BAB I PENDAHULUAN 1.1.
LATAR BELAKANG
Merapi dan Potensi Pariwisata Kegunungapian Nasional Erupsi dan Merapi sebagai jajaran ‘The Country Ring Of Fire’merupakan julukan yang tepat karena termasuk salahsatu gunung berapi yang aktif hingga saat ini. Oleh karena tingkat kepentingannya ini, menurut wikipedia.org Merapi menjadi salah satu dari enam belas gunung api dunia yang termasuk dalam proyek Gunung Api Dekade ini (Decade Volcanoes). Hal ini seperti dikatakan Sutikno (1995) dalam Subiyakto (1999): “Mitigasi dan Analisis Resiko’ bahwa jenis bencana alam di Indonesia tergolong aktif dan bahkan pada tempat tertentu dapat disebutkan sangat aktif. Hal tersebut sebagai akibat dari letak dan keadaan lingkungan fisik negara Indonesia yang berupa kepulauan”. Sesuai data Rencana Nasional Penanggulangan Bencana Tahun 2010-2014, Indonesia memiliki lebih dari 500 gunungapi dengan 129 diantaranya aktif. Gunung-gunungapi yang aktif ini sekitar 13 % dari sebaran gunungapi aktif dunia. Merapi merupakan salahsatu Kawasan Strategis Nasional seperti tercantum dalam UU Kepariwisataan No. 10 Tahun 2009 Pasal 1 Ayat 10 bahwa yang dikatakan Kawasan Strategis Pariwisata (Nasional) adalah: “Kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan”. Dalam konteks Gunung Merapi dan sekitarnya menawarkan wisata gunung api seperti udara yang sejuk, lintas alam, dan keindahankubah lava yang masih aktif. Pesona alam yang unik dan indah dengan aneka kegiatan dapat dinikmati wisatawan di Gunung Merapi yang memiliki pengaruh besar bagi lingkungan dan masyarakat, sehingga sangat potensial untuk dikembangkan. 1
Namun demikian bukan hanya Merapinya saja, namun nilai-nilai strategis juga dimiliki Merapi. Seperti dinyatakan Nuryanti (2006) mengenai pemanfaatan dan pengembangan potensi karst melalui pariwisata, definisi nilai strategisnya dari kegiatan pariwisata alam adalah: “Sebagai suatu potensi wisata alam, yaitu Potensi Nilai Ekonomi (sebagai lahan pertanian, kehutanan, pertambangan, dan pariwisata), Nilai keilmuan (sebagai pelibatan multi disiplin ilmu di kawasan Merapi), Nilai Kemanusiaan (Kawasan Rawan Bencana sebagai bagian dari kehidupan religi, spiritual, rekreasional, dan edukasional), Nilai Biologis (sebagai produktifitas hutan, pertanian, keanekaragaman hayati), dan yang terakhir sebagai Nilai Mineral (sebagai sumber daya mineral)”. Lebih lanjut seperti dikatakan Eagles dan McCool (2002, 4: 81): “Proses ekologi dan kondisi yang terjadi dari suatu taman nasional berpengaruh terhadap hal-hal yang terjadi diluar taman nasional. Sehingga, perencanaan taman nasional merupakan kekuatan dari proses perencanaan dari suatu daerah.” Pariwisata Merapi di Yogyakarta Merapi berada di antara beberapa ODTW (Objek Daya Tarik Wisata) unggulan lain di Yogyakarta, seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Boko dan tempat wisata lain di wilayah Kabupaten Sleman. Di samping itu terdapat Malioboro, Kasongan, pantai Parangtritis, serta wisata lain di selatan Kota Yogyakarta. Seperti tercantum dalam “Makalah Malioboro Sebagai Cermin ODTW” (Rekomendasi ODTW Berdasarkan Respon Masyarakat) yang disampaikan Nuryanti (2008) ini mengemukakan berbagai potensi pariwisata di D.I Yogyakarta, Merapi yang berada di wilayah Kaliurang masuk dalam urutan kelima antara sembilan ODTW unggulan lain. Pariwisata Merapi seperti yang tersebut dalam UU No. 10 Tahun 2009 Pasal 1 Ayat 5, Daya Tarik Wisata adalah: “Segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan”. Secara geografis Merapi yang terletak di Kabupaten Sleman strategis, karena berada di persilangan jalan perhubungan utama kota-
2
kota besar di Pulau Jawa bagian selatan. Kawasan hutan di sekitar puncaknya menjadi kawasan Taman Nasional Gunung Merapi dan telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 134/ MenhutII/ 2004 pada tanggal 4 Mei 2004. Menurut id.wikipedia.org, Merapi terletak 30 kilometer arah utara Kota Yogyakarta. Secara administratif terletak di antara 2 propinsi. Lereng sisi selatan berada dalam administrasi Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sisanya berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah (Kabupaten Magelang di sisi barat, Kabupaten Boyolali di sisi utara dan timur, serta Kabupaten Klaten di sisi tenggara). Merapi memiliki potensi sebagai obyek wisata yang tergolong dalam atraksi alam (natural attraction). Kawasan Merapi sebagai sumber daya alam, secara otomatis merupakan salahsatu bagian dari atraksi wisata alam. Dalam pariwisata dimensi-dimensi tersebut menjadi faktor yang menentukan tingkat kompetitif penyelenggaraan dan destinasi pariwisata. Begitu pula dengan Merapi sebagai Kawasan Rawan Bencana memiliki beragam potensi, keunikan dan karakternya sehingga layak menjadi salah satu aset atraksi dalam pariwisata alam. Menurut data Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Paskabencana Gunung Merapi (RENAKSI MERAPI 2011) di Propinsi D.I Yogyakarta dan Propinsi Jawa Tengah 2011-2013 selain dari pertanian, perekonomian Kabupaten Sleman juga diwarnai oleh kegiatan pariwisata yang memanfaatkan keanekaragaman sumber daya alam serta budaya yang berkembang di sekitar Gunung Merapi. Erupsi Gunung Merapi merupakan salah satu Objek dan Daya Tarik Wisata di Kabupaten Sleman yang telah menimbulkan kerusakan baik sarana maupun prasarana pendukungnya. Kerusakan yang dialami oleh sub sektor pariwisata setidaknya tercatat Rp.13,48 Miliar. Sedangkan kerugian yang dialami baik berupa hilangnya pendapatan serta potensi pendapatan yang seharusnya diterima adalah sebesar Rp.29,94 Miliar.
3
Potensi Wisata Kawasan Rawan Bencana Merapi, Sleman Dalam Peta Geologi Tata Lingkungan yang dikeluarkan pada September 2011 ditentukan fungsi Pemanfaatan Ruang Paska Letusan Gunung Merapi 2010 untuk Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Ketentuan tersebut sebagai acuan Pemerintah Daerah dalam penyusunan tata ruang wilayah dalam rangka pengendalian tingkat kerentanan di Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi. Disamping itu masyarakat Gunung Merapi bisa memanfaatkan sebagai pedoman/petunjuk dalam usaha penyelamatan diri dari ancaman bahaya bila terjadi erupsi dan lahar pada masa akan datang. Karena hal-hal yang telah disebutkan di atas, maka tata ruang dan wilayah di kawasan sekitar Merapi yang telah terkena dampak erupsi menjadi berbeda karakteristik peruntukannya. Sehingga untuk pola penataan dan pengembangan pariwisata juga harus disesuaikan dengan ketentuan dan kondisi yang ada. Dilihat dari keadaan dan kondisi di kawasan tersebut telah terbentuk pola-pola ruang baru akibat erupsi, terlebih pemanfaatan beberapa area menjadi daerah kunjungan wisata bagi masyarakat yang ingin mengetahui secara langsung dampak dari erupsi Merapi 2010. Hal ini seperti dikatakan oleh Dinas Pariwisata (Dispar) Propinsi DIY dan Pemerintah Kabupaten Sleman yang akan membenahi tata ruang dan pengelolaan lava tour di Gunung Merapi untuk menggairahkan potensi pariwisata yang sempat lumpuh beberapa waktu lalu. “Lava tour di Kinahrejo dan Kali Gendol sangat berpotensi apabila dikelola dengan baik karena menjadi wisata langka di dunia,” kata Kepala Dispar DIY, Tazbir (jogjatrip.com, 2011). Walaupun pemerintah belum secara resmi menjual wisata lava tour Gunung Merapi ini (lebih tepatnya disebut volcano tour) menurut Awuy (wawancara, 2012), namun banyak masyarakat DIY atau luar DIY yang berkunjung sekadar melihat atau mengabadikan potensi lava tour di Kinahrejo ini,” imbuh Tazbir.
4
Menurut Tazbir (2011) lautan pasir
dan bebatuan besar
merupakan artefak yang harus dilindungi dan bila ditata dengan baik akan menjadi wisata menarik sekaligus pendidikan alam. Sama seperti di Kobe Jepang. Dimana daerah yang terkena letusan gunung berapi menjadi memorial park dan ramai dikunjungi wisatawan. “Dispar akan membantu Kabupaten Sleman untuk membuat tata ruang baru sehingga rute-rute wisata lava tour lebih terarah. Selain itu, tidak menimbulkan kemacetan dan menjadi unggulan objek wisata baru baik di Sleman maupun di DIY,” tandasnya. Menurut dia, kawasan yang sangat potensial dikembangkan wisata lava tour adalah desa Manggung, Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan arena di lokasi ini lava dingin yang terbentuk dari erupsi Merapi mencapai ketinggian 20 meter dan cocok untuk tujuan tersebut. Di antara titik yang dimaksud adalah Dusun Kinahrejo di Desa Umbulharjo dan Dusun Kalitengah Lor, di Desa Glagaharjo, Sleman. Kedua dusun itu pada erupsi Merapi 2010 luluh lantak diterjang awan panas dan menimbulkan puluhan korban jiwa. Alasan ditetapkannya beberapa lahan untuk direlokasi ini menurut Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta Subandriyo adalah, kubah lava Merapi saat ini sebagian besar mengarah ke selatan, ke Kali Gendol dan hulu Kali Opak. Sehingga dikhawatirkan apabila terjadi erupsi dan muncul awan panas, kawasan itu bisa kembali diterjang awan panas. Apalagi kondisi puncak Merapi saat ini berubah total. Puncaknya memendek, karena sumbat kawah dengan kapasitas material vulkanik lima juta meter kubik telah lenyap.
Dengan
kondisi
seperti
itu,
kata
Subandriyo
(dppd.slemankab.go.id, 2011), semakin memperbesar risiko apabila terjadi lagi erupsi. Menurut
Peraturan
Menteri
Pekerjaan
Umum
Nomor:
06/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan yang menyatakan bahwa tata bangunan dan lingkungan dilaksanakan
pada
suatu
kawasan/lingkungan
bagian
wilayah
kabupaten/kota, kawasan perkotaan dan atau pedesaan meliputi: a.
5
kawasan baru berkembang cepat; b. kawasan terbangun; c. kawasan dilestarikan; d. kawasan rawan bencana. Pedoman Penataan Ruang yang berupa Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 21/PRT/M/2007 tentang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Kawasan Rawan Gempa Bumi turut memperkuat kondisi tersebut. Manajemen Atraksi sebagai Pengontrol Alur Kunjungan pada Destinasi, termasuk Tata Ruang Salahsatu hal penting dalam kesuksesan dan keberlanjutan pengembangan pariwisata adalah manejemen kunjungan wisatawan. Dampak-dampak
negatif
yang
timbul
dari
kunjungan
wisatawan
merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan, sehingga hal tersebut bertujuan untuk melindungi sumber daya (terutama alam dan budaya), serta memaksimalkan kesan dalam kunjungan wisatawan. Hal ini juga mendatangkan
keuntungan
ekonomi
dan
sosial
secara
berkesinambungan. Seperti yang diungkapkan oleh Marion dan Farrell (1998) dalam Dowling dan Page (2002), bahwa kunjungan wisatawan harus diatur dalam suatu manajemen karena: 1. Wisatawan dapat memberikan dampak negatif terhadap sumber daya flora, tanah, air dan fauna, yang akhirnya berpengaruh pada kualitas pengalaman pengunjung; 2. Keramaian dan konflik antar wisatawan dapat mengurangi kualitas pengalaman pengunjung; 3. Elemen-elemen lingkungan yang ada (tumbuhan, tanah, dsb) mempengaruhi tipe dan jenis kunjungan nantinya; 4. Manajemen kunjungan akan lebih efektif dalam mengurangi wisatawan dan mengakhiri kunjungan; 5. Akan lebih fleksibel dan jelas dalam membuat suatu keputusan untuk mengurangi dampak-dampak dari pariwisata;
6
6. Strategi manajemen kunjungan yang tidak langsung (indirect), lebih mudah diaplikasikan dan lebih disukai oleh wisatawan. Namun demikian, berkenaan dengan pengembangan pariwisata dan manajemen kunjungan wisatawan di Kawasan Rawan Bencana tidak bisa lepas dari manajemen bencana (disaster management) itu sendiri. Karena pada kawasan seperti ini ada waktu-waktu tertentu yang dapat dikunjungi oleh wisatawan, namun di waktu yang lain ada yang berbahaya untuk dijadikan ruang kegiatan dan dilarang untuk dikunjungi wisatawan. Hal-hal yang telah disebutkan di atas dilakukan dengan tujuan untuk melindungi kawasan rawan bencana merapi dari wisatawan, dan melindungi wisatawan dari bahaya yang ditimbulkan dari pola aktifitas gunung merapi serta memaksimalkan kesan pengalaman bagi wisatawan dengan mengatur kegiatan mereka dalam hubungan ruang dan waktu.
7
1.2.
ISU DAN PERMASALAHAN 1.
Sebaran gunungapi di Indonesia lebih dari 500 gunungapi dan 129 diantaranya aktif termasuk Gunung Merapi banyak mendapat minat kunjungan dari wisatawan;
2.
Merapi kegiatan
merupakan pariwisata
salahsatu adalah
kawasan
menjadi
strategis
bagiannya,
dan telah
dihadapkan pada ancaman bencana alam yaitu erupsi; 3.
Pengaruh erupsi Merapi 2010 terhadap pembentukan pola ruang baru memunculkan salahsatunya Peta Zona Bahaya Hipotetik Gunung Merapi 2010 dari Klinik Lingkungan dan Mitigasi Bencana, Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada;
4.
Minat yang tinggi dari masyarakat baik wisatawan lokal maupun mancanegara terhadap potensi wisata di Merapi serta acuan penggunaan lahan dari peraturan terkait yang diarahkan salahsatu pemanfaatannya untuk wisata minat khusus, sehingga banyak wisatawan yang memanfaatkan keunikan Merapi tersebut;
5.
Potensi lokasi yang terkena dampak letusan gunungapi Merapi sebagai memorial park, seperti potensi serupa yang telah berhasil ramai dikunjungi wisatawan dan ditata dengan baik sebagai tempat wisata yang menarik sekaligus pendidikan alam, seperti salahsatunya Museum Gempa di Kobe Jepang;
6.
7.
Tata ruang merapi dalam perencanaannya telah diamanatkan untuk turut serta merencanakan mitigasi bencana terutama pada Kawasan Rawan Bencana. Akibat perubahan morfologi paska erupsi, mengakibatkan pentingnya guideline mengenai zona dari objek daya tarik wisata.
8.
Belum
ada
perencanaan
terperinci
dari
Pemerintah
Kabupaten Sleman untuk pengembangan kawasan Merapi (RIPPDA masih secara global).
8
1.3.
RUMUSAN PERMASALAHAN Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut diatas dapat diperoleh gambaran bahwa: a.
Di satu sisi potensi Merapi sebagai destinasi pariwisata di D.I. Yogyakarta memiliki kekayaan sumber daya alam dan sumber daya budaya yang banyak dikunjungi wisatawan;
b.
Di sisi lain keindahan Merapi menyimpan konsekuensi akan bahaya
bencana
pengelolaan
letusan
tata
gunung
ruangnya
berapi,
sehingga
diamanatkan
dengan
mengantisipasi sesuai peraturan yang berlaku. Karena itu rumusan permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana strategi pengembangan pola ruang kepariwisataan yang sesuai dengan karakter atau kondisi Gunung Merapi sebagai Gunung yang aktif dan memiliki tingkat ancaman tinggi terhadap wilayah sekitarnya?” 1.4.
PERTANYAAN PENELITIAN Berdasarkan
rumusan
permasalahan
diatas,
maka
pertanyaan penelitiannya adalah: 1.
a. Seperti
apakah
peluang
pemanfaatan
kegiatan
kepariwisataan yang dapat dikembangkan di kawasan lereng Merapi berdasarkan kondisi eksisting di lapangan maupun persepsi stakeholder? b.
Seperti
apakah
persebaran
potensi
dan
peluang
kepariwisataan terhadap wilayah dan resiko bencana Merapi? c.
Seperti apakah pola adaptasi kegiatan kepariwisataan terkait dengan potensi dan resiko bencana di gunungapi Merapi?
2.
Rekomendasi untuk manajemen atraksi (penetapan waktu, spot-spot potensi atraksi berkaitan dengan jalur dan rute permintaan pengunjung, jalur-jalur evakuasi).
9
1.5.
TUJUAN DAN SASARAN PENELITIAN
1.5.1.
TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah: 1.
a. Mendiskripsikan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pengembangan pola ruang untuk pemanfaatan kegiatan pariwisata di Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi. b. Mendapatkan gambaran pemanfaatan Kawasan Rawan Bencana
Gunung
Merapi
untuk
mengembangkan
kualitas berwisata di kawasan ini. c. Mendapatkan
gambaran
potensi
yang
dapat
dikembangkan pada tiap zona berdasarkan perbedaan musim dan waktu libur. 2.
Menggambarkan potensi pengembangan pola ruang untuk kegiatan pariwisata di Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi dengan perencanaan mitigasi bencana sebagai salahsatu bagiannya sesuai kondisi yang sekarang ada.
1.5.2.
SASARAN PENELITIAN 1.
Terdiskripsikan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pengembangan pola ruang dan pemanfaatan pariwisata di Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi; 2.
1.6.
Tergambarkan potensi pengembangan pola ruang untuk kegiatan pariwisata di Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi dan perencanaan ruang sebagai bagian mitigasi bencana disesuaikan dengan kondisi yang sekarang ada.
BATASAN PENELITIAN 1.
Penelitian dilakukan di Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi bagian selatan (Kabupaten Sleman).
2.
Penelitian diterapkan pada pentahapan tingkat kegiatan gunungapi tingkat aktif normal.
3.
Penelitian dibatasi berdasarkan variabel dan diturunkan sebagai indikator-indikator dalam penelitian.
10
1.7.
KERANGKA KONSEP PENELITIAN PENGEMBANGAN KEPARIWISATAAN KAWASAN MERAPI
POTENSI DAN RESIKO KAWASAN MERAPI
P2 P2
POTENSI, TREN DAN PELUANG PENGEMBANGAN PARIWISATA
PETA POTENSI DAN RESIKO BENCANA
P1
POLA RUANG DAN STRATEGI PERENCANAAN
P 3
Gambar 1 Kerangka Konsep Penelitian 1.8.
KEASLIAN PENELITIAN Perbandingan penelitian dengan penelitian sejenis yang pernah dilaksanakan, dilakukan untuk membuktikan keaslian penelitian ini. Keaslian penelitian dilihat dari materi yang dibahas, lokasi penelitian maupun metode penelitian terdahulu, berkaitan dengan pengembangan pariwisata maupun studi lingkungan di kawasan Gunung Merapi Kabupaten Sleman Propinsi DI. Yogyakarta. Penelitian yang pernah dilakukan sejauh yang dapat ditentukan belum membahas pemanfaatan lahan secara lebih detil. Terjadinya letusan yang dahsyat ini, perlu rumusan yang lebih jelas. Beberapa penelitian sejenis tersebutseperti tercantum dalam Tabel 1 berikut ini:
11
Tabel 1 Keaslian Penelitian PENELITIAN PENELITI
METODE PENELITIAN
HASIL
Analisis Statistik Deskriptif
Potensi wisata yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan pengembangan wisata di sekitar G. Merapi
JUDUL
MATERI
LOKASI
D.Agus Harjito; Jaka Sriyana; Suhartini
Recovery Pengembangan Wisata Paska Bencana Erupsi Merapi di Kawasan Kabupaten Sleman-2011
Mengidentifikasi dan mengkaji Potensi Kepariwisataan dengan melihat persepsi masyarakat dan wisatawan serta merumuskan model pengembangannya.
Desa Umbulharjo, Kinahrejo dan kawasan wisata Kaliurang
Dwi Retno Narsuka 16796/IV-7/433/01 di I.L/1802/S2 DWI
Persepsi dan Peranserta Masyarakat Lokal dalam Pengelolaan Taman Nasional Gunung Merapi (Kasus Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman)-2009
Mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat tentang TNG Merapi dari segi status penetapan, pengelolaan, dan peransertanya.
Desa-desa yang berbatasan langsung dengan batas terluar TNG Merapi.
Analisis Deskriptif Kualitatif dengan table uji silang atau crosstab.
Hernowo Muliawan
“Sustainable Mountain Ecotourism Development: A Visitors Management Approach (case study of Mount Merapi, Indonesia)”.
Identifikasi potensi kepariwisataan di lereng Merapi, kemudian merumuskan pola pengembangan agar terus berkelanjutan.
The south slope of Mount Merapi Indonesia
Kuantitatif-kualitatif
Kaharuddin 18293/IV-7/467/2002 di I.L/1518/S2/KAH
Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Pariwisata Alam Lereng Selatan Gunung-2005
Evaluasi pengelolaan obyek wisata alam lereng selatan Merapi ditinjau dari aspek partisipasi masyarakat sebagai salahsatu indikator dan faktorfaktor yang mempengaruhi.
Obyek wisata lereng selatan Gunungapi Merapi, khususnya obyek wisata Kaliurang, Kalikuning dan Kaliadem Prop. DIY.
Variable partisipasi dan data kuesioner. Analisis statistic non parametrik
Yasin Yusup 13519/I-5/249/99 di GEOGR 1579/S2/YAS
Studi Sensitivitas Penduduk Terhadap Bahaya Awan Panas Gunungapi Merapi di Kawasan Rawan Bencana II dan III- 2006
Mengetahui karakteristik erupsi Merapi dan mengetahui kerentanan penduduk di Kawasan Rawan Bencana II dan III terhadap bahaya awan panas-2006
Kawasan Rawan Bencana II dan III versi bnbp
Metode historis, deskriptif dan eksplanatif
Perbedaan karakteristik erupsi pada abad 19 dan 20 serta tingkat kerentanan penduduknya.
Dwi Hardiani 2013
Pengaruh Kerentanan Kebencanaan Gunung Merapi Terhadap Kegiatan Kepariwisataan Berbasis Pola Keruangan (Studi Kasus: Kabupaten Sleman)
Analisis Deskriptif Kualitatif
Mendiskripsikan pengembangan dari potensi kegiatan pariwisata di Zona Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi disesuaikan dengan perencanaan mitigasi bencana.
Identifikasi potensi pariwisata di Kawasan Rawan Bencana paska erupsi Merapi 2010
Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Merapi, Sleman
12
Pengetahuan masyarakat Desa Umbulharjo mengenai pengelolaan TNGM secara komperhensif mayoritas dalam kategori tinggi, namun persepsinya dalam kategori sedang. Perbedaan motivasi kunjungan dan persepsi antara wisatawan domestik dan wisatawan mancanegara terhadap pengembangan ekowisata Gunung Merapi; serta pengembangan model berkelanjutan pariwisata lereng Merapi. Terdapat tingkat perbedaan partisipasi masyarakat dalam pengembangan pariwisata terhadap masyarakat yang memiliki pekerjaan pokok sebagai petani/buruh/beternak, wirasasta, maupun PNS.