BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Rumah merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi untuk menjamin
keberlangsungan hidup manusia. Seiring dengan rutinitas dan padatnya aktivitas yang dilakukan oleh manusia maka kebutuhan akan tempat tinggal menjadi kebutuhan yang paling utama dalam kehidupan sehari-hari. Budihardjo (1987) mengemukakan rumah merupakan simbol dan pencerminan atas tata nilai selera penghuninya, sebagai wadah untuk rasa saling memiliki sesama keluarga, kehangatan, kebersamaan, kasih dan aman tercipta didalamnya. Tingginya pertumbuhan perumahan disebabkan oleh kepadatan penduduk, baik secara alami maupun faktor masuknya urbanisasi. Paramita (2009) mengemukakan prinsip-prinsip pembangunan perumahan di Indonesia sebagai berikut: 1.
Kebutuhan akan perumahan yang layak untuk dihuni merupakan tanggung jawab masyarakat itu sendiri.
2.
Peran pemerintah seperti kebijakan yang memayungi, pelayanan yang terpadu, perijinan untuk kelompok masyarakat berpenghasilan rendah sangat membantu dalam mencukupi kebutuhan rumah yang layak untuk dihuni seperti penyediaan sarana prasarana permukiman dan perbaikan lingkugan permukiman. Prinsip dari tumbuhnya perumahan yang padat diawali dengan pesatnya
pertumbuhan pusat-pusat pelayanan seperti industri di berbagai titik di perkotaan yang menyebabkan laju urbanisasi yang sangat tinggi masuk ke perkotaan. Permintaan kebutuhan rumah meningkat dan tidak diimbangi dengan pembangunan permukiman baru, faktor lain yang menyebabkan lambatnya pembangunan permukiman adalah ketersediaan lahan di perkotaan yang tidak memadai. Akibatnya, munculah pembangunan permukiman-permukiman yang padat, kotor, dan tidak tertata bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak mampu
1
membangun huniannya sesuai dengan standar kelayakan hunian karena biaya yang tidak terjangkau bagi masyarakat itu sendiri. Tingkat ekonomi yang rendah bagi sebagian masyarakat mengakibatkan masyarakat tidak mampu membangun rumah sesuai standar hunian yang layak untuk dihuni. Faktor ini yang mendorong masyarakat berpenghasilan rendah tetap membangun tempat tinggalnya dengan tidak mempertimbangkan aspek lingkungan yang ada dan cenderung dipaksakan, perkembangan permukiman seperti ini yang biasa dikenal dengan permukiman liar. Potter dan Evans dalam Randy (1998) menyebutkan permukiman liar adalah kawasan dimana masyarakat tinggal yang tidak memiliki ijin pembangunan. Seiring berkembangnya permukiman liar ini akan mengakibatkan munculnya masalah permukiman baru yaitu permukiman kumuh atau dikenal dengan slum area. Kepadatan penduduk di lahan yang terbatas mengakibatkan harga tanah yang tinggi, sehingga tidak dapat dijangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Solusi yang tepat adalah dengan adanya pembangunan dengan konsep hunian vertikal. Hunian vertikal di Indonesia dikenal sebagai rumah susun. Menurut Undang-undang No. 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun, rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang distrukturkan secara fungsional sesuai dengan pemanfaatannya, dapat difungsikan sebagai hunian maupun fasilitas-fasilitas pendukung hunian tersebut. Pembangunan rumah susun diprioritaskan dibangun diatas tanah slum area dan sasaran utamanya adalah masyarakat slum area ini sendiri yang mayoritas penduduknya memiliki tingkat ekonomi yang rendah. Rumah susun dibedakan menjadi 2 macam, rumah susun dengan sistem kepemilikan (rusunami) dan rumah susun yang disewakan (rusunawa) berdasarkan aspek kepemilikannya. Menurut Keputusan Menteri Negara Perumahan dan Permukiman No. 10 Tahun 2009 menyebutkan pembangunan perumahan di kawasan metropolitan memiliki kendala fisik dalam perluasan wilayahnya, oleh karena itu pembangunan permukiman baru diarahkan menuju pembangunan rumah susun.
2
Untuk mengatasi masalah tingginya permintaan hunian yang tidak diimbangi dengan ketersediaan hunian (backlog) di pusat perkotaan dan upaya peremajaan kawasan permukiman kumuh dalam kasus ini permukiman padat tepi Sungai Code maka dilakukanlah perencanaan hunian vertikal atau yang biasa dikenal dengan rumah susun. Kepadatan penduduk yang tinggi dan letaknya yang sangat dekat dengan pusat perekonomian skala internasional Kota Yogyakarta yaitu kawasan Malioboro menjadikan kawasan permukiman padat tepi Sungai Code sangat perlu untuk direncanakan. Metode yang tepat digunakan dalam perencanaan ini adalah dengan konsep keterjangkauan calon penghuni karena mayoritas penghuni merupakan masyarakat berpenghasilan rendah. 1.2
Identifikasi Permasalahan Dari penjabaran latar belakang diatas maka disusunlah perumusan
permasalahan yang ada sebagai berikut : 1.
Kondisi rumah-rumah yang ada di bantaran Sungai Code teridentifikasi sangat padat dan tidak tertata dengan baik.
2.
Tingginya permintaan akan perumahan tidak sebanding dengan persediaan perumahan yang ada (backlog).
3.
Rendahnya penyediaan rumah yang layak huni terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
4.
Ketersediaan lahan yang semakin sedikit untuk membangun hunian baru (horizontal housing) di bantaran Sungai Code.
1.3
Tujuan Perencanaan Dengan adanya berbagai macam permasalahan yang terjadi di lingkungan
permukiman tepi Sungai Code ini, maka perlu digunakan konsep perencanaan yang tepat untuk memperbaiki kondisi eksisting kawasan baik fisik, sosial maupun ekonomi masyarakat. Maka dari itu tujuan dalam perencanaan ini adalah merencanakan rumah susun di kawasan tepi sungai code dengan metode keterjangkauan ekonomi calon penghuni.
3
1.4
Ruang Lingkup Perencanaan
1.4.1
Lokasi Perencanaan Lokasi perencanaan ini terletak di permukiman tepian Sungai Code pusat
Kota Yogyakarta yang terletak di samping kanan kiri Sungai Code (sebelah barat Kampung Jogoyudan dan timur Jalan Mataram). Perkampungan ini meliputi Kampung Ledok Macanan, Gemblakan Atas dan Gemblakan Bawah. Ketiga kampung tersebut memiliki luas 58.150 š2 atau sekitar 25% dari total luas Kelurahan Suryatmajan. Penetapan lokasi ini didasari karena letaknya yang cukup strategis, berada di tengah Kota Yogyakarta dan dekat dengan pusat perbelanjaan dengan skala nasional yaitu kawasan Malioboro. Lokasi perencanaan merupakan kawasan dengan kepadatan penduduk dan kepadatan bangunan yang sangat tinggi. Jika kepadatan ini terus dibiarkan akan menimbulkan stigma negatif bagi citra Kota Yogyakarta. Adapun lokasi perencanaan ini dapat dilihat pada gambar 1.1.
Gambar 1.1 Peta Lokasi Perencanaan Sumber: Google Earth, diakses Desember 2014, diolah
4
1.4.2
Fokus Perencanaan Fokus dalam perencanaan rumah susun di kawasan Sungai Code ini adalah
pembangunan rumah susun dengan pendekatan keterjangkauan calon penghuni yang didukung dengan pengembangan sarana prasarana utilitas (PSU). Perencanaan rumah susun dan sarana prasarana pendukung ini mengacu pada peraturan-peraturan yang berlaku baik di pusat maupun di daerah. Pembahasan mencakup tahapan-tahapan dan mekanisme dalam perencanaan rumah susun baru. Dimulai dari tahap pengumpulan data di lapangan, analisis data hingga penyusunan konsep dan rencana penataan kawasan. 1.4.3
Waktu Perencanaan Kegiatan pembangunan rumah susun dilakukan secara bertahap dimulai dari
tahap persiapan yang terdiri dari survei dan analisis awal mengenai bangunan rumah yang akan direlokasi, kegiatan ini berlangsung dari bulan 1 hingga bulan ke 6. Tahap selanjutnya adalah kegiatan merelokasi bangunan hunian ke lahan hunian sementara yang telah disediakan, kegiatan pemindahan ini berlangsung dari bulan ke 7 hingga bulan ke 12. Kemudian tahap pembangunan fisik rumah susun yang berlangsung selama 1 tahun untuk 1 blok rumah susun, tahap terakhir yaitu pembangunan sarana prasarana dan fasilitas pendukung rumah susun yang berlangsung selama 1 tahun. Jadi total waktu pembangunan rumah susun yaitu 4 tahun. Agar lebih mudah memahami waktu perencanaan dari awal hingga akhir pembangunan, disediakan tabel di bawah. Tabel 1.1 Waktu Pembangunan Rumah Susun Tahun 1 1-6
2 7-12
1-6
3 7-12
1-6
4 7-12
1-6
7-12
Persiapan Relokasi Bangunan Pembangunan (1 blok) Pembangunan (1 blok) Pembangunan Fasilitas Pendukung
Sumber: Analisis Penulis, 2016
5
1.4.4
Calon Penghuni Calon penghuni merupakan masyarakat di lokasi perencanaan yang tempat
tinggalnya terdampak pembangunan rumah susun, sasaran penghuni rumah susun diprioritaskan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sesuai dengan aturan yang berlaku. Sistem kepemilikan yang berlaku menggunakan sistem sewa (rusunawa) berkorelasi dengan kondisi ekonomi masyarakat yang rendah. Rentan waktu yang diberikan adalah 3 tahun dengan masa perpanjangan maksimal 2 kali. Analisa kebijakan rentang waktu ini dapat dilihat lebih rinci pada bab analisis. 1.5
Perencanaan Terkait Perencanaan maupun penelitian mengenai pembangunan rumah susun di
tepi Sungai Code sebagai upaya penataan kawasan sudah banyak dilakukan sebelumnya. Sudah banyak penelitian yang mengangkat topik mengenai permukiman padat penduduk dan daya dukung lingkungan, tetapi topic mengenai perencanaan rumah susun dengan affordable housing sebagai konsep perencanaan belum pernah dilakukan sebelumnya. Permasalahan permukiman di tepi Sungai Code merupakan topik yang popular di kalangan peneliti khususnya di kalangan akademisi. Seperti halnya Muti (2013) pernah meneliti permukiman padat penduduk di tepi Sungai Code sebagai landasan didalam merencanakan hunian vertikal. Penelitian ini menggunakan pendekatan Tri Daya dengan menggunakan aspek sosial, ekonomi dan lingkungan sebagai landasan perencanaan. Konsep Citra Kota digunakan sebagai alat untuk menganalisa potensi dan permasalahan permukiman padat yang ada di tepi Sungai Code. Penelitian ini menemukan beberapa masalah yang ada dan potensi-potensi yang sebenarnya dapat dikembangkan, kemudian Muti (2013) merencanakan konsep pembangunan rumah susun baru di lokasi kasus dalam upaya peremajaan kawasan permukiman kumuh dan pengentasan kemiskinan masyarakat di tepi Sungai Code.
6
Keberadaan rumah susun tidak terlepas dari aspek perekonomian masyarakat khususnya kemampuan masyarakat dalam menyewa ataupun membeli suatu unit rumah susun (Santoso, 2008). Penelitian mengenai daya beli masyarakat terhadap rumah susun pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian mengenai perhitungan harga sewa dan daya beli masyarakat di DKI Jakarta (Santoso, 2008) bertujuan untuk melihat kemampuan daya sewa masyarakat terhadap biaya yang ditentukan dibeberapa rumah susun seperti Rumah Susun Karet Tengsin, Rumah Susun Bendungan Hilir 1, dan Rumah Susun Pasar Jumat. Penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk melihat perbedaan antara perhitungan harga sewa normatif dengan harga sewa yang ditetapkan dan dampaknya terhadap penghuni di ketiga rumah susun diatas. Dari penelitian ini disimpulkan di ketiga rumah susun diatas, harga sewa yang dikenakan jauh diatas harga sewa yang seharusnya dikenakan sesuai dari perhitungan. Dari fakta tersebut dapat diketahui harga sewa diketiga lokasi tersebut tidak terjangkau bagi masyarakat yang menghuni. Untuk mengetahui kemampuan membayar masyarakat dapat dihitung melalui pengumpulan data dengan metode ability to rent (Muhammad, 2013). Metode ini pernah dilakukan sebelumnya di Rusunawa Marunda, Kelurahan Marunda, Jakarta Utara dan Rusunawa Pinus Elok di Pulo Gadung Jakarta Timur. Pengumpulan data dilakukan dengan cara kuesioner. Penelitian ini menemukan kemampuan masyarakat (ability to rent) yang rendah tidak sesuai dengan harga tinggi yang ditetapkan dikedua rusunawa diatas. Meskipun topik dan cara pengumpulan data yang sama, namun metode, lokasi dan temuan kasus yang digunakan dalam perencanaan penulis berbeda. Berdasarkan beberapa tinjauan tersebut, disimpulkan bahwa perencanaan āRumah Susun Tepi Sungai Code dengan Pendekatan Affordable Housingā di Pusat Kota Yogyakarta merupakan perencanaan yang belum pernah dilakukan sebelumnya.
7