasil guna tanah dengan memperhatikan lingkungan, dan memenuhi kebutuhan untuk kepentingan lainnya bagi kehidupan masyarakat (UU No 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun). Masyarakat yang tinggal di pemukiman kumuh akan dipindah ke dalam rumah susun dan mendapat prioritas untuk dapat menghuni rumah susun,
2
jika masih terdapat ruang kosong maka dapat diberikan kepada yang berminat meskipun tidak berasal dari areal relokasi. Beberapa kasus penerapan rumah susun untuk mengatasi pemukiman kumuh di berbagai kota terbukti berhasil untuk mengurangi keberadaan pemukiman kumuh, namun ada juga yang kurang berhasil untuk mengurangi kekumuhan. Terdapat banyak faktor yang melatarbelakangi kegagalan rumah susun mengurangi pemukiman kumuh, Salah satu kasus kurang berhasilnya rumah susun mengatasi pemukiman kumuh terjadi di Juminahan Kelurahan Tegalpanggung, Kecamatan Danurejan, Yogyakarta. Kampung Juminahan adalah salah satu kampung di Kelurahan Tegalpanggung yang terdiri dari RW 14, 15, dan 16. Kampung Juminahan berlokasi di bagian paling selatan kelurahan dan sebagian wilayahnya berada di bantaran sungai. Secara umum kondisi fisik Kampung Juminahan terkesan tidak tertata dan sporadis karena tidak ada arahan pembangunan yang jelas. Hal tersebut menyebabkan kepadatan bangunan di Kampung Juminahan sangat tinggi yang diperparah dengan buruknya kondisi lingkungan karena tidak ada kontrol pembangunan. Kepadatan bangunan tinggi, minim sarana prasarana, minim akses mobilitas, dan rendahnya kualitas lingkungan menjadikan Kampung Juminahan mendapat predikat sebagai kampung kumuh. Jika ditinjau dari sisi kependudukan dan ekonominya Kampung Juminahan dihuni oleh mayoritas warga dengan pencaharian pedagang dan pengarajin kecil sehingga terkategorikan sebagai masyrakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Pekerjaan mereka sebagai pedagang telah banyak menyita waktu dan tenaga sehingga sebuah kesadaran untuk hidup di lingkungan yang sehat pun menurun karena telah lelah bekerja memenuhi tuntutan hidup sehari-harinya. Hal itu semakin memperburuk citra kondisi Kampung Juminahan sebagai kampung kumuh tanpa ada penyelesaian dari masyarakat yang menghuni di dalamnya. Pemerintah yang mengetahui hal ini memberikan sebuah solusi penanganan yaitu dengan memindahkan mereka ke dalam rumah susun yang memiliki lingkungan lebih baik daripada pemukiman kumuh. Pemerintah pusat melalui Kemenpera memberikan bantuan kepada Pemerintah Kota Yogyakarta berupa
3
dana pembangunan rumah susun sebagai bentuk komitmen pemerintah menyediakan hunian yang layak bagi warganya. Lokasi yang dipilih adalah Kampung Juminahan dan Kampung Ledoksari sebagai sasaran utamanya karena citranya sebagai kampung kumuh sudah semakin buruk. Pembangunan Rumah Susun Graha Bina Harapan dimulai pada tahun 2009 dan dapat dioperasikan mulai tahun 2010. Pembangunan menggusur 10 keluarga warga Kampung Ledoksari yang lahannya digunakan untuk pembangunan, ke sepuluh keluarga tersebut langsung dipindahkan ke dalam rumah susun menempati lantai paling bawah. Warga yang mendapat prioritas huni adalah warga Kampung Juminahan secara keseluruhan dan warga Kampung Ledoksari yang terkena gusuran. Namun seiring berjalannya waktu program yang ditujukan untuk mengurangi kekumuhan ini tidak berjalan dengan baik. Warga Kampung Juminahan yang memperoleh prioritas huni ternyata kurang meminati rumah susun yang telah dibangun oleh pemerintah. Tercatat pada tahun 2014 hanya 6 orang saja warga Kampung Juminahan yang menghuni Rumah Susun Graha Bina Harapan dari total 68 kamar yang tersedia atau hanya 8,82% saja dari tingkat okupansinya sedangkan sisanya merupakan penghuni dari luar wilayah prioritas. Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi rendahnya minat warga untuk menghuni rumah susun. Pemerintah dan pengelola rumah susun pun sampai saat ini belum ada inisiatif untuk mengatasi rendahnya minat warga prioritas untuk mau menghuni rumah susun yang telah dibangun. Sehingga keberadaan pemukiman kumuh tidak kunjung hilang, bahkan kehadiran rumah susun pun hanya sebagai penghias kekumuhan. Penelitian ini nantinya bertujuan untuk mencari tahu bagaimanakah pengaruh dari faktor budaya, sosial, ekonomi, dan kondisi rumah susun terhadap keputusan mereka untuk mau menghuni rumah susun maupun tidak. 1.2
Rumusan Masalah Penelitian Pemerintah
Kota
Yogyakarta
berkeinginan
untuk
mengatasi
dan
menyelesaikan masalah maraknya pemukiman kumuh yang ada di Kota Yogyakarta dengan membangun rusunawa sebagai pengganti rumah-rumah warga, namun usaha ini tidak serta merta menuai keberhasilan. Terdapat faktor-
4
faktor yang mampu mempengaruhi warga untuk menolak tinggal di rumah susun, baik faktor internal yang berasal dari masyarakat maupun faktor eksternal yang berasal dari lingkungan sekitarnya. Adapun peneliti memiliki pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan rendahnya minat warga Kampung Juminahan untuk menghuni Rumah Susun Grha Bina Harapan Yogyakarta? 2. Bagaimana signifikansi pengaruh dari masing-masing faktor yang memiliki hubungan terhadap minat warga Kampung Juminahan untuk menghuni Rumah Susun Grha Bina Harapan Yogyakarta? 1.3
Tujuan Penelitian Penelitian ini dibuat dengan tujuan sebagai berikut :
1.
Mengetahui faktor yang mempengaruhi warga Kampung Juminahan dan RW 13 enggan untuk menghuni Rumah Susun Graha Bina Harapan
2.
Mengetahui kekuatan hubungan dari masing – masing faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya minat warga Kampung Juminahan dan RW 13 untuk menghuni Rumah Susun Graha Bina Harapan
1.4
Batasan Penelitian Batasan penelitian ini peneliti memilih lokus Rumah Susun Sewa Graha
Bina Harapan dan Kampung Juminahan serta RW 13 Kelurahan Tegalpanggung, Kecamatan Danurejan Yogyakarta, pemilihan lokus didasarkan pada setelah dibangunna rumah susun ternyata tidak mampu mengurangi jumlah pemukiman kumuh dan terjadi keengganan dari warga untuk menghuni rumah susun. Fokusnya adalah
mengetahui kekuatan korelasi dari faktor budaya, sosial,
ekonomi, dan kondisi rumah susun terhadap rendahnya minat warga untuk menghuni rumah susun. 1.5
Manfaat penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
5
1. Manfaat Bagi Ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota Memberikan wawasan bagi dunia perencanaan khususnya Perencanaan Wilayah dan Kota tentang faktor-faktor apa saja yang harus diperhatikan jika ingin melakukan pembangunan rumah susun dengan tujuan mengurangi pemukiman kumuh. Sehingga resiko rumah susun kurang diminati oleh warga prioritas huni dapat diminimalkan.
2. Manfaat Bagi Masyarakat Memberikan wawasan bagi masyarakat bahwa pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah berorientasi kepada masyarakat sehingga dibutuhkan kesadaran dari masyarakat untuk bersama-sama mensukseskan pembangunan tersebut demi kebaikan bersama
3. Manfaat Bagi Pemerintah Memberikan rekomendasi bagi pemerintah Kota Yogyakarta apa saja faktor yang dapat mempengaruhi kegagalan rumah susun sewa dalam mengurangi jumlah
pemukiman
kumuh
serta
perlunya
proses
sosialisasi
yang
komprehensif ke seluruh warga yang dituju. 1.6
Keaslian Penelitian Penelitian terkait rusunawa telah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu,
namun penelitian yang menghubungkan antara rusunawa dengan pemukiman kumuh belum banyak dilakukan. Penelitian sebelumnya sebagian besar menghubungkan antara rusunawa dengan kondisi masyarakat yang menghuni di dalamnya seperti yang tergambar pada tabel 1. Berdasarkan data penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, belum ada penelitian yang mengkaitkan rusunawa dengan penanganan pemukiman kumuh. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang telah ada. Penelitian ini berfokus pada apa faktor yang menyebabkan rendahnya minat Warga Kampung Juminahan, Tegalpanggung untuk menghuni Rumah Susun Graha Bina Harapan Yogyakarta.
6
Tabel 1. Daftar Penelitian Tentang Rumah Susun dan Pemukiman Kumuh No
Peneliti
Judul Penelitian
Metode
Fokus
Lokus
1.
Andarini Savitri (2011)
Studi Efektivitas pembangunan rusunawa Cokcrodirjan, terhadapa kondisi Sosial, dan Ekonomi Penghuni
Deskriptif Kualitatif Fenomenologi
Mengkaji keefektifan pembangunan rusunawa cokrodirjan
Rusunawa Cokrodirjan, Yogyakarta
2.
Muhammad Yusfaryan Dissaputra (2007)
Efektifitas Implementasi Program Rusunawa Dalam Rangka Urban Renewal, Studi Kasus Rusunawa Cokrodirjan
Deduktif Kualitatif Rasionalistik
Mengkaji efektivitas rencana awal pembangunan rusunawa Cokrodirjan
Rusunawa Cokrodirjan, Kota Yogyakarta
3.
Peri Ramdani (2009)
Persepsi Masyarakat Terhadap Kebijakan Pembangunan Rusunawa Nologaten
Induktif Deskriptif Kualitatif
Mengkaji Persepsi masyarakat terhadap rencana pembangunan rusunawa Nologaten
Rusunawa Nologaten Yogyakarta, Warga Dusun Nologaten, Warga Dusun Ambarukmo
Hasil Keruangan : dari segi urban renewal cukup efektif, tetapi gagal dalam mengurangi jumlah lahan terbangun dan pemukiman kumuh Sosial : cukup efektif dalam memenuhi kebutuhan kenyamanan, namun gagal memenuhi rasa aman dan meningkatkan interaksi antar warga Ekonomi : Efektif dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama penghuninya. Bahwa implementasi rusunawa dalam rangka urban renewal dapat dikategorikan cukup efektif, pencapaian program rusunawa secara kualitas mampu memenuhi kebutuhan kehidupan layak huni bagi masyarakat miskin, namun secara kuantitas masih belum memenuhi karena hanya 3,74% aja dari masyarakat miskin saja yang terpenuhi kebutuhan papannya. Terdapat 2 persepsi masyarakat 1. Kebijakan pembangunan rusunawa dapat meningkatkan permasalahan fisik, sosial, dan ekonomi masyarakat 2. Kebijakan pembangunan rusunawa dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Persepsi masyarakat dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu situasi lingkungannya, sedangkan faktor internalnya adalah tingkat pengetahuan masyarakat.
7
4.
5.
Hasti Cahyaning Titi (2011)
Indra Maulana (2012)
Persepsi masyarakat terhadap eksistensi Rusunawa Grha Bina Harapan Tegalpanggung
Evaluasi Aspek Bina Manusia, Bina Lingkungan, dan Bina Pengelolaan Rusunawa Dabag, Condongcatur
Induktif Deskriptif Kualitatif
Deduktif Kualitatitf Kuantitatif
Mengkaji faktorfaktor yang mempengaruhi Persepsi masyarakat terhadap Keberadaan rusunawa Grha Bina Harapan
Mengidentifikasi keadaan rusunawa Dabag melalui proses evaluasi Tribina
Warga RW 1 Kelurahan Purwokinanti Warga RW 14 Kelurahan Tegalpanggung
Kawasan Rusunawa Dabag, Condongcatur
Terdapat 2 persepsi masyarakat 1. Rusunawa diterima keberadaannya oleh masyarakat karena mampu menyediakan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan menghilangkan kesan kumuh 2. Pembangunan rusunawa menghilangkan atau mengurangi ketersediaan ruang terbuka public dan fasilitas sosial yang dimanfaatkan oleh warga sebagai wadah sosial sebelum adanya rusunawa Bina Manusia : Masyarakat di rusunawa kurang interaksi sosialnya sesame penghuni Bina Lingkungan : Perlu penambahan limbah komunal Bina Pengelolaan : Penghuni yang ada belum sesuai dengan peraturan yang ada, rata-rata penghuni yang ada masih tergolong masyarakat ekonomi menengah ke atas
Sumber : Survey Peneliti Tahun 2013
8