BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Kemajuan sektor industri di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan ini sejalan dengan peningkatan taraf ekonomi negara. Dengan majunya industri, maka terbukalah lapangan kerja bagi masyarakat, daerah di sekitar perindustrian juga turut berkembang dalam bidang sarana transportasi, komunikasi, perdagangan dan bidang lain. Semua hal ini akan mendorong taraf ekonomi dan sosial masyarakat. Di lain pihak, kemajuan ekonomi merangsang timbulnya industri baru yang mempunyai ruang lingkup yang lebih luas. Meskipun perkembangan industri yang pesat dapat meningkatkan taraf hidup, tetapi berbagai dampak negatif juga bisa terjadi pada masyarakat. Salah satu dampak negatif adalah terhadap kualitas fungsi pernafasan bagi para pekerja dan masyarakat di sekitar daerah perindustrian. Perwujudan kualitas lingkungan yang sehat merupakan bagian pokok di bidang kesehatan. Udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam kehidupan perlu dipelihara dan ditingkatkan kualitasnya sehingga dapat memberikan daya dukungan bagi mahluk hidup untuk hidup secara optimal. Udara merupakan media lingkungan yang merupakan kebutuhan dasar manusia perlu mendapatkan perhatian yang serius, hal ini pula menjadi kebijakan Pembangunan Kesehatan Indonesia 2010 dimana program pengendalian pencemaran udara merupakan salah satu dari sepuluh program unggulan. Debu di sekitar tempat kerja yang berasal dari pabrik industri, misalnya, dapat menyebabkan sesak nafas hingga sakit pernafasan atau penyakit paru yang serius. Penyakit paru ini termasuk penyakit yang banyak diderita masyarakat kita. Ada beberapa jenis debu yang di antaranya bisa menyebabkan penyakit pernafasan atau paru. Yakni debu organik dan anorganik. Debu organik dapat menyebabkan penyakit pernafasan. Ini karena kepekaan dari saluran nafas bagian bawah terutama alveoli terhadap debu meningkat. Kepekaan inilah yang mengakibatkan penyempitan saluran nafas, hingga dapat menghambat aliran udara yang keluar masuk paru dan akibatnya sesak nafas.
1
Banyak jenis debu organik dihasilkan oleh industri tekstil mulai dari proses awal yakni pembuatan biji kapas sampai penenunan. Waktu untuk timbulnya penyakit ini cukup lama. Waktu yang terpendek adalah 5 tahun. Berdasarkan penelitian, angka kesakitan bisa mencapai 60% dan angka tertinggi terjadi pada mereka yang bekerja di bagian pemintalan. Debu anorganik bila terhirup dalam jumlah banyak dapat menimbulkan gangguan paru pula. Debu ini banyak menyerang para pekerja di pabrik semen, asbes, keramik, tambang emas atau besi. Debu ini mengandung partikel-partikel besi, timah putih, asbes dan lainnya. Kemampuan debu untuk bisa masuk ke dalam paru tergantung dari besar kecilnya partikel tersebut. Selain debu fator fisik lainnya yaitu kebisingan yg juga dapat dapat mengganggu kesehatan dan kenyamanan lingkungan. Kebisingan adalah bunyi yang didengar sebagai rangsangn-rangsangan pada telinga oleh getaran-getaran melalui media elastis, dan manakala bunyi-bunyi tersebut tidak dikehendaki. Berdasarkan Kepmenaker, kebisingan adalah suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat, proses produksi yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan kesehatan dan pendengaran. Sumber bising ialah sumber bunyi yang kehadirannya dianggap mengganggu pendengaran baik dari sumber bergerak maupun tidak bergerak. Umumnya sumber kebisingan dapat berasal dari kegiatan industri, perdagangan, pembangunan, alat pembangkit tenaga, alat pengangkut dan kegiatan rumah tangga. Faktor fisik berikutnya adalah penerangan ditempat kerja yang merupakan jumlah penyinaran pada suatu bidang kerja yang diperlukan untuk melaksakan kegiatan secara efektif. Penerangan dapat berasal dai cahaya alami dan buatan. Penerangan adalah penting sebagai suatu faktor keselamatan dalam lingkungan fisik pekerja. Beberapa penyelidikan mengenai hubungan antara produktivitas dengan penerangan telah memperlihatkan, bahwa penerangan yang cukup dan diatur sesuai dengan jenis pekerjaan dapat menghasilkan produksi maksimal dan penekanan biaya. Berdasarkan peraturan pemerintah (1999) tentang persyarataan kesehatan lingkungan kerja.
2
Penerangan yang baik dapat memberikan keuntungan pada tenaga kerja, yaitu peningkatan produksi dan menekan biaya, memperbesar kesempatan dengan hasil kualitas yang meningkat, menurunkan tingkat kecelakaan, memudahkan pengamatan dan pengawasan, mengurangi ketegangan mata, mengurangi terjadinya kerusakan barang-barang yang dikerjakan. Penerangan yang buruk dapat berakibat kelelahan mata, memperpanjang waktu kerja, keluhan pegal didaerah mata dan sakit kepala disekitar mata, kerusakan indra mata, kelelahan mental dan menimbulkan terjadinya kecelakaan.
1.2 Permasalahan Terdapatnya bahaya potensial yang dapat mengganggu kesehatan dan keselamatan pekerja yang bekerja di PT. Bina Busana Internusa.
1.3 Tujuan 1.3.1.Tujuan Umum Untuk mengetahui dan memahami kinerja program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di PT. Bina Busana Internusa. 1.3.2.Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui alur produksi di PT. Bina Busana Internusa. 2. Untuk mengetahui bahaya potensial terutama faktor risiko dan risiko kecelakaan kerja di PT. Bina Busana Internusa. 3. Untuk mengetahui bahaya potensial fisik akibat debu kain, kebisingan dan pencahayaan di lingkungan kerja PT. Bina Busana Internusa. 4. Untuk mengetahui masalah dalam pelaksanaan program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di PT. Bina Busana Internusa. 5. Untuk mengetahui usaha-usaha yang telah dilakukan oleh perusahaan dalam mengatasi masalah yang ada akibat bahaya potensial debu kain yang didapatkan di PT. Bina Busana Internusa.
3
BAB II HASIL KUNJUNGAN
2.1. Informasi Umum 2.1.1. Profil Perusahaan Berdiri
: 10 november 1989
Produk
: mens shirt : hospital uniform : office uniform : working uniform
Lokasi
: Pabrik I Kawasan Berikat Nusantara Jl. Madura III Blok D No. 19A Cakung, Cilincing, Jakarta 14140 Indonesia : Pabrik II Jl. Pulo Buaran II blok Q No. 1 Pulogadung, Jakarta 13920, Indonesia
Luas wilayah
: Pabrik I : 5.400 m2 Pabrik II : 1.680 m2
Telepon
: Pabrik I : 021-440308 : Pabrik II : 021-46820820
Fax
: Pabrik I : 021-46820820 : Pabrik II : 021-4626086
Kapasitas / tahun
: Pabrik I : 18 lajur = 1.920.000 potong / tahun : Pabrik II : 8 lajur = 840.000 potong / tahun
Pekerja
: Pabrik I : 984 orang : Pabrik II : 582 orang : Penjual II : 582 orang : Penjualan : 399 orang : Administrasi : 59 orang
Pasar
: Jepang 4
: Inggris : Pasar Lokal Pembeli
: Nagai, Cosalt, departement store, institusi
(Sumber kunjungan lapangan di PT BBI dan Wawancara dengan Manager Human Resource Departement serta company profile PT BBI)
2.2. Gambaran Umum 1.2.1. Sejarah Singkat Perusahaan Pada tanggal 16 oktober 1989 berdiri PT Mitracorp Pasifik Nusantara, yang merupakan head office dari beberapa anak perusahaan, diantaranya adalah PT Bina Busana Internusa dan PT Kharismitra Sukses. PT Bina Busana Internusa berdiri pada tanggal 10 november 1989, yang memproduksi kemeja Valino dan produksi garmen lainnya. PT Kharismitra Sukses berdiri pada tanggal 6 april 1990 dan bergerak sebagai marketing dan distribution kemeja Valino. Pada tanggal 2 januari 1997 PT Bina Busana Internusa dan PT Kharismitra Sukses digabungkan menjadi PT Bina Busana Internusa, PT Bina Busana Internusa memiliki 2 buah pabrik. •
PT Bina Busana Internusa I Lokasi : jl. Madura III Blok D No. 19A kawasan berikut Nusantara Cakung Cilincing Jakarta 14140, Indonesia. Pada saat ini PT Bina Busana Internusa I memproduksi seragam rumah sakit yang di pesan oleh Nagai Leben Jepang dan pakaian kerja oleh Cosalt Inggris, space yang dipergunakan untuk lokasi ini adalah 5.400 m2, dengan kapasitas produksi 18 line dan menghasilkan 1.920.000 pieces pertahun mempekerjakan sebanyak 984 orang untuk bagan produksi, 3 orang bagian marketing dan 3 orang untuk tenaga administrasi. Untuk sementara ini PT BBI I hanya menerima pesanan dari Nagai Leben dan Cosalt Inggris serta beberapa pekerjaan yang bersifat subkontraktor.
•
PT Bina Busana Internusa II Lokasi : Jl. Pulo Buaran II Blok Q No. I Kawasan Industri Pulo Gadung, Pulo Gadung Jakarta 13920, Indonesia PT Bina Busana Internusa II memproduksi kemeja Valino, Harry Martin, Cristian Kent, Vissuto, Sierra Morena, Compagnon, dan Bergamo. Kemudian di distribusikan ke
5
departement store yang ada di seluruh Indonesia. Untuk sementara ini counter Valino memiliki 133 outlet, Harry Martin 154 outlet, Christian Kent 17 outlet, Vissuto 12 outlet, Sierra Morena 59 outlet, Compagnon 30 outlet, dan Bergamo 8 outlet. Luas untuk lokasi ini adalah 1.680 m2. Kapasitas produksi mempunyai 8 line serta dapat memproduksi sekitar 840.000 pieces pertahun. Mempekerjakan sebanyak 582 untuk bagian produksi, 601 orang bagian marketing, dan 61 orang untuk tenaga administrasi, untuk sementara ini kemeja yang di produksi oleh PT BBI II hanya didistribusikan ke departement store dan institusional. 1.2.2. Falsafah Perusahaan Komitmen PT Bina Internusa adalah memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan. Selain itu juga mempunyai visi ke depan sebagai perusahaan yang memimpin produksi kemeja formal pria di tahun 2015, dengan tekad menjadi yang terbaik dan terbesar sebagai produsen kemeja yang berstandar internasional. Gabungan antara pelayanan yang handal, profesionalisme, teknologi serta didukung oleh pengelolaan usaha serta pemasaran yang mengena pada sasaran. PT Bina Busana Internusa mendukung sepenuhnya pembangunan di Indonesia dengan memberikan pelayanan terbaik serta menghasilkan produk yang bermutu tinggi, PT Bina Busana Internusa berusaha meningkatkan citra sebagai perusahaan yang bergerak di bidang garmen yang terkemuka dengan memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan. Sesuai dengan motto perusahaan “Menjadi No. I dengan Memberikan Pelayanan yang Terbaik Kepada Pelanggan dan Pelanggan Adalah Aset Perusahaan “. Untuk mewujudkan PT Bina Busana Internusa akan memperbanyak produknya yang banyak di jual di seluruh Indonesia. Pada saat ini produksi kemeja yang dihasilkan oleh PT Bina Busana Internusa adalah : Valino, Harry Martin, Christian Kent, Vissuto, Sierra Morena, Compagnon, dan Bergamo. Banyaknya produk kemeja yang diproduksi oleh PT Bina Busana Internusa dengan demikian kebutuhan kemeja yang diinginkan oleh konsumen dari seluruh lapisan masyarakat akan terpenuhi.
6
2.2.3. Alur Poduksi Adapun alur produksi dari PT. Bina Busana Interusa adalah sebagai berikut : 1. Pembuatan Sampel Alur produksi PT. Bina Busana Interusa dimulai dengan pembuatan sampel. Sampel berupa model pakaian diajukan ke design product developer. Jika disetujui, sampel tersebut akan dibuatkan pola dan modelnya. 2. Pemesanan Bahan Melalui bagian marketing, PT. BBI memesan bahan dalam jumlah yang telah ditentukan ke host yang selanjutnya bahan yang telah datang disimpan di gudang penyimpanan. Di dalam gudang terasa panas dengan ventilasi yang kurang. 3. Inspeksi Bahan Inspeksi dilakukan di gudang penyimpanan. Bahan harus memenuhi 28 persyaratan untuk memenuhi standar. Jika ditemukan cacat pada bahan maka akan ditandai dengan stiker tanda panah merah. Petugas pada tahap ini berjumlah tiga orang. Sarana yang digunakan adalah meja dengan tinggi kurang lebih 1 meter dengan kemiringan 45°. Bahan yang akan diperiksa ditaruh diatas meja yang secara otomatis bahan akan melewati meja dan tergulung kembali. Pekerja menginspeksi bahan secara seksama untuk melihat adanya cacat. Hal ini dilakukan dalam waktu yang singkat dan berulang-ulang sehingga akan terdapat gerakan bola mata yang repetitif. Pekerja melakukan inspeksi dalam posisi berdiri tegak dengan pencahayaan bersumber dari lampu neon 40 watt yang ada dibalik meja dan ruangan. Setelah bahan melewati proses inspeksi, kemudian bahan yang memenuhi syarat akan masuk ke dalam proses produksi. Pada bagian ini terdapat berbagai bahaya potensial yang dapat timbul, baik dari segi fisik, kimia, ergonomi, maupun psikologis. Yang pertama adalah bahaya potensial dari debu, baik debu yang berada di dalam ruangan maupun debu bahan. Debu yang berasal dari bahan berupa debu kain alami (bahan katun) dan debu sintetik (polyester). Bahaya fisik lain adalah cahaya berlebih dari lampu neon TL 40 watt yang dapat menyilau mata. Kondisi gudang yang kurang ventilasi juga menyebabkan terbatasnya sirkulasi udara bagi para pekerja di tempat ini.
7
Bahaya potensial kimia berasal dari zat kimia dari bahan baku berupa formaldehid yang berasal dari bahan baku. Dari segi psikologis didapatkan bahaya stress dan kebosanan karena jam kerja yang lama tanpa ganti shift. Gangguan kesehatan yang mungkin terjadi adalah gangguan muskuloskeletal (seperti low back pain), dehidrasi, ISPA, sefalgia, dispepsia, gangguan penglihatan berupa penurunan visus dan kelelahan otot mata dan varises tungkai. Resiko kecelakaan kerja berupa tangan terjepit mesin inspeksi atau tersengat listrik mesin. Upaya yang harusnya dilakukan dalam tahap ini adalah pemakaian alat pelindung diri berupa masker penutup kepala, meskipun tidak semua pekerja menggunakannya. Peraturan yang terdapat di bagian ini berupa standar operasional mesin. Fasilitas yang tersedia lamp neon TL 40 watt sebanyak 1 buah pada mesin inspeksi dan 20 buah di langit-langit, serta penyediaan sarana air minum.
Gambar 1. Posisi Pekerja Pada Proses Inspeksi Bahan
4. Proses Pembuatan Pola Proses pembuatan pola dilakukan oleh 12 pekerja. Enam pekerja membentuk pola bahan dengan pensil dan penggaris secara manual sesuai model pakaian yang akan 8
diproduksi. Kegiatan ini dilakukan dengan posisi duduk dan berdiri. Enam pekerja lainnya menggunakan mesin jahit dalam posisi duduk tanpa sandaran. Pada proses ini, dilakukan pembuatan pola yang telah diinstruksikan oleh desainer. Pembuatan pola dapat dibedakan dalam dua cara, yaitu manual, atau menggunakan komputer. Untuk cara yang pertama (manual), dikerjakan dengan posisi berdiri maupun duduk. Dari hasil pengamatan, tampak bahwa kursi pekerja tidak menggunakan sandaran, dan terbuat dari material kayu tampa bantalan sehingga kurang nyaman dan didapatkan ukuran tinggi meja adalah 75 cm.
Gambar 2.
Posisi pekerja bagian Pola (manual)
Proses pembuatan pola yang menggunakan computer Pada bagian ini, pekerja dalam posisi duduk di atas kursi dengan bantalan cukup nyaman dan memiliki sandaran.
9
Gambar 3. Posisi pekerja pembuatan pola dengan computer
5. Cutting Proses selanjutnya adalah cutting dan marker. Area pemotongan ini mengharuskan seluruh pekerjanya menggunakan masker, namun ada beberapa pekerja yang tidak memakainya. Proses cutting menggunakan mesin cutting, dimana alat cukup tajam dan pekerja melakukan proses ini dengan cepat dan repetitif. Pekerja dilengkapi sarung tangan dari bahan stainless yang digunakan pada tangan kiri. Proses cutting terbagi mejadi dua macam, yaitu untuk kain polos dan bermotif. a.
Bila bahan polos langsung menuju proses numbering
b.
Bila bahan bermotif, maka akan melalui proses matching dan numbering Bagian cutting dapat dikerjakan dalam dua cara, yaitu manual dengan gunting dan
dengan mesin. Pada proses ini pekerja melakukan tugasnya dalam posisi berdiri diikuti dengan kepala yang menunduk. Selain itu, dari hasil pengukuran, tinggi meja yang juga bisa diartikan jarak siku ke lantai adalah 95 cm. Ukuran ini terlalu rendah, sehingga membuat pekerja sedikit membungkuk untuk melakukan kerjanya. Pada alur produksi ini, bahaya fisik yang dapat terjadi berupa kebisingan dari mesin pemotong. Suara mesin pemotong dengan frekuensi 84dB dapat menyebabkan gangguan pendengaran berupa tinnitus maupun tuli perseptif. Bahaya fisik lain berupa debu kain alami dan sintetik, sirkulasi udara terbatas, vibrasi mesin cutting, dan listrik dari mesin pemotong. Bahaya kimia berasal dari pelarut benzene yang digunakan sebagai pembersih jika ada noda pada kain. Bahaya dari ergonomi yaitu posisi berdiri yang lama, posisi kepala yang menunduk lama, dan gerakan repetitif memotong lkain. Sedangkan dari bahaya psikologis yang dapat timbul adalah stres dan kebosanan karena jam kerja yang lama tanpa ganti shift.
10
Gangguan adalah upper
kesehatan yang mungkin terjadi
gangguan dan
low
muskoloskeletal
(
termasuk
back pain ), dehidrasi, ISPA,
dispepsia,
gangguan pendengaran, varises
tungkai,
hiperkeratosis
dermatitis yang tangan
tangan
dan
kontak
iritan. Resiko kecelakaan kerja
mungkin
terjadi adalah tangan terpotong,
terjepit
gunting atau tangan tersengat
listrik mesin potong. Upaya yang harus dilakukan dalam tahap ini adalah pemakaian alat pelindung diri berupa masker, penutup kepala, penutup telinga, serta sarung tangan logam dan fasilitas seperti kipas angin atau exhaust fan untuk memperbaiki sirkulais udara, lampu untuk penerangan yang cukup dan penyediaan sarana air minum. Hal-hal yang sudah dilakukan di perusahaan ini yaitu penggunaan alat pelindung diri berupa masker dan sarung tangan yang terbuat dari logam. Semua pekerja menggunakan alat pelindung diri ini. Peraturan yang terdapat di bagian ini berupa standar operasional mesin dan kebijakan menggunakan alas kaki. Fasilitas yang tersedia berupa lampu TL 40 watt sebanyak 96 buah, exhaust fan diameter 30 cm ( 0 buah setiap lantai), kipas angin diameter 30 cm (10 buah setiap lantai), penyediaan sarana air minum (2 buah setiap lantai).
Gambar 4. Posisi pekerja pada proses cutting 6. Proses Pembuatan Manset dan Interlining
11
Pada proses ini, dilakukan pemotongan dengan mesin berat. Kemudian dilakukan pressing dengan menggunakan mesin yang mengeluarkan panas. Mesin yang berat tersebut dijalankan oleh pekerja laki-laki dengan posisi berdiri terus menerus, kepala dan badan menunduk sekitar 20° dengan alat pelindung diri berupa sarung tangan stainless. Proses interlining adalah proses pembuatan kerah dimana kain yang telah dipotong ditempelkan dengan bahan yang keras untuk membentuk kerah. Proses selanjutnya adalah merekatkan kedua bahan tersebut. Proses perekatan pertama dilakukan dengan solder di beberapa titik kemudian disetrika dan terakhir direkatkan secara permanen dengan pressing machine yang menggunakan panas yang tinggi.
Gambar 5. Posisi Pekerja pada Proses Manset
7. Proses Sewing Proses
sewing
menggunakan
mesin
jahit biasa. Pada proses
terdapat
dua macam proses, yaitu
dan
assembling. Pada proses
penjahitan front
back
dilakukan
front back dilakukan
penjahitan
keperluan
seperti
kantong
aksesoris kemeja.
Kemudian
dengan
untuk pembuatan pada
proses
assembling dilakukan penjahitan untuk menyatukan pakaian dengan komponen lainnya. Penjahit bekerja dengan posisi duduk membungkuk dengan kursi tanpa sandaran. Untuk mengatur kesesuaian antara tinggi meja dan kursi agar menghasilkan posisi yang ergonomis,
12
terdapat alat pengatur ketinggian pada meja jahit dan kursi yang terlalu pendek disambung dibagian terbawah kaki kursi. Pekerja menggunakan seragam berupa kain berbahan katun yang cukup menyerap keringat, ditambah penutup kepala, apron dan masker, mesin jahit juga dilengkapi dengan needle gate untuk melindungi tangan dari tusukan jarum. Pada proses ini juga dilakukan pembersihan bahan yang terdapat noda dengan menggunakan etanol dan benzen yang disemprotkan, alat semprot menghasilkan bising, sehingga pekerja dilengkapi dengan alat penutup telinga.
Gambar 6. Posisi Pekerja bagian proses sewing 8. Proses Finishing dengan Mesin Kebut Setelah pakaian selesai dijahit, kemudian dilakukan pembersihan baju dari sisa-sisa benang dengan menggunakan mesin kebut, yaitu berupa boks dengan ukuran 75 x 100 cm. Mesin tersebut dapat menarik sisa debu dan benang. Pakaian dimasukkan ke dalam mesin dan ditahan oleh kedua tangan pekerja tersebut. Mesin kebut menghasilkan bising sehingga pekerja dilengkapi dengan alat penutup telinga.
13
Gambar 7. Pekerja mesin kebut 9. Proses Ironing Proses ironing dilakukan dengan setrika listrik. Sarana yang digunakan adalah meja setrika ukuran 60 x 100 cm dengan jarak antar pekerja kurang lebih 1 meter. Proses Ironing pakaian jadi terdiri dari 8 pekerja. Menggunakan bahan kimia berupa etanol dan pelarut benzene sebagai pembersih. Pada bagian ini terjadi gerakan repetitif menarik dan mendorong lengan saat menyetrika, posisi berdiri lama, posisi membungkuk lama, posisi kepala menunduk lama, dan ruang gerak yang sempit. Bahaya potensial fisika adalah suhu panas, sirkulasi udara terbatas, listrik, debu kain alami dan sintetik, dan kelembapan. Bahaya potensial kimia berupa etanol dan pelarut benzene sebagai pembersih. Bahaya potensial ergonomi adalah gerakan repetitif menarik dan mendorong lengan saat menyetrika, posisi berdiri lama, posisi membungkuk lama, posisi kepala menunduk lama, dan ruang gerak yang sempit. Dari segi psikologi, bahaya potensial yang ada adalah kebosanan karena jam kerja yang lama tanpa ganti shift, dan stres. Gangguan kesehatan yang mungkin terjadi adalah gangguan musculoskeletal, dehidrasi, tension typ headache, dan low back pain. Resiko kecelakaan kerja yang mungkin terjadi adalah tangan terkena luka bakar akibat setrika listrik. Upaya yang harusnya dilakukan pada tahap ini adalah pemakaian alat pelindung diri berupa masker, penutup kepala, serta sarung tangan kain dan fasilitas seperti kipas angin atau
14
exhaust fan untuk memperbaiki sirkulasi udara, lampu untuk penerangan yang cukup dan penyediaan sarana air minum. Alat pelindung diri yang digunakan adalah sarung tangan dan masker kain, semua pekerja menggunakan APD ini. Sarana yang disediakan adalah lampu, exhaust fan diameter 30 cm sebanyak 10 buah setiap lantai, kipas angin dengan diameter 30 cm sebanyak 10 buah setiap lantai, penyediaan sarana air minum sebanyak 2 buah setiap lantai. Terdapat standar
operasional
dalam
proses ironing.
Gambar 8. Posisi Pekerja pada Proses Ironing
10. Proses Packing Pakaian yang telah disetrika kemudian dilipat dan dimasukkan kedalam polybag, kemudia pakaian yang telah dibungkus dimasukkan kedalam kardus besar. Dibagian ini terjadi gerakan repetitif memasukan pakaian kedalam plastik, gerakan repetitif membungkuk saat memasukan pakaian yang sudah terkemas ke dalam kardus, posisi berdiri lama, gerakan repetitif mengangkat beban hasil produksi dari membungkuk sampai berdiri. Bahaya potensial fisika meliputi panas dan debu kain sintetik dan alami. Bahaya potensial ergonomi meliputi gerakan repetitif memasukan pakaian kedalam plastik, gerakan 15
repetitif membungkuk saat memasukan pakaian yang sudah terkemas ke dalam kardus, posisi berdiri lama, gerakan repetitif mengangkat beban hasil produksi dari membungkuk sampai berdiri. Bahaya potensial psikologi yang dapat timbul berupa kebosanan karena jam kerja yang lama tanpa ganti shift, dan stres sebagai bahaya potensial psikologi. Gangguan kesehatan yang dapat timbul adalah gangguan musculoskeletal, seperti low back pain dan upper back pain, dan dermatitis kontak iritan. Resiko kecelakaan kerja yang dapat timbul adalah terjatuh saat mengangkat dan memindahkan beban. Upaya yang harusnya dilakukan pada tahap ini adalah pemakaian alat pelindung diri berupa masker kain dan fasilitas seprti kipas angin atau exhaust fan untuk memperbaiki sirkulasi udara, lampu untuk penerangan yang cukup dan penyediaan sarana air minum. Alat pelindung diri yang disediakan adalah masker kain. Sarana yang disediakan adalah lampu, exhaust fan, kipas angin, dan penyediaan sarana air minum. Terdapat aturan pelipatan dan tampilan produk dan aturan alur barang produksi setelah packing.
Gambar 9. Posisi Pekerja pada saat Proses Packing
11. Quality Control
16
Sebelum pengiriman beberapa kardus akan diambil secara random untuk dilakukan pengecekan ulang. Dibagian ini dilakukan gerakan repetitif tangan memegang dan memeriksa pakaian, posisi berdiri lama, posisi kepala dan punggung membungkuk lama. Bahaya potensial fisika berupa pencahayaan dan debu kain alami dan sintetik. Bahaya potensial ergonomi berupa gerakan repetitif tangan memegang dan memeriksa pakaian, posisi berdiri lama, posisi kepala dan punggung membungkuk lama. Dari segi psikologi, bahaya potensial yang ada berupa kebosanan karena jam kerja yang lama tanpa ganti shift dan stres yang mungkin timbul.
Gangguan kesehatan yang mungkin
timbul
berupa
gangguan musculoskeletal, dehidrasi,
low back pain dan
upper back pain, varises tungkai, dan
keluhan
Tidak ada resiko kecelakaan kerja yang
otot
mata.
ada pada tahap ini. Upaya
yang
harusnya dilakukan dalam tahap ini
adalah pemakaian alat
pelindung diri berupa maker, penutup
kepala, dan fasilitas
seperti kipas angin atau exhaust fan
untuk memperbaiki sirkulasi udara, lampu untuk penerangan yang cukup dan penyediaan sarana air minum. Hanya sebagian pekerja yang menggunakan masker dan penutup kepala. Sarana yang disediakan berupa exhaust fan diameter 30 cm sebanyak 10 buah setiap lantai, kipas angin dengan diameter 30 cm sebanyak 10 buah setiap lantai, penyediaan sarana air minum sebanyak 2 buah setiap lantai. Terdapat checklist untuk menilai dalam proses quality control.
17
Gambar 10. Posisi Pekerja pada bagian Quality Control pakaian
Diagram 1. Alur Produksi
2.3. Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja di PT BBI II 2.3.1 Program kesehatan Kerja Perusahaan memiliki sebuah klinik yang terletak di dalam pabrik. Klinik perusahaan memberikan pelayanan mulai dari hari senin, rabu dan jumat. Klinik ini melayani pengobatan biasa dan kecelakaan kerja kepada para pekerja. Pelayanan dilakukan selama jam kerja. Di luar jam kerja poliklinik, pelayanan kesehatan bagi pekerja hanya berupa penyediaan obat-obatan simptomatik yang dipegang oleh line manager. Bila diperlukan tatalaksana lanjutan kecelakaan kerja, pekerjaan dirujuk ke RS dengan surat pengantar. Perusahaan bekerjasama dengan RS Mediros dan RS St. Carolus sehingga jika pekerja berobat ke kedua rumah sakit tersebut, biaya pengobatan pekerja akan di tanggung oleh perusahaan sesuai dengan golongan/pangkat. Sementara jika pasien dibawa ke RS lain seperti RS Persahabatan yang letaknya tidak jauh dari pabrik maka penggantian biaya diberlakukan melalui sistem reimbursment yaitu biaya di
18
tanggung dahulu oleh karyawan, yang kemudian diganti oleh perusahaan. Untuk kasus gawat darurat yang terjadi di pabrik, pertama-tama keadaan umum pasien pasien distabilkan terlebih dahulu kemudian dirujuk ke rumah sakit rujukan. Pada saat kunjungan dilakukan, klinik sedang beroperasi. Di klinik terdapat data-data penyakit dan data jumlah kunjungan pekerja ke poliklinik serta data kecelakaan kerja. Klinik perusaan dijalankan oleh seorang dokter umum yang datang dua hari sekali dengan jam kerja 08.00-12.00 dan setiap hari ada satu perawat yang bertugas. Program klinik perusahaan meliputi juga pemeriksaan kesehatan setiap enam bulan berupa pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan darah rutin dan kimia darah serta pemeriksaan penunjang lain seperti rontgent thoraks, dan pemeriksaan elektrokardiografi. Pemeriksaan kesehatan telinga dengan alat khusus (audiometri dan otoskop) tidak dilakukan. Kantin perusahaan ada dua buah dengan luas kurang lebih 5x10 meter. Namun untuk makan siang pekerja perusahaan menggunakan sistem katering yang dibayar oleh perusahaan. Menu pekerja tergantung pihak katering yang berupa makanan pokok. Untuk pekerja yang lembur tidak mendapatkan makanan tambahan. Untuk air minum pekerja disediakan dispenser di beberapa tempat. Salah satu kekurangan yang ditemukan adalah perusahaan belum memiliki data penyakit tersering yang terjadi di perusahaan. Di samping itu, tidak terdapat sistem pelaporan kesehatan pekerja, yang ada hanyalah laporan jumlah kunjungan pekerja ke klinik perusahaan. Asuransi kesehatan juga tidak disediakan oleh pihak perusahaan bagi para pekerjanya. Selain itu, programprogram kesehatan kerja belum dilaksanakan oleh perusahaan. 2.3.2 Sanitasi dan Lingkungan PT BBI merupakan suatu kompleks bangunan yang terdiri dari 1 bangunan utama, 1 bangunan tempat produksi, dan 1 gudang penyimpanan yang terpisah dari 2 bangunan sebelumnya (dipisahkan oleh jalan umum). Pada bangunan utama terdapat kantor yang mengurusi administrasi dan marketing, factory outlet, dan tempat ibadah. Bangunan utama ini cukup tertata rapi dan bersih serta sebagian besar ruangan menggunakan air conditioner. Sementara bangunan tempat produksi merupakan bangunan lantai 2 dimana selain terdapat ruangan tempat berlangsungnya proses produksi, juga terdapat klinik (di lantai 2), dan kantin (di
19
lantai 1). Kesan kebersihan pada keseluruhan ruangan tempat produksi cukup baik. Alat-alat produksi di bangunan produksi lantai 1 tertata dengan cukup rapi dengan ruang gerak pekerja yang cukup leluasa (kurang lebih 1 meter). Hal ini disebabkan karena jumlah pekerja di ruangan ini relatif lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pekerja di lantai 2. Sementara itu, alat-alat produksi di lantai 2 walau tersusun rapi cukup rapi namun jarak antara alat cukup dekat (kurang lebih setengah meter) sehingga ruang gerak pekerja agak terbatas. Lingkungan di sekitar kompleks bangunan utama dan bangunan tempat produksi cukup bersih. Pada halaman sekitar terdapat taman kecil yang bersih. Perusahaan menyediakan fasilitas toilet di kedua lantai produksi, masing-masing terdiri dari dua toilet besar laki-laki dan dua toilet perempuan. Setiap toilet berukuran 1x 1,5 x 2 m. Masing-masing toilet besar terdiri dari 3 ruangan. Toilet tersebut terlihat kurang bersih dan terkesan kurang terurus. Dinding toilet dilapisi keramik. Jumlah kakus dalam toilet laki-laki adalah tiga jamban, dan di dalam toilet perempuan terdapat tiga jamban. Penerangan dan pertukaran udara dalam toilet cukup baik. Lantai dan dinding toilet terlihat bersih, pintu jamban dapat dibuka-tutup dengan mudah. Terdapat satu wastafel di tiap toilet. Data mengenai septic tank tidak diketahui. Di gudang tempat penyimpanan kain, toilet juga berfungsi sebagai tempat untuk mencuci kain untuk melihat apakah kain ini lintur atau tidak. Di gudang, tidak terdapat perbedaan antara toilet laki-laki dan perempuan. Pertukaran udara di dalam bangunan pabrik secara keseluruhan masih kurang. Langitlangit bangunan pabrik cukup tinggi, namun jumlah exhaust fan masih kurang yaitu 6 buah setiap lantai (diameter 30 cm) untuk ruangan yang berukuran kurang lebih 60 x 20 m2. Pihak perusahaan juga menyediakan fasilitas air minum melalui “dispenser” (berisi guci keramik) yang tersedia di beberapa sudut ruangan yang terdiri dari 2 buah di setiap lantai. Galon tampak kurang bersih dan gelas minum bersih yang tersedia sedikit. Sarana penerangan di dalam ruangan pada siang hari berupa bagian langit-langit yang transparan sehingga memungkinkan masuknya cahaya matahari. Selain itu juga disediakan lampu-lampu meskipun hanya dinyalakan sebagian dengan mempertimbangkan efektivitas biaya. Jumlah lampu yang ada cukup banyak, namun penerangan pada malam hari tidak dapat kami nilai karena kunjungan dilakukan pada siang hari.
20
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Kesehatan dan Keselamatan Kerja 3.1.1 Definisi Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) Keselamatan kerja adalah suatu usaha untuk dapat melaksanakan pekerjaan tanpa kecelakaan, memberikan suasana atau lingkungan kerja yang aman sehingga dapat dicapai hasil yang menguntungkan dan bebas dari segala macam bahaya. Menurut Suma’mur kesehatan kerja merupakan spesialisasi ilmu kesehatan / kedokteran beserta prakteknya yang bertujuan agar pekerja / masyarakat pekerja memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya baik fisik, mental, maupun social dengan usaha preventif atau
21
kuratif terhadap penyakit/gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh faktor pekerjaan dan lingkungan kerja serta terhadap penyakit umum.. Untuk mengetahui sejauh mana program K3 telah diimplementasikan di perusahaan, maka manajemen perusahaan harus melakukan audit atau evaluasi di setiap unit kerja yang ada. Hal ini sesuai dengan peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : PER.05/MEN/1996 pada BABIII pasal 4 bahwa perusahaan wajib mengukur, memantau dan mengevaluasi kinerja program Keselamatan dan Kesehatan kerja serta melakukan tindakan perbaikan dan pencegahan. 3.1.2 Tujuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Hakikat dan tujuan dari Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yaitu bahwa faktor K3 berpengaruh langsung terhadap efektifitas kerja pada tenaga kerja dan juga berpengaruh terhadap efektifitas kerja pada tenaga kerja dan juga berpengaruh terhadap efisiensi produksi dari suau perusahaan
industri
sehingga
dengan
demikian
mempengaruhi
tingkat
pencapaian
produktifitasnya. Karena pada dasarnya tujuan K3 adalah untuk melindungi para tenaga kerja atas hak keselamatannya dalam melakukan pekerjaan dan untuk menciptakan tenaga kerja yang sehat dan produktif sehingga upaya pencapaian produktifitas yang semaksimalnya dari suatu perusahaan industry dapat lebih terjamin.
3.2 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) Menurut peraturan menteri tenaga kerja RI (1996;2) adalah : ‘’bagian dari system manajemen secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur, proses dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan, penerapan, pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja guna tercapainya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif. Tujuan dan sasaran SMK3 adalah menciptakan suatu system K3 di tempat kerja dengan melibatkan unsur manajemen, tenaga kerja, kondisi dan lingkungan kerja yang terintegrasi dalam rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta terciptanya tempat yang aman, efisien dan produktif.
22
Setiap perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak 100 orang atau lebih dan atau mengandung potensi bahaya yang ditimbulkan oleh karakteristik proses atau bahan produksi yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja seperti peledakan, kebakaran, pencemaran dan penyakit akibat kerja wajib menerapkan SMK3. Pengelolaan SMK3 ini memiliki pola ‘total loss control’ yaitu suatu kebijakan untuk menghindarkan kerugian bagi perusahaan, property, personil di perusahaan dan lingkungan melalui penerapan SMK3 yang mengintegrasikan sumber daya manusia, material, peralatan, proses, bahan, fasilitas dan lingkungan dengan pola penerapan prinsip manajemen yaitu planning, do, check, dan improvement.
3.3 Masalah Kesehatan dan Keselamatan Kerja Kinerja (performa) setiap pekerja merupakan resulatan dari tiga komponen kesehatan kerja yaitu kapasitas kerja, beban kerja, dan lingkungan kerja yang dapat menjadi beban tambahan pada pekerja. Bila ketiga komponen tersebut serasi maka dapat dicapai suatu derajat kesehatan kerja yang optimal dan meningkatkan produktivitas. Sebaliknya bila terdapat ketidakserasian dapat menimbulkan masalah kesehatan kerja berupa penyakit ataupun kecelakaan akibat kerja yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas kerja.
3.3.1. Kapasitas Kerja Status kesehatan masyarakat pekerja di Indonesia pada umumnya belum memuaskan. Dari beberapa hasil penelitian didapat gambaran bahwa 30-40% masyarakat pekerja kurang kalori protein, 30% menderita anemia gizi dan 35% kekuramgan zat besi tanpa anemia. Kondisi kesehatan seperti ini tidak memungkinkan bagi para pekerja untuk bekerja dengan produktivitas yang optimal. Hal ini diperberat lagi dengan kenyataan bahwa angkatan kerja yang ada sebagian besar masih diisi oleh pekerja yang mempunyai banyak keterbatasan, sehingga untuk dalam melakukan tugasnya mungkin sering mendapat kendala terutama menyangkut masalah PAHK dan kecelakaan kerja. 3.3.2. Beban Kerja
23
Pola kerja yang berubah – ubah dapat menyebabkan kelelahan yang meningkat, akibat terjadinya perubahan pada bioritmik ( irama tubuh ). Faktor lain yang turut memperberat beban kerja antara lain tingkat gaji dan jaminan social bagi pekerja yang masih relative rendah, hingga pekerja terpaksa melakukan kerja tambahan secar berlebihan. Beban psikis ini dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan stress. 3.3.3. Lingkungan Kerja Lingkunagan Kerja bila tidak memenuhi persyaratan dapat mempengaruhi kesehatan kerja, dapat menimbulkan Kecelakaan Kerja ( Occupational Accident), Penyakit A kibat K erja dan Pernyakit Akibat Hubungan Kerja ( Occupational Disease & Work Related Diseases). 3.3.3.1. Lingkungan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja yang Ditimbulkan Penyakit akibat kerja dan atau berhubungan dengan pekerjaan dapat disebabkan oleh pemajanan dilingkungan kerja.Untuk mengatasi permasalahan ini maka langkah awal yang penting adalah identifikasi bahaya yang timbul, kemudian dievaluasi, dan dilakukan pengendalian. Untuk mengantisipasi dan mengetahui kemungkinan bahaya di lingkunagan kerja ditempuh tiga langkah utama, yakni : 1. Pengenalan lingkungan kerja . Pengenalan lingkungan kerja ini biasanya dilakukan dengan cara melihat dan mengenal ( walk through inspection) , dan ini merupakan langkah dasar yang pertama-tama dilakukan dalam upaya kesehatan kerja. 2. Evaluasi lingkungan kerja. Merupakan tahap penilaian larakteristik dan besarnya potensi-potensi bahaya yang mungkin timbul sehingga bisa untuk menentukan prioritas dalam mengatasi permasalahan. 3. Pengendalian lingkungan kerja. Dimaksudkan untuk mengurangi atau menghilangkan pemajanan terhadap zat/bahan yang berbahaya di lingkungan kerja. Ada dua jenis pengendalian lingkungan kerja, yaitu pengendalian lingkungan ( enviromental Control
Measures) berupa penggunan alat
pelindung perorangan, pembatas waktu lamanya pekerja terpajan terhadap bahaya potensial, serta keberhasilan perorangan dan pakaiannya.
24
3.4 Pelayanan Kesehatan Kerja Dasar 3.4.1 Pengertian Pelayanan kesehatan kerja dasar adalah upaya pelayanan yang diberikan pada masyarakat pekerja secra minimal dan paripurna oleh institusi pelayanan kesehatan kerja dasar. 3.4.2 Tujuan Tujuan diselenggarakan pelayanan kesehatan kerja dasar pada masyarakat pekerja adalah untuk menigkatkan produktivitas kerja masyarakat pekerja, dan terciptanya kondisi kerja yang aman, sehat dan produktif tanpa membahayakan diri sendiri dan masyarakat sekelilingnya. 3.4.3 Ruang Lingkup Pelayanan kesehatan kerja dasar mencakup
upaya
pelayanan paripurna (peningkatan
kesehatan kerja, pencegahan dan penyembuhan PAK & PAHK serta pemulihan PAK & PAHK) yang meliputi : 1. Pemeriksaan dan seleksi kesehatan calon pekerja 2. Peningkatan mutu dan kondisi tempat kerja 3. Penyerasian kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja 4. Pemeliharaan kesehatan , konseling dan rehabilitasi medis 5. Pembentukan dan pembinaan partisipasi masyarakat pekerja dalam pelayanan kesehatan kerja. 3.4.4 Insitusi Pelayanan Kesehatan Kerja Dasar Suatu lembaga yang terlibat dalam memberkan pelayanan kesehatan kerja dasar yang meliputi : Pos UKK, Poliklinik Perusahaan dan Puskesmas. Poliklinik Perusahaan merupakan bagian yang sangat penting karena secara structural merupakan bagian dari perusahaan dan bertanggung jawab kepada pimpinan perusahaan dan Puskesmas. 3.4.5 Jenis Pelayanan Kesehatan Kerja Jenis pelayananan Kesehatan Kerja dan pelayanan minimal yang diberikan dapat dilihat pada tabel 3.1.
25
Tabel 3.1. Pelayananan minimal kesehatan kerja Jenis Pelayananan Promotif
Pelayanan Minimal Kesehatan Kerja
Konsultasi
Penyuluhan tentang SOP kerja, risiko pekerjaan dan pencegahannya, hygiene, dan pemakaian APD.
Prilaku Hidup Bersih dan Sehat dalam bekerja
Inventarisasi pekerjaan agar dapat mengetahui ridiko yang mungkin timbul
Memberikan masukan tentang kesehatan kerja pada manajemen
Promosi kesehatan umum
Sanitasi industry, good house keeping dan potensi risiko di tempat kerja
Jenis Pelayanan Preventif
Identifikasi, penillaian dan control terhadap risiko
Pelatihan P3K
Pencatatan dan pelaporan
Pelayanan Minimal Kesehatan Kerja Identifikasi dan pengukuran potensi risiko kesehatan di tempat kerja
Merekonebdasikan perbaikan lingkungan kerja
Penyediaan contoh dan penggunaan APD
Pemeriksaan kesehatan : sebelum kerja, pemeriksaan berkala dan pemerikasaan khusus
Kuratif
Rehabilitatif
Prosedur tanggap darurat
Pemantauan kondisi tempat kerja
Surveilans PAK, PAHK, KK dan penyakit umum
Pemeriksaan kualitas air minum dan kebersihan kantin
Pencatatan dan pelaporan Penyakit umum, PAK, PAHK, dan KK
Klinik gawat darurat
Deteksi dini PAK, PAHK, dan KK
Melakukan upaya rujukan
Pencatatan dan pelaporan Melakukan evaluasi tingkat kecacatan pekerja
26
Rekomendasi
terhadap
penempatan
kembali
pekerja
susai
kemampuannya
Pencatatan dan pelaporan
3.5 Manajemen Risiko Penerapan Kesehatan dan keselamatan kerja (K3) di tempat kerja merupakan upaya utama dalam mewujudkan lingkungan kerja yang aman, nyaman dan sehat serta melindungi dan meningkatkan pemberdayaan pekerja yang sehat, selamat dan berkinerja tinggi dalam aspek higiene perusahaan, ergonomi, kesehatan dan keselamatan kerja, bukan merupakan cara yang tepat untuk mengatasi kemungkinan terjadinya akibat negatif di tempat kerja. Berkaitan dengan uraian diatas, strategi penerapan manajemen risiko sesungguhnya sangat dibutuhkan dalam mencapai dan mempertahankan keunggulan suatu organisasi. Berbagai pendekatan sering dilakukan dalam menghadapi risiko dalam organisasi atau perusahaan misalnya: a. Mengabaikan risiko sama sekali, karena dianggap merupakan hal yang diluar kendali manajemen. Pendapat tersebut, merupakan cara pendekatan yang tidak tepat, karena tidak semua risiko berada diluar jangkauan kendali organisasi / perusahaan. b. Menghindari semua kegiatan atau proses produksi yang memiliki risiko. Hal ini merupakan sesuatu yang tidak mungkin dilaksanakan, karena semua aktivitas ditempat kerja sampai tingkat tertentu selalu mengandung risiko. c. Menerapkan Manajemen Risiko, dalam pengertian umum, risiko tinggi yang dihadapi sebenarnnya merupakan suatu tantangan yang perlu diatasi dan melalui suatu pemikiran positif diharapkan akan memberikan nilai tambah atau imbalan hasil yang tinggi pula. Pada prinsipnya manajemen risiko merupakan upaya mengurangi dampak negatif risiko yang mengakibatkan kerugian pada asset organisasi baik berupa manusia, material, mesin, metoda, hasil produksi maupun finansial. Secara sistematik dilakukan pengendalian potensi bahaya serta risiko dalam proses produksi melalui aktivitas : a. Identifikasi potensi bahaya b. Penilaian risiko sebagai akibat manifestasi potensi bahaya c. Penentuan cara pengendalian untuk mencegah atau mengurangi kerugian d. Penerapan teknologi pengendalian e. Pemantauan dan pengkajian selanjutnya 27
3.6 Potensi Bahaya dan Risiko Potensi bahaya atau hazard merupakan segala hal atau sesuatu yang mempunyai kemungkinan mengakibatkan kerugian pada manusia, harta benda maupun lingkungan. Ditempat kerja, potensi bahaya sebagai sumber risiko khususnya terdapat keselamatan dan kesehatan di perusahaan akan selalu dijumpai, antara lain berupa : 1. Faktor fisik : kebisingan, cahaya, radiasi, vibrasi, suhu, debu. 2. Faktor kimia : solven, gas, uap, asap, logam berat. 3. Faktor biologik : tumbuhan, hewan, bakteri, virus. 4. Aspek ergonomi : desain, sikap dan cara kerja. 5. Stresor : tekanan produksi, beban kerja, monotoni, kejemuan. 6. Listrik dan sumber energi lainnya. 7. Mesin, peralatan kerja, pesawat. 8. Kebakaran, peledakan, kebocoran. 9. Tata rumah tangga (house keeping). 10. Sistem Manajemen peusahaan. 11. Pelaksana / manusia : perilaku, kondisi fisik, interaksi. Risiko adalah manifestasi atau perwujudan potensi bahaya (hazard event) yang mengakibatkan kemungkinan kerugian menjadi lebih besar, tergantung dari cara pengelolaannya, tingkat risiko mungkin berbeda dari yang paling ringan atau rendah sampai ke tahap yang paling berat atau tinggi. Melalui analisis dan evaluasi semua potensi bahaya dan risiko, diupayakan tindakan minimalisasi atau pengendalian agar tidak terjadi bencana atau kerugian lainnya. Rincian langkah umum yang biasanya dilaksanakan dalam penilaian risiko meliputi : 1. Menentukan personil penilai Penilai risiko dapat berasal dari intern perusahaan atau dibantu oleh petugas lain diluar perusahaan yang berkompeten baik dalam pengetahuan, kewenangan maupun kemampuan lainnya yang berkaitan. Tergantung dari kebutuhan, pada tempat kerja yang luas, personil penilai dapat merupakan suatu tim yang terdiri dari beberapa orang. 2. Menentukan obyek/bagian yang akan dinilai
28
Obyek atau bagian yang akan dinilai dapat dibedakan menurut bagian / departemen, jenis pekerjaan, proses produksi dan sebagainya. Penentuan obyek ini sangat membantu dalam sistematika kerja penilai. 3. Kunjungan / Inspeksi tempat kerja Kegiatan ini dapat dimulai melalui suatu “walk through survey / Inspection” yang bersifat umum sampai kepada inspeksi yang lebih detail. Dalam kegiatan ini prinsip utamanya adalah melihat, mendengar dan mencatat semua keadaan di tempat kerja baik mengenai bagian kegiatan, proses, bahan, jumlah pekerja, kondisi lingkungan, cara kerja, teknologi pengendalian, alat pelindung diri dan hal lain yang terkait. 4. Identifikasi potensi bahaya Berbagai cara dapat dilakukan guna mengidentifikasi potensi bahaya di tempat kerja, misalnya melalui : a. Inspeksi/survei tempat kerja rutin. b. Informasi mengenai data kecelakaan kerja dan penyakit serta absensi. c. Laporan dari Panitia pengawas Kesehatan dan Keselamatan Kerja(P2K3) atau supervisor atau keluhan pekerja. d. Lembar data keselamatan bahan (material safety data sheet), dan lain sebagainya. Selanjutnya diperlukan analisis dan penilaian terhadap potensi bahaya tersebut untuk memprediksi langkah atau tindakan selanjutnya terutama pada kemungkinan potensi bahaya tersebut menjadi suatu risiko. 5. Mencari informasi / data potensi bahaya Upaya ini dapat dilakukan misalnya melalui kepustakaan, mempelajari MSDS, petunjuk teknis, standar, pengalaman atau informasi lain yang relevan. 6. Analisis Risiko Dalam kegiatan ini, semua jenis risiko, akibat yang bisa terjadi, tingkat keparahan, frekuensi kejadian, cara pencegahannya, atau rencana tindakan untuk mengatasi risiko tersebut dibahas secara rinci dan dicatat selengkap mungkin. Ketidaksempurnaan dapat juga terjadi, namun melalui upaya sitematik, perbaikan senantiasa akan diperoleh. 7. Evaluasi risiko Memprediksi tingkat risiko melalui evaluasi yang akurat merupakan langkah yang sangat menentukan dalam rangkaian penilaian risiko. Kualifikasi dan kuantifikasi risiko,
29
dikembangkan dalam proses tersebut. Konsultasi dan nasehat dari para ahli seringkali dibutuhkan pada tahap analisis dan evaluasi risiko. 8. Menentukan langkah pengendalian Apabila dari hasil evaluasi menunjukan adanya risiko membahayakan bagi kelangsungan kerja maupun kesehatan dan keselamatan pekerja perlu ditentukan langkah pengendalian yang dipilih dari berbagai cara seperti : a. Memilih teknologi pengendalian seperti eliminasi, substitusi, isolasi, engineering control, pengendalian administratif, pelindung peralatan/mesin atau pelindung diri. b. Menyusun program pelatihan guna meningkatka pengetahuan dan pemahaman berkaitan dengan risiko c. Menentukan upaya monitoring terhadap lingkungan / tempat kerja. d. Menentukan perlu atau tidaknya survailans kesehatan kerja melalui pengujian kesehatan berkala, pemantauan biomedik, audiometri dan lain-lain. e. Menyelenggarakan prosedur tanggap darurat / emergensi dan pertolongan pertama sesuai dengan kebutuhan.
9. Menyusun pencatatan / pelaporan Seluruh kegiatan yang dilakukan dalam penilaian risiko harus dicatat dan disusun sebagai bahan pelaporan secara tertulis. Format yang digunakan dapatdisusun sesuai dengan kondisi yang ada. 10. Mengkaji ulang penelitian Pengkajian ulang perlu senantiasa dilakukan dalam periode tertentu atau bila terdapat perubahan dalam proses produksi, kemajuan teknologi, pengembangan informasi terbaru dan sebagainya, guna perbaikan berkelanjutan penilaian risiko tersebut.
3.7. Potensi Bahaya dan Risiko Terhadap Debu 3.7.1. Definisi Debu Debu merupakan salah satu bahan yang sering disebut sebagai partikel yang melayang di udara (Suspended Particulate Matter/SPM) dengan ukuran 1 mikron sampai dengan 500 mikron.Dalam kasus pencemaran udara baik dalam maupun di ruang gedung (indoor and out
30
door pollution) debu sering dijadikan salah satu indikator pencemaran yang digunakan untuk menunjukkan tingkat bahaya baik terhadap lingkungan maupun terhadap keselamatan dan kesehatan kerja. Debu industri yang terdapat di udara dibagi menjadi 2, yaitu : 1. Deposit Particulate Matter Deposit particulate matter yaitu partikel debu yang hanya sementara di udara. Partikel ini akan segera mengendap karena daya tarik bumi. 2.Suspended Particulate Matter Suspended particulate matter adalah debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap.(Pudjiastuti, 2002). Debu terdiri dari 2 golongan, yaitu padat dan cair.Debu yang terdiri atas partikel-partikel padat dapat menjadi 3 macam : a. Dust Dust terdiri dari berbagai ukuran mulai dari yang submikroskopik sampai yang besar. Debu yang berbahaya adalah ukuran yang bisa terhirup ke dalam sistem pernafasan, umumnya lebih kecil dari 100 mikron dan bersifat dapat terhirup ke dalam paru-paru b. Fumes Fumes adalah partikel-partikel zat padat yang terjadi oleh karena kondensasi dari bentuk gas, biasannya sesudah penguapan benda padat yang dipijarkan dan lain-lain dan biasanya disertaidengan oksidasi kimiawi sehingga terjadi zat-zat seperti logam (Cadmium) dan timbal ( Plumbum). c. Smoke Smoke atau asap adalah produk dari pembakaran bahan organik yang tidak sempurna dan berukuran sekitar 0,5 mikron. 3.7.2. Sifat-sifat Debu Sifat-sifat debu tidak berflokulasi, kecuali oleh gaya tarikan elektris, tidak berdifusi, dan turun karena tarikan gaya tarik bumi. Debu di atmosfer lingkungan kerja biasanya berasal dari bahan baku atau hasil produksi (Depkes RI, 1990). Sifat-sifat debu adalah sebagai berikut : 1. Sifat Pengendapan yaitu debu yang cenderung selalu mengendap karena gaya gravitasi bumi.
31
2. Permukaan cenderung selalu bersih disebabkan karena permukaannya selalu dilapisi oleh lapisan air yang sangat tipis. Sifat ini menjadi penting sebagai upaya pengendalian debu di tempat kerja. 3. Sifat Penggumpalan. Debu bersifat menggumpal karena permukaan debu yang selalu basah maka debu satu dengan yang lainnya cenderung menempel membentuk gumpalan. Tingkat kelembaban di atas titik saturasi dan adanya turbelensi di udara mempermudah debu membentuk gumpalan. 4. Debu Listrik Statik. Debu mempunyai sifat listrik statis yang dapat menarik partikel lain yang berlawanan dengan demikian partikel dalam larutan debu mempercepat terjadinya penggumpalan. 5. Sifat Opsis. Opsis adalah partikel yang basah/lembab lainnya dapat memancarkan sinar yang dapat terlihat dalam kamar gelap. Partikel debu melayang (Suspended Particulated Matter) adalah suatu kumpulan senyawa dan bentuk padatan maupun cair yang tersebar di udara dengan diameter yang sangat kecil, kurang dari 1 mikron sampai maksimal 500 mikron. Ukuran partikel debu yang membahayakan kesehatan umumnya berkisar antara 0,1 mikron sampai 10 mikron. Partikel debu tersebut akan berada di udara dalam waktu yang relative lama dalam keadaan melayang-layang dan dapat masuk melalui saluran pernafasan. Konsentrasi debu dengan ukuran 5 mikron akan dikeluarkan seluruhnya bila jumlah yang masuk ke saluran nafas kurang dari 10 partikel, sedangkan seluruhnya bila yang masuk 1.000 partikel maka 10% dari jumlah tersebut akan ditimbun di dalam jaringan paru (WHO, 1990). Debu yang berukuran antara 5 – 10 mikron bila terhisap akan tertahan dan tertimbun pada saluran nafas bagian atas; yang berukuran antara 3 – 5 mikron tertahan dan tertimbun pada saluran nafas tengah. Partikel debu dengan ukuran 1 – 3 mikron disebut debu respirabel merupakan yang paling berbahaya karena tertahan dan tertimbun mulai dari bronkhiolus terminalis sampai alveoli. Debu yang ukurannya kurang dari 1 mikron tidak mudah mengendap di alveoli, debu yang ukurannya antara 0,1 – 0,5 mikron berdifusi dengan gerak Brown keluar masuk alveoli; bila membentur alveoli ia dapat tertimbun disitu. Meskipun batas debu respirabel adalah 5 mikron, tetapi debu dengan ukuran 5 – 10 mikron dengan kadar berbeda dapat masuk ke dalam alveoli. Debu yang berukuran lebih dari 5 mikron akan dikeluarkan semuanya bila
32
jumlahnya kurang dari 10 partikel per milimeter kubik udara. Bila jumlahnya 1.000 partikel per milimeter kubik udara, maka 10% dari jumlah itu akan ditimbun dalam paru (WHO, 1990). 3.7.3. Jenis debu Menurut macamnya, debu diklasifikasikan atas 3 jenis yaitu : 1. Debu organik adalah debu yang berasal dari makhluk hidup (debu kapas, debu daun-daunan, tembakau dan sebagainya). 2. Debu metal adalah debu yang di dalamnya terkandung unsur-unsur logam (Pb, Hg, Cd, dan Arsen). 3. Debu mineral ialah debu yang di dalamnya terkandung senyawa kompleks ( SiO2, SiO3, dan lain-lain). Debu memiliki karakter atau sifat yang berbeda-beda, antara lain debu fisik (debu tanah, batu, dan mineral), debu kimia (debu organik dan anorganik), dan debu biologis (virus, bakteri, kista), debu eksplosif atau debu yang mudah terbakar (batu bara, Pb), debu radioaktif (uranium, tutonium), debu inert (debu yang tidak bereaksi kimia dengan zat lain). 3.7.4. Pengaruh Partikel Debu Terhadap Pernapasan Ukuran debu sangat berpengaruh terhadap terjadinya penyakit pada saluran pernafasan. Dari hasil penelitian ukuran tersebut dapat mencapai target organ sebagai berikut: 1. Partikel diameter > 5,0 mikron terkumpul di hidung dan tenggorokan., ini dapat menimbulkan efek berupa iritasi yang ditandai dengan gejala faringitis. 2. Partikel diameter 0,5 – 5,0 mikron terkumpul di paru – paru hingga alveoli, ini dapat menimbulkan efek berupa bronchitis, alergi, atau asma. 3. Partikel diameter < 0,5 mikron terkumpul di alveoli dan dapat terabsorbsi ke dalam darah.
33
Gambar 1
Saluran pernafasan
34
3.7.5. Pengendalian Debu Pengendalian debu di lingkungan kerja dapat dilakukan terhadap 3 hal yaitu pencegahan terhadap sumbernya, media pengantar (transmisi) dan terhadap manusia yang terkena dampak. 1. Pencegahan Terhadap Sumbernya Pengontrolan debu di ruang kerja terhadap sumbernya antara lain dengan mengisolasi sumber agar tidak mengeluarkan debu di ruang kerja dengan ‘Local Exhauster’ atau dengan melengkapi water sprayer pada cerobong asap. 2. Pencegahan Terhadap Transmisi a. Memakai metode basah yaitu,penyiraman lantai dan pengeboran basah (Wet Drilling). b. Dengan alat berupa Scrubber,Elektropresipitator,dan Ventilasi Umum. 3. Pencegahan terhadap Tenaga Kerja Antara lain dengan menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) berupa masker, sarung tangan. 3.7.6. Dampak Pencemaran Udara Oleh Debu Partikel debu selain memiliki dampak terhadap kesehatan juga dapat menyebabkan gangguan sebagai berikut: 1. Gangguan aestetik dan fisik seperti terganggunya pemandangan dan pelunturan warnabangunan dan pengotoran. 2. Merusak kehidupan tumbuhan yang terjadi akibat adanya penutupan pori pori tumbuhansehingga mengganggu jalannya fotosintesis. 3. Merubah iklim global regional maupun internasional. 4. Menganggu perhubungan/ penerbangan yang akhirnya menganggu kegiatan sosialekonomi dimasyarakat. 5. Menganggu kesehatan manusia seperti timbulnya iritasi pada mata, alergi, gangguan pernafasan dan kanker pada paru-paru. Efek debu terhadap kesehatan sangat tergantung pada: solubity (mudah larut), komposisi kimia, konsentrasi debu, dan ukuran partikel debu.
35
3.7.7. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Timbulnya Gangguan Paru Gangguan saluran pernafasan akibat inhalasi debu dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain : 1. Faktor debu itu sendiri yaitu ukuran partikelnya, daya larut, konsentrasi, sifat kimiawi, lama perjalanan dan faktor individu berupa mekanisme pertahanan selain itu faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya gangguan paru dapat berupa jenis debu, ukuran partikel, konsentrasi partikel, lama pajanan, dan kerentanan individu. 2. Masa kerja menunjukkan suatu masa berlangsungnya kegiatan seseorang dalam waktutertentu. Seseorang yang bekerja di lingkungan industri yang menghasilkan debu akan memiliki resiko gangguan kesehatan. Makin lama seseorang bekerja pada tempat yang mengandung debu akan makin tinggi resiko terkena gangguan kesehatan, terutama gangguan saluran pernafasan. 3. Umur merupakan salah satu karateristik yang mempunyai resiko tinggi terhadap gangguan paru terutama yang berumur 40 tahun keatas, dimana kualitas paru dapat memburuk dengan cepat. Menurut penelitian Juli Soemirat dan kawan-kawan dalam Rosbinawati (2002), mengungkapkan bahwa umur berpengaruh terhadap perkembangan paru-paru. Semakin bertambahnya umur maka terjadi penurunan fungsi paru di dalam tubuh. Menurut hasil penelitian Rosbinawati (2002) ada hubungan yang bermakna secara statistik antara umur dengan gejala pernapasan. Faktor umur berperan penting dengan kejadian penyakit dan gangguan kesehatan. 4. Alat pelindung diri adalah perlengkapan yang dipakai untuk melindungi pekerja terhadapbahaya yang dapat mengganggu kesehatan yang ada di lingkungan kerja. Alat yang dipakai adalah masker, baik yang terbuat dari kain atau kertas wol 5. Riwayat merokok merokok merupakan faktor pencetus timbulnya gangguan pernapasan, karena asap rokok yang terhisap dalam saluran nafas akan mengganggu lapisan mukosa saluran napas. (Antaruddin, 2003). 6. Riwayat penyakit penyakit merupakan faktor yang dianggap juga sebagai pencetustimbulnya gangguan pernapasan, karena penyakit yang di derita seseorang akan mempengaruhi kondisi kesehatan dalam lingkungan kerja. Apabila seseorang pernah atau sementara menderita penyakit sistem pernafasan, maka akan meningkatkan resiko timbulnya penyakit sistem pernapasan jika terpapar debu.
36
3.7.8
Jenis Penyakit Akibat Kerja Gejala penyakit akibat masuknya debu ke paru antara lain batuk disertai bersin, pilek dan
berlendir sebagai reaksi tubuh serta sesak nafas. Otot polos sekitar saluran nafas terangsang dan menimbulkan penyempitan. Semakin lama seorang pekerja pada lingkungan kerja debu, endapan debu di paru semakin tinggi. Gangguan fungsi paru menjadi lebih tinggi bila pekerja merokok. Keadaan menjadi lebih buruk bila ventilasi udara kurang baik, disamping daya tahan tubuh dan gizi yang kurang, tidur kurang dari 8 jam perhari dan adanya penyakit lain. Pneumoconiosis adalah kondisi pada paru yang merupakan hasil pengumpulan debu mineral pada paru dan sebagai reaksi jaringan paru terhadap paparan debu. Paparan debu kapas yang terjadi di perusahaan garmen disebut byssinosis. Sedang bila debu silica maka disebut silicosis. Bila penyebabnya debu asbes disebut asbestosis. Jadi macam pneumoconiosis tergantung jenis debu yang terhirup. Pneumokoniosis disebabkan oleh debu mineral pembentukan jaringan parut (Silikosis, antrakosilikosis, asbestosis) Gejala penyakit ini berupa sakit paru paru, namun berbeda denganpenyakit TBC paru. Silikosis adalah penyakit yang paling penting dari golongan penyakitPneumokonioses. Penyebabnya adalah silika bebas (SiO2) yang terdapat dalam debu yang dihirup waktu bernafas dan ditimbun dalam paru paru dengan masa inkubasi 2-4 tahun. Pekerja yang sering terkena penyakit ini umumnya yang bekerja di perusahaan yang menghasilkan batu-batu untuk bangunan seperti granit, keramik, tambang timah putih, tambang besi, tambang batu bara, dan lain lain.Gejala penyakit ini dapat dibedakan pada tingkat ringan sedang dan berat. Pada tingkat Ringan ditandai dengan batuk kering, pengembangan paru-paru.Pada tingkat sedang terjadi sesak nafas tidak jarang bronchial, ronchi terdapat basis paru paru. Pada tingkat berat terjadi sesak napas mengakibatkan cacat total, hypertofi jantung kanan, kegagalan jantung kanan. Anthrakosilikosis ialah pneumokomiosis yang disebabkan oleh silika bebas bersama debu arang batu. Penyakit ini mungkin ditemukan pada tambang batu bara atau karyawan industri yang menggunakan bahan batu bara jenis lain. Gejala penyakit ini berupa sesak nafas, bronchitis chronis batuk dengan dahak hitam (Melanophtys).
37
Asbestosis adalah jenis pneumokoniosis yang disebabkan oleh debu asbes dengan masa latennya 10-20 tahun. Gejala yang timbul berupa sesak nafas, batuk berdahak/riak terdengan rhonchi di basis paru, cyanosis terlihat bibir biru. Gambar radiologi menunjukan adanya titik titik halus yang disebut “Iground glass appearance”, batas jantung dengan diafragma tidak jelas seperti ada duri duri landak
sekitar jantung (Percupine hearth), jika sudah lama terlihat
penumpukan kapur pada jaringan ikat. Berryliosis, Penyebabnya adalah debu yang mengandung Berrylium, terdapat pada pekerja pembuat aliasi berrylium tembaga, pada pembuatan tabung radio, pembuatan tabungFluorescen pengguna sebagai tenaga atom. Byssinosis disebabkan oleh debu kapas atau sejenisnya dikenal dengan : Monday Morning Syndroma”atau”Monday Fightnesí” Sebag gejala timbul setelah hari kerja sesudah libur, terasa demam, lemah badan, sesak nafas, baruk-batuk, “Vital Capacity” jelas menurun setelah 5-10 tahun bekerja dengan debu. Stannosis Penyebab debu bijih timah putih (SnO) sedangkan Siderosis disebabkan oleh debu yang mengandung (Fe202). 3.7.9
Pengendalian/Pencegahan Untuk mencegahnya, pekerja yang terpapar debu harus memakai masker. Sedang bila
paparan debu bahan kimia berbahaya diperlukan penggunaan respirator dengan atau tanpa cartridge. Untuk perusahaan garmen, alat pelindung diri yang perlu dipakai adalah masker biasa. Untuk para pekerja, termasuk yang terpapar debu harus diperiksa kesehatan secara berkala dan khusus. Untuk pengguna respirator khusus pemeriksaan fungsi paru (spirometri) menjadi keharusan guna selalu memberikan kesehatan paru yang setinggi-tingginya disamping pekerja mengelola hidup dengan lifestyle yang baik. Pengontrolan debu di ruang kerja terhadap sumbernya antara lain : a. Isolasi sumber agar tidak mngeluarkan debu di ruang kerja dengan “ Local Exhauster”atau dengan melengkapi water sprayer pada cerobong asap. b. Subtitusi alat yang mengeluarkan debu dengan yang tidak mengeluarkan debu. Pencegahan terhadap transmisi, yaitu : (a) Memakai metoda basah yaitu, penyiraman lantai, pengeboran basah, (wet drilling).
38
(b) Dengan alat (scrubber, elektropresipitator, ventilasi umum). Pencegahan terhap tenaga kerjanya antara lain dapat menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) yaitu dengan menggunakan masker. 3.8 Kebisingan Bunyi didengar sebagai rangsangan-rangsangan pada telinga oleh getaran-getaran melalui media elastis dan manakala bunyi-bunyi tersebut tidak dikehendaki, maka dinyatakan sebagai kebisingan. Terdapat dua hal yang menentukan kualitas suatu bunyi yaitu frekuensi dan intensitasnya. Frekuensi dinyatakan dalam jumlah getaran per detik atau disebut Hertz. Intensitas atau arus energi per satuan luas biasanya dinyatakan dalam suatu logaritma.
Gambar. Tipe intensitas kebisingan (dBA), Zenz,C.(1994) Occupational medicine (2en ed) p.260
Jenis-jenis kebisingan yang sering ditemukan: •
Kebisingan yang kontinu dengan spektrum frekuensi yang luas
•
Kebisingan kontinu dengan spektrum frekuensi yang sempit
•
Kebisingan terputus-putus
•
Kebisingan impulsif 39
•
Kebisingan impulsif berulang
Alat utama dalam pengukuran kebisingan adalah soundlevel meter. Alat ini mengukur kebisingan di antara 30-130 dB dan dari frekuensi 20-20.000 Hz. Pengaruh utama dari kebisingan pada kesehatan adalah kerusakan kepada indera pendengar, yang menyebabkan ketulian progresif dan akibat ini telah diketahui dan diterima umum untuk berabad lamanya. Dengan kemampuan higiene perusahaan dan kesehatan kerja, akibat buruk ini dapat dicegah. Mula-mula efek kebisingan pada pendengar adalah sementara dan pemulihan terjadi secara cepat sesudah dihentikan kerja di tempat bising. Tetapi kerja terus-menerus di tempat bising berakibat kehilangan daya dengar menetap dan tidak pulih kembali. Lingkungan kerja industri, tingkat kebisingan biasanya tinggi sehingga harus ada batas waktu pajanan kebisingan. Batasan kebisinganyang diberikan oleh The Workplace and Safety (Noise) ComplianceStandar 1995, SL No 381 adalah 8 jam terus menerus pada level tekanansuara 85 dB (A), dengan refrensi 20 micropascal. (20)Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 51/Men/1999tentang kebisingan adalah sebagai berikut :
Kebisingan di tempat kerja dapat menimbulkan gangguan yangdapat dikelompokkan secara bertingkat sebagai berikut : a. Gangguan fisiologis Gangguan fisiologis adalah gangguan yang mula-mula timbulakibat bising, dengan kata lain fungsi pendengaran secara fisiologisdapat terganggu. Pembicaraan atau instruksi dalam pekerjaan tidakdapat didengar secara jelas, sehingga dapat menimbulkan gangguanlain seperti: kecelakaan. Pembicaraan terpaksa berteriak-teriaksehingga memerlukann tenaga ekstra dan juga menambahkebisingan. Di samping itu kebisingan dapat juga mengganggu“Cardiac Out Put” dan tekanan darah.Pada berbagai penyelidikan ditemukan bahwa pemaparanbunyi terutama yang
40
mendadak menimbulkan reaksi fisiologisseperti: denyut nadi, tekanan darah, metabolisme, gangguan tidurdan penyempitan pembuluh darah. Reaksi ini terutama terjadi padapermulaan pemaparan terhadap bunyi kemudian akan kembali padakeadaan semula. Bila terus menerus terpapar maka akan terjadiadaptasi sehingga perubahan itu tidak tampak lagi. Kebisingan dapatmenimbulkan gangguan fisiologis melalui tiga cara yaitu: 1). Sistem internal tubuh Sistem internal tubuh adalah sistem fisiologis yang penting untuk kehidupan. Sebenarnya proses adaptasi sendiri adalah indikasi dariperubahan fungsi tubuh karenanya tidak begitu disukai.Kebisingan yang tinggi juga dapat mengubah ketetapankoordinasi gerakan, memperpanjang waktu reaksi danmenaikkan respon waktu, semuanya ini dapat berkahir denganhuman error. b. Gangguaan psikologis Gangguan fisiologis lama kelamaan bisa menimbulkangangguan psikologis. Kebisingan dapat mempengaruhi stabilitasmental dan reaksi psikologis, seperti rasa khawatir, jengkel, takutdan sebagainya. Stabilitas mental adalah kemampuan seseorangnuntuk berfungsi atau bertindak normal. Suara yang tidak dikehendakimemang tidak menimbulkan mental illness akan tetapi dapatmemperberat problem mental dan perilaku yang sudah ada. c. Gangguan patologis organis Gangguan kebisingan yang paling menonjol adalahpengaruhnya terhadap alat pendengaran atau telinga, yang dapatmenimbulkan ketulian yang bersifat sementara hingga permanen.(1) Kelainan yang timbul pada telinga akibat bising terjadi tahap demi tahap sebagai berikut: 1). Stadium adaptasi Adaptasi merupakan suatu daya proteksi alamiah dan keadaanyang dapat pulih kembali, atau kata lain sifatnya reversible. 2). Stadium “temporary threshold shiff” Disebut juga “audtory fatigue” yang merupakan kehilanganpendengaran “reversible” sesudah 48 jam terhindar dari bisingitu. Batas waktu yang diperlukan untuk pulih kembali sesudahterpapar bising adalah 16 jam. Bila pada waktu bekerjakeesokan hari pendengaran hanya sebagian yang pulih makaakan terjadi “permanent hearing lose”. 3). Stadium “persistem trehold shiff”
41
Dalam stadium ini ambang pendengaran meninggi lebih lama,sekurang-kurangnya 48 jam setelah meninggalkan lingkunganbising, pendengaran masih terganggu. 4). Stadium “permanent trehold shiff” Pada stadium ini meningginya ambang pendengaran menetapsifatnya, gangguan ini banyak ditemukan dan tidak dapatdisembuhkan. Tuli akibat bising ini merupakan tuli persepsiyang kerusakannya terdapat dalam cochlea berupa rusaknyasyaraf pendengaran. Proses terjadinya gangguan pendengaran terjadi secaraberangsur-angsur, yaitu mulamula tidak terasa adanya gangguanpendengaran, baru setelah penderita sadar bahwa ia memerlukansuara-suara keras untuk sanggup mendengarkan suatu percakapandiketahui adanya gangguan pendengaran. Pergeseran ambangpendengaran nampak dalam tahun-tahun pertama terpaparkebisingan. Orang yang belum pernah berada dalam kebisinganbiasanya menunjukkan perbaikan yang bagus setelah dipindakan darikebisingan, sedangkan orang yang sudah bertahuntahun terkenabising dan tuli agak berat sekali kemungkinan untuk pulih. d. Komunikasi Kebisingan dapat menganggu pembicaraan. Paling pentingdisini bahwa kebisingan menganggu kita dalam menangkap danmengerti apa yang di bicarakan oleh orang lain, apakah itu berupa: 1). Percakapan langsung (face to face). 2). Percakapan telepon. 3). Melalui alat komunikasi lain, misalnya radio, televisi danpidato. Tempat dimana komunikasi tidak boleh terganggu olehsuara bising adalah sekolah, area latihan dan test, teater, pusatkomunikasi militer, kantor, tempat ibadah, perpustakaan,rumah sakit dan laboratorium. Banyaknya suara yang bisadimengerti tergantung dari faktor seperti : level suarapembicaraan, jarak pembicaraan dengan pendengaran,bahasa/kata yang dimengerti, suara lingkungan danfaktor-faktor lain.
42
3.9. Cahaya Cahaya merupakan satu bagian berbagai jenis gelombang elektromagnetis yang terbang ke angkasa dimana gelombang tersebut memiliki panjang dan frekuensi tertentu yang nilainya dapat dibedakan dari energy cahaya lainnya dalam spectrum elektromagnetisnya (Suhadri, 2008). Menurut Kepmenkes no. 1405 tahun 2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri, pencahayaan adalah jumlah penyinaran pada suatu bidang kerja yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan secara efektif. 3.9.1
Sistem Pencahayaan
Menurut Prabu dalam Firmansyah (2010), ada 5 sistem pencahayaan di ruangan, yaitu: 1.
Sistem pencahayaan langsung (direct lighting)
Pada sistem ini 90%-100% cahaya diarahkan secara langsung ke benda yang perlu diterangi.Sistem ini dinilai paling efektif dalam mengatur pencahayaan, tetapi ada kelemahannya karena dapat menimbulkan bahaya serta kesilauan yang mengganggu, baik karena penyinaran langsung maupun karena pantulan cahaya.Untuk efek yang optimal, disarankan langi-langit, dinding serta benda yang ada di dalam ruangan perlu diberi warna cerah agar tampak menyegarkan. 2.
Pencahayaan semi langsung (semi direct lighting)
Pada sistem ini 60%-90% cahaya diarahkan langsung pada benda yang perlu diterangi, sedangkan sisanya dipantulkan ke langit-langit dan dinding.Dengan sistem ini kelemahan sistem pencahayaan langsung dapat dikurangi.Diketahui bahwa langit-langit dan dinding yang diplester putih memiliki pemantulan 90%, apabila dicat putih pemantulan antara 5%-90%. 3.
Sistem pencahayaan difus (general diffuse lighting)
Pada sistem ini setengah cahaya 40%-60% diarahkan pada benda yang perlu disinari, sedangkan sisanya dipantulkan ke langit-langit dan dinding.Dalam pencahayaan sistem ini termasuk sistem direct-indirect yakni memancarkan setengah cahaya ke bawah dan sisanya keatas.Pada sistem ini masalah bayangan dan kesilauan masih ditemui. 4.
Sistem pencahayaan semi tidak langsung (semi indirect lighting)
Pada sistem ini 60%-90% cahaya diarahkan ke langit-langit dan dinding bagian atas, sedangkan sisanya diarahkan ke bagian bawah.Untuk hasil yang optimal disarankan langit-langit perlu diberikan perhatian serta dirawat dengan baik.Pada sistem ini masalah bayangan praktis tidak ada serta kesilauan dapat dikurangi.
43
5.
Sistem pencahayaan tidak langsung (indirect lighting)
Pada sistem ini 90%-100% cahaya diarahkan ke langit-langit dan dinding bagian atas kemudian dipantulkan untuk menerangi seluruh ruangan.Agar seluruh langit-langit dapat menjadi sumber cahaya, perlu diberikan perhatian dan pemeliharaan yang baik. Keuntungan sistem ini adalah tidak menimbulkan bayangan dan kesilauan sedangkan kerugiannya mengurangi effisien cahaya total yang jatuh pada permukaan kerja. 3.9.2
Jenis-Jenis Sistem Pencahayaan
Beberapa jenis dan komponen sistem pencahayaan adalah (Suhadri, 2008): 1.
Lampu pijar (GLS)
Lampu pijar bertindak sebagai badan abu-abu yang secara selektif memancarkan radiasi, dan hampir seluruhnya terjadi pada daerah nampak. Bola lampu terdiri dari hampa udara atau berisi gas, yang dapat menghentikan oksidasi dari kawat pijar tungsten, namun tidak akan menghentikan penguapan. Warna gelap bola lampu dikarenakan tungsten yang teruapkan mengembun pada permukaan lampu yang relatif dingin. Dengan adanya gas inert, akan menekan terjadinya penguapan, dan semakin besar berat molekulnya akan makin mudah menekan terjadinya penguapan. Untuk lampu biasa dengan harga yang murah, digunakan campuran argon nitrogen dengan perbandingan 9/1.Kripton atau Xenon hanya digunakan dalam penerapan khusus seperti lampu sepeda dimana bola lampunya berukuran kecil, untuk mengimbangi kenaikan harga, dan jika penampilan merupakan hal yang penting.Gas yang terdapat dalam bola pijar dapat menyalurkan panas dari kawat pijar, sehingga daya hantar yang rendah menjadi penting.Lampu yang berisi gas biasanya memadukan sekering dalam kawat timah.Gangguan kecil dapat menyebabkan pemutusan arus listrik, yang dapat menarik arus yang sangat tinggi.Jika patahnya kawat pijar merupakan akhir dari umur lampu, tetapi untuk kerusakan sekering tidak begitu halnya. Ciri-cirinya adalah: a.
Efficacy 12 lumens/watt
b.
indeks perubahan warna – 1 A
c.
Suhu warna hangat (2500K – 2700K)
d.
Umut lampu – 2000 jam
2.
Lampu tungsten – halogen
Lampu halogen adalah sejenis lampu pijar.Lampu ini memiliki kawat pijar tungsten seperti lampu pijar biasa yang digunakan di rumah, tetapi bola lampunya diisi dengan gas halogen.Atom tungsten menguap dari kawat pijar panas dan bergerak naik ke dinding pendingin bola
44
lampu.Atom tungsten, oksigen dan halogen bergabung pada dinding bola lampu membentuk molekul oksihalida tungsten.Suhu dinding bola lampu menjaga molekul oksihalida tungsten dalam keadaan uap.Molekul bergerak kearah kawat pijar panas dimana suhu tinggi memecahnya menjadi terpisah-pisah. Atom tungsten disimpan kembali pada daerah pendinginan dari kawat pijar – bukan ditempat yang sama dimana atom diuapkan. Pemecahan biasanya terjadi dekat sambungan antara kawat pijar tungsten dan kawat timah molibdenum dimana suhu turun secara tajam. Ciri-cirinya adalah : a.
Efficacy 18 lumesn/watt
b.
Indeks perubahan warna – 1 A
c.
Suhu warna hangat (3000K – 3200K)
d.
Umur lampu – 4000 jam
Kelebihan dari lampu ini adalah: a.
Lebih kompak
b.
Umur lebih panjang
c.
Lebih banyak cahaya
d.
Cahaya lebih putih (suhu warna lebih tinggi)
Kekurangan dari lampu ini adalah: a.
Lebih mahal
b.
IR meningkat
c.
UV meningkat
d.
Masalah handling
3.
Lampu neon
Lampu neon, 3 hingga 5 kali lebih efisien daripada lampu pijar standar dan dapat bertahan 10 hingga 20 kali lebih awet. Dengan melewatkan listrik melalui uap gas atau logam akanmenyebabkan radiasi elektromagnetik pada panjang gelombang tertentu sesuai dengan komposisi kimia dan tekanan gasnya. Tabung neon memiliki uap merkuri bertekanan rendah, dan akan memancarkan sejumlah kecil radiasi biru/ hijau, namun kebanyakan akan berupa UV pada 253,7nm dan 185nm.
45
Bagian dalam dinding kaca memiliki pelapis tipis fospor, hal ini dipilih untuk menyerap radiasi UV dan meneruskannya ke daerah nampak.Proses ini memiliki efisiensi sekitar 50%.Tabung neon merupakan lampu ‘katode panas’, sebab katode dipanaskan sebagai bagian dari proses awal.Katodenya berupa kawat pijar tungsten dengan sebuah lapisan barium karbonat. Jika dipanaskan, lapisan ini akan mengeluarkan electron tambahan untuk membantu pelepasan. Lapisan ini tidak boleh diberi pemanasan berlebih sebab umur lampu akan berkurang. Lampu menggunakan kaca soda kapur yang merupakan pemancar UV yang buruk. Jumlah merkurinya sangat kecil, biasanya 12 mg. Lampu yang terbaru menggunakan amalgam merkuri, yang kandungannya sekitar 5 mg. Hal ini menyebabkan tekanan merkuri optimum berada pada kisaran suhu yang lebih luas. Lampu ini sangat berguna bagi pencahayaan luar ruangan karena memiliki fitting yang kompak. 3.9.3
Komponen Pencahayaan
Elemen yang paling penting dalam perlengkapan cahaya, selain dari lampu, adalah reflector.Reflektor berdampak pada banyaknya cahaya lampu mencapai area yang diterangi dan juga pola distribusi cahayanya.Reflektor biasanya menyebar (dilapisi cat atau bubuk putih sebagai penutup) atau specular (dilapis atau seperti kaca).Tingkat pemantulan bahan reflector dan bentuk reflektor berpengaruh langsung terhadap efektifitas dan efisiensi fitting.Tabel berikut menggambarkan reflektan sebagai persentase cahaya. Tabel Reflektan sebagai Persentase Cahaya (Sumber : Suhadri, 2008) Bahan Warna
Reflektan (%)
Putih
100
Aluminium, kertas putih
80 - 85
Warna gading, kuning lemon, kuning dalam, hijau muda, biru pastel, pink, pale, krim
60 – 65
Hijau lime, abu-abu plae, pink, orange dalam, bluegrey
30 – 35
Biru langit, kayu pale
40 – 45
Pale oakwood, semen kering
30 – 35
Merah dalam, hijau rumput, kayu, hijau daun, coklat
20 – 25
46
Biru gelap, merah purple, coklat tua
10 – 15
Hitam
0
3. 9.4 Dampak Penerangan Penerangan yang baik adalah penerangan yang memungkinkan seorang tenaga kerja melihat pekerjaaannya dengan teliti, cepat dan tanpa upaya yang tidak perlu serta membantu menciptakan lingkungan kerja yang nikmat dan menyenangkan. Sifat dari penerangan yang baik ditentukan oleh: •
Pembagian luminensi dalam lapangan penglihatan
•
Pencegahan kesilauan
•
Arah sinar
•
Warna
•
Panas penerangan terhadap lingkungan
Penerangan yang tidak didesain dengan baik akan menimbulkan gangguan atau kelelahan penglihatan selama kerja. Pengaruh dan penerangan yang kurang memenuhi syarat akan mengakibatkan (Suhadri, 2008): 1.
Kelelahan mata sehingga berkurangnya daya dan effisiensi kerja.
2.
Kelelahan mental.
3.
Keluhan pegal di daerah mata dan sakit kepala di sekitar mata.
4.
Kerusakan indra mata dan lain-lain.
Selanjutnya pengaruh kelelahan pada mata tersebut akan bermuara kepada penurunan performansi kerja, termasuk (Suhadri, 2008): 1.
Kehilangan produktivitas
2.
Kualitas kerja rendah
3.
Banyak terjadi kesalahan
47
4.
3.9.5
Kecelakan kerja meningkat
Merancang Sistem Pencahayaan
Menurut Suhadri (2008), setiap pekerjaan memerlukan tingkat pencahayaan pada permukaannya. Pencahayaan yang baik menjadi penting untuk menampilkan tugas yang bersifat visual. Pencahayaan yang lebih baik akan membuat orang bekerja lebih produktif. Membaca buku dapat dilakukan dengan 100 sampai 200 lux.Hal ini merupakan pertanyaan awal perancang sebelum memilih tingkat pencahayaan yang benar.CIE (Commission International de l’Eclairage) dan IES (Illuminating Engineers Society) telah menerbitkan tingkat pencahayaan yang direkomendasikan untuk berbagai pekerjaan.Nilai nilai yang direkomendasikan tersebut telah dipakai sebagai standar nasional dan internasional bagi perancangan pencahayaan.Pertanyaan kedua adalah mengenai kualitas cahaya.Dalam kebanyakan konteks, kualitas dibaca sebagai perubahan warna.Tergantung pada jenis tugasnya, berbagai sumber cahaya dapat dipilih berdasarkan indeks perubahan warna. Tabel 2.4 Area Kegiatan dan Tingkat Penerangan
48
Tingkat Penerangan (Lux) Pencahayaan umum untuk ruangan dan area yang jarang digunakan dan/atau tugas-tugas atau visual sederhana
Pencahayaan untuk interior
umum
Area Kegiatan
20
Layanan penerangan yang minimum dalam area sirkulasi luar ruangan, pertokoan di daerah terbuka, halaman tempat penyimpanan
50
Tempat pejalan kaki dan panggung
70
Ruang boiler
100
Halaman trafo, ruangan tungku
150
Area sirkulasi di industri, pertokoan dan ruang penyimpan
200
Layanan penerangan yang minimum tugas
300
Meja dan mesin kerja ukuran sedang, proses umum dalam industri kimia dan makanan, kegiatan membaca dan membuat arsip
450
Gantungan baju, pemeriksaan, kantor untuk menggambar, perakitan mesin dan bagian yang halus, pekerjaan warna, tugas menggambar kritis
Tabel 2.5 Area Kegiatan dan Tingkat Penerangan (Lanjutan) Tingkat Penerangan (Lux) Pencahayaan tambahan setempat untuk tugas visual yang tepat
Area Kegiatan
1500
Pekerjaan mesin dan di aras meja yang sangat halus, perakitan mesin presisi kecil dan instrumen, komponen elektronik, pengukuran dan pemeriksaan. Bagian kecil yang rumit (sebagian mungkin diberikan oleh tugas pencahayaan setempat)
3000
Pekerjaan berpresisi dan rinci sekali, misal instrumen yang sangat kecil, pembuatan jam tangan, pengukiran
49
(Sumber : Suhadri, 2008) Sedangkan menurut PMP no. 7 tahun 1964, tingkat penerangan atau NAB (Nilai Ambang Batas) di tempat kerja tercantum dalam tabel 2.4 Tabel 2.6 Tingkat Penerangan atau NAB (Nilai Ambang Batas) di Masing-Masing Area Kerja
Area Kegiatan
Tingkat Penerangan Minimal (Lux)
Penerangan darurat
5 lux
Penerangan untuk halaman dan jalan dalam lingkungan perusahaan
20 lux
Pekerjaan yang membedakan barang kasar, seperti:
50 lux
1.
Mengerjakan bahan-bahan kasar
2.
Mengerjakan arang atau abu
3.
Mengerjakan barang-barang yang besar
4.
Mengerjakan bahan tanah atau batu
5.
Gang-gang, tangga di dalam gedung yang selalu dipakai
6.
Gudang-gudang untuk menyimpan barang-barang besar dan kasar
Pekerjaan yang membedakan barang-barang kecil secara sepintas, seperti: 1.
Mengerjakan barang-barang besi dan baja yang setengah selesai
2.
Pemasangan yang kasar
3.
Penggilingan padi
4.
Pengupasan/pengambilan dan penyisihan bahan kapas
5.
Mengerjakan bahan-bahan pertanian
6.
Kamar mesin dan uap
7.
Alat pengangkut orang dan barang
100 lux
50
8.
Ruang-ruang penerimaan dan pengiriman dengan kapal
9.
Tempat menyimpan barang-barang sedang dan kecil
10. Kakus, tempat mandi dan tempat kencing
Tabel 2.6 Tingkat Penerangan atau NAB (Nilai Ambang Batas) di Masing-Masing Area Kerja (lanjutan)
Area Kegiatan
Tingkat Penerangan Minimal (Lux)
Pekerjaan membeda-bedakan barang-barang kecil agak teliti, seperti:
200 lux
1.
Pemasangan alat-alat yang sedang (tidak kasar)
2.
Pekerjaan mesin dan bubut yang kasar
3.
Pemeriksaan atau percobaan kasar terhadap barang-barang
4.
Menjahit tekstil atau kulit yang berwarna muda
5.
Pemasukan dan pengawetan bahan-bahan makanan dalam kaleng
6.
Pembungkusan daging
7.
Mengerjakan kayu
8.
Melapis perabot
Pekerjaan perbedaan yang teliti daripada barang-barang kecil, seperti: 1.
Pekerjaan mesin yang teliti
2.
Pemeriksaan yang teliti
3.
Percobaan-percobaan yang teliti dan halus
300 lux
51
4.
Pembuatan tepung
5. Penyelesaian kulit dan penenunan bahan-bahan katun atau wol berwarna muda 6. Pekerjaan kantor yang berganti-ganti menulis dan membaca, pekerjaan arsip dan seleksi surat-surat Pekerjaan membeda-bedakan barang-barang halus dengan kontras sedang dan dalam waktu yang lama, seperti: 1.
Pemasangan yang halus
2.
Pekerjaan-pekerjaan mesin yang halus
3.
Pemeriksaan yang halus
4.
Penyemiran yang halus dan pemotongan gelas kaca
5.
Pekerjaan kayu yang halus (ukir-ukiran)
6.
Penjahit bahan-bahan wol yang berwarna tua
500-1000 lux
7. Akuntan, pemegang buku, pekerjaan steno, mengetik atau pekerjaan kantor yang lama dan teliti Pekerjaan yang membedakan barang-barang yang sangat halus dengan kontras yang sangat kurang untuk waktu yang lama, seperti: 1.
Pemasangan ekstra halus (arloji, dll)
2.
Pemeriksaan yang ekstra halus (ampul obat)
3.
Percobaan alat-alat yang ekstra halus
4.
Tukang mas dan intan
5.
Penilaian dan penyisihan hasil-hasil tembakan
6.
Penyusunan huruf dan pemeriksaan copy dalam percetakan
7.
Pemeriksaan dan penjahitan bahan pakaian berwarna tua
Paling sedikit 1000 lux
Nilai pantulan (Reflektan) yang dianjurkan menurut Suma’mur dalam Firmansyah (2010) dapat dilihat pada tabel: 52
Tabel 2.7 Nilai Pantulan (Reflektan) (Sumber : Suma’mur dalam Firmansyah, 2010) N Jenis Permukaan o
Reflektan (%)
1
Langit-langit
80 -90
2
Dinding
40 – 60
3
Perkakas (mebel)
25 – 45
4
Mesin dan perlengkapannya
30 – 50
5
Lantai
20 – 40
3.9.6 Pendekatan Aplikasi Penerangan di Tempat Kerja Menurut Suhadri (2008), aplikasi penerangan di tempat kerja, secara umum dapat dilakukan melalui 4 (empat) pendekatan, yaitu: 1.
Desain tempat kerja untuk menghindari masalah penerangan.
Kebutuhan intensitas penerangan bagi pekerja harus selalu dipertimbangkan pada waktu mendesain bangunan, pemasangan mesin-mesin, alat dan sarana kerja. Desain instalasi penerangan harus mampu mengontrol cahaya kesilauan, pantulan dan bayang-bayang serta untuk tujuan kesehatan dan keselamatan kerja 2.
Identifikasi dan penilaian problem dan kesulitan penerangan.
Agar masalah penerangan yang muncul dapat ditangani dengan baik, faktor-faktor yang harus diperhitungkan adalah: sumber penerangan, pekerja dalam melakukan pekerjaannya, jenis pekerjaan yang dilakukan dan lingkungan kerja secara keseluruhan. 3.
Penggunaan pencahayaan alami siang hari
Manfaat dari pemakaian cahaya alami pada siang hari sudah dikenal dari pada cahaya listrik, namun cenderung terjadi peningkatan pengabaian terutama pada ruang kantor modern yang berpenyejuk dan perusahaan komersial seperti hotel, plaza perbelanjaan dan sebagainya.
53
Sebuah rancangan yang bagus yang memadukan kaca atap dengan bahan FRP bersamaan dengan langit-langit transparan dan tembus cahaya dapat memberikan pencahayaan bagus bebas silau; langit-langit juga akan memotong panas yang datang dari cahaya alami. Pemakaian atrium dengan kubah FRP pada arsitektur dasar dapat menghilangkan penggunaan cahaya listrik pada lintasan gedung-gedung tinggi. Cahaya alam dari jendela harus juga digunakan.Walau begitu, hal ini harus dirancang dengan baik untuk menghindari silau.Rak cahaya dapat digunakan untuk memberikan cahaya alami tanpa silau. Menurut Kepmenkes no. 1405 tahun 2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri, agar pencahayaan memenuhi persyaratan kesehatan, perlu dilakukan tindakan sebagai berikut: 1. Pencahayaan alam maupun buatan diupayakan agar tidak menimbulkan kesilauan dan memiliki intensitas sesuai dengan peruntukannya. 2.
Kontras sesuai dengan kebutuhan, hindarkan terjadinya kesilauan atau bayangan.
3. Untuk ruang kerja yang menggunakan peralatan berputar dianjurkan untuk tidak menggunakan lampu neon. 4. Penempatan bola lampu dapat menghasilkan penyinaran yang optimum dan bola lampu sering dibersihkan. 5. 3.9.7
Bola lampu yang mulai tidak berfungsi dengan baik segera diganti. Pengukuran Intensitas Cahaya di Dalam Ruang Kerja
Menurut SNI 16-7062-2004 tentang Pengukuran Intensitas Penerangan di Tempat Kerja, pengukuran intensitas penerangan di tempat kerja menggunakan alat luxmeter.Alat ini mengubah energi cahaya menjadi energi listrik, kemudian energi listrik dalam bentuk arus digunakan untuk menggerakkan jarum skala.Untuk alat digital, energy listrik diubah menjadi angka yang dapat dibaca pada layar monitor. Prosedur kerja pengukuran intensitas cahaya dalam ruang kerja menurut SNI 16-7062-2004 tentang Pengukuran Intensitas Penerangan di Tempat Kerja adalah sebagai berikut: 1.
Luxmeter dikalibrasi oleh laboratorium yang terakreditasi
2.
Menentukan titik pengukuran, penerangan setempat atau penerangan umum
Penerangan setempat adalah penerangan yang mengenai obyek kerja, berupa meja kerja maupun peralatan.Bila meja kerja yang digunakan oleh pekerja, maka pengukuran dapat dilakukan di atas meja yang ada. Denah pengukuran intensitas penerangan setempat seperti berikut: 54
Penerangan umum adalah titik potong garis horizontal panjang dan lebar ruangan pada setiap jarak tertentu setinggi satu meter dari lantai. Jarak tertentu tersebut dibedakan luas ruangan sebagai berikut: a. Luas ruangan kurang dari 10 meter persegi: titik potong garis horizontal panjang dan lebar ruangan adalah pada jarak setiap 1(satu) meter. b. Luas ruangan antara 10 meter persegi sampai 100 meter persegi: titik potong garis horizontal panjang dan lebar ruangan adalah pada jarak setiap 3 (tiga) meter. c. Luas ruangan lebih dari 100 meter persegi: titik potong horizontal panjang dan lebar ruangan adalah pada jarak 6 meter. (selengkapnya bisa dilihat di SNI 16-7062-2004 tentang Pengukuran Intensitas Penerangan di Tempat Kerja) 3.
Syarat-syarat dalam pengukuran:
a.
Pintu ruangan dalam keadaan sesuai dengan kondisi tempat pekerjaan dilakukan
b.
Lampu ruangan dalam keadaan dinyalakan sesuai dengan kondisi pekerjaan.
4.
Penggunaan luxmeter:
a.
Hidupkan luxmeteryang telah dikalibrasi dengan membuka penutup sensor
b. Bawa alat ke tempat titik pengukuran yang telah ditentukan, baik pengukuran untuk intensitas penerangan setempat atau umum.
55
c. Baca hasil pengukuran pada layar monitor setelah menunggu beberapa saat sehingga didapat nilai angka yang stabil. d.
Catat hasil pengukuran pada lembar hasil pencatatan untuk intensitas penerangan setempat
BAB IV PEMBAHASAN Penyakit yang diderita karyawan dalam hubungan dengan kerja dipengaruhi oleh beberapa factor resiko, meliputi kondisi tempat kerja, peralatan kerja, material yang dipakai, proses produksi, cara kerja,limbah perusahaan dan hasil produksi. Ratusan juta tenaga kerja di
56
seluruh dunia bila bekerja pada kondisi yang tidak nyaman dapat mengakibatkan gangguan kesehatan. Menurut International Labor Organization (ILO) setiap tahun terjadi 1,1 juta kematian yang disebabkan oleh penyakit atau yang disebabkan oleh pekerjaan. Sekitar 300.000 kematian terjadi dari 250 juta kecelakaan dan sisanya adalah kematian karena penyakit akibat kerja dimana diperkirakan terjadi 160 juta penyakit akibat hubungan pekerjaan baru setiap tahunnya Dari 11 (sebelas) proses pengerjaan industri di PT.BBI, keseluruhannya terpapar dengan hazard cahaya, dimana 10 diantaranya terpapar dengan hazard debu dan 1 bagian lainnya terpapar dengan hazard bising diatas NAB.
4.1 Bahaya Potensial Debu Paparan hazard debu yang berlangsung lama secara terus menerus terhadap para pekerja diindustri garment ini dapat memicu gangguan kesehatan yang dapat menyebabkan penurunan kinerja produktifitas perusahaan. Paparan debu 5-10 mikron akan tertahan oleh saluran pernafasan bagian atas, 3-5 mikron akan tertahan oleh saluran pernafasan bagian tengah, 1-3 mikron sampai dipermukaan alveoli, 0,5-0,1 mikron hinggap dipermukaan alveoli/selaput lendir sehingga menyebabkan vibrosis paru, 0,1-0,5 mikron melayang dipermukaan alveoli. Depkes mengisaratkan bahwa ukuran debu yang membahayakan berkisar 0,1 sampai 10 mikron. Debu yang ditemukan bisa berasal dari serat-serat kain pada saat proses produksi. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya data dipoliklinik perusahaan dilantai 2 yang menunjukkan bahwa angka kunjungan tertinggi pada februari 2013 adalah ispa 51 orang dan diikuti oleh sakit kepala dan alergi masing-masing 26 orang. Sebagai langkah pengendalian pihak perusahaan telah menerapkan : a) Eliminasi Dengan pemakaian sistem ventilasi silang. Untuk lantai 1 ventilasi masih kurang dari 15% luas lantai, sedangkan untuk lantai 2 ventilasi lebih dari 15% luas lantai. (hal ini sesuai dengan Keputusan Menkes RI No.1405/Menkes/SK/XI/2002 tentang persyaratan kesehatan lingkungan kerjaperkantoran dan industri, syarat untuk ruangan kerja yang tidak ber AC harus memiliki lubang ventilasi minimal 15% dari luas lantai. Didalam pabrik PT.BBI dilantai 1 telah terpasang exhause fan sebanyak 3 buah dengan blower 1 buah (tidak hidup) dan kipas angin kecil 2 buah. Sedangkan untuk lantai 2 exhause fan
57
sebanyak 6 buah, blower 2 dan kipas angin kecil 7 buah. Hal ini masih dirasa kurang oleh karena pencahayaan dari lampu yang banyak dan kurangnya lubang angin serta banyaknya tenaga kerja dilantai tersebut. b) Isolasi Pembersihan ruangan oleh cleaning servis rutin setiap hari. c) Alat Pelindung Diri Perusahaan menganjurkan dan menyediakan masker untuk para karyawan, tetapi masih ditemukan karyawan yang tidak memakai masker pada saat bekerja, dengan alasan diantaranya tidak nyaman dengan pemakaian masker. d) Administrative Adanya tanda untuk menghindari daerah yang terdapat hazard tanpa alat pelindung diri dan adanya prosedur cara pemakaian alat pelindung diri yang dibutuhkan untuk area tersebut mutlak harus dimiliki oleh perusahaan. Untuk hal ini PT. BBI telah membuat tanda bahaya dan tata cara mengenakan alat pelindung diri tetapi tetap ada pekerja yang tidak mematuhi peraturan tersebut. d.2. BAHAYA POTENSIAL BISING Efek pemaparan bising terhadap tenaga kerja, meliputi ; (i) Kebisingan dapat mengganggu konsentrasi dimana pada suatu lokasi kerja konsentrasi ini diutamakan terutama untuk pekerjaan pekerjaan yang memerlukan banyak berpikir, berperan meningkatkan kelelahan (ii)Berbicara di dalam suasana bising akan memerlukan energi yang lebih banyak karena harus berteriak – teriak, (ii) Salah memahami perkataan, perintah, atau peringatan keamanan yang penting menyangkut pekerjaan, sehingga akibatnya akan terjadi kecelakaan, juga dapat terjadi gangguan pendengaran, gangguan psikologis, cepat marah,mudah tersinggung, perut mual, kepala pusing, susah tidur, gangguan tubuh lainya:konsentrasi pembuluh darah, perifer, tungkai bawah, penigkatan kadar adrenalin darah, ketegangan otot daerah paha, peningkatan peristaltik lambung dan usus. Di pabrik ditemukan nilai bising 99,9 dB di bagian mesin pound yang merupakan nilai yang jauh diatas NAB. Pada bagian ini tidak ditemukan APD berupa ear muff untuk pekerja. Sedangkan dibagian lain untuk mengurangi efek kebisingan, perusahaan 58
menyediakan alat pelindung diri berupa ear muff untuk yang bekerja di mesin kebut, sedangkan di bagian-bagian yang lain tidak ditemukan. Hal ini seharusnya menjadi pertimbangan perusahaan bahwa bagian dengan nilai bising tertinggi seharusnya mendapat ear muff sebagai APD namun kenyataannya tidak demikian.
d.3. BAHAYA POTENSIAL CAHAYA Penerangan yang baik adalah penerangan yang memungkinkan seorang tenaga kerja melihat pekerjaaannya dengan teliti, cepat dan tanpa upaya yang tidak perlu serta membantu menciptakan lingkungan kerja yang nikmat dan menyenangkan . Penerangan yang tidak didesain dengan baik akan menimbulkan gangguan atau kelelahan penglihatan selama kerja. Pengaruh dan penerangan yang kurang memenuhi syarat akan mengakibatkan kelelahan mata sehingga berkurangnya daya dan effisiensi kerja, kelelahan mental, keluhan pegal di daerah mata dan sakit kepala di sekitar mata, kerusakan indra mata dan lain-lain. Selanjutnya pengaruh kelelahan pada mata tersebut akan bermuara kepada penurunan performansi kerja, termasuk kehilangan produktivitas, kualitas kerja rendah, banyak terjadi kesalahan dan kecelakan kerja meningkat Di PT. BBI pencahayaan yang didapat dari hasil pengukuran dengan alat lux meter menunjukkan ratarata angka lux meter dibawah 100, sebagai nilai yang dianjurkan dalam Kepmenaker No. 15/Men/1999. Oleh karena itu perusahaan menambahkan alat penerangan tambahan dibeberapa bagian produksi yang membutuhkan ketelitian tertentu dalam proses pengerjaannya. d.4. PELAYANAN KESEHATAN
Untuk pelayanan kesehatan tenaga kerja, PT.BBI mempunyai sebuah poliklinik dilantai dua pabrik yang dijaga oleh satu orang perawat. Perawat ini bertugas setiap hari kerja tanpa shift/giliran dari pukul 07.30 s/d 16.30 WIB. Jika lembur diperpanjang sampai pukul 19.30 WIB. Perawat ini bertugas untuk menangani masalah P3K dan masalah kesehatan yang ringan. Jika masalah kesehatan yang dihadapi memerlukan penanganan lebih lanjut maka akan dirujuk ke RS. Mediros dan RS. St. Carolus yang bekerja sama dengan perusahaan. Perusahaan juga menerima reimburstment jika karyawan berobat ke RS lain yang tidak bekerja sama dengan perusahaan.
59
Sebaiknya, untuk perusahaan yang memiliki jumlah karyawan yang lebih dari 500 orang minimal harus mempunyai 1 orang dokter perusahaan yang selalu ada setiap hari. Dokter perusahan tersebut dibantu oleh sedikitnya 2 perawat yang ahrus ada setiap hari dan mempunyai kader-kader kesehatan yang sudah terlatih di setiap bagian produksi. Perusahaan juga mengadakan medical check up untuk karyawan 2 kali dalam setahun bergiliran. Hal ini tidak sesuai dengan undang-undang Permenakertrans no. 02/1980 tentang pemeriksaan kesehatan tenaga kerja. Perusahaan hanya menyediakan Jamsostek berupa jaminan masa tua. Padahal menurut undang-undang seharusnya pekerja ditanggung untuk jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dan jaminan kematian.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1.
KESIMPULAN
60
Berdasarkan hasil kunjungan lapangan kelompok kami di PT. Bina Busana Internusa (BBI) pada tanggal 25 maret 2013 ditemukan beberapa hal yang belum sesuai dengan ketentuan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja. Evaluasi faktor fisik dimulai dari bahaya paparan debu. Ditinjau dari alur produksi pada PT. BBI, risiko tinggi bahaya paparan debu tertinggi terdapat pada proses cutting bahan, interlining, dan finishing. Menurut penilaian kami usaha pencegahan yang dilakukan belum optimal , karena penggunaan APD yang tidak semestinya. Para pekerja seringkali tidak menggunakan APD yang telah disediakan oleh perusahaan atau tidak menggunakan dengan benar. Faktor paparan bising terbanyak ditemukan pada proses produksi interlining yang melibatkan mesin pound. Efek paparan bising yang ditimbulkan oleh mesin pound tersebut belum mendapat perhatian dari pihak manajemen. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya APD pada pekerja di posisi ini. Selanjutnya sebagai evaluasi faktor paparan cahaya, ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian.
Pada sebagian besar proses produksi, ditemukan
pencahayaan yang kurang. Hal ini dapat menjadi risiko bagi pekerja tersebut. Sistem pelayanan kesehatan yang diberikan kepada karyawan kurang memadai. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya dokter di perusahaan tersebut. 5.2.
SARAN 1. Edukasi dan motivasi karyawan mengenai pentingnya penggunaan APD dengan benar. 2. Penambahan sumber cahaya terutama pada aktivitas yang memerlukan ketelitian tinggi. 3. Penambahan ear muff pada posisi interlining yang menggunakan mesin pound 4. Pemberlakukan sistem rotasi pekerja dalam 8 jam kerja untuk mencegah kejenuhan. 5. Pengadaan dokter perusahaan tetap.
61
DAFTAR PUSTAKA Kamal K. Penerapan Kesehatan Kerja Praktis Bagi Dokter dan Manajemen Perusahaan. Program Studi Magister Kedokteran Kerja Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia, Jakarta; Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
62
Sumamur. Higiene perusahaan dan kesehatan kerja. Edisi ke-1. Jakarta; Gunung Agung, 1980. Fahmi U. Health Safety and Environment. Jakarta; Bina Diknakes, September 1997. Jain, R.K., et al, Environmental Impact Analysis, 2 New York, 1981
nd
Edition, Van Reinhold Co,
Firmansyah, F., 2010.Pengaruh Intensitas Penerangan Terhadap Kelelahan Mata Pada Tenaga Kerja di Bagian Pengepakan PT. Ikapharmindo Putramas Jakarta Timur.Skripsi : Universitas Sebelas Maret Peraturan Menteri Perburuhan no. 7 Tahun 1964 tentang Syarat Kesehatan, Kebersihan Serta Penerangan Dalam Tempat Kerja Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1405/MENKES/SK/XI/2002 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri SNI 16-7062-2004 tentang Pengukuran Intensitas Penerangan di Tempat Kerja Soeripto, 2008.Higiene Industri.Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Suhadri, B, 2008. Perancangan Sistem Kerja dan Ergonomi Industri.Jakarta : Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
63