BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Kesehatan No 23 tahun 1992 disebutkan bahwa Kesehatan adalah keadaan sejahtera badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Oleh karena itu kesehatan menyangkut 4 aspek yang penting yaitu fisik (badan), mental (jiwa), sosial dan ekonomi. Keempat aspek tersebut dalam perwujudannya saling mempengaruhi dalam pencapaian tingkat kesehatan seseorang, kelompok, atau masyarakat (Yuniastuti, 2008). Aspek kesehatan fisik merupakan salah satu faktor penting dalam mencapai kesehatan yang menyeluruh. Wujud kesehatan fisik adalah seseorang tidak menderita sakit. Kesehatan fisik bisa dicapai dengan mengkonsumsi makanan yang sesuai dengan kebutuhan gizi yang pada akhirnya tubuh akan terpelihara dan akan ada perbaikan sel-sel tubuh secara berkelanjutan serta mengoptimalkan proses pertumbuhan dan perkembangan (Almatsier, 2004 dan Yuniastuti, 2008 ). Upaya agar kebutuhan zat gizi seseorang dapat diperoleh secara optimal adalah dengan diadakannya penyelenggaraan makanan yang dikelola dengan menerapkan disiplin – disiplin ilmu seperti ilmu gizi, manajemen, dietetika serta dilakukan dengan menerapkan prinsip efisiensi dan efektivitas karena tujuan dari penyelenggaraan makanan adalah menghasilkan makanan yang berkualitas baik dan sesuai dengan kebutuhan ( Mukrie, 1990 dan Khan, 1987). Agar makanan yang disajikan tetap terjaga kualitasnya, maka makanan yang disajikan harus dievaluasi salah satu caranya adalah dengan menghitung daya terima makanan konsumen. Daya terima
1
2
makanan adalah presentase makanan yang di konsumsi dari total keseluruhan yang disediakan. Daya terima ini banyak dipengaruhi beberapa faktor diantaranya adalah penampilan makanan saat disajikan dan rasa makanan (Dewi, 2007 ). Penampilan makanan yang disajikan sangat mempengaruhi indera penglihat. Indera penglihat sangat peka terhadap warna makanan, bentuk makanan, serta besarnya porsi makanan yang disajikan. Kombinasi warna yang menarik, bentuk yang baik, perpaduan yang baik antar tekstur makanan, serta konsistesi yang baik dari makanan dan besar porsi makanan yang disajikan, sangat mempengaruhi selera makan konsumen dan juga mampu membuat konsumen menikmati makanan yang disajikan (Khan, 1987 dan Wood, 1988). Selanjutnya
faktor lain yang mempengaruhi daya terima adalah
rasa makanan. Rasa makanan sangat menentukan penerimaan makan dari konsumen. Perpaduan yang tepat antara bumbu dan rempah yang digunakan dapat lebih meningkatkan selera makan konsumen (Wood, 1988 dan Winarno, 1992 ). Pada penelitian Hermawati (2003), diperoleh hasil ada hubungan yang bermakna antara kualitas makanan yang disajikan dengan daya terima (p=0,006). Hal ini menunjukan bahwa daya terima dipengaruhi oleh penampilan dan rasa makanan. Pada tahun 2000, Daniyah telah melakukan penelitian di SMU Al Azhar tentang faktor – faktor yang berhubungan dengan daya terima makanan. Disebutkan bahwa sebanyak 34 sampel (87,2 %) memiliki daya terima yang baik dan 5 sampel (12,8 %) memiliki daya terima yang kurang. Baiknya daya terima makanan karena sampel lebih memilih makan diluar kantin yang menyediakan hidangan yang menurut sampel baik. Ini karena penampilan makanan dan rasa makanan yang dihidangkan oleh institusi kurang baik.
3
Nihayah, pada tahun 2007 melakukan penelitian yang serupa yaitu tentang kualitas makanan di MTs Darul Arqam Garut. Dari penelitain tersebut diperoleh hasil bahwa dari 54 sampel yang menilai kualitas makanan yang disajikan, 53,7% menilai bahwa penampilan makanan baik sedangkan sisanya 46,3% menilai bahwa penampilan makanan kurang baik. Dari hasil ini membuktikan bahwa penampilan makanan yang disajikan masih kurang baik (Nihayah, 2007). Pada penelitian Daniyah (2000), disebutkan bahwa 4 sampel (10,26 %) menilai rasa makanan baik dan 35 sampel (89,74 %) menilai rasa makanan kurang. Hal ini karena tekstur nasi yang keras dan tingkat kematangan telur yang kurang. Selain itu suhu sup sayuran
yang
disajikan kurang sehingga membuat rasa sup sayuran kurang terasa. Bumbu ayam goreng pun kurang terasa hal ini membuat sampel menilai rasa makanan yang disajikan kurang. Oleh karena itu, sangat diperlukan suatu institusi penyelenggaraan makanan dengan sistem pengelolaan yang baik sehingga dihasilkan makanan yang baik. Makanan yang berkualitas baik akan berperan besar dalam penerimaan makanan tersebut (Mukrie, 1990 dan Khan, 1987). Salah satu institusi yang mengadakan penyelenggaraan makanan adalah Pondok Pesantren Modern Al-Himmah Kabupaten Sukabumi. Dari wawancara dengan pihak sekolah diketahui bahwa penyelenggaraan makanan tersebut dikelola langsung oleh pihak sekolah. Biaya makan sehari adalah Rp.8.500,00 Selama ini belum pernah ada penelitian yang menyangkut tentang penyelenggaraan makanan di Pondok Pesantren Modern Al-Himmah Kabupaten Sukabumi. Hasil wawancara diketahui bahwa Pondok Pesantren Modern Al-Himmah Kabupaten Sukabumi telah bekerjasama dengan Ahli Gizi Rumah Sakit Syamsudin SH dalam hal administrasi perencanaan menu.
4
Atas dasar inilah, penulis berminat mengetahui bagaimana penyelenggaraan makanan Pondok Pesantren Modern Al-Himmah Kabupaten Sukabumi. Selain itu penulis berminat mengetahui penilaian siswa terhadap makanan yang disajikan meliputi aspek penampilan makanan serta rasa makanan ditambah aspek daya terima makan siang siswa. 1.2 Rumusan Masalah Apakah ada Hubungan Antara Penampilan Makanan dan Rasa Makanan Terhadap Daya Terima Makan Siang di Pondok Pesantren Modern Al-Himmah Kabupaten Sukabumi 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui Hubungan Antara Penampilan Makanan dan Rasa Makanan Terhadap Daya Terima Makan Siang di Pondok Pesantren Modern Al-Himmah Kabupaten Sukabumi 1.3.2 Tujuan Khusus a. Mengetahui gambaran umum tentang Pondok Pesantren Modern Al-Himmah Kabupaten Sukabumi; b. Mengetahui tentang karakteristik sampel meliputi jenis kelamin, kelas, dan usia ; c. Mengetahui gambaran penyelenggaraan makanan meliputi standar porsi, standar bumbu, pola menu, siklus menu, dana, proses produksi dan distribusi di Pondok Pesantren Modern AlHimmah Kabupaten Sukabumi;
5
d. Mengetahui penilaian sampel tentang kualitas penampilan makanan yang disajikan meliputi kombinasi warna, besar porsi, penyajian dan bentuk makanan di Pondok Pesantren Modern Al-Himmah Kabupaten Sukabumi; e. Mengetahui penilaian sampel tentang kualitas rasa makanan yang disajikan meliputi aroma, bumbu, dan kematangan di Pondok Pesantren Modern Al-Himmah Kabupaten Sukabumi; f. Mengetahui penilaian sampel tentang citarasa makanan yang disajikan di Pondok Pesantren Modern Al-Himmah Kabupaten Sukabumi; g. Mengetahui daya terima makan siang siswa Pondok Pesantren Modern Al-Himmah Kabupaten Sukabumi; h. Mengetahui hubungan penampilan makanan dengan daya terima makan siang; i.
Mengetahui hubungan rasa makanan dengan daya terima makan siang;
j.
Mengetahui hubungan citarasa makanan dengan daya terima makan siang.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian ini meliputi Hubungan Antara Penampilan dan Rasa Makanan Terhadap Daya terima Makan Siang di Pondok Pesantren Modern Al-Himmah Kabupaten Sukabumi.
6
1.5 Manfaat Penelitian Bagi peneliti Mendapat wawasan dan ilmu serta pengalaman dalam bidang penyelenggaraan makanan di sebuah institusi sekolah. Bagi institusi sekolah Memberikan
penilaian
penyelenggraan
makanan
yang telah
dilaksanakan dan sebagai bahan evaluasi agar kedepan penyelenggaraan makanan lebih baik lagi. Bagi institusi perguruan tinggi Sebagai bahan rujukan dalam melakukan penelitian lebih lanjut. Serta menambah wawasan bagi para mahasiswa. 1.6 Keterbatasan Penelitian Keterbatasan dalam penelitian ini adalah data penilaian sampel terhadap penampilan makanan dan rasa makanan yang dikumpulkan sangat bergantung kepada pemahaman sampel tentang makanan tersebut. Untuk itu sebelum dilakukan penelitian diberi pengarahan terlebih dahulu tentang penilaian makanan dan tata cara pengisian kuesioner agar data yang dikumpulkan akurat. Penilaian terhadap penampilan makanan dan rasa makanan tidak perhidangan tetapi satu menu yang disajikan. Hal ini membuat penilaian terhadap penampilan makanan dan rasa makanan yang didapat tidak menggambarkan secara terperinci penilaian terhadap penampilan dan rasa tiap-tiap hidangan. Faktor lain yang mempengaruhi daya terima makanan seperti sanitasi dan suhu makanan tidak diteliti meskipun dapat mempengaruhi hasil penelitian.
7
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Pengertian Penyelenggaraan Makanan Institusi Pada dasarnya pengertian penyelenggaraan makanan institusi
adalah sebuah penyelenggaraan makanan dalam jumlah banyak diatas 50 porsi dan pada pelaksanaannya menggunakan prinsip-prinsip manajemen dengan memanfaatkan unsur-unsur manajemen agar pelaksanaan penyelenggaraan menjadi lebih efektif dan efisien serta mencapai hasil yang optimal dan cita rasa yang baik (Mukrie, 1990). 2.2
Jenis Penyelenggaraan Makanan Institusi Penyelenggaraan makanan institusi dapat di bagi menjadi 2 jenis
penyelenggaraan makanan institusi. 1. Penyelenggaraan makanan institusi yang bertujuan untuk mencari keuntungan
atau
dengan
kata
lain
disebut
komersial.
Penyelenggaraan makanan ini biasanya mencari keuntungan yang sebesar-besarnya
(Kusumastuti,
2009).
Adapun
ciri
penyelenggaraan makanan institusi komersial adalah a. Pengelola masyarakat umum atau kadang-kadang dibawah pemerintah; b. Adanya pengelolaan dengan pendekatan manajemen oleh pemiliknya; c. Penyediaan makanan, macam dan frekuensinya tidak harus kontinyu; d. Konsumen bersifat heterogen dan adanya tuntunan tanggung jawab kesehatan;
9
e. Makanan
aman untuk konsumen
meski makanan
yang
disajikan, macam, dan variasi tidak terikat oleh suatu peraturan; f. Adanya kebebasan konsumen dalam memilih makanan dan pemilik harus memberikan informasi makanan atau hidangan dalam bentuk tulisan juga gambar; g. Cara pelayanan dapat berupa pelayanan sendiri, dilayani diatas meja, dilayanai dengan kereta makanan ataupun cara-cara lain yang sudah ditetapkan oleh pemilih institusi tersebut; h. Sanitasi harus berstandar baik dan pelayanan yang disajikan harus maksimal sesuai kemampuan institusi (Mukrie, 1990). 2. Penyelenggaraan yang bergerak untuk kepentingan sosial tanpa mengambil untung dari masyarakat yang berada di institusi tersebut. Adapun yang termasuk institusi sosial adalah panti asuhan, panti jompo, panti cacat, panti tuna netra, dan semua intstitusi lainnya yang bergerak untuk kepentingan sosial baik oleh pihak pemerintah ataupun swasta (Mukrie, 1990). 2.3
Sistem Penyelenggaraan Makanan Institusi Ada empat sistem penyelenggaraan yang sampai hari ini masih di
pakai. Perbedaan dari keempat sistem ini berdasarkan tempat pengolahan dan tempat yang menjadi sasaran, serta tergantung dari pekerja dan alat yag
tersedia.
Keempat
sistem
penyelenggaraan
tersebut
adalah
konvesional, komisar, sistem makanan jadi, dan sistem makanan olahan. a. Konvensional Sistem konvensional itu bisa disebutkan juga dengan sistem tradisional dimana bahan makanan diolah menjadi makanan jadi di dapur dan jika sudah siap saji, makanan akan disimpan pada sebuah tempat
10
penyajian atau penungguan. Pada ruangan yang sama makanan akan dibagikan pada konsumen. Pada sistem ini ruangan pengolahan makanan dan ruangan penyajian berdampingan pada satu ruangan. Keuntungan menggunakan sistem ini adalah adanya penghematan biaya untuk distribusi makanan serta makanan yang disajikan masih segar dan terjaga kualitasnya (Khan 1987 dan Wood, 1988). b. Komisar Pada sistem ini, terdapat pemisahan tempat pengolahan dan konsumsi makanan. Dalam sistem ini makanan diolah disebuah dapur besar yang menjadi pusat pengolahan. Lalu setelah makanan diolah menjadi makanan jadi, ada proses pengiriman makanan ke tempat yang terpisah dari ruangan pengolahan serta memiliki jarak yang jauh (West dan Wood, 1988). c. Sistem Makanan Jadi Dalam sistem ini, makanan sudah dalam keadaan siap santap dan telah dikemas. Kemudian makanan didinginkan atau dibekukan sesuai kebutuhan. Sistem ini digunakan saat ada perbedaan waktu yang lama antara pengolahan dan penyajian makanan serta makanan yang telah diolah tidak segera disajikan (West dan Wood, 1988). d. Sistem Makanan Olahan Sistem makanan olahan lebih menitikberatkan pada proses pembelian makanan olahan dan penyimpanan makanan tersebut. Sehingga saat akan disajikan makanan hanya tinggal disusun, panaskan dan sajikan pada konsumen. Sistem ini lebih hemat dari segi biaya produksi yang meliputi biaya pembelian bahan bakar, listrik, dan air. Selian itu ada hal yang harus diperhatikan saat mengunakan sistem ini
11
yaitu adanya keterbatasan pasar dalam meyediakan bahan makanan olahan tersebut (West dan Wood, 1988). 2.4
Tujuan Penyelenggaraan Makanan Institusi Penyelenggaraan Makanan Institusi bertujuan agar para konsumen
mendapatkan kepuasan dan manfaat yang banyak dari makanan yang disajikan oleh institusi sehingga berdampak pada status kesehatan yang baik dapat dicapai konsumen. Selain tujuan tersebut, masih ada lagi tujuan dari penyelenggaraan makanan institusi tersebut, diantaranya makanan yang dihasilkan berkualitas baik, adanya pelayanan yang cepat dan bervariasi, menyediakan makanan dengan konsep menu seimbang, harga yang ditawarkan tepat dan layak sesuai dengan pelayanan yang disajikan serta yang terakhir kebersihan dan sanitasi terjaga ( Livianti, 2008 ) 2.5
Penyelenggaraan Makanan Asrama Asrama adalah tempat atau wadah yang dikelola oleh sekelompok
orang atau masyarakat tertentu yang mendapatkan pelayanan makan secara terus menerus dan menampung berbagai masyarakat dari berbagai golongan usia yang memerlukan perlindungan baik mereka yang termasuk golongan lemah ataupun yang membutuhkan tempat untuk kegiatannya ( Mukrie, 1990 ). Penyelenggaraan makanan asrama bertujuan untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat dalam asrama tersebut. Adapun ciri dari makanan untuk asrama adalah : a. Dikelola oleh pemerintah ataupun peran serta masyarakat; b. Standar gizi sesuai dengan kebutuhan orang-orang yang berada di asrama dengan memperhatikan sumber daya yang ada di asrama;
12
c. Melayani golongan umur ataupun sekolompok orang dengan usia tertentu; d. Dapat bersifat komersial bila diperlukan; e. Frekuensi makan 2-3 kali sehari dengan makanan selingan ataupun tanpa makanan selingan; f. Jumlah yang dilayani tetap; g. Macam pelayanan tergantung peraturan asrama; h. Tujuan penyediaan makanan lebih diarahkan untuk pencapaian kesehatan penghuni (Mukrie, 1990). 2.6
Cita Rasa Cita rasa makanan sangat penting kaitannya dengan penerimaan
makanan dalam penyelenggaraan makanan. Aspek cita rasa makanan terbagi menjadi dua kategori, yaitu aspek penampilan dan rasa makanan (Khan, 1987 dan Wood, 1988). Dalam penyajian makanan perlu memperhatikan aspek-aspek penampilan dari makanan tersebut, serta kombinasi makanan dalam satu menu yang disajikan. Tidak hanya aspek penampilan saja yang terdiri dari warna, tekstur, bentuk makanan, dan besar porsi makanan yang harus diperhatikan tetapi juga aspek rasa yang meliputi rasa, bumbu, aroma dan suhu (West & Wood, 1988 dan Livianti, 2008 ). 2.6.1 Penampilan Penampilan makanan adalah penampakan makanan yang terlihat saat penyajian makanan ( Dewi, 2007 ). Aspek penampilan ini sangat mempengaruhi selera makanan konsumen (Khan, 1987). Penampilan makanan makanan meliputi beberapa aspek. Diantaranya,
13
a. Warna makanan Warna yang nampak dari makanan dapat membuat konsumen terkesan sehingga akan timbul daya tarik untuk mencobanya. Hal ini berkaitan dengan aspek psikologis manusia yang tertarik pada warna – warna yang cerah, selera makanan dapat menurun pada kondisi dimana warna makanan yang disajikan kurang menarik, tidak cerah, dan tidak bervariasi. Oleh karenanya harus diperhatikan dari segi warna makanan agar
daya
terima
makanan
menjadi
baik
adalah
dengan
mengkombinasikan warna makanan yang disajikan dan warna tiap-tiap hidangan harus kontras dengan hidangan yang lainnya ( Dewi, 2007 dan Khan, 1987). b. Bentuk makanan Rupa makanan yang disajikan disebut dengan bentuk makanan. Bentuk makanan akan menambah daya tarik dari makanan tersebut. Hal yang perlu diperhatikan adalah makanan yang disajikan harus beraneka ragam bentuknya serta serasi dalam penyajiannya misalnya mengenai potongan bahan makanan. Apakah makanan dipotong memanjang, atau berbentuk dadu, atau dipotong parut. Selain itu ukuran potongan menjadi daya tarik bagi konsumen (West & Wood, 1988 dan Dewi, 2007 ) c. Besar Porsi Porsi adalah banyaknya makanan yang disajikan. Porsi makanan akan memperngaruhi daya tarik dari konsumen karena tiap-tiap konsumen memiliki besar porsi makanan yang berbeda dalam setiap aktivitas makannya. Besar porsi akan mempengaruhi penampilan makanan. Jika terlalu besar atau terlalu kecil penampilan makanan jadi tidak terlalu menarik ( Dewi, 2007 dan Livianti, 2008 )
14
d. Konsistensi Konsistensi merujuk pada apakah makanan yang disajikan itu memiliki tingkat kepadatan dan kekentalan yang baik. Konsistensi digambarkan dengan istilah cair, kental, dan padat (Dewi, 2007). Konsumen sangat peka pada makanan dengan konsistensi yang beragam sehingga menimbulkan sensasi yang unik yang dirasakan di mulut, ini akan menambah daya terima makan bagi konsumen karena pada dasarnya konsumen sangat menyukai makanan dengan kombinasi yang baik (Khan, 1987 ). e. Penyajian Makanan Penyajian makanan adalah perlakuan akhir setelah makanan matang, diantaranya menata dan menyusun hidangan pada tempat penyajian makanan. Susunan yang baik ditambah garnish pada makanan yang disajikan dapat menambah selera makan ( Moehyi, 1992 ). Penyajian makanan yang baik akan berpengaruh pada daya terima konsumen. Hal ini karena penyajian makanan dapat merangsang indera penglihat konsumen sehingga timbul selera makan yang baik. Selera makan yang baik menjadikan daya terima terhadap makanan yang disajikan menjadi baik ( Moehyi, 1992 ). 2.6.2 Rasa Rasa dapat diartikan sebagai rangsangan dari makanan terhadap indera pengecap dan indera penghidu yang dapat menimbulkan sensasi pada indera tersebut. Rangsangan ini karena pada makanan tersebut terdapat senyawa yang mampu merangsang reseptor – reseptor pada indera pengecap dan penghidu yang mampu menangkap senyawa tersebut ( Winarno, 2002 ).
15
Dengan demikian makanan yang masuk kedalam mulut akan sangat mempengaruhi reaksi dari indera tersebut oleh karenanya makanan yang disajikan harus mempunyai rasa yang baik, agar rangsangan terhadap indera tersebut menjadi baik sehingga akan menimbulkan selera makan yang baik dari konsumen ( Livianti, 2008 ). a. Aroma Aroma adalah bau yang berasal dari bahan makanan yang disajikan yang merangsang indera penciuman sehingga memunculkan selera. Aroma dari setiap bahan makanan berbeda-beda (Livianti, 2008 ). Aroma dapat dikenali saat berbentuk uap dan menyentuh reseptor pada indera penghidu. Manusia memiliki kemampuan untuk mengenal bau kurang lebih sebanyak 16 juta jenis bau. Oleh karena manusia memiliki kemampuan yang baik dalam menentukan jenis bau yang ada, perpaduan bau pada makanan harus bervariasi untuk menambah selera makan konsumen ( Winarno, 1992 dan Winarno, 2002 ) b. Bumbu Bumbu adalah bahan yang ditambahkan pada hidangan untuk memperoleh rasa dan aroma. Racikan bumbu yang benar dapat menambah selera konsumen serta dapat membuat makanan menjadi lebih awet (Tarwotjo, 1998). c. Tekstur Tekstur adalah struktur makanan yang disajikan. Adapun yang dikategorikan tekstur adalah apakah makanan tersebut disajikan dalam keadaan kering, halus, lunak, ataupun kenyal (West dan Wood, 1988 ). Agar tekstur bisa dideteksi dengan sangat baik maka makanan tersebut harus dirasakan dalam mulut (Dewi, 2007).
16
d. Suhu Suhu makanan menjadi faktor penting dalam citarasa makanan. Suhu yang terlalu panas akan membuat indera pengecap menjadi terbakar sehingga membuat selera makan menjadi berkurang hal ini karena berkurangnya sensitivitas indera pengecap ( Moehyi, 1992 ). Makanan yang terlalu dingin membuat kepekaan terhadap rasa makanan berkurang. Ini akibat dari saraf pada indera pengecap yang terbius suhu dingin ( Winarno, 1992 ). 2.7
Daya terima Dalam menilai kepuasan konsumen dalam suatu jasa boga adalah
dengan menggunakan aspek daya terima karena daya terima merupakan produk akhir dari makanan. Daya terima biasanya diukur sebagai sisa makanan yang dikonsumsi. Sisa makanan ini harus diperhatikan karena menentukan apakah makanan disukai atau tidak ( Sediaoetama, 1996). Penelitian Yamsehu menyebutkan ada banyak faktor yang mempengaruhi daya terima konsumen seperti lingkungan dan iklim. Faktor lainnya adalah umur, jenis kelamin, sosial ekonomi, sosial budaya, serta faktor kepercayaan dan agama ( Mukrie, 1990 ). Selain itu, yang dapat mempengaruhi daya terima makanan adalah jarak makan antara makan pagi dengan makan siang serta aktivitas dari konsumen ( Dewi, 2007 ). Efek lanjutan dari makanan yang tidak dihabiskan adalah berkurangnya asupan gizi pada konsumen yang dapat mempengaruhi status gizi konsumen. Oleh karenanya agar makanan yang disajikan habis, perencanaan dalam membuat menu harus diperhatikan dengan baik agar selera makan konsumen meningkat dan makanan yang disajikan habis ( Sullivan, 1990 ).
17
Metode yang digunakan dalam menghitung sisa makanan adalah dengan menimbang sisa makanan. Agar lebih efektif penimbangan dilakukan dengan cara menimbang berat awal lalu dihitung sisa makanan yang ada (Yamsehu, 2008). Adapun rumus untuk mencari prosentase daya terima adalah sebagai berikut
BeratAwal BeratAkhir x100% (Dewi, BeratAwal
2007). 2.8
Survey Konsumsi Makanan Secara umum metode survey konsumsi makanan terbagi menjadi
dua garis besar yaitu survey konsumsi pada tingkat rumah tangga dan survey konsumsi pada tingkat individu. Tujuan dari survey konsumsi makanan adalah untuk mengetahui kebiasaan makan baik itu tingkat rumah tangga maupun tingkat individu. Selain itu, survey konsumsi makanan dapat mengetahui asupan zat gizi tingkat rumah tangga dan individu (Par’i, 2009). Survey konsumsi pada tingkat rumah tangga meliputi metode pencatatan, metode pendaftaran makanan, metode inventaris dan yang terakhir yaitu metode pencatatan makanan rumah tangga (Par’i, 2009). Menurut Gibson, survey konsumsi pada tingkat individu meliputi metode recall 24 jam, estimated food record yang lebih dikenal dengan istilah food record, dietary history, food frequency questionner, dan yang terakhir adalah metode food weighing (Gibson, 2009) Metode food weighing adalah cara untuk mendapatkan hasil akurat tentang daya terima makanan. Dalam menentukan daya terima makanan ditimbang sisa makanan yang disajikan. Penimbangan bisa dilakukan oleh peneliti ataupun responden. Penimbangan dilakukan beberapa hari tergantung dari tujuan penelitian, dana yang tersedia, dan waktu yang disediakan (Supariasa, 2001)
18
Kelebihan dari metode ini adalah peneliti dapat memperoleh data akurat mengenai jumlah makanan yang dikonsumsi karena sisa makanan ditimbang. Adapun kekurangan dari metode iini adalah membutuhkan waktu, tenaga, dan alat. Selain itu tenaga penimbang harus terampil, perlu ada kerjasama dengan responden, dan dapat merubah pola makan responden bila penimbangan cukup lama (Livianti, 2008) Langkah-langkah dalam penimbangan makanan adalah a. Petugas atau responden menimbang dan mencatat bahan makanan atau makanan yang dikonsumsi dalam gram. b. Hitung sisa makanan, kemudian bandingkan dengan berat awal makanan. Maka akan diperoleh nilai daya terima makanan (Supariasa, 2001) BAB III KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DEFINISI OPERASIONAL 3.1
Kerangka Konsep Daya terima makanan dipengaruhi oleh penampilan dan rasa
makanan.
Penampilan
makanan
sangat
mempengaruhi
indera
penglihatan, pengaruh ini mampu merangsang selera makan dan membuat konsumen menjadi menikmati makan. Begitu juga dengan rasa makanan, perpaduan rasa makanan yang disajikan dapat menimbulkan sensasi rasa pada indera pengecap serta sensasi bau yang menarik pada indera penciuman yang pada akhirnya berpengaruh juga terhadap selera makan konsumen sehingga membuat daya terima makanan menjadi baik. Untuk mengetahui hubungan antara penampilan, rasa dengan daya terima dapat dilihat pada gambar berikut GAMBAR 3.1
19
HUBUNGAN ANTARA PENAMPILAN DAN RASA TERHADAP DAYA TERIMA MAKAN SIANG DI PONDOK PESANTREN MODERN ALHIMMAH Persepsi Cita Rasa Makanan Penampilan : ( Warna, Bentuk, penyajian dan Besar Porsi ) Daya Terima Makanan Rasa : (Aroma, Bumbu dan Kematangan,)
Keterangan : Variabel independen
: Penampilan, rasa, dan citarasa
Variabel dependen
: Daya terima
3.2 Hipotesis
3.2.1 Ada hubungan antara penampilan makanan dengan daya terima makanan siang di Pondok Pesantren Modern Al-Himmah Kabupaten Sukabumi
3.2.2 Ada hubungan antara rasa makanan dengan daya terima makanan siang di Pondok Pesantren Modern Al-Himmah Kabupaten Sukabumi
3.2.3 Ada hubungan antara cita rasa makanan dengan daya terima makanan siang di Pondok Pesantren Modern Al-Himmah Kabupaten Sukabumi
20
3.3
Definisi Operasional
3.3.1 Penampilan Penampilan adalah penampakan menu yang tersaji yang terlihat oleh indera penglihat siswa. Penilaian penampilan ini didapat selama 2 hari tidak berturut turut yaitu pada menu ke-1 dan menu ke-3. Aspek penampilan meliputi aspek warna, bentuk makanan, penyajian dan besar porsi makanan. Cara ukur
: wawancara
Alat ukur
: Kuesioner berupa angket
Kategori
: baik, jika nilai penampilan median (20) kurang, jika nilai penampilan
Skala
median (20)
: ordinal
3.3.2 Rasa Rasa adalah persepsi rasa terhadap menu yang disajikan serta dirasakan oleh indera pengecap siswa. Penilaian rasa didapat selama 2 hari tidak berturut turut yaitu pada menu ke-1 dan menu ke-3. Aspek rasa meliputi aroma, bumbu dan kematangan. Cara ukur
: wawancara
Alat ukur
: Kuesioner berupa angket
Kategori
: baik, jika nilai rasa median (19) kurang, jika nilai rasa
median (19)
21
Skala
: ordinal
3.3.3 Cita Rasa Cita rasa adalah nilai komposit antara nilai penampilan makanan dan rasa makanan yang diambil selama 2 hari tidak berturut – turut. Cara ukur
: wawancara
Alat ukur
: Kuisioner berupa angket
Kategori
: baik, jika nilai penampilan dan rasa median (39,5) kurang, jika nilai penampilan dan rasa
median
(39,5) Skala
: ordinal
3.3.4 Daya Terima Makanan Daya terima adalah persentase makanan yang dihabiskan oleh siswa melalui proses penimbangan awal berat makanan dan sisa makanan selama 2 hari tidak berturut-turut yaitu pada menu ke-1 dan menu ke-3. Cara ukur
: pengukuran
Alat ukur
: timbangan digital
Kategori
: baik, jika nilai daya terima = 100 % dari hidangan yang disajikan kurang, jika nilai daya terima yang disajikan
Skala
: ordinal
100 % dari hidangan
22
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1
Desain Penelitian Pada penelitian ini digunakan desain penelitian cross sectional
dengan melakukan pengukuran secara bersamaan antara variabel independen dengan variabel dependen. 4.2
Tempat Dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2011 di Pondok
Pesantren Modern Al-Himmah Kabupaten Sukabumi. 4.3
Populasi Dan Sampel Populasi pada penelitian ini adalah siswa SMP dan SMA Pondok
Pesantren Modern Al-Himmah Kabupaten Sukabumi. Sampel penelitian adalah siswa SMA dan SMP yang memenuhi kriteria sebagai berikut a. Bersedia ikut dalam penelitian; b. Sampel hadir pada saat penelitian. Adapun besar sampel yang diperlukan menggunakan rumus sebagai berikut : n=
1 d
2
23
N
: besar populasi
n
: besar sampel
d
: presisi 0,05
(Notoatmodjo, 2005) Hasil penjajagan awal didapat jumlah populasi pada sekolah tersebut
adalah 43 siswa. Dengan demikian sampel yang dibutuhkan
dalam penelitian ini dengan tingkat kepercayaan 95 % dan presisi 0,05 adalah 38 orang. Sampel akan dipilih dengan metode Purposive Sampling. Dimana sampel yang memenuhi kriteria diambil sampai memenuhi sebanyak 38 sampel. 4.4
Jenis Dan Cara Pengumpulan Data 4.4.1 Jenis Data Data yang didapat dari penelitian ini adalah meliputi data primer
yang meliputi : a. Data umum meliputi usia, kelas dan jenis kelamin. b. Data penilaian penampilan makanan. c. Data penilaian rasa makanan. d. Data citarasa makanan. e. Data penilaian daya terima makanan. Adapun data sekunder meliputi data susunan menu, pola menu, siklus menu, standar bumbu, standar porsi, pola makan, standar makanan dan dana yang digunakan dalam proses produksi.
24
25
4.4.2 Cara Pengumpulan Data a. Data karakterisitk sampel meliputi usia, kelas dan jenis kelamin didapat dari kuesioner yang diisi langsung oleh sampel. b. Data
penilaian
penampilan
makanan
diperoleh
dari
kuesioner yang diisi langsung oleh sampel dengan cara sampel memberikan jawaban pada lembar kuesioner yang berisi pertanyaan
tentang
penampilan makanan
yang
disajikan meliputi warna, bentuk makanan, cara penyajian dan besar porsi makanan. Pengambilan data penilaian sampel terhadap penampilan makanan yang disajikan diambil selama 2 hari tidak berturut turut. c. Data penilaian rasa makanan diperoleh dari kuesioner yang diisi langsung oleh sampel dengan cara sampel memberikan jawaban pada lembar kuesioner yang berisi pertanyaan tentang rasa makanan yang disajikan meliputi aroma, bumbu, dan kematangan makanan. Sampel memberikan nilai
pada
format
kuesioner
yang
telah
disediakan.
Pengambilan data penilaian sampel terhadap rasa makanan yang disajikan diambil selama 2 hari tidak berturut turut d. Data
citarasa
didapat
dengan
menjumlahkan
nilai
penampilan makanan dan rasa makanan yang diambil selama 2 hari tidak berturut – turut e. Data penilaian daya terima makanan diperoleh dengan cara menimbang berat makanan yaitu berat awal keseluruhan makanan dan berat akhir keseluruhan makanan. Adapun cara penimbangan awal sebelum makanan disajikan kepada konsumen
semua
makanan
akan
ditimbang
dahulu.
26
Sehingga per masing-masing makanan diketahui berat awalnya berapa banyak. Adapun berat akhir diperoleh dengan cara menimbang kembali sisa makanan yang tidak dihabiskan dengan cara mengambil sisa makanan tersebut lalu memasukkannya kedalam keresek hitam lalu ditimbang beratnya. Pengambilan data daya terima sampel diambil selama 2 hari tidak berturut turut f. Adapun data sekunder yang meliputi data susunan menu, pola menu, siklus menu, standar bumbu, standar porsi, pola makan, standar makanan dan dana yang digunakan dalam proses produks diperoleh dari pihak dapur dengan cara wawancara . 4.5
Pengolahan Dan Analisis Data. 4.5.1 Pengolahan Data a. Data karakterisitik sampel yang didapat dari hasil Kuesioner akan diolah dan dikategorikan menurut jenis kelamin, usia dan kelas. Jenis kelamin akan dikategorikan menjadi
laki-laki dan
perempuan.
Data
usia
akan
dikelompokan menjadi usia 10-12 tahun, usia 13-15 tahun dan
usia
16-19
tahun.
Untuk
data
kelas
akan
dikategorikan menjadi kelas 7, 8, 10, 11, dan 12. b. Pengolahan penilaian penampilan makanan Kuesioner mengenai penilaian penampilan makanan yang disajikan memiliki 4 pilihan jawaban bertingkat. Setiap jawaban akan diberi skor berbeda sesuai dengan tingkatan jawaban. Skor terkecil yaitu 1 diberikan untuk jawaban yang sangat kurang dan skor terbesar yaitu 4
27
untuk jawaban yang paling baik. Data yang dikumpulkan akan diolah dengan menjumlahkan semua nilai. Data yang sudah dihitung akan di kategorikan menjadi kategori baik dan kurang. Kategori baik jika nilai penampilan makanan ≥ median dan kurang jika nilai penampilan
makanan <
median. Penyajian data penilaian penampilan makanan akan disajikan menurut hari pelaksanaan penelitian dan data penilaian penampilan makanan yang sudah dijumlahkan antara hari pertama penelitian dan hari kedua penelitian. Data – data tentang aspek penampilan makanan yang dikumpulkan selama dua hari penelitian meliputi warna, bentuk makanan,
cara
penyajian
dan besar porsi
makanan akan dilihat median dari masing-masing aspek setelah seluruh data dari hari pertama penelitian dan hari kedua
penelitian
dijumlahkan.
Aspek
penampilan
makanan baik jika aspek penampilan makanan ≥ median dan kurang jika < median. c. Pengolahan penilaian rasa makanan Kuesioner mengenai penilaian rasa makanan yang disajikan memiliki 4 pilihan jawaban bertingkat. Setiap jawaban akan diberi skor berbeda sesuai dengan tingkatan jawaban. Skor terkecil yaitu 1 diberikan untuk jawaban yang sangat kurang dan skor terbesar yaitu 4 untuk jawaban yang paling baik. Data yang dikumpulkan akan diolah dengan menjumlahkan semua nilai. Data yang sudah dihitung akan di kategorikan menjadi kategori baik dan kurang. Kategori baik jika nilai rasa makanan ≥ median dan kurang jika nilai rasa makanan < median.
28
Penyajian data penilaian rasa makanan akan disajikan menurut hari pelaksanaan penelitian dan data penilaian rasa makanan yang sudah dijumlahkan antara hari pertama penelitian dan hari kedua penelitian. Data
–
data
tentang
aspek
rasa
makanan
yang
dikumpulkan selama dua hari penelitian meliputi aroma, bumbu, dan kematangan makanan akan dilihat median dari masing-masing aspek setelah seluruh data dari hari pertama penelitian dan hari kedua penelitian dijumlahkan. Aspek rasa makanan baik jika aspek rasa makanan ≥ median dan kurang jika < median. d. Pengolahan penilaian cita rasa makanan Data
citarasa
makanan
yang
diambil
dengan
menjumlahkan data penampilan makanan dan rasa makanan. Hasilnya akan dikategorikan menjadi kategori baik dan kurang. Kategori baik jika nilai cita rasa makanan ≥ median dan kurang jika nilai cita rasa
makanan <
median. Penyajian data citarasa makanan akan disajikan menurut hari pelaksanaan penelitian dan data penilaian citarasa makanan yang sudah dijumlahkan antara hari pertama penelitian dan hari kedua penelitian. e. Pengolahan daya terima makanan Data yang terkumpul dari hasil penimbangan berat awal makanan dan berat akhir makanan selama 2 hari akan dihitung sehingga menjadi data daya terima makanan menggunakan
rumus
BeratAwal BeratAkhir x100% . BeratAwal
29
Sehingga akan diperoleh data daya terima hari pertama dan hari kedua. Hasil daya terima hari pertama dan hari kedua akan di rata-ratakan sehingga menjadi data daya terima sampel. Data daya terima akan diolah menjadi dua kategorik yaitu baik dan kurang. Kategori baik jika nilai daya terima = 100% dan kurang, jika nilai daya terima 100%. Penyajian data daya terima makanan akan disajikan menurut hari pelaksanaan penelitian dan data daya terima makanan yang sudah dijumlahkan antara hari pertama penelitian dan hari kedua penelitian kemudian dirataratakan. f. Pengolahan data sekunder Data sekunder yang didapatkan akan dijadikan bahan pembahasan dengan cara dinarasikan kembali hasil wawancara dengan pihak dapur. 4.5.2 Analisis Data Data akan diolah dengan menggunakan aplikasi SPSS. Analisis data dilakukan melalui analisis univariat dan bivariat. a. Analisis Univariat Data karakterisitik sampel meliputi kelas, usia, dan jenis kelamin akan analisis secara deskriptif dengan skala nominal. Data penampilan makanan, rasa makanan, citarasa dan daya terima makanan masing-masing akan dianalisis secara deskriptif dengan skala ordinal.
30
b. Analisis Bivariat Analisis ini menggunakan Uji Chi-Square. Pengujian dengan table silang akan dilakukan pada variabel penampilan makanan terhadap daya terima makanan, variabel rasa makanan terhadap daya terima makanan dan variabel citarasa makanan dengan daya terima makanan.
Rumus Uji Chi Square :
Keterangan : 0ij = jumlah observasi pada kasus – kasus yang dikategorikan dalam baris ke-1 dalam kolom ke j Eij = jumlah kasus yang diharapkan yang dikategorikan dalam baris ke-1 dalam kolom ke-j Kriteria Uji Syarat menggunakan Uji Chi Square : 1. Jumlah sel dengan frekuensi yang diharapkan kurang dari 5 tidak boleh dari 20 % dari jumlah seluruhnya. 2. Tidak boleh satu sel pun memiliki frekuensi yang diharapkan kurang dari 1 Bila pada uji Chi Square, nilai frekuensi harapan lebih kecil dari 5 dan lebih dari 20%, maka digunakan uji Fisher exact pada titik kepercayaan 95% dengan α = tingkat kemaknaan (0,05)
31
Rumus Statistik Fisher Exact : (A+B)!(C+D)!(A+C)!(B+D)! P= N!A!B!C!D! Keterangan : N
= Jumlah sampel
P
= Populasi yang diharapkan
A,B,C,D
= Nilai pada setiap sampel
α
= 0,05
Ho ditolak jika P < α, dengan nilai α = 0,05 ( Fajar, 2009 ).
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1
Gambaran Umum Pondok Pesantren Modern Al Himmah Pondok Pesantren Modern Al Himmah didirikan pada 24 Februari
2007 dibawah Yayasan Himmatul Muslimin dan diresmikan oleh Dr. Hidayat Nur Wahid selaku Ketua MPR periode 2004-2009. Pondok Pesantren Modern Al Himmah berlamat di Jalan Sukabumi-Cianjur KM 14 Sukalarang, Kabupaten Sukabumi Pondok
Pesantren
Modern
Al
Himmah
menyelenggarakan
pendidikan formal untuk tingkat SMA dan SMP. Kegiatan belajar mengajar dilakukan secara penuh (Fullday School) dimulai pada pukul 07.00-15.00 WIB. Setelah itu dilanjutkan dengan kegiatan ekstrakulikuler pendidikan
32
kepesantrenan. Waktu istirahat sebanyak 2 kali. Istirahat pertama pada pukul 09.30 WIB. Istirahat kedua saat sholat Zhuhur. Waktu makan siang dilakukan setelah melaksanakan sholat zhuhur berjamaa’ah. Pondok
Pesantren
Modern
Al
Himmah
hanya
membuka
pendaftaran bagi siswa laki-laki dan saat ini telah berjumlah 43 siswa. Siswa SMP sebanyak 16 siswa dan siswa SMA sebanyak 27 siswa. Pada tingkat SMP baru untuk kelas 7 dan 8. Untuk tingkat SMA terdiri dari kelas 10, 11, dan 12. Tim pengajar di Pondok Pesantren Modern Al Himmah berjumlah 20 orang, berasal dari berbagai latar belakang pendidikan dalam negeri dan luar negeri. Pondok Pesantren AL Himmah telah memiliki fasilitas yang cukup lengkap untuk menunjang kegiatan belajar mengajar. Fasilitas yang ada di Pondok Pesantren Modern Al Himmah terdiri dari ruangan kelas sebanyak 5 kelas, ruangan guru sebanyak 1 ruangan, ruangan sebanyak perpustakaan 1 ruangan, kantin sebanyak 1 ruangan, dapur sebanyak 1 ruangan, kamar mandi sebanyak 20 kamar, dan kamar asrama siswa sebanyak 5 kamar. 5.2
Gambaran Umum Penyelenggaraan Makanan Penyelenggaraan makan di Pondok Pesantren Modern Al Himmah
telah dilakukan sejak berdirinya Pondok Pesantren Modeern Al Himmah dan dikelola sendiri oleh yayasan. Yayasan menunjuk Biro Rumah Tangga untuk menyelenggarakan kegiatan makanan. Biro Rumah Tangga kemudian membentuk tim dapur yang melaksanakan proses produksi makanan. 5.2.1 Dana
33
Penyelenggaraan makanan di Pondok Pesantren dilaksanakan sebanyak
3
kali
waktu,
yaitu
pagi,
siang,
dan
malam.
Biaya
penyelenggaraan makan sebesar Rp. 8.500,00 sehari. Biaya ini hanya untuk biaya bahan makanan termasuk beras. Adapun biaya tenaga kerja, air, dan gas atau biaya overhead terpisah dari biaya bahan makanan. Apabila melihat biaya makan, sulit dihidangankan makanan dengan penampilan yang baik dan rasa makanan yang baik. Hal ini akibat keterbatasan dalam pembelian bahan makanan karena dana yang tersedia terbatas. Dengan demikian diperlukan perencanaan ulang terhadap menu yang ada. Menurut Mukrie (1990), merencanakan menu tidak dimulai dengan penentuan harga. Cara ini biasanya akan membuat menu yang dibuat memiliki keterbatasan dalam hal penampilan dan rasa akibat keterbatasan pemilihan bahan makanan karena dana terbatas. Dalam merencanakan menu sebaiknya disusun dahulu menu yang memiliki citarasa yang baik dengan nilai gizi yang baik, kemudian tetapkan bahan makanan yang digunakan dalam menu tersebut. Langkah terakhir adalah menentukan harga dari bahan makanan yang digunakan. Meskipun demikian menu dengan citarasa yang baik dan memiliki nilai gizi yang baik tidak selalu mahal. Oleh karenanya dalam hal perencanaan dan penyusunan menu perlu melibatkan ahli gizi dan secara berkala ahli gizi melakukan evaluasi terhadap menu yang disusun agar menu yang disajikan selain memiliki citarasa yang baik juga memiliki nilai gizi yang baik. 5.2.2 Menu Dalam hal penyusunan menu, dilakukan oleh Tim Ahli Gizi RSUD Syamsuddin SH Sukabumi. Pondok Pesantren Modern Al Himmah memiliki siklus menu 7 hari, pedoman menu, standar porsi, standar bumbu dan standar resep. Meskipun demikian, dalam pelaksanannya belum
34
sesuai dengan apa yang tercantum, hal ini berkaitan kesediaan bahan makanan yang terbatas.. 5.2.3 Standar Makanan Pondok Pesantren Modern Al-Himmah belum memiliki standar makanan untuk
para siswa. Standar makanan penting disusun, agar
kebutuhan siswa dapat tercukupi karena fungsi dari penyelenggaraan makanan adalah terpenuhinya kebutuhan gizi bagi konsumen. Oleh karenanya perlu dilakukan perencanaan ulang dalam penyusunan menu makanan berdasarkan standar makanan. 5.2.4 Standar Porsi Pondok Pesantren Modern Al-Himmah telah memiliki standar porsi. Standar porsi adalah rincian macam dan jumlah bahan makanan untuk tiap jenis hidangan yang dinyatakan dengan berat bersih ( Mukrie, 1990). Dengan
adanya
kualitasnya.
standar
porsi,
hidangan
yang
disajikan
terjaga
35
5.2.5 Pola Menu Pola menu di pondok pesantren terdiri dari makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayur, dan buah. Akan tetapi dalam pelakasanaannya belum bisa menyediakan menu dengan susunan pola menu diatas. Pada hari pertama dan hari kedua penelitian, menu yang disajikan hanya makanan pokok dan lauk hewani saja tanpa ada lauk nabati, sayuran, dan buah Dalam perencanaannya, pola menu yang disusun merujuk pada Pedoman Umum Gizi Seimbang. Akan tetapi pada pelaksanaanya belum sesuai dengan Pedoman Umum Gizi Seimbang. Sebaiknya perlu ada pengawasan terhadap pelaksanaan penyelengaraan makanan. Sehingga apa yang telah direncanakan dapat terlaksanakan. 5.2.6 Perhitungan dan Pembelian Bahan Makanan Biro rumah tangga bertugas melakukan perencanaan kebutuhan bahan makanan dan pembelian bahan makanan. Pembelian bahan makanan dilakukan setiap 2 hari sekali. Untuk pembelian beras tidak dilakukan setiap 2 hari sekali. Pembelian beras setiap 7 hari sekali. 5.2.7 Penerimaan dan Penyimpanan Bahan Makanan Tim dapur menerima bahan makanan dan menyimpan bahan makanan. Untuk penyimpanan bahan makanan segar ditempatkan di refrigerator. Untuk penyimpanan bahan makanan kering ditempatkan di gudang. 5.2.8 Persiapan dan Pengolahan Persiapan dan pengolahan dilakukan 3 kali waktu. Menu makan pagi disiapkan pada pukul 03.00 WIB, menu makan siang disiapkan pada pukul 07.00 WIB, dan menu makan malam disiapkan pada pukul 13.00.
36
5.2.9 Distribusi dan Pelayanan Makanan didistribusikan secara sentralisasi. Setiap kali produksi dihasilkan sekitar 70 porsi makanan. Makanan tersebut diperuntukan bagi siswa dan karyawan pondok pesantren. Jadwal makan pagi pada pukul 06.00, makan siang 12.30, dan makan malam pukul 18.30. Peralatan makan di Pondok Pesantren menjadi tanggung jawab siswa. Siswa membawa piring dan sendok masing-masing. Pelayanan di Pondok Pesantren menggunakan
system
cafeteria
dimana siswa
mengambil sendiri makanan yang disajikan. Untuk makanan pokok tidak diporsikan, adapun untuk lauk hewani, lauk nabati, sayur dan buah diporsikan. Makanan yang disiapkan hanya makanan utama. Tim dapur tidak menyiapkan menu snack atau selingan untuk siswa. Padahal dalam pola menu yang disusun, terdapat menu snack untuk makanan selingan. 5.2.10 Tenaga Biro rumah tangga dikepalai oleh seorang pengajar yang memiliki riwayat pendidikan strata 1 sedangkan tim dapur terdiri 3 orang. Satu orang ketua dan 2 lainnya adalah pembantu. Ketua tim dapur hanya mengenyam pendidikan sampai kelas 2 SD sedangkan pembantunya lulusan SMA.
37
5.3
Menu Saat Penelitian dan Kebutuhan Gizi Saat penelitian menu makan siang yang disajikan dapat dilihat
pada tabel berikut : TABEL 5.1 PERENCANAAN MENU
Siklus Menu
Perencanaan
Pelaksanaan
Hari Ke-1
Nasi
Nasi
Goreng Teri Kacang
Ayam Bumbu Kecap
Tempe Bacem Lalapan Hari Ke-3
Nasi Balado Telur Ceplok
Nasi Ikan Goreng
Bakwan Cah Buncis Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa menu makan siang yang disajikan tidak sesuai dengan apa yang direncanakan. Untuk itu perlu pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan makanan agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Menurut angka kecukupan gizi tahun 2004. Rata-rata kebutuhan gizi laki-laki dengan usia antara 12-19 tahun adalah 2464,47 kalori dengan protein sebesar 61,44 gram. Kebutuhan gizi untuk makan siang sebesar 30% dari kebutuhan adalah 739,34 kalori dengan protein 18,43 gram.
38
TABEL 5.2 TABEL KECUKUPAN GIZI MAKAN SIANG
Zat Gizi
Angka Kecukupan Gizi
Nilai Gizi Perencanaan
Nilai Gizi Pelaksanaan
% Terhadap AKG
Energi
739,34 kalori
827 kalori
487,5 kalori
64,71
Protein
18,43 gram
28,4 gram
12 gram
66,66
Selama 2 hari kegiatan penelitian, menu yang disajikan adalah nasi dan ayam bumbu kecap pada hari pertama. Pada hari kedua adalah nasi dan ikan goreng. Rata-rata zat gizi menu yang disajikan adalah sebesar 487,5 kalori dan 12 gram protein. Selisih energi sebesar 64,71 % dan selisih protein adalah 66,66 %. Menu yang disajikan bila dibandingkan dengan AKG lebih rendah. Kekurangan zat gizi dalam waktu yang lama akan berakibat pada penurunan berat badan dan kerusakan jaringan tubuh (Almatsier, 2004). Perlu adanya pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan
penyelenggaraan
makanan
sehingga
apa
yang
direncanakan dapat dijalankan. Sehingga tujuan dari penyelenggaraan makanan,
yaitu
menyediakan
makanan
sesuai
kebutuhan
dapat
dilaksanakan. Apabila melihat pada perencanaan menu, kebutuhan gizi yang terkandung pada satu kali makan siang rata-rata sebesar 827 kalori dengan jumlah protein 28,4 gram. Jumlah ini sangat baik apabila dapat terlaksana dengan baik. Dengan demikian pengawasan dan evaluasi perlu dilakukan secara berkala.
39
5.4
Gambaran Umum Sampel Sampel seluruhnya adalah laki-laki dengan berjumlah 38 orang dan
merupakan siswa SMP kelas 7 dan 8 serta siswa SMA kelas 10,11, dan 12 di Pondok Pesantren Modern Al Himmah dengan usia 12-19 tahun. Sampel memiliki karakterisitik sebagai sampel tidak terlatih. Faktor
jenis
kelamin
mempengaruhi
penerimaan
makanan
sehingga dapat memicu adanya sisa makanan dari makanan yang disajikan. Menurut penelitian Ermalina pada tahun 2008 disebutkan bahwa perbedaan kebutuhan zat gizi antara laki-laki dan perempuan menjadikan adanya sisa makanan. Hal ini sesuai dengan penelitian Daniyah (2000) tentang hubungan antara jenis kelamin dengan daya terima dengan hasil uji statistik bermakna (p<0,05). Dari 17 sampel laki-laki, seluruh sampel memiliki daya terima yang baik sedangkan dari 22 sampel perempuan, 17 sampel (77,3%) memiliki daya terima yang baik dan 5 sampel (22,7%) memiliki daya terima yang kurang. Daya terima makanan pada remaja laki-laki dan perempuan sangat berbeda. Remaja perempuan lebih rentan memiliki daya terima makanan yang kurang akibat dari persepsi terhadap bentuk tubuh. Remaja perempuan lebih cemas terhadap kegemukan sehingga membuat perempuan lebih memilih melewatkan waktu makan sampai dua waktu makan dan lebih memakan kudapan bahkan tidak makan sama sekali (Arisman, 2004 ). Berbeda dengan laki-laki, laki-laki memiliki persepsi bahwa bentuk tubuh yang baik adalah bentuk tubuh yang kekar dan atletis. Ini membuat laki-laki lebih menderung untuk makan ditambah aktivitas olahraga (Alimudin, 2009). Pada penelitian Daniyah (2000) didapatkan hasil bahwa seluruh sampel laki-laki memiliki daya terima makanan yang baik sedangkan untuk sampel perempuan, 17 sampel (77,3 %) yang memiliki daya terima makanan yang baik.
40
TABEL 5.3 TABEL DISTRIBUSI FREKUENSI SAMPEL MENURUT KELAS DI PONDOK PESANTREN AL HIMMAH KABUPATEN SUKABUMI TAHUN 2011 Kelas
Jumlah (n)
%
7
9
23.7
8
5
13.2
10
5
13.2
11
8
21.1
12
11
28.9
Jumlah
38
100.0
Dari data di atas dapat kita lihat bahwa sampel sebanyak 9 orang (23,7%) berasal dari kelas 7, 5 orang (13,2%) dari kelas 8 dan 10, 8 orang (21.1 %) dari kelas 11 dan 11 orang (28,9%) berasal dari kelas 12. Menurut Djamaludin (2005), tingkat pendidikan tidak banyak berpengaruh terhadap daya terima makanan. Jadi tingkat pendidikan apapun memiliki daya terima yang sama. Hal ini berbeda dengan Suhardjo (1989), tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap daya terima makanan. Selain tingkat pendidikan, sosial ekonomi dan karekterisitik makanan pun menjadi faktor yang mempengaruhi daya terima makanan. Secara teori, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka diharapkan semakin tinggi pula pengetahuannya tentang makanan sehingga penerimaan terhadap makanan akan semakin baik ( Suhardjo 1989).
41
TABEL 5.4 TABEL DISTRIBUSI FREKUENSI SAMPEL MENURUT USIA DI PONDOK PESANTREN AL HIMMAH KABUPATEN SUKABUMI TAHUN 2011 Usia
Jumlah (n)
%
10-12 tahun
5
13,2
13-15 tahun
12
31,6
16-19 tahun
21
55,3
Jumlah
38
100,0
Dari data diatas dapat kita lihat bahwa sebanyak 5 siswa (13,2%) berusia 10-12 tahun, 12 siswa (31,6%) berusia 13-15 tahun dan 21 siswa (55,3%) berusia 16-19 tahun. Djamaludin (2005), mengatakan bahwa tidak ada perbedaan penerimaan makanan meskipun ada perbedaan tingkat usia. Menurut Almatsier (2004), faktor umur sangat menentukan kebutuhan. Pada dasarnya kebutuhan gizi semakin meningkat saat usia meningkat. pada usia remaja kebutuhan meningkat karena dalam masa pertumbuhan. Hal ini akan berpengaruh pada daya terima makanan sehari-hari.
42
5.5
Penilaian Sampel Terhadap Citarasa makanan 5.5.1
Persepsi Penampilan Makanan TABEL 5.5
TABEL DISTRIBUSI FREKUENSI PENILAIAN PENAMPILAN MAKANAN DI PONDOK PESANTREN AL HIMMAH KABUPATEN SUKABUMI TAHUN 2011 Hari 1
Hari 2
Total
Penampilan Makanan n
%
n
%
n
%
Kurang
11
28,9
9
23,7
13
34,2
Baik
27
71,1
29
76,3
25
65,8
Jumlah
38
100,0
38
100,0
38
100,0
Pada
hari
pertama
sebanyak
11
sampel
(28,9%)
menilai
penampilan makanan kurang dan 27 sampel (71,1 %) menilai penampilan makanan baik. Pada hari kedua sebanyak 9 sampel (23,7%) menilai penampilan makanan kurang dan 29 sampel (76,3 %) menilai penampilan makanan baik. Data setelah dijumlahkan didapat sebanyak 13 sampel (34,2%) menilai makanan yang disajikan kurang baik sedangkan 25 sampel (65,8%) menilai makanan yang disajikan sudah baik. Penilaian penampilan makanan ini adalah penilaian menu yang disajikan selama 2 hari. Menurut Khan (1987), aspek warna makanan sangat berpengaruh terhadap penampilan makanan sehingga berpengaruh juga
terhadap
selera makan konsumen. Hal ini dikarenakan aspek psikolgis manusia yag senang terhadap variasi warna. Selain variasi warna, tingkat kecerahan warna pun menjadi faktor penting yang mempengaruhi penampilan makanan.
43
Selain dari aspek warna makanan, hal –hal yang berpengaruh terhadap penampilan makanan adalah besar porsi makanan, bentuk makanan, konsistensi dan tekstur makanan. Semakin banyak variasi antara semua faktor maka penampilan makanan semakin baik. Melihat penilaian siswa terhadap penampilan menu makanan yang kurang baik sebanyak 13 sampel (34,2%), ini menunjukan penampilan menu makanan yang disajikan secara umum masih belum baik, hal ini dikarenakan menu yang disajikan belum menunjukan variasi warna yang baik. Pada pelaksanaannya menu yang disajikan selama dua hari tidak sesuai dengan menu yang tercantum. Pada hari pertama menu yang disajikan adalah nasi putih dan ayam bumbu kecap sedangkan menu hari kedua adalah nasi putih dan ikan goreng. Perpaduan dari kedua menu tersebut kurang variasi warna. Menu hanya tampak warna putih dan cokelat saja sehingga kurang menarik dalam hal penampilannya. Sehingga masih ada yang menilai penampilan makanan kurang baik sebanyak 13 sampel (34,2%). Agar penampilan makanan lebih baik lagi perlu adanya pengelolaan yang baik dalam hal tenaga pengolah makanan. Perlu adanya peningkatan kualitas tenaga pengolah makanan. Baik pengetahuan dan keterampilan tentang pengolahan makanan serta pengetahuan tentang gizi. Peningkatan ini dapat dilakukan dengan cara pemberian pelatihan secara berkala
serta perlu adanya ahli gizi sebagai pengawas
penyelenggaraan makanan. Menurut Wood (1988), penampilan makanan sangat mempengaruhi penerimaan makanan. Hal ini karena kombinasi warna yang baik akan meningkatkan
selera makan
sehinggga
meningkatkan penerimaan
makanan. Selain aspek warna, aspek besar porsi dan bentuk makanan sangat memperngaruhi selera makan. Apabila makanan tersebut terlalu besar atau terlalu kecil akan sangat mempengaruhi terhadap penerimaan
44
makanan. Sehingga besar porsi yang sesuai akan berpengaruh terhadap penerimaan makanan. Begitu juga dengan bentuk makanan yang disajikan, semakin beragam bentuk dan potongan makanan akan semakin menambah selera makan. TABEL 5.6 TABEL DISTRIBUSI FREKUENSI PENILAIAN ASPEK PENAMPILAN MAKANAN DI PONDOK PESANTREN AL HIMMAH KABUPATEN SUKABUMI TAHUN 2011
Aspek penampilan Warna Bentuk Besar porsi Penyajian
Kategori n 7 8 6 4
Kurang % 18,4 21,1 15,8 10,5
Total
Baik n 31 30 32 34
% 81,6 78,9 84,2 89,5
n 38 38 38 38
% 100,0 100,0 100,0 100,0
Melihat data diatas, lebih dari 50 % sampel menilai baik setiap aspek penampilan makanan akan tetapi masih ada sampel sebanyak lebih dari 10 % yang menilai setiap aspek penampilan kurang. Penilaian aspek penampilan ini adalah penilaian setelah nilai aspek penampilan hari pertama dan kedua dijumlahkan. Dari segi warna makanan, 7 sampel (18,42 %) menilai variasi warna makanan kurang dan 31 sampel ( 81,58 %) menilai variasi warna makanan baik. Hal ini berkaitan dengan warna makanan yang disajikan masih belum bervariasi. Makanan hanya berwarna putih dan cokelat saja. Ini karena menu yang disajikan pada hari pertama nasi putih dan ayam bumbu kecap dan hari kedua adalah nasi putih dan ikan goreng. Bentuk makanan yang disajikanpun masih belum bervariasi. Sebanyak 8 sampel (21,05 %) menilai bentuk makanan masih kurang baik dan sebanyak 30 sampel (78,95 %) menilai bentuk makanan sudah baik.
45
Masih adanya sampel yang menilai bentuk makanan kurang baik karena makanan yang disajikan tidak ada variasi bentuk. Pada menu hari kedua menu ikan disajikan tanpa variasi potongan. Ikan satu ekor digoreng dan sajiikan kepada sampel. Meskipun demikian sebanyak 30 sampel (78,95 %) menilai bentuk makanan sudah baik. Besar porsi makanan pun masih ada yang menilai kurang baik. Sebanyak 6 sampel (15,79 %) menilai besar porsi makanan kurang baik dan sebanyak 32 sampel (84,21 %) menilai baik. Porsi makanan akan memperngaruhi daya tarik dari konsumen karena tiap-tiap konsumen memiliki besar porsi makanan yang berbeda dalam setiap aktivitas makannya. Besar porsi akan mempengaruhi penampilan makanan. Jika terlalu besar atau terlalu kecil penampilan makanan jadi tidak terlalu menarik ( Dewi, 2007 dan Livianti, 2008 ). Pada saat penelitian, semua sampel diberikan lauk hewani dengan porsi yang sama. Ada kemungkinan porsi yang diberikan terlalu besar bagi sampel tertentu sehingga mempengaruhi daya terima. Akan tetapi sebanyak 32 sampel (84,21 %) menilai besar porsi sudah baik. Pada aspek penyajian matang sebanyak 4 sampel (10,53 %) menilai penyajian makanan kurang baik dan sebanyak 34 sampel (89,47 %), menilai penyajian makanan sudah baik. Saat penelitian, aspek penyajian makanan kurang diperhatikan. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya garnish dalam penyajian makanan. Garnish berfungsi untuk menambah daya tarik makanan sehingga dapat meningkatkan selera makan (Dewi, 2007)
46
5.5.2
Persepsi Rasa Makanan TABEL 5.7
TABEL DISTRIBUSI FREKUENSI PENILAIAN RASA MAKANAN DI PONDOK PESANTREN AL HIMMAH KABUPATEN SUKABUMI TAHUN 2011 Hari 1 Rasa Makanan
Hari 2
Total
n
%
n
%
n
%
Kurang
9
23,7
16
42,1
18
47,4
Baik
29
76,3
22
57,9
20
52,6
Jumlah
38
100,0
38
100,0
38
100,0
Pada hari pertama penelitian dapat kita lihat sebanyak 9 sampel (23,7%) menilai rasa makanan kurang dan 29 sampel (76,3 %) menilai rasa makanan baik. Pada hari kedua penelitian dapat dilihat sebanyak 16 sampel (42,1 %) menilai rasa makanan kurang dan 22 sampel (57,9 %) menilai rasa makanan sudah baik. Dari data yang sudah dijumlahkan diatas dapat kita lihat bahwa sebanyak 18 sampel (47,4%) menilai rasa makanan kurang sedangkan 20 sampel (52,6%) menilai rasa makanan baik. Menurut Winarno (2002), faktor penting yang menjadikan penilaian terhadap rasa makanan itu baik atau tidak adalah aroma makanan itu sendiri. Dari aroma inilah akan timbul selera makan. Selera makan akan semakin bertambah apabila terdapat variasi aroma makanan. Saat penelitian, rasa makanan kurang bervariasi. Hal ini dapat dirasakan dari menu yang disajikan. Pada hari pertama penelitian menu yang disajikan adalah nasi putih dan ayam bumbu kecap lalu pada hari kedua disajikan menu makanan nasi putih dan ikan goreng. Masih adanya
47
penilaian kurang pada rasa makanan bisa dimungkinkan karena penggunaan bumbu yang kurang pas. Bisa jadi racikan bumbu kurang terasa karena standar bumbu tidak digunakan sehingga membuat rasa makanan menjadi kurang terasa. Selain itu apabila ikan kurang segar akan membuat ikan menjadi kurang gurih (Tarwotjo, 1998). Hal ini dapat dilihat pada hari kedua, penilaian rasa makanan kurang pada hari kedua sebesar 16 sampel (42,1 %). Pada hari kedua, menu yang disajikan adalah nasi dan ikan goreng. Tidak digunakannya standar bumbu saat proses persiapan membuat rasa ikan goreng kurang terasa. Selain itu, proses pengolahannya dengan cara digoreng dengan tingkat kematangan yang berbeda-beda dari setiap ikan. Hal ini sangat jauh berbeda dengan hari pertama, hari pertama penilaian kurang terhadap rasa hanya pada 9 sampel (23,7%). Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Indriana (2005), sebanyak 41 sampel (68,3 %) menilai rasa makanan sudah baik karena aroma makanan yang tersajikan baik didukung pula oleh penggunaan bumbu yang baik. TABEL 5.8 TABEL DISTRIBUSI FREKUENSI PENILAIAN ASPEK RASA MAKANAN DI PONDOK PESANTREN AL HIMMAH KABUPATEN SUKABUMI TAHUN 2011 Kategori Aspek Rasa Aroma Bumbu Kematangan
Kurang n % 4 10,5 15 39,5 16 42,1
Baik n % 34 89,5 23 60,5 22 57,9
Total n 38 38 38
% 100,0 100,0 100,0
Dari data diatas, sebagian besar sampel menilai aspek rasa makanan sudah baik namun demikian masih ada sampel yang menilai
48
aspek rasa makanan kurang. Penilaian aspek rasa ini adalah penilaian setelah nilai aspek rasa hari pertama dan kedua dijumlahkan. Pada aspek aroma makanan, sebanyak 4 sampel (10,53 %) menilai aroma makanan kurang, hal ini karena bumbu masakan yang kurang meresap pada ikan. Sehingga aroma yang ditimbulkan kurang terasa. Selain itu, masih adanya sampel yang menilai kurang, karena suhu ikan kurang baik, sehingga aroma ikan kurang keluar. Dari segi bumbu sebanyak 15 sampel (39,47 %) menilai bumbu makanan kurang baik. Apabila melihat menu yang disajikan pada menu hari kedua terdapat menu ikan goreng, menu ini memiliki rasa yang kurang baik karena proses persiapan yang kurang baik akibat standar bumbu tidak digunakan. Pada aspek kematangan, sebanyak 16 sampel (42,1 %) menilai makanan kurang matang dan 22 sampel (57,9 %) menilai makanan sudah matang dengan baik. Penilaian yang kurang dikarenakan menu makanan pada hari kedua penelitian adalah menu ikan goreng. Proses pengolahan ikan kurang baik, ada ikan yang digoreng dengan kematangan yang berbeda-beda. Ini berkaitan dengan pendidikan tenaga pengolah yang rendah. Perlu peningkatan pengetahuan kulinari untuk tenaga pengolah agar semakin meningkatkan citarasa makanan yang disajikan. Hal lain yang berhubungan dengan kurangnya penilaian terhadap aspek rasa adalah karena keterbatasan dana sehingga berdampak pada pengeleolaan penyelenggaraan makanannya. Untuk itu hendaknya dana yang disediakan disesuaikan dengan kebutuhan.
49
5.5.3 Persepsi Citarasa Makanan TABEL 5.9 TABEL DISTRIBUSI FREKUENSI PENILAIAN CITARASA MAKANAN DI PONDOK PESANTREN AL HIMMAH KABUPATEN SUKABUMI TAHUN 2011 Hari 1 Citarasa
Hari 2
Total
n
%
n
%
n
%
Kurang
18
47,4
19
50,0
19
50,0
Baik
20
52,6
19
50,0
19
50,0
Jumlah
38
100,0
38
100,0
38
100,0
Pada hari pertama penelitian sebanyak 18 sampel (47,4%) menilai citarasa makanan kurang dan 20 sampel (52,6 %) menilai citarasa makanan baik. Pada hari kedua penelitian sebanyak 19 sampel (50,0%) menilai citarasa makanan kurang dan 19 sampel (50,0%) menilai citarasa makanan baik. Dari data gabungan selama 2 hari penelitian, dapat kita lihat bahwa 19 sampel (50,0 %) menilai bahwa citarasa makanan kurang dan 19 sampel (50,0 %) menilai citarasa makanan sudah baik. Menurut Wood (1988), penerimaan makanan sangat dipengaruhi oleh perpaduan penampilan makanan dan rasa makanan. Penampilan makanan yang disajikan sangat mempengaruhi indera penglihat. Indera penglihat sangat peka terhadap warna makanan, bentuk makanan, serta besarnya porsi makanan yang disajikan. Variasi warna yang menarik, bentuk yang baik, perpaduan yang baik antar tekstur makanan, serta konsistesi dari makanan yang baik dan besar porsi makanan yang disajikan sangat mempengaruhi selera makan konsumen dan juga mampu membuat konsumen menikmati makanan yang disajikan (Khan, 1987 dan Wood, 1988). Selain itu, rasa makanan
50
sangat menentukan penerimaan makan dari konsumen. Perpaduan yang tepat
antara
bumbu
dan
rempah
yang
digunakan
dapat
lebih
meningkatkan selera makan konsumen (Wood, 1988 dan Winarno, 1992 ). Pada
penelitian
ini
sebanyak
19
sampel
(50,0%)
menilai
penampilan makanan dan rasa makanan masih ada yang kurang. Hal ini dapat kita lihat dari aspek penampilan yang disajikan garnish. Selain itu menu yang disajikanpun tidak begitu banyak variasi warna. Hari pertama menu yang disajikan nasi putih dan ayam bumbu kecap. Hanya 2 warna yang tersajikan. Begitupun pada menu kedua, menu yang disajikan adalah nasi puith dan ikan goreng. Menampilkan 2 warna saja. Hal ini berdampak pada penampilan makanan yang kurang menarik. Menu makanan yang disajikan selama 2 hari ini, kurang memiliki variasi rasa. Selama penelitian menu makanan yang disajikan hanya makanan pokok dan lauk hewani saja. Hal ini berdampak pada rasa makanan tersebut. Menurut Khan (1978), agar tercipta keunikan sebuah menu, maka variasi rasa dari berbagai hidangan sangat diperlukan. Apabila satu hidangan sangat mendominasi suatu menu makanan, maka menu makanan tersebut kurang baik untuk disajikan. Moehyi (1992), mengatakan, citarasa makanan dipengaruhi oleh penampilan makanan sebagai faktor pertama dalam mempengaruhi nilai citarasa makanan. Faktor kedua adalah rasa makanan. Rasa makanan yang baik akan menambah nilai citarasa makanan tersebut. Perpaduan antara penampilan dan rasa makanan akan menambah selera dan penerimaan makanan menjadi baik.
51
5.6
Daya Terima Makanan Sampel TABEL 5.10 TABEL DISTRIBUSI FREKUENSI DAYA TERIMA MAKANAN DI PONDOK PESANTREN AL HIMMAH KABUPATEN SUKABUMI TAHUN 2011 Hari 1 Daya Terima
Hari 2
Total
n
%
n
%
n
%
Kurang
5
13,2
0
0,0
5
13,2
Baik
33
86,8
38
100,0
33
86,8
Jumlah
38
100,0
38
100,0
38
100,0
Dari data diatas dapat kita lihat bahwa pada hari pertama penelitian terdapat 5 sampel (13,2%) memiliki daya terima makanan yang kurang dan 33 sampel (86,8%) memiliki daya terima yang baik. Pada hari kedua seluruh sampel memiliki daya terima makanan yang baik. Data daya terima setelah dijumlahkan menunjukan sebanyak 5 sampel (13,2%) memiliki daya terima makanan yang kurang dan 33 sampel (86,8%) memiliki daya terima yang baik. Daya terima sangat dipengaruhi oleh faktor penampilan makanan dan rasa makanan. Hal ini dikarenakan manusia sangat menyukai variasi antara penampilan dan rasa makanan. Perpaduan yang tepat antara penampilan dan rasa makanan semakin menambah selera makan dan meningkatkan daya terima makanan. Hal ini sesuai dengan Suhardjo (1989), karekterisitik makanan menjadi faktor yang mempengaruhi daya terima makanan. Selain faktor makanan beberapa faktor lain yang mempengaruhi daya terima adalah tingkat pendidikan dan sosial ekonomi. Almatsier
(2004)
mengatakan,
daya
terima
makanan
juga
dipengaruhi oleh usia. Semakin bertambah usia, maka kebutuhan zat gizi
52
semakin bertambah hal ini akan membuat daya terima menjadi tinggi akibat kebutuhan gizi yang bertambah. Berbeda dengan Djamaludin (2005), disebutkan bahwa daya terima makanan tidak banyak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan usia. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan. Dari seluruh sampel, sebanyak 33 sampel (86,8%) memiliki daya terima yang baik. Sampel terdiri dari siswa SMP dan SMA yang berusia antara 12-19 tahun. 5.7
Analisis Bivariat 5.7.1 Hubungan antara penampilan makanan dengan daya terima Hubungan antara penampilan makanan dengan daya terima
makanan dapat kita lihat pada tabel 5.11 TABEL 5.11 TABEL HUBUNGAN ANTARA PENAMPILAN MAKANAN DENGAN DAYA TERIMA DI PONDOK PESANTREN AL HIMMAH KABUPATEN SUKABUMI TAHUN 2011 Daya Terima Penampilan
Kurang
Total
Baik
n
%
n
%
n
%
Kurang
3
23,1
10
76,9
13
100,0
Baik
2
8,0
23
92,0
25
100,0
Total
5
13,2
33
86,8
38
100,0
Dari data diatas dapat kita lihat bahwa 13 sampel yang menilai bahwa penampilan makanan kurang, 3 sampel (23,1%) memiliki daya terima yang kurang sedangkan 10 sampel (76,9 %) memiliki daya terima yang baik. Selain itu dari 25 sampel yang menilai penampilan makanan
53
sudah baik, terdapat 2 sampel (8,0 %) yang memiliki daya terima yang kurang dan 23 sampel (92,3 %) memiliki daya terima makanan yang baik. Hasil uji statistik menggunakan fisher’s exact menunjukan nilai p=0,315, lebih besar dari nilai α sebesar 0,05, sehingga dapat kita lihat bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara penampilan makanan dengan daya terima makanan. Hal ini dapat dilihat bahwa meskipun 13 sampel
menilai
penampilan
makanan
kurang
baik
tetapi
tidak
mempengaruhi daya terima sampel. Daya terima sampel tetap baik. Hasil ini berkaitan dengan kondisi sampel yang tidak memiliki alternatif saat makan siang karena harus makan didalam institusi. Ini berkaitan kondisi sampel yang telah membayar biaya makan pada institusi sehingga sampel lebih memilih makan siang yang disajikan institusi. Selain keadaan diatas, aktivitas yang cukup padat membuat sampel tidak sempat untuk mengkonsumsi snack sehingga saat siang tiba selera makan sampel cukup tinggi karena rasa lapar yang timbul sehingga daya terimanya baik meskipun penilaian penampilan makanan kurang. Hal ini dapat dilihat bahwa 13 sampel yang menilai bahwa penampilan makanan kurang, 3 sampel (23,1%) memiliki daya terima yang kurang. Penilaian kurang terhadap penampilan makanan karena adanya keterbatasan dalam pemilihan bahan makanan
berkaitan dengan
keterbatasan penyediaan dana. Hal ini akan berdampak pada menu yang disajikan memiliki penampilan yang kurang karena keterbatasan bahan makanan yang digunakan. Dapat dilihat selama 2 hari penelitian, menu makanan yang disajikan adalah nasi dan ayam bumbu kecap pada hari pertama. Pada hari kedua menu makanan yang disajikan adalah nasi dan ikan goreng. Keterbatasan dalam pemilihan bahan makanan ini hanya menampilkan warna putih dan cokelat saja.
54
Hasil yang sama ditujukan pada penelitian Lasmanawati (2008) di Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung, didapat hasil tidak ada hubungan yang bermakna (p=0,0663) antara penampilan dan daya terima. Sebanyak 34 sampel yang menilai penampilan makanan kurang baik ternyata 29 sampel (85,3 %) memiliki daya terima yang baik. Hal ini karena aktivitas yang cukup padat membuat sampel tidak sempat mengkonsumsi snack. Selain itu, sampel hanya memiliki waktu makan saat istirahat makan siang sehingga rasa lapar yang timbul membuat selera makan menjadi tinggi dan membuat daya terima terhadap makan siang menjadi baik. Selain itu harga makan diluar kantin cukup mahal sehingga sampel lebih memilih makan siang dikantin meskipun hidangan yang disajikan terlihat kurang menarik dalam penampilan makanannya. Pada penelitian Dewi (2007), dari 30 sampel yang menilai penampilan makanan kurang baik, sebanyak 20 sampel (55,6%) memiliki daya terima makanan yang baik. Hasil uji statistik pada penelitian Dewi menunjukan ketidakbermaknaan (p=0,429). Hal ini karena padatnya aktivitas dan jarak yang cukup lama antara makan siang dan makan pagi sehingga sampel rasa lapar yang timbul membuat sampel menghabiskan makanannya meskipun makanan yang disajikan kurang menarik. Padahal menurut Wood (1988), penampilan makanan sangat mempengaruhi penerimaan makanan. Hal ini karena variasi warna yang baik
akan
meningkatkan
selera
makan
sehinggga
meningkatkan
penerimaan makanan. Selain aspek warna, aspek besar porsi dan bentuk makanan sangat memperngaruhi selera makan. Apabila makanan tersebut terlalu besar atau terlalu kecil akan sangat mempengaruhi terhadap penerimaan makanan. Sehingga besar porsi yang sesuai akan berpengaruh terhadap penerimaan makanan. Begitu juga dengan bentuk makanan yang disajikan, semakin beragam bentuk dan potongan makanan akan semakin menambah selera makan.
55
Pendapat Wood sesuai dengan penelitian Hermawati (2003), hasil penelitian Hermawati menunjukan adanya hubungan yang bermakna (p=0,011) antara penampilan makanan dan daya terima makan siang. 5.7.2 Hubungan Antara Rasa Makanan Dengan Daya Terima Makanan Hubungan antara rasa makanan dengan daya terima makanan dapat kita lihat pada tabel 5.12 TABEL 5.12 TABEL HUBUNGAN ANTARA RASA MAKANAN DENGAN DAYA TERIMA DI PONDOK PESANTREN AL HIMMAH KABUPATEN SUKABUMI TAHUN 2011 Daya Terima Rasa Makanan
Kurang
Total
Baik
n
%
n
%
n
%
Kurang
2
11,1
16
88,9
18
100,0
Baik
3
15,0
17
85,0
20
100,0
Total
5
13,2
33
86,8
38
100,0
Dari data diatas dapat dilihat bahwa dari 18 sampel yang menilai rasa makanan kurang terdapat 2 sampel (11,1 %) memiliki daya terima yang kurang dan 16 sampel (88,9 %) memiliki daya terima yang baik. Lalu dari 20 sampel yang menilai bahwa rasa makanan sudah baik, terdapat 3 sampel (15,0 %) memiliki daya terima yang kurang dan 17 sampel (85,0 %) memiliki daya terima yang baik. Hasil uji statistik menggunakan fisher’s exact menunjukan nilai p= 1,00, lebih besar dari α sebesar 0,05 sehingga dapat kita lihat bahwa tidak ada hubungan antara rasa makanan dengan daya terima makanan. Tidak adanya alternatif makan siang menjadikan sampel lebih memilih makanan
56
yang disajikan institusi meskipun rasa makanan yang disajikan kurang baik. Ini dapat kita lihat pada menu kedua, dimana menu ikan goreng disajikan tanpa standar bumbu serta digoreng dengan tingkat kematangan yang berbeda-beda dari tiap ikaan. Selain itu aktivitas yang padat, rasa lapar yang ditimbulkan membuat selera makan menjadi tinggi dan sampel menghabiskan makanannya meskipun makanan yang disajikan kurang memiliki rasa yang baik. Ditambah pula dengan biaya makan yang sudah dibayarkan kepada institusi membuat sampel memakan makanan yang disajikan
institusi.
Tidak
digunakannya
waktu
istirahat
untuk
mengkonsumsi snack membuat rasa lapar semakin terasa saat siang. Sehingga dengan keadaan demikian makanan yang disajikan dapat dihabiskan. Hal ini sama dengan penelitian Saragih (2006), didapatkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara rasa makanan dengan daya terima makanan (p=1,00). Penelitian Dewi (2007) menunjukan hasil yang sama. Tidak ada hubungan yang bermakna antara rasa makanan dengan daya terima makanan (p=0,316). Dari 31 sampel yang menilai rasa makanan kurang baik, 21 sampel (67,8%) memiliki daya terima yang baik. Dari 29 sampel yang menilai rasa makan sudah baik, sebanyak 14 sampel (48,3 %) memiliki daya terima yang kurang. Hal ini karena sebelum istirahat makan siang sampel banyak yang mengkonsumsi snack yang dibeli dari luar institusi. Hal ini membuat sampel kenyang dan tidak menghabiskan makan siang. Rasa makanan menurut Khan (1987), dapat mempengaruhi selera makan konsumen. Selera makan ini akan berpengaruh terhadap daya terima makanan konsumen. Jadi, apabila selera makan baik, daya terima makanpun menjadi baik. juga sebaliknya, apabila selera makan kurang baik, maka daya terimapun menjadi kurang baik.
57
5.7.3 Hubungan Antara Citarasa Makanan Dengan Daya Terima Makanan Hubungan antara citarasa makanan dengan daya terima makanan dapat kita lihat pada tabel 5.13 TABEL 5.13 TABEL HUBUNGAN ANTARA CITARASA MAKANAN DENGAN DAYA TERIMA DI PONDOK PESANTREN AL HIMMAH KABUPATEN SUKABUMI TAHUN 2011 Daya Terima
Citarasa Makanan
Kurang
Total
Baik
n
%
n
%
n
%
Kurang
3
15,8
16
82,4
19
100,0
Baik
2
10,5
17
89,5
19
100,0
Total
5
13,2
33
86,8
38
100,0
Dari data diatas dapat kita lihat bahwa dari 19 sampel yang menilai citarasa makanan kurang, terdapat 3 sampel (15,8 %) memiliki daya terima yang kurang dan 16 sampel (82,4 %) yang memiliki daya terima yang baik. kemudian dari 19 sampel yang menilai citarasa makanan baik terdapat 2 sampel (10,5 %) memiliki daya terima yang kurang dan 17 sampel (89,5 %) memiliki daya terima yang baik. Hasil uji statistik menggunakan fisher’s exact menunjukan nilai p=1,00 lebih besar dari α sebesar 0,05, sehingga dapat dilihat tidak ada hubungan yang bermakna antara citarasa makanan dengan daya terima makanan. Hal ini karena sampel tidak memiliki alternatif makan siang sehingga penampilan makanan yang kurang dan rasa makan yang kurang tidak berpengaruh terhadap daya terima. Ini disebabkan jauhnya rumah
58
makan atau restoran dan biaya makan sudah dibayarkan kepada institusi membuat sampel lebih memilih makanan yang disajikan institusi. Selain itu aktivitas yang tinggi membuat sampel tidak sempat mengkonsumsi snack yang membuat rasa lapar menjadi kian terasa. Ditambah dengan jadwal makan pagi dan makan siang yang cukup lama menambah rasa lapar yang ditimbulkan. Sehingga saat makan siang tiba selera makan menjadi tinggi dan sampel dapat menghabiskan makanan yang disajikan meskipun penilaian sebagian sampel terhadap penampilan makanan dan rasa kurang. Daya terima yang baik bukan karena selera makan yang tinggi akibat penampilan dan rasa yang baik akan tetapi karena rasa lapar maka selera makan menjadi tinggi. Penelitian Lasmanawati (2008) menunjukan hal yang sama. Didapatkan hasil bahwa tidak adanya hubungan yang bermakna antara kualitas makanan dengan daya terima makanan (p=1,00). Hal ini karena jadwal kegiatan sampel yang padat sehingga ada beberapa sampel yang tidak sempat mengkonsumsi snack saat istirahat yang membuat rasa lapar saat siang tiba. Selain itu sampel telah membayar uang makan sehingga sampel lebih memilih makanan yang disajikan institusi. Selain itu harga makanan yang mahal di luar institusi menjadi faktor lain yang membuat sampel lebih memilih makanan yang disajikan institusi. Habisnya makanan bukan karena citarasa makanan yang baik akan tetapi lebih karena kondisi sampel yang lapar sehingga makanan dapat dihabiskan. Penilaian terhadap citarasa makanan dipengaruhi oleh indera penciuman, indera pengecapan dan indera penglihatan. Makanan yang memiliki citarasa yang baik adalah makanan yang penampilannya menarik dan memiliki rasa yang baik juga. Makanan dengan citarasa makanan yang baik akan meningkatkan selera makan sehingga akan meningkatkan daya terima makanan ( Santoso, 2004).
59
Hal ini sesuai dengan Suhardjo (1989), karekterisitik makanan menjadi faktor yang mempengaruhi daya terima makanan. Selain itu, tingkat pendidikan dan sosial ekonomi akan berpengaruh terhadap daya terima makanan. BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan 6.1.1
Penyelenggaraan makanan di Pondok Pesantren Al Himmah dikelola oleh sendiri dibawah pengawasan Biro Rumah Tangga Yayasan.
6.1.2
Penyelenggaraan makanan di Pondok Pesantren Al Himmah telah memiliki standard porsi, standard bumbu, pola menu, dan siklus menu akan tetapi dalam pelaksanaannya belum sesuai dengan apa yang tercantum. Selain itu belum memiliki standar makanan.
6.1.3
Seluruh sampel adalah laki-laki.
6.1.4
Sampel terdiri dari kelas 7 sebanyak 9 orang (23.7%), kelas 8 sebanyak 5 orang (13,2 %), kelas 10 sebanyak 5 orang (13,2 %), kelas 11 sebanyak 8 orang (21,1 %) dan kelas 12 sebanyak 11 orang (28,9%).
6.1.5
Sampel dengan usia 10-12 tahun sebanyak 5 orang (13,2%), usia 13-15 tahun sebanyak 12 orang (31,6%) dan usia 16-19 tahun sebanyak 21 orang (55,3 %)
6.1.6
Dari 38 sampel, 16 sampel (42,1%) menilai persepsi penampilan makanan yang disajikan kurang baik sedangkan 22 sampel (57,9%) menilai makanan yang disajikan sudah baik.
60
6.1.7
Mengenai persepsi rasa makanan, 17 sampel (44,7%) menilai persepsi rasa makanan kurang sedangkan 21 sampel (55,3%) menilai persepsi rasa makanan baik.
6.1.8
Penilaian persepsi citarasa makanan didapat hasil bahwa 14 sampel (36,8%) menilai bahwa persepsi citarasa makanan kurang dan 24 sampel (63,2%) menilai persepsi citarasa makanan sudah baik.
6.1.9
Sebanyak 5 sampel (13,2%) memiliki daya terima makanan yang kurang dan 33 sampel (86,8%) memiliki daya terima yang baik.
6.1.10 Tidak ada hubungan yang bermakna antara persepsi penampilan makanan dengan daya terima makanan. Hasil uji statistik menunjukan nilai p=0,315, lebih besar dari nilai α sebesar 0,05. 6.1.11 Tidak ada hubungan antara persepsi rasa makanan dengan daya terima makanan. Hasil uji statistik menunjukan nilai p= 1,00, lebih besar dari α sebesar 0,05. 6.1.12 Tidak ada hubungan yang bermakna antara persepsi citarasa makanan dengan daya terima makanan. Hasil uji statistik menunjukan nilai p=1,00 lebih besar dari α sebesar 0,05. 6.2 Saran 6.2.1
Perlu pengawasan serta evaluasi pada perencanaan diantaranya perencanaan menu, pola menu yang disusun, dan standar bumbu sehingga pelaksanaan penyelenggaraan makanan menjadi lebih baik lagi.
6.2.2
Perlu disusun standar makanan untuk para siswa
6.2.3
Perlu
adanya
pengetahuan meningkat.
pelatihan dan
tenaga
keterampilan
pengolah tenaga
agar
pengolah
61
6.2.4
Diperlukan ahli gizi dalam kegiatan pengawasan penyelenggaraan makanan.
6.2.5
Apabila dimungkinkan adanya penambahan biaya makan agar menu yang disajikan dapat lebih baik lagi. Daftar Pustaka
Alimudin, Yusuf. 2009. Hubungan Body Image, Asupan Energi, Aktivitas Fisik Dan Status Gizi Pada Remaja Di SMUN 13 Bandung. Bandung : Jurusan Politeknik Kesehatan Bandung Kemenkes Bandung. Almatsier, Sunita. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Arisman. 2004. Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta : EGC. Budiarto, Eko. 2004. Metodologi Penelitian Kesehatan Sebuah Pengantar. Jakarta : EGC. Chandra, Budiman. 1995. Pengantar Statistik Kesehatan. Jakarta : EGC. Depertemen
Kesehatan
Republik
Indonesia.
2004.
Tabel
Angka
Kecukupan Gizi. Dewi, Krisma. 2007. Hubungan Antara Penampilan Makanan Dan Rasa Makanan Dengan Daya Terima Makan Siang Siswa SPK Sungailat Bangka Tahun 2007. Bandung : Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung. Djamaluddin, Mihir, Endy P Prawirohartono Dan Ira Paramastri. 2005. “Analisis Zat Gizi Dan Biaya Sisa Makanan Pada Pasien Dengan Makanan Biasa” Dalam Jurnal Gizi Klinik Indonesia.Volume 1, No. 3. Halaman 108-112.
62
Ermalina, N. Dessy. 2008. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Daya Terima Makanan Lunak Pada Pasien Ruang Rawat Inap Di Kelas III Bayu Karta Hospital And Eye Center Kabupaten Karawang. Bandung : Jurusan Politeknik Kesehatan Bandung Kemenkes Bandung. Fajar, Ibnu Dkk. 2009. Statistika Untuk Praktisi Kesehatan. Yogyakarta : Graha Ilmu. Gibson, Rosalind S. 2009. Principles Of Nutritional Assessment Second Edition. New York : Oxford University Press, Inc. Hermawati, Dede. 2003. Hubungan Persepsi Terhadap Kualitas Makanan Yang Disajikan Dengan Daya Terima Mahasiswa Di Kantin Timur ITB. Bandung: Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan
Kemenkes
Bandung. Indriana, Dina. 2005. Hubungan Persepsi Citarasa Makan Siang Di Pondok Pesantren Mathlaul Huda. Bandung : Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung. Khan, Mahmood. 1987. Food Service Operation. New York : An Avi Book. Kusumastuti, Esthi Wahyu. 2009. Evaluasi System Penyelenggaraan Makanan Di SDI El Yaomi Kelurahan Tegalrejo, Kecamatan Ceper, Klaten. Program Studi D3 Gizi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Lasmanawati, Rika. 2008. Hubungan Antara Kualitas Makanan Dengan Daya Terima Makan Siang Mahasiswa Di Kantin Politeknik Kesehatan Bandung Jurusan Gizi. Bandung : Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung.
63
Livianti, Rissa. 2008. Hubungan Antara Penilaian Cita Rasa Dengan Daya Terima Makan Siang Yang Disajikan Di SMA Pesantren Terpadu Hayyatan Thoyyibah Kota Sukabumi Tahun 2008. Bandung: Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung. Moehyi, Syahmien. 1992. Penyelenggaraan Makanan Institusi dan Jasa Boga.. Jakarta : Bhratara. Mukrie, Nursiah A. 1990. Manajemen Pelayanan Gizi Institusi Dasar. Proyek Pengembangan Pendidikan Gizi Pusat Bekerja Sama Dengan Akademi Gizi Kemenkes RI Jakarta. Nihayah, Siti. 2007. Hubungan Antara Kualitas Makan Siang Yang Disajikan Dengan Asupan (Energi, Protein) Siswi Madrasah Tsanawiyah Di Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut. Bandung: Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung. Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Par’i, M Holil. 2009. Pedoman Pengukuran Penilaian Status Gizi. Bandung : Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung. Santoso, Soegeng, Dkk. 2004. Kesehatan & Gizi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Saragih, Marianawati. 2006. Hubungan Kualitas Makanan Dan Daya Terima Makan Siang Siswi Di Pondok Pesantren Husnul Khotimah Kuningan.
Bandung
:
Jurusan
Gizi
Politeknik
Kesehatan
Kemenkes Bandung. Sediaoetama, Achmad Djaeni. 1988. Ilmu Gizi Dasar Untuk Mahasiswa dan Profesi di Indonesia Jilid 1. Jakarta : Dian Rakyat.
64
Shalehah, Yanti Amalia. 2007. Hubungan Asupan Energy Protein dan Protein dengan Status Gizi Siswa Kelas 5 Sekolah Dasar Hikmah Teladan Bandung. Bandung: Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung. Sujardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor : Pusat Antar Universitas Pangan Dan Gizi IPB. Sullivan, Catherine F. 1990. Management Of Medical Foodservice. New York : Van Nostrand Reinhold. Supariasa, I Dewa Nyoman. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC. Tarwotjo, Soejoeti. 1998. Dasar-Dasar Gizi Kuliner. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana. West, Bessie B Dan Levelle Wood. 1988. Foodservice In Institutions Sixth Edition. New York: Macmilian Publishing Company. Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan Dan Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Winarno, F. G. 2002. Flavor Bagi Industri Pangan. Bogor : M-Brio Press. Yamsehu, Wulan Septiani. 2008. Hubungan Hygiene Penjamah Tenaga Dan Sanitasi Makanan Dengan Daya Terima Makan Siang Siswa SD Al Biruni Bandung Tahun 2008. Bandung : Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung. Yuniastuti, Ari. 2008. Gizi Dan Kesehatan. Yogyakarta : Graha Ilmu.