BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan wilayah adalah wujud dari keinginan masyarakat di suatu daerah untuk tumbuh dan berkembang dari segi ekonomi, politik, sosial, budaya dan keamanan, dalam dimensi geografis. Tingkat perkembangan wilayah dapat dilihat dari rasio luas wilayah terbangun terhadap total luas wilayah. Semakin besar rasionya, maka semakin tinggi tingkat perkembangan wilayahnya. Semakin luas wilayah
terbangun
dapat
diartikan
semakin
tinggi
aktivitas
ekonomi
masyarakatnya. Kondisi tersebut dapat dilihat dari semakin rapatnya jaringan jalan, semakin meluasnya wilayah perkantoran dan perdagangan, semakin menyebarnya wilayah pemukiman dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan tingginya peluang kerja. Perencanaan transportasi merupakan salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam perencanaan kota, terutama kota yang dinamis dan terus berkembang. Di sisi lain, pertumbuhan penduduk kota menjadi sebab bertambahnya kebutuhan akan transportasi karena transportasi merupakan kebutuhan sehari-hari penduduk dalam menuju suatu tempat untuk melakukan aktivitasnya. Transportasi sendiri memiliki banyak komponen di dalamnya. Salah satu komponen penting dalam transportasi yaitu lalu lintas, yang berkaitan dengan mobilitas. Semakin berkembangnya kota yang ditandai dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi dapat meningkatkan peningkatan lalu lintas akibat bertambahnya penggunaan jumlah kendaraann bermotor oleh penduduk. Bintarto (1977) menjelaskan bahwa perkembangan kota diikuti dengan masalah kelalu lintasan. Salah satu contohnya adalah terjadinya kesemerawutan lalu lintas yang dapat mengakibatkan kemacetan, kecelakaan, dampak negatif pada lingkungan yang dapat mengakibatkan penurunanan kualitas lingkungan, polusi udara dan polusi suara, maupun dampak negatif pada sistem sirkulasi kota.
1
Transportasi yang memiliki banyak aspek positif bagi kehidupan manusia di sisi lain juga memiliki dampak negatif bagi lingkungan. Salah satu lokasi dengan lalu lintas yang cukup padat adalah di sekitar kawasan pusat perbelanjaan Kota Tasikmalaya yaitu di Jalan KH Zaenal Mustofa, padahal untuk suatu pusat perbelanjaan dibutuhkan kondisi yang kondusif untuk mendukung kegiatan di dalamnya serta mendukung perencanaan kedepannya dan membangun perencanaan sebagai contoh untuk menuju keadaan yang lebih baik. Lalu lintas di Jalan KH Zaenal Mustofa terdiri dari mobilitas masyarakat yang berbelanja di pusat Kota Tasikmalaya. Selain itu, sebagai salah satu pusat kegiatan yang strategis dan titik lokasi pertumbuhan yang terpengaruh oleh perkembangan kota. Jalan KH Zaenal Mustofa terdapat fasilitas-fasilitas pelayanan umum seperti fasilitas perbankan (BNI, BJB, Mayapada), serta bidang jasa seperti rumah makan, percetakan, dan lain lain. Akses terhadap fasilitas-fasilitas pelayanan tersebut berada di jalan KH Zaenal Mustofa yang merupakan jalan di kawasan perbelanjaan dan pusat kota menjadi kebutuhan banyak orang (faktor tarikan), sehingga akses terhadap fasilitas pelayanan umum dan kawasan pusat perbelanjaan tersebut menjadikan kebutuhan mobilitas yang melintasi ruas Jalan KH Zaenal Mustofa. Disamping itu, penggunaan bahu jalan untuk parkir dan keberadaan pedagang kaki lima, dapat menambah kesemrawutan kota dan kepadatan lalu lintas, diperparah banyaknya jumlah kendaraan yang melintasi ruas Jalan KH Zaenal Mustofa. Permasalahan yang terjadi adalah kecenderungan volume lalu lintas yang semakin bertambah sedangkan kapasitas jalan yang tetap, apalagi jika kapasitas jalan berkurang akibat penggunaan bahu jalan untuk parkir maupun lokasi berjualan para Pedagang Kaki Lima (PKL). Hidayat (1983) menjelaskan sektor informal adalah bagian dari sistem ekonomi kota dan desa yang belum mendapatkan bantuan ekonomi dari pemerintah atau belum mampu menggunakan bantuan yang telah disediakan atau sudah menerima bantuan tetapi belum sanggup berdikari. Sektor informal banyak dipilih dan digeluti karena lebih mampu bertahan ditengah masa krisis dan lebih fleksibel mengingat pekerjaan di sektor informal tidak terikat dengan kontrak perusahaan dan jam kerjanya pun ditentukan sendiri oleh pelaku sektor informal. Evers, Hans Dieter dan Rudiger Korff (2002) menjelaskan
2
pedagang kaki lima adalah bagian dari sektor informal kota yang mengembangkan aktivitas produk barang dan jasa diluar control pemerintah dan tidak terdaftar. Keberadaan PKL sendiri turut menjadi faktor penyebab kepadatan lalu lintas, tetapi adanya PKL merupakan hal yang mutlak terjadi di kota-kota besar mengingat arus lalu lintas yang ramai justru memicu pula kegiatan ekonomi non formal seperti PKL. Warpani Suwardjoko (1985) menjelaskan adanya aktivitas hambatan samping yang seringkali menghambat sisi segmen jalan yang berupa trotoar dan bahu jalan secara otomatis akan diikuti pula dengan kebutuhan ruang yang bahkan memakan bahu jalan (parkir on street) sehingga menambah kepadatan lalu lintas dan berpotensi mengakibatkan kemacetan lalu lintas. Kemacetan di jalan memberikan kerugian, baik cost (waktu, biaya) maupun energi yang terbuang. Fenomena kemacetan di jalan berkaitan dengan kepadatan volume lalu lintas. Dapat diasumsikan bahwa semakin padat volume lalu lintas maka akan semakin memicu terjadinya kemacetan apabila kapasitas jalan tidak mendukung. Morlok (1988) memaparkan pola pergerakan arus lalu-lintas dipengaruhi simpul-simpul kegiatan kota itu sendiri dan simpul-simpul kota di sekitar kota itu, yang kesemuanya merupakan bangkitan lalu-lintas. Untuk menggambarkan kepadatan lalu lintas pada ruas-ruas jalan di Kota Tasikmalaya, maka dapat diketahui dari banyaknya volume lalu-lintas yang tinggi dengan V/C ratio (derajat kejenuhan) yang tinggi pula. Derajat kejenuhan atau aktivitas samping segmen jalan yang tinggi mengakibatkan kecepatan kendaraan rendah dan penurunan tingkat pelayanan jalan, dan tidak jarang bisa menimbulkan kemacetan. Santoso (1997) mengungkapkan bahwa di kota-kota negara berkembang permasalahan kemacetan lalu- lintas terasa lebih signifikan dan akut dibandingkan dengan kota-kota di negara maju. Kota Tasikmalaya menjadi daerah tujuan penelitian mengingat kepadatan lalulintas di pusat kota ini khususnya di kawasan jalan pusat perbelanjaan cukup tinggi sehingga tak jarang terjadi kemacetan pada saat jamjam puncak. Perbandingan volume lalu lintas terhadap kapasitas jalan atau V C ratio (volume capacity ratio) disebut dengan derajat kejenuhan. Saat ini volume lalu lintas merupakan kondisi eksisting atau kondisi saat ini, sedangkan kapasitas jalan
3
sebagai kondisi volume lalu lintas optimal yang ideal. Perbandingan diantara keduanya mempresentasikan derajat kejenuhan, sehingga v/c ratio atau derajat kejenuhan menunjukan tingkat kepadatan volume lalu lintas. Kondisi jalan perkotaan yang baik adalah dengan derajat kejenuhan yang rendah yaitu tidak terdapat hambatan samping segmen jalan. Begitu pula dengan kawasan pusat perbelanjaan, diperlukan derajat kejenuhan jalan yang rendah untuk mendukung mobilitas masyarakat yang lebih efisien. Kelancaran lalu lintas di pengaruhi oleh 2 faktor, yaitu faktor internal: peningkatan jumlah kendaraan, kualitas infrastruktur jalan, kapasitas jalan, hingga sistem sirkulasi kendaraan. Faktor eksternal: kecelakaan, bencana alam, PKL, serta on-street parking/parkir yang memakan ruas jalan. Dari beberapa faktor tersebut, kajian akan mengarah pada faktor internal dan eksternal, yaitu faktor peningkatan jumlah kendaraan tingkat pelayanan jalan dan faktor eksternal yaitu pedagang kakilima (PKL). Lokasi penelitian berada di ruas jalan Kota Tasikmalaya tepat nya di jalan KH Zaenal Mustofa yang merupakan pusat perbelanjaan dengan aktivitas PKL (Pedagang Kaki Lima).
1.2 Rumusan Masalah Kemacetan lalu lintas merupakan salah satu permasalahan dalam sistem transportasi kota, terutama kota yang memiliki populasi besar. Kemacetan lalu lintas memberikan banyak kerugian, baik bagi masyarakat maupun lingkungan. Fenomena kemacetan berkaitan dengan kepadatan volume lalu lintas. Semakin padat volume lalu lintas dan kurang optimalnya tingkat pelayanan jalan maka akan semakin memicu terjadinya kemacetan. Jalan KH Zaenal Mustofa berada di daerah yang terkena dampak perkembangan kota, dimana lokasinya yang merupakan lokasi pusat perbelanjaan, fasilitas pelayanan umum dan berada di pusat kota, oleh karena itu arus lalu lintas di ruas Jalan KH Zaenal Mustofa cukup tinggi. Sehingga volume lalu lintas yang tinggi tentunya memerlukan penataan lalu lintas. Keberadaan pedagang kaki lima menjadi salah satu pengguna ruang yang terdapat pada ruang fasilitas publik dan bahu jalan di sekitar pusat perbelanjaan
4
Kota Tasikmalaya, sehingga perlu dilakukan penelitian ini guna mengetahui seberapa besar dampak aktivitas tersebut yang memakai ruang trotoar dan bahu jalan yang mengakibatkan kepadatan arus lalu lalu lintas. Berdasarkan permasalahan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana penggunaan ruang trotoar dan bahu jalan oleh aktivitas PKL yang ada di Jl.KH Zaenal Mustofa ? 2. Bagaimana pengaruh aktivitas PKL terhadap kondisi arus lalu lintas di Jl.KH Zaenal Mustofa
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah penelitian di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah 1. Mengidentifikasi penggunaan ruang trotoar dan bahu jalan oleh aktivitas PKL yang ada di Jl. KH Zaenal Mustofa. 2. Mengetahui pengaruh aktivitas PKL terhadap kondisi arus lalu lintas di Jl.KH.Zaenal Mustofa.
1.4 Manfaat a. Menambah wawasan ilmiah dan ilmu pengetahuan bagi peneliti b. Untuk pengembangan ilmu geografi khususnya geografi transportasi c. Dapat memberikan masukan bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan perencanaan penggunaan ruang bagi sektor informal. d. Dapat memberikan masukan bagi pemerintah dalam alokasi anggaran dan identifikasi pada sektor informal, khususnya pedagang kaki lima.
5
1.5 Tinjauan Pustaka 1.5.1. Sektor Informal Hidayat (1983) menjelaskan sektor informal merupakan suatu sistem antara desa dan kota yang belum mampu mandiri karena belum mendapat bantuan ataupun proteksi dari pemerintah. Dibawah ini beberapa karakteristik atau ciri-ciri sektor informal yang terdapat dari berbagai sumber literatur Jayadinata (1999) dan Hidayat (1983) : 1. Memiliki modal sedikit 2. Memanfaatkan teknologi sederhana 3. Memanfaatkan sumberdaya lokal 4. Padat karya 5. Bersifat swakarya dan swadaya 6. Tidak memiliki hubungan dengan pemerintah (perizinan, perpajakan,perlindungan) 7. Keterampilan terbatas 8. Kalangan miskin 9. Migran 10. Tingkat pendapatan biasanya rendah 11. Jam kerja tidak tetap 12. Mudah dimasuki 13. Pemilikan oleh keluarga 14. Tidak memiliki batasan umur bagi yang berada di jalur sektor informal 15. Adaptif terhadap perubahan situasi yang terjadi 16. Modal berasal dari tabungan pribadi atau pinjaman 17. Keterkaitan dengan usaha-usaha lain sangat kecil 18. Usaha sangat beraneka ragam 19. Tempat kerja kecil atau tidak ditentukan batas-batasnya 20. Kondisi kerja tidak aman dan tidak sehat 21. Produktivitas rendah 22. Jam kerja lama
6
23. Umumnya tidak diakui, tidak didaftarkan, tidak diatur atau tidak dilindungi undang-undang ketenagakerjaan. 24. Tidak menikmati hak kepemilikan yang aman 25. Akses terbatas ke sarana publik dan tunjangan
Karakteristik Sektor Informal Rachbini (1994) memaparkan bahwa konsep sektor informal diperkenalkan pertama kali oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada tahun 1973, dalam laporan resmi mengenai misi tenaga kerja di Kenya. Sektor ini disebut sektor informal, sebab pada kenyataannya berbeda dari karakteristik sektor formal. Beberapa alasan menyebutkan sebagai berikut: 1. Sektor informal tidak terdaftar dan tidak tercatat dalam statistik resmi. 2. Sektor ini cenderung memiliki sedikit atau tidak sama sekali akses pada pasar yang terorganisasi (pangsa pasar tidak jelas), institusi/lembaga kredit, pendidikan formal dan lembaga pengajaran atau jasa dan fasilitas publik/umum. 3. Sektor informal tidak dikenal, tidak didukung atau diatur oleh pemerintah. 4. Mereka sering dipaksa oleh keadaan untuk beroperasi di luar kerangka hukum dan menghormati aspek-aspek hukum tertentu, dimana mereka berada di luar batas perlindungan hukum, perundang-undangan buruh dan tindakan perlindungan di tempat kerja. Hubungan Sektor Informal dan Sektor Formal Rachbini (1994) menjelaskan sektor informal sebenarnya banyak manfaatnya bagi kehidupan kota, hal ini dapat terlihat dari sebagian besar pekerja sektor formal tergantung pada dagangan dan jasa dari sektor informal. Fungsi sektor ini sebagai ujung tombak pemasaran berbagai produk sektor formal tidak dapat diabaikan dalam ekonomi kota. Sektor informal ternyata juga sering dijadikan pekerjaan sampingan oleh orang-orang yang telah berada dalam sektor formal seperti pemilik toko yang sore hari menjual bakmi di halaman tokonya, toko pakaian yang menjual
7
dagangannya di kaki lima, dll. Alasan dilakukan cara ini, karena mudah dijalankan tanpa perlu prosedur macam-macam dan sering kali lebih efektif menarik pembeli. Rachbini (1994) berpendapat bahwa berkembangnya sektor informal di perkotaan menimbulkan wajah kusut kota, karena timbulnya daerah-daerah kumuh. Penataan kota masih belum memberikan tempat yang layak bagi kehidupan informal yang dianggap tidak legal. Jika ada segelintir birokrat yang menyadari pentingnya kehidupan sektor informal, maka ini hanya sebatas semangat politis saja.
1.5.2. Pedagang Kaki Lima Widjajanti (2000) menjelaskan Istilah pedagang kaki lima berasal dari jaman pemerintahan Rafles Gubernur jenderal Kolonial belanda yaitu dari kata five feet yang berarti jalur pejalan kaki di pinggir jalan selebar lima kaki. Ruang tersebut digunakan untuk kegiatan penjualan pedagang kecil sehingga disebut dengan pedagang kaki lima. McGee dan Yeung (2007) memaparkan bahwa pedagang kaki lima atau PKL mempunyai pengertian yang sama dengan ”hawkers”, yang didefinisikan sebagai orang-orang yang menjajakan barang dan jasa untuk dijual di tempat yang merupakan ruang untuk kepentingan umum, terutama di pinggir jalan dan trotoar. Oleh karena tidak tersedianya ruang informal kota bagi PKL, maka PKL menggunakan ruang publik, seperti bahu jalan, trotoar, taman kota, di atas saluran drainase, kawasan tepi sungai untuk melakukan aktivitas jual beli. Rachbini (1991) menjelaskan bahwa para pedagang kaki lima (PKL) yang menjajakan barang dagangannya di berbagai sudut kota sesungguhnya adalah kelompok masyarakat yang tergolong marjinal dan tidak berdaya. Dikatakan marjinal sebab mereka rata-rata tersisih dari arus kehidupan kota dan bahkan ditelikung oleh kemajuan kota itu sendiri. Alisjahbana (2006) menyatakan bahwa sifat pedagang kaki lima tidak berdaya, karena mereka biasanya tidak terjangkau dan tidak terlindungi oleh hukum, posisi tawar (bargaining position) mereka lemah
8
dan acapkali menjadi obyek penertiban dan penataan kota yang tak jarang bersikap represif.
1. Penataan Ruang Pedagang Kaki Lima (PKL) Mc Gee dan Yeung (1977) menyatakan, pola ruang aktivitas Pedagang Kaki Lima (PKL) sangat dipengaruhi oleh aktivitas sektor formal dalam menjaring konsumennya. Lokasi PKL sangat dipengaruhi oleh hubungan langsung dan tidak langsung dengan berbagai kegiatan formal dan kegiatan informal atau hubungan PKL dengan konsumennya. Untuk dapat mengenali penataan ruang kegiatan PKL, maka harus mengenal aktivitas PKL melalui pola penyebaran, pemanfaatn ruang berdasarkan waktu berdagang dan jenis dagangan serta sarana berdagang. Komponen penataan ruang sektor informal, antara lain meliputi : a. Lokasi Berdasarkan hasil studi oleh Ir. Goenadi Malang Joedo (dalam Retno Wijayanti 2009), penentuan lokasi yang diminati oleh sektor informal atau pedagang kaki lima adalah sebagai berikut : Terdapat akumulasi orang yang melakukan kegiatan bersama-sama pada waktu yang relatif sama, sepanjang hari. Berada pada kawasan tertentu yang merupakan pusat-pusat kegiatan perekonomi kota dan pusat non ekonomi perkotaan, tetapi sering dikunjungi dalam jumlah besar Mempunyai kemudahan untuk terjadi hubungan antara pedagang kaki lima dengan calon pembeli, walaupun dilakukan dalam ruang relatif sempit Tidak memerlukan ketersediaan fasilitas dan utilitas pelayanan umum. Mc.Gee dan Yeung (1977) menyatakan bahwa PKL beraglomerasi pada simpul-simpul pada jalur pejalan yang lebar dan tempat-tempat yang sering dikunjungi orang dalam jumlah besar yang dekat dengan pasar publik, terminal, daerah komersial.
9
b. Waktu Berjualan McGee dan Yeung (1977) menyatakan bahwa dari penelitian di kota-kota Asia Tenggara menunjukkan bahwa pola aktivitas PKL menyesuaikan terhadap irama dari ciri kehidupan masyarakat sehari-hari. Penentuan periode waktu kegiatan PKL didasarkan pula atau sesuai dengan perilaku kegiatan formal. Dimana perilaku kegiatan keduanya cenderung sejalan, walaupun pada saat tertentu kaitan aktivitas keduanya lemah atau tidak ada hubungan langsung antara keduanya. c. Sarana Fisik Pedagang dan Jenis Dagangan Mc Gee dan Yeung (1997) menjelaskan bahwa sarana fisik perdagangan dan jenis dagangan sangat dipengaruhi oleh sifat pelayanan PKL. d. Jenis Dagangan Makanan dan minuman, yaitu terdiri dari pedagang yang berjualan berbagai makanan dan minuman yang telah dimasak dan langsung disajikan ditempat maupun dibawa pulang. Hasil analisis di beberapa kota-kota di Asia Tenggara menunjukkan bahwa penyebaran fisik PKL ini biasanya mengelompok dan homogen dengan kelompok mereka. Lokasi penyebarannya di tempat-tempat strategis seperti di perdagangan, perkantoran, tempat rekreasi/hiburan, sekolah, ruang terbuka/taman, persimpangan jalan utama menuju perumahan/diujung jalan tempat keramaian. Pakaian/tekstil/mainan anak/kelontong yaitu, pola pengelompokan komoditas ini cenderung berbaur aneka ragam dengan komoditas lain. Pola penyebarannya sama dengan pola penyebaran pada makanan dan minuman. Buah-buahan, yaitu jenis buah yang diperdagangkan berupa buah-buah segar. Komoditas pedagang cenderung berubah sesuai dengan musim buah. Pengelompokan komoditas cenderung berbaur dengan jenis komoditas lainnya. Pola sebarannya berlokasi pada pusat keramaian. Rokok/obat-obatan, biasanya pedagang yang menjual rokok juga berjualan makanan ringan, obat, permen. Jenis komoditas ini cenderung menetap. Lokasi
10
sebarannya di pusat-pusat keramaian atau dekat dengan kegiatan-kegiatan sektor formal. Barang cetakan, yaitu jenis dagangan adalah majalah, koran, dan buku bacaan. Pola pengelompokkannya berbaur dengan jenis komoditas lainnya. Pola penyebaran pada lokasi strategis di pusat-pusat keramaian dan jenis komoditas yang diperdagangkan relatif tetap. Jasa perorangan, yaitu terdiri dari tukang membuat kunci, reparasi jam, tukang gravier/stempel/cap, tukang pembuat pigura. Pola penyebarannya pada lokasi pusat pertokoan. Pola pengelompokannya membaur dengan komoditas lainnya. e. Sarana Fisik Pedagang Kaki Lima Berdasarkan hasil dari penelitian oleh Waworoentoe (dalam Retno Wijayanti 2009), sarana fisik perdagangan pedagang kaki lima dapat dikelompokkan sebagai berikut Pikulan/Keranjang, bentuk sarana ini digunakan oleh para pedagang yang keliling (mobile hawkers) atau semi menetap (semi statik). Bentuk ini dimaksudkan agar barang dagangan mudah untuk dibawa berpindah-pindah tempat. Gelaran/alas, pedagang menjajakan barang dagangannya diatas kain, tikar, dan lain-lain. Bentuk sarana ini dikategorikan PKL yang semi menetap (semi static). Jongko/meja, bentuk sarana berdagang yang menggunakan meja/jongko dan beratap atau tidak beratap. Sarana ini dikategorikan jenis PKL yang menetap. Gerobak/kereta dorong, bentuk sarana terdapat dua jenis, yaitu beratap dan tidak beratap. Sarana ini dikategorikan jenis PKL yang menetap dan tidak menetap. Biasanya untuk menjajakan makanan dan minuman. Warung semi permanen, terdiri dari beberapa gerobak yang diatur berderet yang dilengkapi dengan meja dan bangku-bangku panjang. Bentuk sarana ini beratap dari bahan terpal atau plastik yang tidak tembus air. PKL dengan bentuk sarana ini dikategorikan PKL menetap dan biasanya berjualan makanan dan minuman.
11
Kios, pedagang yang menggunakan bentuk sarana ini dikategorikan pedagang yang menetap, karena secara fisik jenis ini tidak dapat dipindahkan,merupakan bangunan semi permanen yang dibuat dari papan. 2. Pola penyebaran PKL dan Pola Pelayanan PKL a. Pola Penyebaran Menurut Mc Gee dan Yeung (1977) pola penyebaran PKL dipengaruhi oleh aglomerasi dan aksesibilitas. Aglomerasi, aktivitas PKL selalu akan memanfaatkan aktivitas-aktivitas di sek tor formal dan biasanya pusat-pusat perbelanjaan menjadi salah satu daya tarik lokasi sektor informal untuk menarik konsumennya. Adapun cara PKL menarik konsumen dengan cara berjualan berkelompok (aglomerasi). Para PKL cenderung melakukan kerjasana dengan pedagang PKL lainnya yang sama jenis dagangannya atau saling mendukung seperti penjual makanan dan minuman. Pengelompokan PKL juga merupakan salah satu daya tarik bagi konsumen, karena mereka dapat bebas memilih barang atau jasa yang diminati konsumen. Aksesibilitas, para PKL lebih suka berlokasi di sepanjang pinggir jalan utama dan tempat-tempat yang sering dilalui pejalan kaki Mc.Gee dan Yeung (1977) menjelaskan pola penyebaran aktivitas PKL ada dua kategori, yaitu: Pola penyebaran PKL secara mengelompok (focus aglomeration), biasa terjadi pada mulut jalan, disekitar pinggiran pasar umum atau ruang terbuka. Pengelompokkan
ini
terjadi
merupakan
suatu
pemusatan
atau
pengelompokan pedagang yang memiliki sifat sama / berkaitan. Pengelompokan pedagang yang sejenis dan saling mempunyai kaitan, akan menguntungkan pedagang, karena mempunyai daya tarik besar terhadap calon pembeli. Aktivitas pedagang dengan pola ini dijumpai pada ruang-ruang terbuka (taman, lapangan, dan lainnya). Biasanya dijumpai pada para pedagang makanan dan minuman.
12
Pola penyebaran memanjang (linier aglomeration), pola penyebaran ini dipengaruhi oleh pola jaringan jalan. Pola penyebaran memanjang ini terjadi di sepanjang/pinggiran jalan utama atau jalan penghubung. Pola ini terjadi berdasarkan
pertimbangan
kemudahan
pencapaian,
sehingga
mempunyai
kesempatan besar untuk mendapatkan konsumen. Jenis komoditif yang biasa diperdagangkan adalah sandang / pakaian, kelontong, jasa reparasi, buahbuahan, rokok/obat-obatan, dan lain b. Pola Pelayanan PKL Menurut Mc Gee dan Yeung (1977) sifat pelayan PKL digolongkan menjadi beberapa berikut : Unit PKL tidak menetap. Unit ini ditunjukkan oleh sarana fisik perdagangan yang mudah dibawa, atau dengan kata lain ciri utama dari unit ini adalah PKL yang berjualan bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Biasanya bentuk sarana fisik perdagangan berupa kereta dorong, pikulan / keranjang. Unit PKL setengah menetap. Ciri utama unit ini adalah PKL yang pada periode tertentu menetap pada suatu lokasi kemudian bergerak setelah waktu berjualan selesai (pada sore hari atau malam hari). Sarana fisik berdagang berupa kios beroda, jongko atau roda/kereta beratap. Unit PKL menetap. Ciri utama unit ini adalah PKL yang berjualan menetap pada suatu tempat tertentu dengan sarana fisik berdagang berupa kios atau jongko/roda/kereta beratap. 1.5.3.Lalu Lintas Lalu lintas di dalam Undang-undang no 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan didefinisikan sebagai gerak kendaraan dan orang di ruang Lalu Lintas Jalan. Ruang lalu lintas Jalan adalah prasarana yang diperuntukkan bagi
13
gerak pindah kendaraan, orang atau barang yang berupa jalan dan fasilitas pendukung. Sedangkan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia lalu lintas didefinisikan sebagai (berjalan) bolak-balik; hilir mudik: banyak kendaraan di jalan raya Perihal perjalanan di jalan dsb: pedagang-pedagang di tepi jalan sangat mengganggu, Perhubungan antara sebuah tempat dengan tempat yang lain ( jalan pelayaran, kereta api, dsb) Undang-undang no 22 Tahun 2009 menjelaskan lalu lintas (traffic) adalah kegiatan lalu-lalang atau gerak kendaraan, orang, atau hewan di jalanan. Masalah yang dihadapi dalam perlalu-lintasan adalah keseimbangan antara kapasitas jaringan jalan dengan banyaknya kendaraan dan orang yang berlalu-lalang menggunakan jalan tersebut. Jika kapasitas jaringan jalan sudah hampir jenuh akan terjadi kemacetan lalu lintas. Angkutan (transport) adalah kegiatan pemindahan orang dan/barang dari satu tempat (asal) ke tempat lain (tujuan) dengan menggunakan sarana kendaraan, yang harus diperhatikan adalah keseimbangan antara kapasitas moda angkutan dengan jumlah barang maupun orang yang memerlukan angkutan. Bila kapasitas armada lebih rendah dari yang dibutuhkan, akan banyak barang maupun orang tidak terangkut, atau keduanya dimasukan ke dalam kendaraan yang ada. Di dalam istilah perlalu-lintasan dikenal Lalu-Lintas Harian (LHR) atau ADT (Average Dayly Traffic) yaitu jumlah kendaraan yang lewat secara rata-rata sehari (24 jam) pada suatu ruas tertentu, besarnya LHR akan menentukan dimensi penampang jalan yang akan dibangun. Volume lalu-lintas ini bervariasi besarnya, tidak tetap, tergantung waktu, variasi dalam sehari, seminggu maupun sebulan dan setahun. Di dalam satu hari biasanya terdapat dua waktu jam sibuk, yaitu pagi dan sore hari. Tapi ada juga jalan-jalan yang mempunyai variasi volume lalu-lintas agak merata.
14
Volume lalu-lintas selama jam sibuk dapat digunakan untuk merencanakan dimensi jalan untuk menampung lalu-lintas. Semakin tinggi volumenya, semakin besar dimensi yang diperlukan. Perlu pengamatan yang cermat tentang kondisi di lapangan sebelum menetapkan volume lalu-lintas untuk kepentingan perencanaan. Suatu ciri lalu-lintas pada suatu lokasi belum tentu sama dengan lokasi lain di dalam sebuah kota, apalagi kalau kota tersebut berlainan. Berdasarkan hal tersebut, untuk merencanakan suatu fasilitas perlalu-lintasan pada suatu lokasi, sebaiknya harus diadakan penelitian. Suatu volume yang over estimate akan membuat perencanaan menjadi boros, sedangkan under estimate akan membuat jaringan jalan cepat mengalami kemacetan lalu lintas. 1.5.4..Kemacetan Lalu Lintas Definisi kemacetan dalam Buku Laporan Manajemen Lalu lintas Jawa Tengah tahun 2004 adalah terakumulasinya lalu lintas dengan penggunaan moda yang tidak efisien pada waktu yang sama, pada rute yang sama, pada tujuan yang sama dan karena keinginan untuk melakukan perjalanan yang bersamaan. Meyer (1984) memaparkan bahwa kemacetan lalu-lintas (congestion) pada ruas jalan raya terjadi saat arus lalu-lintas kendaraan meningkat seiring bertambahnya permintaan perjalanan pada suatu periode tertentu serta jumlah pemakai jalan melebihi dari kapasitas yang ada. Wohl (1984) berpendapat bahwa kemacetan lalu lintas terjadi apabila kapasitas jalan tetap sedangkan jumlah pemakai jalan terus meningkat, yang menyebabkan waktu tempuh perjalanan bertambah menjadi lebih lama. Menurut Ofyar Z Tamin (2000) jika arus lalu lintas mendekati kapasitas, kemacetan mulai terjadi. Kemacetan semakin meningkat apabila arus kendaraan begitu besar sehingga kendaraan sangat berdekatan satu sama lain. Kemacetan
total terjadi apabila kendaraan harus berhenti atau
bergerak sangat. Budi D.Sinulingga (1999) menyatakan lalu-lintas tergantung kepada kapasitas jalan, banyaknya lalu-lintas yang ingin bergerak, tetapi jika kapasitas jalan tidak dapat menampung, maka lalu-lintas yang ada akan terhambat dan akan mengalir sesuai dengan kapasitas jaringan jalan maksimum. Tamin dan Nahdalina
15
(1998) menjelaskan tentang kemacetan, ditinjau dari tingkat pelayanan jalan (Level Of Service = LOS), pada saat LOS
0,8). Jika LOS (Level Of Service) sudah mencapai E, aliran lalu-lintas menjadi tidak stabil sehingga terjadilah tundaan berat, yang disebut dengan kemacetan lalu-lintas.
1.5.5. Kapasitas Jaringan Jalan Warpani Suwardjoko (1985) menjelaskan kapasitas jaringan jalan adalah jumlah maksimum kendaraan yang dapat melewati jalan tersebut dalam periode satu jam tanpa menimbulkan kepadatan lalu-lintas yang menyebabkan hambatan waktu, bahaya atau mengurangi kebebasan pengemudi menjalankan kendaraannya. Dapat dilihat bahwa kapasitas jalan juga tergantung kepada jumlah lajur. Apabila suatu jalan dilebarkan dari 2 lajur menjadi 4 lajur maka kapasitasnya bukan hanya meningkat menjadi 2 kali tetapi menjadi 4 kalinya. Dapat dikatakan bahwa kapasitas lajur dalam sistem jalur banyak akan menjadi 2 kali kapasitas lajur dalam jalur ganda. Kapasitas mengalirkan lalu-lintas pada persimpangan jalan akan menurun dengan tajam dibandingkan tanpa persimpangan jalan. Inilah salah satu penyebab maka dibangun jalan bebas hambatan atau jalan arteri dengan persimpangan yang terbatas, dengan tujuan agar aliran lalu-lintas tidak terhambat, dengan adanya persimpangan jalan. Rumus yang digunakan untuk menghitung kapasitas jalan kota, berdasarkan kapasitas jalan Indonesia (MKJI,1997) adalah sebagai berikut: C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs Dimana : C
= kapasitas ruas jalan (smp/jam)
Co
= kapasitas dasar (smp/jam), ditentukan tipe jalan dan jumlah lajur
FCw = faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas efektif
16
FCsp = faktor penyesuaian pemisahan arah FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping, FCcs = faktor penyesuaian ukuran kota menurut fungsi jumlah penduduk. a. Bagian-Bagian Jalan Untuk Jalan raya sesuai dengan PP No.26 Tahun 1985, diuraikan bagianbagian dari jalan yaitu : daerah manfaat jalan, daerah milik jalan dan daerah pengawasan jalan.
b. Daerah Manfaat Jalan Daerah Manfaat Jalan ialah ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar, tinggi dan kedalaman ruang tertentu (kedalaman tanah), yang diperuntukkan bagi median (jalur pemisah), perkerasan jalan, bahu jalan, jalur pemisah, trotoar, lereng, ambang pengamanan dan saluran tepi jalan. Pada prinsipnya daerah manfaat jalan ini sisi luarnya akan dibatasi oleh saluran tepi jalan, yang digunakan untuk kepentingan lalu-lintas serta fasilitas pendukungnya. c. Daerah Milik Jalan Daerah Milik Jalan ialah ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar dan tinggi tertentu yang dikuasai oleh pembina jalan (pemerintah pusat atau pemerintah daerah). Ada kemungkinan Daerah Milik Jalan lebih besar dari Daerah Manfaat Jalan, suatu keadaan dimana lebar jalan belum dibuka sepenuhnya dan masih memerlukan rencana pelebaran di masa mendatang. Untuk jalan-jalan yang sudah final lebarnya maka Daerah Manfaat Jalan akan sama dengan Daerah Milik Jalan d. Daerah Pengawasan Jalan Daerah Pengawasan Jalan adalah daerah jalan yang dibatasi oleh lebar dan tinggi tertentu yang ditetapkan oleh pembina jalan dan diperuntukkan bagi pandangan bebas bagi pengemudi dan pengamanan konstruksi jalan. Walaupun ruang sepanjang daerah pengawasan jalan ini masih dimiliki haknya oleh orang atau badan hukum tertentu tetapi tidak bebas dari kepentingan umum. Hal ini sering
17
dijabarkan dalam peraturan garis sempadan bangunan, yaitu suatu garis dimana seseorang atau badan hukum dapat mendirikan bangunan sesuai dengan ketentuan ijin membangun. 1.5.6. Satuan Mobil Penumpang Satuan mobil penumpang (smp) adalah unit untuk mengkonversikan satuan arus lalu lintas dari kendaraan/jam menjadi satuan mobil penumpang (smp/jam). Arus lalu lintas yang terdiri dari bermacam jenis kendaraan, seperti mobil penumpang, bus, truk dan sepeda motor dikonversikan menjadi satu satuan arus lalu lintas yaitu smp/jam dengan menganggap bahwa satu kendaraan, selain jenis kendaraan penumpang, diganti oleh satu kendaraan penumpang dikali dengan emp. Setiap jenis kendaraan memiliki nilai smp yang berbeda dengan jenis kendaraan yang lain, tergantung pada pengaruh keberadaannya didalam suatu arus lalu lintas. Berikut ditunjukan pada tabel 1.1. equivalen mobil penumpang : Tabel 1.1. Equivalen Mobil Penumpang Jenis Kendaraan
Datar/Perbukitan
Pegunungan
Sepeda motor
0,5
0,5
Sedan, Jeep
1,0
1,0
Pick-up, Bus Kecil, Truck Kecil
1,2 – 2,4
1,9 – 3,5
Bus dan Truck Besar
1,2 – 5,0
2,2 – 6,0
Sumber :Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Bina Marga,2007 1.5.7. Tundaan dan Hambatan Samping. a. Tundaan Pignatoro (1973) menjelaskan tundaan adalah waktu yang hilang akibat adanya gangguan lalu-lintas yang berada diluar kemampuan pengemudi untuk
18
mengontrolnya. Tundaan terbagi atas dua jenis, yaitu tundaan tetap (fixed delay) dan tundaan operasional (operational delay). Tundaan tetap (fixed delay) Tundaan tetap adalah tundaan yang disebabkan oleh peralatan kontrol lalulintas dan terutama terjadi pada persimpangan. Penyebabnya adalah lampu lalulintas, rambu-rambu perintah berhenti, simpangan prioritas (berhenti dan beri jalan), penyeberangan jalan sebidang bagi pejalan kaki dan persimpangan rel kereta api. Tundaan operasional (operational delay) Tundaan operasional adalah tundaan yang disebabkan oleh adanya gangguan di antara unsur-unsur lalu lintas itu sendiri. Tundaan ini berkaitan dengan pengaruh dari lalu lintas (kendaraan) lainnya. Tundaan operasional itu sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu tundaan akibat gangguan samping (side friction), disebabkan oleh pergerakan lalu-lintas lainnya, yang mengganggu aliran lalu-lintas, seperti kendaraan parkir, pejalan kaki, kendaraan yang berjalan lambat, dan kendaraan keluar masuk halaman karena suatu kegiatan. Tundaan akibat gangguan di dalam aliran lalu-lintas itu sendiri (internal friction), seperti volume lalu-lintas yang besar dan kendaraan yang menyalip ditinjau dari tingkat pelayanan jalan (Level Of Service = LOS), tundaan mulai terjadi pada saat LOS < C.LOS < C artinya adalah saat kondisi arus lalu-lintas mulai tidak stabil, kecepatan operasi menurun relatif cepat akibat hambatan yang timbul dan kebebasan bergerak relatif kecil. Pada kondisi ini nisbah volume kapasitas lebih besar atau sama dengan 0,8( V/ C > 0,8 ). Jika LOS (Level Of Service) sudah mencapai E, aliran lalu-lintas menjadi tidak stabil sehingga terjadilah tundaan berat, yang disebut dengan kemacetan lalu-lintas. Ditunjukan pada tabel 1.2. Tabel Karakteristik Tingkat LOS.
19
Tabel 1.2. Tabel Karakteristik Tingkat LOS Tingkat Pelayanan
Rasio V/C
Karakteristik
< 0,60
Arus bebas, volume rendah dan kecepatan tinggi, pengemudi dapat memilih kecepatan yang dikehendaki
B
0,60 < V/C < 0,70
Arus stabil, kecepatan sedikit terbatas oleh lalu lintas, pengemudi masih dapat bebas dalam memilih kecepatannya.
C
0,70 < V/C < 0,80
Arus stabil, kecepatan dapat dikontrol oleh lalu lintas
0,80 < V/C < 0,90
Arus mulai tidak stabil, kecepatan rendah dan berbedabeda, volume mendekati kapasitas
0,90 < V/C <1
Arus tidak stabil, kecepatan rendah dan berbeda-beda, volume mendekati kapasitas
>1
Arus yang terhambat, kecepatan rendah, volume diatas kapasitas, sering terjadi kemacetan pada waktu yang cukup lama.
A
D
E
F
Sumber : Tamin dan Nahdalima, 1998 b. Hambatan Samping Hambatan samping adalah dampak terhadap kinerja lau-lintas dari aktivitas samping
segmen
jalan,
seperti
pejalan
kaki
(bobot=0,5),
kendaraan
umum/kendaraan lain berhenti (bobot=1,0), kendaraan masuk/keluar sisi jalan (bobot=0,7), kendaraan lambat dan becak roda tiga (bobot=0,4). Pedagang kaki lima yang terdapat di bahu jalan mempunyai bobot yang sama dengan kendaraan umum/kendaraan berhenti (bobot=1,0), karena aktivitasnya yang menetap berhenti dan menggunakan badan jalan. Sedangkan untuk penentuan Kelas Hambatan Samping (SFC), dapat dilihat pada tabel 1.3. nilai kelas hambatan samping.
20
Tabel 1.3.Tabel Nilai kelas hambatan samping Kelas Hambatan samping (SCF)
Jumlah kejadian per 200 m perjam
Kode
Sangat rendah
VL
Kondisi Daerah
<100
Daerah pemukiman; hampir tidak ada kegitan
100-299
Daerah pemukiman; berupa angkutan umum, dasb
Rendah
L
Sedang
M
300-499
Daerah industri, beberapa toko disi jalan
Tinggi
H
500-899
Daerah komersial; aktivitas sisi jalan yang sangat tinggi
VH
>900
Daerah komersial; aktivitas pasar di samping jalan
Sangat tinggi
Sumber : (MKJI 1997) Dalam menentukan nilai Kelas hambatan samping digunakan rumus (MKJI 1997): SCF = PED + PSV + EEV + SMV Dimana : SFC = Kelas Hambatan samping PED = Frekwensi pejalan kaki PSV = Frekwensi bobot kendaraan parkir EEV = Frekwensi bobot kendaraan masuk/keluar sisi jalan. SMV = Frekwensi bobot kendaraan lambat
21
1.5.8. Ruang Publik Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 7 ayat 1,2,3, disebutkan bahwa negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, negara memberikan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang kepada pemerintah dan pemerintah daerah. Namun dalam penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud juga wajib dilakukan dengan tetap menghormati hak yang dimiliki orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini dapat dimaknai bahwa dalam melakukan penataan ruang, pemerintah baik pusat maupun daerah harus mendengarkan aspirasi masyarakat dari berbagai pihak dan menganalisis dari berbagai sisi. Tidak hanya dari sisi estetika dan kebersihan lingkungan saja misalkan, namun juga melihat dari sisi perekonomian masyarakat, budaya dan sisi lainnya. Halim (2008), mendefinisikan Ruang publik kota secara umum yaitu sebagai tempat fisik dan kasat mata yang ada di dalam kota. Definisi lain yang dikemukakan Budiharjo (1994) adalah ruang terbuka publik merupakan tempat di mana masyarakat dapat melakukan aktivitas sehubungan dengan kegiatan rekreasi dan hiburan. Selain itu, dapat pula mengarah kepada jenis kegiatan hubungan sosial lainnya seperti untuk berjalan-jalan, untuk melepas lelah, duduk-duduk dengan santai, bisa juga untuk pertemuan akbar pada saat-saat tertentu atau juga digunakan untuk upacara-upacara resmi, dapat pula dipadukan dengan tempat-tempat perdagangan. Budihardjo (1994) menyebutkan ruang publik (publik space) adalah tempat para warga melakukan kontak sosial, pada lingkungan masyarakat tradisional selalu tersedia dalam berbagai kalangan. Mulai dari pekarangan komunal, lapangan desa, lapangan di lingkungan rukun tetangga, sampai ke alun-alun yang berskala kota. Ruang publik bagi warga yang meninggal dunia, yaitu yang berupa kuburan umum sudah disiapkan untuk beberapa generasi. Jalan atau gang tidak sekedar berfungsi sebagai penyalur arus lalu lintas, melainkan juga dimanfaatkan sebagai wahana kontak sosial, tempat bermain dan ruang kehidupan (living space).
22
Hariyono
(2010),
ruang
publik
perkotaan
(publik
urban
space)
memungkinkan dan membiarkan masyarakat yang berbeda kelas, etnik, gender, dan usia saling berbaur. Pengertian yang diberikan oleh Hariyono (2010) tersebut khususnya sangat diperhatikan pada masyarakat dan pemerintahan yang menganut paham demokrasi. Tibbalds menjelaskan (dalam Hariyono: 2010) bidang publik dalam ruang perkotaan adalah semua jaringan perkotaan yang dapat diakses secara fisik dan visual oleh masyarakat umum, termasuk jalan, taman, dan lapangan/alunalun. Jadi, dapat dikatakan ruang publik adalah suatu tempat yang dapat menunjukkan perletakan sebuah objek. Tempat ini dapat diakses secara fisik maupun visual oleh masyarakat umum. Menurut Jan Gehl (dalam Hariyono:2010), ruang publik memiliki tiga fungsi, yaitu sebagai tempat bertemu, berdagang dan lalu lintas. Dengan demikian, ruang publik dapat berupa jalan, trotoar, taman kota, lapangan, dan lain-lain. Dalam penelitian ini ruang publik yang dijadikan obyek penelitian adalah ruang publik berupa bahu jalan, selasar pertokoan dan trotoar yang dijadikan tempat beraktivitas oleh pedagang kaki lima di sepanjang Jalan KH Zaenal Mustofa. 1.5.9. Regulasi Usaha Informal Menurut Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya tahun 2015 tentang regulasi sektor usaha informal yaitu : Pasal 1 Dalam Peraturan Walikota ini yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Kota Tasikmalaya. 2. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 3. Walikota adalah Walikota Tasikmalaya.
23
4. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan Pemerintah Kota Tasikmalaya. 5. Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disebut Kepala SKPD adalah Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan Pemerintah Kota Tasikmalaya. 6. Pedagang Kaki Lima yang selanjutnya disingkat PKL, adalah pelaku usaha yang melakukan usaha perdagangan dengan menggunakan sarana usaha bergerak maupun tidak bergerak, menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan dan bangunan milik pemerintah dan/atau swasta yang bersifat sementara/tidak menetap. 7. Penataan PKL adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah melalui penetapan lokasi binaan untuk melakukan penetapan, pemindahan, penertiban dan penghapusan lokasi PKL dengan memperhatikan kepentingan umum, sosial, estetika, kesehatan, ekonomi, keamanan, ketertiban, kebersihan lingkungan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 8. Lokasi PKL adalah tempat untuk menjalankan usaha PKL yang berada di lahan dan/atau bangunan milik pemerintah daerah dan/atau swasta. 9. Lokasi binaan adalah lokasi yang telah ditetapkan peruntukannya bagi PKL yang bersifat sementara dan ditetapkan pada ruas Jalan Cihideung. Pasal 2 (1) Maksud dibentuknya Peraturan Walikota ini adalah sebagai pedoman dalam memberikan kepastian hukum terhadap kegiatan penataan PKL pada ruas Jalan KH Zaenal Mustofa. (2) Tujuan dibentuknya Peraturan Walikota ini adalah : a. memberikan kesempatan berusaha bagi PKL melalui penetapan lokasi sesuai dengan peruntukannya; b. menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan usaha PKL menjadi usaha ekonomi mikro yang tangguh dan mandiri; dan
24
c. untuk mewujudkan kota yang bersih, indah, tertib dan aman dengan sarana dan prasarana perkotaan yang memadai dan berwawasan lingkungan. Pasal 3 Ruang lingkup Peraturan Walikota ini mengatur hal-hal sebagai berikut : a.
perencanaan;
b.
pendataan dan pendaftaran PKL;
c.
bentuk dan model penataan;
d.
penetapan lokasi PKL;
e.
penempatan PKL;
f.
kewajiban dan larangan;
g.
pembinaan dan pengawasan;
h.
pembiayaan; dan
i.
sanksi administratif.
Pasal 4 (1) Penataan PKL diatur dan ditetapkan berdasarkan rencana yang disusun oleh SKPD yang membidangi urusan perdagangan. (2) Rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengatur hal-hal sebagai berikut : a.
pendataan dan pendaftaran PKL;
b.
penetapan lokasi PKL;
c.
bentuk dan model penataan PKL;
d.
penempatan PKL;
e.
pembiayaan.
Pasal 5
(1) Pendataan PKL dilaksanakan oleh SKPD yang membidangi urusan perdagangan. (2) Pendataan PKL mencakup : a.
Lokasi;
25
b.
Jenis tempat usaha;
c.
Bidang usaha;
d.
Modal usaha; dan
e.
Volume penjualan.
(3) Hasil pendataan PKL ditetapkan dengan Keputusan Walikota.
Pasal 7
1) Dalam rangka penataan PKL ditetapkan bentuk dan model PKL. 2) Bentuk dan model sebagaimana dimasud pada ayat (1) memperhatikan hal-hal sebagai berikut : a)
Kondisi eksisting atau kondisi saat ini atau kondisi saat ini PKL yang meliputi jumlah, jenis usaha,bentuk tempat usaha;
b) Daya tampung dan karakteristik lokasi penataan; c)
Pengaruh terhadap lingkungan sekitar, seperti arus lalu lintas, aksesibilitas jalan, keamanan dan ketertiban umum.
Pasal 11 Kewajiban PKL sebagaimana dimaksud pada Peraturan Walikota ini adalah : a. mematuhi waktu kegiatan usaha yaitu dari pukul 09.00 sampai dengan pukul 16.00 wib; b. memelihara keindahan, ketertiban, keamanan, kebersihan dan kesehatan lingkungan tempat usaha; c. menempatkan dan menata barang dagangan dan/atau jasa serta peralatan dagangan dengan tertib dan teratur; d. menyerahkan tempat usaha atau lokasi usaha tanpa menuntut ganti rugi dalam bentuk apapun, apabila lokasi usaha tidak ditempati selama 1 (satu) bulan atau sewaktu-waktu lokasi tersebut dibutuhkan oleh pemerintah daerah; e. menempati tempat atau lokasi usaha yang telah ditentukan oleh pemerintah daerah sesuai SKU yang dimiliki PKL; dan f. mematuhi ketentuan perundang-undangan.
26
Pasal 12 Larangan PKL sebagaimana dimaksud pada Peraturan Walikota ini adalah : a. melakukan kegiatan usahanya di ruang yang tidak ditetapkan untuk lokasi PKL; b. mengubah baik mengurangi atau menambah bentuk dan fungsi fasilitas usaha; c. menempati lahan atau lokasi PKL untuk kegiatan tempat tinggal; d. berpindah tempat atau lokasi dan/atau memindah tangankan SKU PKL; e. menelantarkan dan/atau membiarkan kosong lokasi tempat usaha tanpa kegiatan secara terus-menerus selama 1 (satu) bulan; f. mengganti bidang usaha dan/atau memperdagangkan barang ilegal; g. melakukan kegiatan usaha dengan cara merusak fasilitas umum dan/atau bangunan di sekitarnya; h. menggunakan bahu jalan untuk tempat usaha, kecuali yang ditetapkan untuk lokasi PKL terjadwal dan terkendali; i. memperjualbelikan atau menyewakan tempat usaha PKL kepada pedagang lainnya; dan j. dilarang menggunakan trotoar sebagai tempat usaha atau sebagai tempat penyimpanan barang atau sarana dagang.
1.6. Penelitian Sebelumnya Terdapat beberapa penelitian sebelumnya yang juga membahas mengenai pengaruh keberadaan pedagang kaki lima terhadap kemacetan lalu lintas. Namun, penilitian ini lebih menitikberatkan pada pengaruh aktivitas PKL dan penggunaan ruang berjualan PKL yang berada di bahu jalan yang mempengaruhi kemacetan lalu lintas. Fokus penelitian di bawah ini serupa dengan penulis, tetapi banyak hal yang membedakan diantaranya adalah lokus penelitian, tujuan penelitian, variabel penelitian, dan metode analisis yang digunakan. Berikut ditunjukan pada tabel 1.4. adalah rincian mengenai penelitian sebelumnya
27
Tabel. 1.4. Perbandingan Penelitian Sebelumnya Penulis Arum Septiana R. Mulyo Hendarto
Tahun 2012
Tujuan Menganalisis usulan kebijakan dalam penanganan kemacetan di Kawasan Tembalang Semarang
Anna Aga Pertiwi Achmad Wicaksono Mustika Anggraeni
2011
Mengetahui pengaruh PKL dan parkir terhadap biaya kemacetan dan polusi udara di Jl. Kolonel Sugiono Malang
Ali Alhadar
2011
Mukti Taufik
2016
Menganalisis kinerja jalan pada ruas simpang bersinyal kota Palu Mengidentifikasi solusi yang tepat untuk diterapkan dalam mengatasi kemacetan Mengidentifikasi penggunaan ruang trotoar dan badan jalan oleh aktivitas PKL di Jl. KH Zaenal Mustofa Mengetahui pengaruh aktivitas PKL terhadap kondisi arus lalu lintas di Jl. KH Zaenal Mustofa.
Metode Wawancara terhadap key-informans Metode AHP (Analitical Hierarchy Process) Survei Lalulintas Metode kuantitatif (penggunaan rumus statistik) Observasi lapangan Pembagian kuesioner
Wawancara terhadap responden PKL Survey Lalu lintas
Hasil Mayoritas responden memilih ‘pembuatan jalan baru’ sebagai solusi untuk mengatasi kemacetan Tingkat pelayanan jalan di Jl. Kolonel Sugiono Besar pengaruh PKL dan parkir terhadap biaya kemacetan dan polusi Walaupun belum mencapai kejenuhan (Q<0,75) kemacetan bisa tetap terjadi akibat adanya hambatan samping seperti PKL Penggunaan ruang terhadap aktivitas PKL Tingkat Pelayanan jalan di Jl. KH Zaenal Mustofa.
28
Arum Septiana (2012) melakukan penelitian”kebijakan dalam penanganan kemacetan di Kawasan Tembalang Semarang”dengan tujuan menganalisis usulan kebijakan dalam penanganan kemacetan di Kawasan Tembalang Semarang. Penelitian ini dilakukan dengan metode wawancara terhadap key-informans,metode AHP (analytical hierarchy process). Perbedaan nyata penelitian penulis dengan penelitian ini adalah pada lokasi wilayah, tujuan penelitian, variabel, dan hasil penelitian. Lokasi penelitian yang penulis ambil adalah Kota Tasikmalaya sedangkan Arum Septiana (2012) mengambil lokasi penelitian di Kawasan Tembalang Semarang.Tujuan penelitian yang peneliti bahas juga berbeda,peneliti fokus pada pengaruh aktivitas PKL terhadap kondisi kemacetan arus lalu lintas sedangkan Arum Septiana (2012) berfokus pada analisis usulan kebijakan dalam penanganan kemacetan.Salah satu kesamaan penelitian yang penulis susun dengan penelitian yang dilakukan Arum Septiana adalah pada metode yang menggunakan wawancara. Anna Aga Pertiwi, Achmad Wicaksono dan Mustika Angraeni (2011) melakukan penelitian ”pengaruh PKL dan parkir terhadap biaya kemacetan dan polusi udara di Jl. Kolonel Sugiono Malang” dengan tujuan mengetahui pengaruh PKL dan parkir terhadap biaya kemacetan dan polusi udara di Jl.Kolonel Sugiono. Penelitian ini dilakukan dengan metode survey lalu lintas dan metode kuantitatif (penggunaan rumus statistik). Perbedaan nyata penelitian penulis dengan penelitian ini adalah pada lokasi wilayah, tujuan penelitian, variabel, dan hasil penelitian. Lokasi penelitian yang penulis ambil adalah Kota Tasikmalaya sedangkan Anna Aga Pertiwi, Achmad Wicaksono dan Mustika Angraeni (2011) mengambil lokasi penelitian di Jl.Kolonel Sugiono Malang. Tujuan penelitian yang peneliti bahas juga berbeda, peneliti fokus pada pengaruh aktivitas PKL terhadap kondisi kemacetan arus lalu lintas sedangkan Anna Aga Pertiwi, Achmad Wicaksono dan Mustika Angraeni (2011) berfokus pada pengaruh PKL dan parkir terhadap biaya kemacetan dan polusi udara. Salah satu kesamaan penelitian yang penulis susun dengan penelitian yang dilakukan Anna Aga Pertiwi, Achmad Wicaksono dan Mustika Angraeni (2011) adalah pada metode yang menggunakan survey
29
Ali Alhadar (2011) melakukan penelitian “analisa kinerja jalan dan kemacetan lalu lintas pada ruas simpang bersinyal di Kota Palu”dengan tujuan menganalisis kinerja jalan pada ruas simpang bersinyal dan mengidentifikasi solusi yang tepat untuk diterapkan dalam mengatasi kemacetan.Penelitian ini dilakukan dengan metode observasi lapangan dan pembagian kuesioner. Perbedaan nyata penelitian penulis dengan penelitian ini adalah pada lokasi wilayah, tujuan penelitian, variabel, dan hasil penelitian. Lokasi penelitian yang penulis ambil adalah Kota Tasikmalaya sedangkan Ali Alhadar (2011) mengambil lokasi penelitian di Kota Palu. Tujuan penelitian yang peneliti bahas juga berbeda, peneliti fokus pada pengaruh aktivitas PKL terhadap kondisi kemacetan arus lalu lintas sedangkan Ali Alhadar (2011) berfokus pada analisa kinerja jalan pada ruas simpang bersinyal. Salah satu kesamaan penelitian yang penulis susun dengan penelitian yang dilakukan Ali Alhadar (2011) adalah pada metode yang menggunakan wawancara dan kuesioner. 1.7. Kerangka Pemikiran Dalam membuat kerangka pemikiran, maka terlebih dahulu diperlukan pemahaman terhadap tujuan penelitian. Tujuan penelitian ini mengetahui pengaruh aktivitas PKL terhadap kondisi lalu lintas di Jl.KH.Zaenal Mustofa, Kota Tasikmalaya. Berikut pada gambar 1.1. adalah diagram kerangka pemikiran dalam penelitian ini Perkembangan wilayah dapat dilihat dari rasio luas wilayah terbangun terhadap total luas wilayah. Semakin besar rasionya, maka semakin tinggi tingkat perkembangan wilayahnya. Semakin luas wilayah terbangun dapat diartikan semakin tinggi aktivitas ekonomi masyarakatnya. Kondisi tersebut dapat dilihat dari semakin rapatnya jaringan jalan, semakin meluasnya wilayah perkantoran dan perdagangan, semakin menyebarnya wilayah pemukiman dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan tingginya peluang kerja. Wilayah berkembang mempunyai beberapa kawasan menurut fungsinya dan salah satunya yang merupakan pusat kegiatan perekonomian yaitu kawasan perbelanjaan
30
Jl. KH Zaenal Mustofa berada di pusat kota dan kawasan perbelanjaan
Daya tarik masyarakat untuk berbelanja dan berjualan
Pedagang Kaki Lima
Berjualan di trotoar
Berjualan di bahu jalan
Aktivitas samping segmen jalan
Lalu Lintas
Parkir pembeli
Kapasitas jalan
Volume kendaraan
Tundaan dan Hambatan Samping
Tingkat pelayanan jalan terganggu oleh aktivitas samping segmen jalan
Pengaruh Keberadaan PKL terhadap Lalu Lintas
Gambar 1.1. Diagram Kerangka Pemikiran.
31
Pertumbuhan sektor ekonomi dan tingginya volume kendaraan merupakan ciri dari kawasan pusat perbelanjaan, sehingga menarik masyarakat untuk berjualan dan salah satunya yaitu sektor informal atau identik dengan pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di tempat strategis. Pedagang kaki lima yang berjualan di jalan KH Zaenal Mustofa menggunakan ruang trotoar dan bahu jalan yang menyebabkan penyempitan ruas jalan utama di Jl.KH Zaenal Mustofa. Peran masyarakat yang mendatangi kawasan perbelanjaan tersebut semakin tinggi hingga menimbulkan pengguna jalan meningkat dan jalur moda transportasi menjadi padat. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya aktivitas pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di bahu jalan sehingga menimbulkan penyempitan ruang jalan untuk akes tranportasi, hal ini dapat disimpulkan adanya pengaruh keberadaan pedagang kaki lima (PKL) terhadap kemacetan lalu lintas
32