BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Hubungan Indonesia dan Australia sebagai negara tetangga sudah terjalin lama. Walaupun memiliki kebudayaan yang berbeda, kedekatan geografis membuat dua negara ini memiliki banyak permasalahan sama yang dapat dipecahkan dengan berbagai kesepakatan kerjasama. Seperti masalah terorisme, maraknya imigran gelap di wilayah kedua negara, hingga berbagai kerjasama yang mencakup bidang pendidikan, pariwisata, ekonomi, dan lain sebagainya. Namun layaknya sebuah hubungan tetangga, kedua negara ini tak luput dari konflik yang berkaitan dengan kepentingan pribadi masing – masing negara. Hubungan kedua negara sempat mengalami krisis saat Australia mendukung lepasnya Timor Timur dari Indonesia. Semenjak krisis Timor Timur tersebut lama berakhir, hubungan antara Indonesia dan Australia kembali harmonis. Namun beberapa waktu yang lalu muncul isu yang kembali menggoyang hubungan kedua negara. Isu tersebut adalah Pemerintah Australia pernah menyadap aktifitas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan orang – orang di sekitarnya via telepon genggam pada tahun 2009. Hal tersebut diungkapkan oleh mantan konsultan intelijen Amerika Serikat bernama Edward Snowden. Hubungan yang memanas antara Indonesia dan Australia ini tak luput dari pemberitaan media kedua negara. Di Indonesia isu ini menjadi headline berbagai surat kabar. Dalam hal ini, surat kabar dan media lain di Indonesia seolah menjadi kompor bagi masyarakat. Sebab dalam kasus ini Indonesia menjadi korbannya. Sehingga diperlukan sikap tegas dari pemerintah dan rakyat Indonesia untuk menjaga harga diri bangsa di mata dunia. Begitu juga dengan surat kabar lokal yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang gencar memberitakan isu penyadapan tersebut. Rata - rata surat kabar di DIY rajin memberitakan hubungan Australia dan Indonesia sejak bergulirnya isu tersebut sampai kemudian mereda dengan sendirinya. 1
Pemberitaan juga merembet ke berbagai hal. Mulai dari pembahasan beberapa hal sensitif dalam hubungan bilateral Indonesia dan Australia sampai terjadinya perang dunia maya antara peretas Indonesia dan Australia sebagai akibat dari munculnya isu panas tersebut. Pemberitaan yang bertubi – tubi pun muncul dengan berbagai informasi yang menyangkut jalannya diskusi antara kedua negara pasca keluarnya isu tersebut, masyarakat pun dengan cepat merespon pemberitaan – pemberitaan tersebut. Surat kabar yang ada DIY juga dengan cepat memberitakan respon – respon yang terjadi di tengah masyarakat. Dan kemudian pemerintah Indonesia dan Australia juga dengan segera menanggapi respon masyarakat, baik dari masyarakat Indonesia maupun dari rakyat Australia. Dari pola saling merespon di atas, surat kabar menempati posisi yang strategis di antara pihak – pihak yang terlibat. Peran surat kabar sebagai lumbung informasi dimanfaatkan benar oleh rakyat dan pemerintah masing – masing negara untuk mengorek fakta yang terjadi untuk kemudian direspon. Oleh karena posisi yang strategis tersebut, surat kabar memiliki peran penting sebagai penyedia informasi bagi berbagai pihak yang berkepentingan.1 Rakyat mencari informasi untuk mengetahui apa yang terjadi. Kemudian pemerintah juga mencari informasi dari surat kabar untuk mengetahui apa yang terjadi di tengah masyarakat setelah munculnya isu tersebut. Dengan kata lain surat kabar dan media – media lainnya selalu dengan satu pihak bertugas mengawal pihak yang lain. Surat kabar bersama rakyat mengawal pemerintah agar bersikap tegas terhadap respon tersebut. Sementara pemerintah bersama surat kabar juga mengawal masyarakat agar merespon dengan tepat kejadian tersebut. Salah satu fungsi media, dalam hal ini surat kabar adalah sebagai interpreter yang memberi arti atau penafsiran terhadap suatu peristiwa. 2 Dalam menjalankan 1
Iswandi Syahputra, Jurnalisme Damai, Meretas Ideologi Peliputan di Area Konflik, (Yogyakarta: Pilar Media, 2006, halaman 65. 2 Luwi Ishwara, Catatan – Catatan Jurnalisme Dasar, (Jakarta: Kompas, 2005), halaman 8.
2
fungsi ini setiap surat kabar memiliki sudut pandang atau budaya masing – masing dalam memberikan makna terhadap suatu peristiwa melalui berita – berita yang mereka produksi. Dengan kata lain framing berita menunjukkan pola khusus suatu surat kabar dalam memproduksi berita. Melalui proses framing ini media memberikan makna suatu realitas yang diproduksi dalam bentuk berita. Kemudian berita yang mengandung interpretasi suatu peristiwa tersebut mempengaruhi pembacanya dan selanjutnya mempengaruhi tindakan serta pandangan masyarakat dan pemerintah dalam menanggapi isu tersebut, dalam hal ini kasus penyadapan Pemerintah Australia terhadap Pemerintah Indonesia. Melalui proses framing yang dilakukan surat kabar inilah, penulis ingin mengetahui bagaimana pola surat kabar dalam membingkai isu penyadapan Pemerintah Australia terhadap Pemerintah Indonesia menjadi sebuah berita. Proses pembingkaian berita erat kaitannya dengan latar belakang pembentukan berita yang dilakukan oleh wartawan maupun institusi media. Karena ini merupakan isu internasional, maka kita perlu mencari subyek penelitian yang mempunyai pengaruh terhadap manusia dalam jumlah besar. Dalam hal ini kita perlu mencari surat kabar yang memiliki penjualan terbesar di wilayah lokal DIY yang menjadi lokasi pilihan peneliti dalam melakukan risetnya ini. Hal tersebut berdasarkan asumsi bahwa surat kabar dengan penjualan terbesar berarti paling banyak dibaca oleh masyarakat DIY. Mengapa dilakukan terhadap surat kabar daerah? Alasannya, karena surat kabar daerah memiliki keintiman budaya yang lebih dalam dengan masyarakat setempat yang menjadi wilayah pemasaran sekaligus tempat tinggal surat kabar tersebut. Surat kabar daerah lebih mengetahui secara mendalam kebudayaan dan adat istiadat masyarakat serta wilayah setempat. Hal tersebut disebabkan karena lingkungan di mana media tersebut hidup akan mempengaruhi corak segala aktifitas media tersebut. Mulai dari usaha untuk memperoleh penghasilan hingga pola pemberitaan media. Di sini kita bisa melihat adanya hubungan saling mempengaruhi
3
antara media dengan lingkungan sekitarnya.3 Sehingga pemberitaan surat kabar daerah lebih merasuk hingga ke masyarakat pelosok dan lebih menyeluruh. Selain karena surat kabar juga menjadi pilihan masyarakat pedesaan untuk memperoleh informasi daerah, nasional, maupun internasional. Karena televisi dan internet masih menjadi barang mewah di lingkungan pedesaan. Sementara suratkabar juga masih menjadi pilihan, baik sebagai pilihan utama maupun alternatif bagi masyarakat perkotaan yang mencari informasi. Melihat faktor - faktor tersebut tentu menarik untuk melakukan analisis terhadap pola pada berita – berita yang diproduksi suratkabar daerah yang bertujuan untuk memberikan informasi secara efektif kepada masyarakat daerah. Salah satu faktor yang membuat peneliti tertarik untuk melaksanakan riset ini adalah ketika melihat headline salah satu suratkabar di DIY yang memberitakan tentang isu penyadapan tersebut. Judul dari headline tersebut adalah “Australia Petentang – Petenteng” yang muncul pada halaman muka suratkabar Tribun Jogja tanggal 20 November 2013. Petentang – petenteng merupakan kata yang berasal dari Bahasa Jawa yang berarti menantang. Penggunaan kosakata bahasa daerah memang sudah biasa digunakan dalam pengemasan berita oleh suratkabar daerah. Dan ternyata hal tersebut juga digunakan dalam menginformasikan berita internasional. Peneliti berasumsi bahwa penggunaan bahasa daerah dalam berita bertema internasional merupakan cara pengemasan fakta agar mudah dikonsumsi oleh masyarakat lokal. Atau bisa dikatakan menghadirkan nilai berita proximity yang mampu dimengerti oleh masyarakat daerah mengenai isu antarnegara yang bersifat internasional. Dari beberapa surat kabar yang beredar di DIY, penulis memilih dua surat kabar. Yaitu Surat Kabar Harian (SKH) Kedaulatan Rakyat dan Tribun Jogja. Kenapa penulis memilih kedua surat kabar tersebut? SKH Kedaulatan Rakyat sendiri sudah berdiri sejak 1945 dan merupakan surat kabar harian pertama yang ada di wilayah
3
Agus Sudibyo, Politik Media dan Pertarungan Wacana (Yogyakarta: LKiS, 2001), halaman 13.
4
DIY.4 Sebagai koran lokal DIY yang sudah berumur hampir sama dengan umur negara ini, jelas memiliki keterikatan batin yang kuat dengan masyarakat DIY. Apalagi dengan jumlah oplah terbesar di wilayah DIY menunjukkan tingkat kepercayaan yang tinggi oleh masyarakat kepada surat kabar ini. Hal tersebut bisa dibuktikan dengan penjualan yang mencapai angka 109.227 eksemplar pada tahun 2011.5 Memang persentase terbesar dari total jumlah oplah se-DIY Kedaulatan Rakyat ada di Kota Yogyakarta. Namun dengan jumlah merata di empat kabupaten lainnya menjamin meratanya penyampaian informasi oleh surat kabar ini jauh sampai masyarakat pelosok. Sementara itu Tribun Jogja mulai muncul pada bulan April 2011 merupakan anak baru dalam dunia surat kabar DIY.6 Tetapi mampu menyaingi surat kabar - surat kabar yang lebih dahulu ada dalam jumlah pelanggan. PT. Media Tribun Jogja merupakan jaringan dari Tribun Networks yang termasuk dalam Group of Newspaper Kompas Gramedia.7 Dengan latar belakang tersebut, banyak masyarakat DIY melihat Tribun Jogja sebagai Kompas - nya surat kabar lokal di DIY. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Kompas merupakan salah satu surat kabar terbesar di Indonesia, baik secara oplah maupun kualitas. Sehingga masyarakat DIY berharap Tribun Jogja mampu memberikan kualitas yang sepadan dengan Kompas di tingkat lokal. Jadi dalam penelitian ini peneliti ingin membandingkan framing isu internasional yang dilakukan antara surat kabar yang sejak lama menjadi sumber informasi bagi masyarakat daerah DIY (KR) dan surat kabar daerah yang terhitung baru namun memiliki jaringan nasional yang kuat sehingga tidak sulit untuk meraih perhatian pembaca (Tribun Jogja). 4
Kedaulatan Rakyat dalam Fransiscus Asisi Aditya Yuda, Kelayakan Berita Citizen Journalisme, Studi Analisis Isi Kuantitatif Mengenai Kelayakan Berita dalam Kolom Citizen Journalism Surat Kabar Harian Tribun Jogja Periode November 2012-Februari 2013, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2013), halaman 2. Terarsip di http://e-journal.uajy.ac.id/285/2/1KOM03647.pdf. Diakses 21 Oktober 2014. 5 Kedaulatan Rakyat dalam Fransiscus Asisi Aditya Yuda, loc.cit.. Terarsip di http://ejournal.uajy.ac.id/285/2/1KOM03647.pdf. Diakses 18 Oktober 2014. 6 Ibid, halaman 3. Diakses 18 Oktober 2014. 7 Company Profile Tribun Jogja 2012 dalam Fransiscus Asisi Aditya Yuda, ibid, halaman 33.
5
Untuk menemukan referensi dalam penelitian ini peneliti kesulitan menemukan riset dengan tema sejenis. Salah satu yang mendekati adalah penelitian yang berjudul “Melihat Indonesia dari Kacamata Malaysia, Analisis Isi Berita Seputar Indonesia – Malaysia dalam Hasil Peliputan Kantor Berita Malaysia Bernama (Periode 1 Januari – 31 Desember 2010)” yang ditulis oleh Nuraini Septiana (2011). Menurutnya hubungan bilateral antara dua negara menjadi perhatian dan layak untuk dijadikan agenda media masing – masing negara. Hubungan antara dua negara tidak hanya melibatkan pemerintahan kedua negara saja, tetapi meliputi semua elemen yang ada di dalam suatu negara, mulai dari presiden, pemerintah, akademisi hingga masyarakat biasa.8 Berdasarkan judulnya, penelitian tersebut berusaha melihat bagaimana cara media surat kabar Malaysia melihat Indonesia secara utuh. Penelitian yang melihat bagaimana hubungan dua negara dari sudut pandang negara kita sendiri jarang ditemukan. Salah satu alasannya karena secara eksplisit masyarakat awam pun tahu bahwa media dalam negeri yang memberitakan konflik antar negara cenderung membela negaranya. Namun secara implisit kita belum mengetahui bagaimana peran pola pemberitaan tersebut dalam mendorong gerakan massa serta bagaimana pola pemberitaan media dalam membentuk citra pemerintahan negara sendiri dan pemerintah pihak seberang. Selain itu surat kabar daerah perlu memiliki startegi framing tersendiri yang berbeda dengan surat kabar nasional dalam mengolah isu internasional. Sehingga informasi yang disampaikan bisa dikonsumsi dengan baik oleh masyarakat daerah yang masih menjunjung tinggi adat tradisional dan mungkin kebanyakan masih awam dengan istilah – istilah internasional. Dengan pemaparan di atas, penulis ingin mengetahui framing yang digunakan dua surat kabar tersebut, yaitu SKH Kedaulatan Rakyat dan Tribun Jogja dalam memberitakan isu penyadapan Pemerintah Australia terhadap Pemerintah Indonesia. 8
Nuraini Septiana, Melihat Indonesia dari Kacamata Malaysia, Analisis Isi Berita Seputar Indonesia – Malaysia dalam Hasil Peliputan Kantor Berita Malaysia Bernama (Periode 1 Januari – 31 Desember 2010), (Yogyakarta: Skripsi Universitas Gadjah Mada, 2011), halaman 171.
6
Dari framing tersebut nanti kita akan mengetahui sikap kedua surat kabar tersebut, apakah hanya sekedar memberitakan isu internasional agar mudah dikonsumsi masyarakat daerah. Atau mungkin ada tujuan lain yang ingin dicapai suratkabar terkait berita yang mereka lemparkan kepada masyarakat. Apakah penggunaan bahasa daerah memang sering digunakan untuk membantu masyarakat daerah dalam mengkonsumsi berita internasional? Apakah framing yang dibentuk juga digunakan untuk melegitimasi suatu fakta atau suatu pihak? Melalui struktur – struktur yang ada dalam suatu berita kita bisa menilai bagaimana media tersebut menempatkan dirinya dalam memandang suatu realitas. 1.2 RUMUSAN MASALAH Bagaimana surat kabar lokal SKH Kedaulatan Rakyat dan Tribun Jogja membingkai berita tentang penyadapan Pemerintah Australia terhadap Pemerintah Indonesia? 1.3 TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui bagaimana cara surat kabar lokal Kedaulatan Rakyat dan Tribun Jogja dalam membingkai berita mengenai penyadapan Pemerintah Australia terhadap Pemerintah Indonesia untuk bisa dikonsumsi oleh masyarakat daerah. 1.4 MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini berusaha untuk memberikan manfaat antara lain sebagai berikut: 1. Kita akan mengetahui bagaimana cara surat kabar Kedaulatan Rakyat dan Tribun Jogja dalam membingkai informasi tentang isu penyadapan Pemerintah Australia terhadap Pemerintah Indonesia agar mudah dikonsumsi masyarakat daerah. 2. Mengetahui cara surat kabar lokal dalam mengolah isu luar negeri dan cara penyampaiannya dalam bentuk berita sehingga bisa memberikan informasi yang tepat kepada masyarakat lokal di DIY. 1.5 KERANGKA PEMIKIRAN 7
1.5.1 Konstruksi Realitas dalam Pemberitaan Media Massa Analisis framing termasuk dalam paradigma konstruksionis. Wartawan sebagai manusia membentuk realitas yang objektif melalui proses eksternalisasi. Ia memandang realitas berdasarkan pengalaman yang ia dapatkan sebelumnya dari dunia di luar tubuhnya. Pengalaman – pengalaman tersebut membentuk cara pandang yang disebut internalisasi.9 Internalisasi itu disebut cara pandang subyektif yang mempengaruhi wartawan secara sadar atau tidak dalam mengkonstruksi realitas menjadi sebuah berita. Oleh karena itu menurut pandangan konstruksionis, berita bukan merupakan kopi dari realitas, melainkan realitas yang dikonstruksi.10 1.5.1.1 Berita : sebuah konstruksi wacana Berita merupakan laporan aktual tentang fakta-fakta dan opini yang menarik atau penting, atau keduanya, bagi sejumlah besar orang.11 Dalam berita, realitas yang aktual tersebut dikonstruksi.12 Realitas yang terjadi disederhanakan dalam bentuk berita, sehingga masyarakat dengan mudah memahami berita yang disampaikan. Pemikiran berita sebagai konstruksi sederhana dari realitas berdasarkan pada fakta bahwa tidak mungkin suatu peristiwa dituliskan secara detail dari awal hingga akhir menjadi sebuah informasi. Kalaupun bisa akan sangat panjang dan membosankan untuk dibaca. Oleh karena itu tugas wartawan dan media adalah mengkonstruksi fakta yang ada dan tersedia serta sesuai dengan suatu sudut pandang. Sehingga pembaca akan dengan mudah menemukan inti dan interpretasi berita. Oleh karena berita merupakan konstruksi peristiwa berdasarkan suatu sudut pandang maka tidak semua fakta dimasukkan dalam berita. Hanya fakta – fakta yang sesuai dengan sudut pandang yang dipilih saja yang akan digunakan untuk merekonstruksi tulisan. Itulah sebabnya ada orang yang beranggapan bahwa 9
Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, (Yogyakarta: LKiS, 2005), halaman 13. 10 Ibid, halaman 17. 11 Mitchell V. Charnley dalam Kusumaningrat, Hikmat dan Purnama, Jurnalistik, Teori & Praktik, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), halaman 39. 12 Ibid, halaman 19.
8
penulisan berita lebih merupakan pekerjaan pengkonstruksian atas realitas sosial ketimbang gambaran dari realitas itu sendiri.13 Suatu berita dihasilkan sebagai produk dari kompleksitas proses rutinitas media. Oleh karena itu berita tidak dapat lepas dari proses negoisasi yang terjadi di dalam ruang redaksi, seperti pembuatan berita, pemilihan peristiwa, dan penyeleksian isu. Karena bagaimanapun, berita tidak bisa dianggap sebagai taken for granted. Pasti ada suatu proses negoisasi yang terjadi antara pemikiran subyektif wartawan dan media – nya. Hal tersebut didukung oleh kaum konstruksionis, yang berpendapat bahwa berita merupakan hasil pemahaman wartawan terhadap suatu peristiwa, yang kemudian ditumpahkan dalam bentuk tulisan. Berita yang baik tidak terjebak dalam penilaian terhadap suatu peristiwa berdasarkan nilai yang benar dan salah. Akan tetapi dinilai sebagai suatu yang wajar, memberikan fakta secara berimbang dan netral, sehingga masyarakat yang akan menilai sendiri. Karena berita merupakan hasil pemahaman dari wartawan dan media, maka tidak bisa dikatakan berita sebagai refleksi dan realitas. Berita merupakan konstruksi realitas yang melibatkan pemahaman dari wartawan dan media yang memproduksi berita tersebut. Realitas sendiri, menurut Peter L. Berger tidak dibentuk secara ilmiah. Tetapi ia dibentuk dan dikonstruksi, sehingga realitas bisa berwajah plural. Setiap orang bisa memiliki konstruksi yang berbeda melihat suatu peristiwa. Karena setiap orang memiliki latar belakang masing – masing, seperti pengalaman, preferensi, pendidikan, dan lingkungan pergaulan tersendiri. Sehingga dengan latar belakang yang berbeda – beda tersebut akan melihat suatu peristiwa dengan penafsiran yang berbeda – beda pula. Hal tersebut juga berlaku bagi suatu organisasi atau institusi yang juga memiliki cara pandang masing – masing.14 Fakta dalam realitas itu juga bukan sesuatu yang ada dan tinggal mengambilnya menjadi bahan berita. Fakta tersebut diolah dalam bentuk 13
Ana Nadhya Abrar, Penulisan Berita (Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atmajaya, 1995), halaman
2
14
Peter L. Berger dalam Eriyanto, op.cit., halaman 15.
9
pendefinisian sesuai pengalaman baru. Baru kemudian disampaikan dalam bentuk berita yang sesuai dengan cara pandang yang sudah terbentuk. Tujuannya adalah membentuk berita tersebut sebagai sebuah kenyataan, yang mungkin pernah ada maupun belum ada di kehidupan pembacanya. Dalam berita, fakta disampaikan secara simbolik sehingga tinggal bagaimana cara melihat dan mengkonstruksi fakta tersebut. Cara melihat dan mengkontruksi itulah yang membentuk dan mengkreasikan fakta. Fakta yang sama bisa menghasilkan fakta yang berbeda – beda ketika ia dilihat dan dipahami dengan cara yang berbeda.15 Dari kondisi di atas dapat dikatakan bahwa berita merupakan kopi dari realitas, bukan sajian nyata dari persitiwa. Sebab dalam membuat berita, peristiwa diserap oleh wartawan untuk dimaknai sendiri. Sehingga wartawan bebas dalam melakukan interpretasi pada fakta yang ditemuinya. Kemudian fakta dibentuk untuk memberikan pandangan atau konsep tentang suatu peristiwa kepada audience. Hasil dari interpretasinya adalah interaksi, dialektika, dan konstruksi makna yang diwujudkan dalam bentuk pemilihan fakta, penggunaan gambar, kata, sampai penyuntingan berita. Semua bentuk interpretasi tersebut membentuk realitas yang dikonsumsi oleh khalayak. Sehingga media layak disebut sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas. Akan tetapi media bukan sekedar penyalur informasi dan tidak terlihat memiliki sifat bebas nilai.16 Media dipandang sebagai agen konstruksi realitas yang lengkap dengan pandangan, bias, dan keberpihakannya. Media yang kita baca tidak sekedar menggambarkan realitas dan pendapat dari sumber berita, tetapi juga konstruksi yang dibangun oleh media itu sendiri. Jadi berita yang kita baca setiap hari merupakan produk pembentukan realitas yang dikonstruksi media. Media merupakan agen yang secara aktif memberikan penafsiran suatu peristiwa kepada khalayak. Media tidak hanya memilih peristiwa, fakta, dan sumber berita. Tetapi juga menentukan aktor dalam suatu peristiwa. Lewat pemberitaan pula, media dapat 15 16
James W. Carey dalam Eriyanto, ibid, halaman 21. Agus Sudibyo, Bung Karno, Analisis Berita Pers Orde Baru, (Yogyakarta: Bigraf, 1999), halaman 35.
10
membingkai peristiwa demonstrasi dengan bingkai tertentu yang pada akhirnya menentukan bagaimana khalayak harus melihat dan memahami peristiwa dalam kaca mata tertentu.17 1.5.1.2 Cara Kerja Media Massa dan Konstruksi Realitas Walaupun media yang ideal merupakan media yang mampu memproduksi berita secara netral, pada kenyataannya media tidak bisa netral sepenuhnya. Ia dipengaruhi oleh sistem – sistem lainnya yang berhubungan langsung dengan media. Termasuk sistem yang berlaku di masyarakat. Media bergantung pada nilai – nilai yang berlaku dan dipegang oleh lingkungan di mana media itu hidup. Sistem masyarakat ini harus diperhatikan dengan baik oleh media, karena media sangat bergantung, berkaitan, dan berhubungan dengan masyarakat di tempat media berada. Ketika suatu pemerintahan yang otoriter berkuasa, media menjadi kepanjangan tangan penguasa dan selalu mendukung kebijakan – kebijakannya. Karena pemerintah yang otoriter menganggap kebenaran datang dari mereka yang harus dipatuhi oleh masyarakat di dalamnya. Begitu juga media harus tunduk kepada kepentingan pemerintahan tersebut. Ia berfungsi mengalirkan informasi dari pemerintah kepada rakyat. Salah satunya untuk mensosialisasikan kebijakan – kebijakan yang dibuat demi kepentingan rakyat. Namun media juga digunakan untuk menyampaikan kebijakan – kebijakan yang melanggengkan kekuasaan pemerintahan tersebut. Sehingga dalam sistem otoritarian, media massa dikuasai dan dimanfaatkan oleh pemerintah. Salah satu contoh sistem pemerintahan yang menjadikan pers sebagai milik negara adalah komunis. Oleh karena media dimiliki negara, maka pers tidak perlu mencari keuntungan finansial. Hal tersebut disebabkan karena demi melancarkan komunikasi yang otoriter dengan masyarakat, negara akan berusaha melindungi keberlangsungan hidup pers, sehingga pers tidak perlu takut akan collapse. Akan tetapi pers akan memegang prinsip kebebasan pers negatif, yang bebas dalam 17
Ibid, halaman 24.
11
memproduksi
berita
asalkan
tidak
merugikan
pihak
yang
melindungi
keberlangsungan hidupnya, dalam hal ini negara. Sementara itu, dalam sistem pemerintahan liberal, manusia dipandang sebagai mahkluk cerdas yang berakal yang mampu menentukan mana yang baik dan buruk. Sehingga masyarakat dipercaya mampu menginterpretasi suatu kebenaran sendiri tanpa bergantung pada penguasa untuk menentukan benar dan salah. Dalam konsep seperti ini media berfungsi sebagai pengawas pemerintah (watchdog). Media menjadi mitra bagi masyarakat untuk mengawasi kebijakan pemerintah. Media mampu menampung berbagai pendapat, informasi, dan sudut pandang dari siapapun, sehingga tidak terus disetir oleh pemerintah. Media di sini menjadi partner bagi siapapun untuk menentukan kebenaran. Oleh karena banyak negara berkembang yang mengarah ke sistem pemerintahan libertarian, muncul beberapa ciri – ciri sistem pers yang juga sedang berkembang. Ciri – ciri tersebut antara lain sistem pers yang sedang dalam transisi dari sistem lama menuju sistem yang baru yang lebih bebas. Kedua masih menerapkan sebagian kaidah sistem yang bertanggung jawab sosial. Kemudian yang ketiga masih memakai sistem yang lama namun mengalami perbaikan dimana – mana yang disesuaikan dengan keperluan dalam menghadapi era yang baru. 1.5.1.3 Strategi Konstruksi Realitas oleh Media Massa Tindakan konstruksi realitas yang dilakukan oleh pekerja media dapat dijelaskan oleh analisis framing dan agenda setting. Analisis framing sendiri berusaha untuk mengetahui bagaimana pola media dalam memilih, mengorganisasi, menekankan, menyajikan, dan menghilangkan aspek yang ada dalam peristiwa, untuk kemudian disampaikan kepada khalayak. Analisis framing digunakan untuk mengetahui cara pandang media atau wartawan terhadap realitas yang terjadi. Menurut Entman konsep framing digunakan untuk menggambarkan proses seleksi dan penonjolan dari aspek tertentu dari realitas yang dilakukan oleh media. Entman memandang bahwa analisis framing sebagai penempatan informasi – 12
informasi dalam konteks yang khas sehingga isu tertentu mendapat alokasi lebih besar dalam pemberitaan dibandingkan isu yang lain. Pembuat berita memberikan penekanan yang lebih pada bagaimana teks komunikasi ditampilkan dan bagian mana saja yang ditonjolkan atau dianggap penting. Sehingga informasi dalam berita tersebut terlihat dengan jelas, lebih bermakna, dan lebih mudah diingat oleh khalayak.18 Eriyanto mengutip pernyataan Entman yang melihat framing dalam dua dimensi besar: seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek – aspek realitas. Dalam hal ini perspektif wartawan lah yang bermain. Melalui perspektif yang dimiliki, ia akan mengetahui bagian mana yang perlu ia tonjolkan dan dibuang, serta fakta apa saja yang dipilih. Karena realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok sudah barang tentu punya peluang besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami realitas.19 Dalam mengkonstruksi realitas ke dalam berita, ada tiga langkah yang biasa dilakukan wartawan dan surat kabar. Pertama adalah pemilihan kata. Dalam hal ini kata merupakan simbol yang menentukan arah sebuah berita. Kata – kata yang diperoleh dari narasumber pun juga perlu diperhatikan. Hal tersebut menjadi alasan kenapa redaksi perlu memilih sumber berita yang tepat. Sehingga arah berita sesuai dengan yang diinginkan wartawan dan surat kabar. Lalu yang kedua adalah melakukan pembingkaian terhadap berita. Hal pertama yang bisa dijadikan alasan dalam hal pembingkaian berita ini adalah masalah teknis. Yaitu terbatasnya ruang dalam surat kabar untuk memberitakan suatu fenomena. Karena tidak mungkin untuk memberitakan suatu fenomena secara mendetail dari awal hingga akhir dan juga dari berbagai sudut pandang sekaligus. Alasan tersebut juga digunakan untuk tetap mengusung kaidah jurnalistik, yaitu menyederhanakan sebuah fenomena. Ditambah pula dengan berbagai kepentingan,
18 19
Robert Entman dalam Eriyanto, op.cit., halaman 186. Ibid, halaman 163-164.
13
maka konstruksi realitas sangat ditentukan oleh siapa yang memiliki kepentingan (menarik keuntungan atau pihak mana yang diuntungkan) dengan berita tersebut.20 Yang ketiga, yaitu menyediakan ruang untuk sebuah berita agar bisa dibaca oleh khalayak. Dengan menyediakan sebuah ruang, maka menunjukkan surat kabar tersebut memiliki perhatian khusus terhadap suatu fenomena. Dan dengan memberikan ruang kepada suatu berita berarti surat kabar memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk membaca dan ikut memberi perhatian terhadap berita yang ditayangkan. Semakin besar ruang yang diberikan akan semakin besar pula perhatian yang akan diberikan masyarakat terhadap berita yang ditayangkan. Dalam konteks ini surat kabar memiliki fungsi sebagai agenda setter seperti dalam Teori Agenda Setting. Yaitu membentuk latar belakang suatu berita perlu dan diberi kesempatan lebih banyak untuk dapat dibaca. Hal tersebut terkait juga dengan pemilihan lokasi berita. Tentu berita yang diletakkan di headline akan memperoleh perhatian lebih banyak dibandingkan dengan berita yang diletakkan di pojok halaman. Sementara itu, dalam isu penyadapan Pemerintah Australia terhadap Pemerintah Indonesia menyulut konflik, walaupun belum masuk dalam kondisi menegangkan. Dan media, termasuk surat kabar memiliki peran penting dalam menjaga atau merusak kondisi ini. Sebab, kekuatan media antara lain muncul melalui proses pembingkaian (framing), teknik pengemasan fakta, penggambaran fakta, pemilihan sudut pandang (angel), penambahan atau pengurangan foto dan gambar dan lain – lain. Dengan demikian, sebetulnya media punya potensi untuk jadi peredam atau pendorong konflik.21 Melalui pandangan Entman mengenai cara membingkai berita, kita diajak pula untuk lebih mengenal suatu berita sebelum mengidentifikasi framing apa yang digunakan dalam berita tersebut. Ada empat fungsi pembingkaian berita yang diungkapkan
Entman,
yaitu
memulai
dengan
identifikasi
masalah,
lalu
mengidentifikasi penyebab masalah, kemudian melakukan evaluasi moral, dan yang 20 21
Eriyanto, Ibid, halaman 167. Ibid, halaman 171.
14
terakhir adalah memberikan saran penanggulangan masalah.22 Jika digambarkan maka keempat cara Entman tersebut dapat dilihat seperti pada skema 1. Tabel 1.1 FRAMING ROBERT ENTMAN23 Define Problems (Pendefinisian Masalah) Bagaimana suatu peristiwa/ isu dilihat? Sebagai apa? Atau sebagai masalah apa? Diagnose Cause (Memperkirakan Peristiwa itu dilihat disebabkan oleh apa? masalah atau sumber masalah) Apa yang dianggap sebagai penyebab dari suatu masalah? Siapa (aktor) yang dianggap sebagai penyebab masalah? Make Moral Judgement (Membuat Nilai moral apa yang disajikan untuk keputusan moral) menjelaskan masalah? Nilai moral apa yang dipakai untuk melegitimasi atau mendelegitimasi suatu tindakan? Treatment Recommendation Penyelesaian apa yang ditawarkan untuk (Menekankan penyelesaian) mengatasi masalah/ isu? Jalan apa yang ditawarkan dan harus ditempuh untuk mengatasi masalah? Melalui skema diatas dapat kita lihat cara – cara untuk membingkai berita menurut Entman.24 Yang pertama, adalah mengidentifikasi masalah, yaitu melihat suatu masalah sebagai apa dan dilihat dalam konteks positif atau negatif atau keduanya. Yang kedua adalah mencari penyebab masalah tersebut untuk kemudian dievaluasi menggunakan evaluasi moral terhadap penyebab permasalahan tersebut sebagai cara yang ketiga. Yang keempat, memberikan saran penanggulangan masalah yang bisa kita selipkan prediksi terhadap hasil penanganan masalah ini.25 Setelah melakukan analisis terhadap teks, selanjutnya adalah membandingkan dengan master frame, penelitian ini akan mengadaptasi pemikiran Urs Dahiden mengenai lima basis framing pemberitaan media. Seperti yang dicontohkannya dalam penelitian mengenai kasus Gen Teknologi di media massa Inggris selama tahun 1992
22
Ibid, halaman 172. Robert Entman dalam Eriyanto, ibid, hlm. 188 – 189. 24 Robert Entman dalam Alex Sobur, Analisis Teks Media, Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: Rosdakarya, 2001), halaman 172. 25 Ibid, halaman 189 – 191. 23
15
– 1996, pemikiran Dahinden bisa digunakan untuk melihat bagaimana sesungguhnya frame dasar wartawan dalam mengemas sebuah peristiwa. Kelima frame dasar itu adalah: 1) Konflik Berita yang dibangun di atas kerangka dasar konflik, artinya berita dibahas berdasar konflik kepentingan antara individu, kelompok sosial, atau institusi yang berbeda. Topik yang diangkat dalam berita dipandang sebagai mata konflik bagi beberapa pihak. Media membuat beberapa frame utama dalam melaporkan suatu isu dan konflik merupakan hal yang paling umum dalam frame media. Dalam penelitian ini jelas terlihat unsur konflik karena penyadapan yang dilakukan Pemerintah Australia dianggap merusak hubungan dengan Indonesia. 2) Ekonomi Dengan menggunakan kerangka ini, tema berita dibahas berdasarkan perspektif ekonomi. Artinya, suatu peristiwa, masalah, atau isu memiliki konsekuensi ekonomi, pada individu, kelompok, institusi, daerah, maupun nasional. Misalnya bagaimana isu penyadapan Pemerintah Australia terhadap Pemerintah Indonesia mempengaruhi pendapatan negara melalui sektor pariwisata. 3) Kemajuan Basis framing kemajuan menunjukkan bahwa tema dibahas dengan memfokuskan pada peran ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi. Frame kemajuan juga muncul pada berita – berita yang mengarahkan kepada proses – proses menuju kondisi masyarakat yang lebih baik. 4) Moral, Etika, Hukum Etika dan moral dalam banyak hal berarti keberpihakan pada satu kelompok atau nilai – nilai tertentu, dan yang biasanya dilandasi keyakinan. Aspek etika, moral, dan nilai – nilai tertentu memang tak bisa dihilangkan dari 16
pemberitaan media dalam paham konstruksionis.26 Apalagi dalam hubungan internasional antarnegara, banyak peraturan yang berkaitan dengan etika, moral, dan hukum yang harus ditaati oleh dua atau lebih negara – negara yang menjalin kesepakatan. Hal tersebut bertujuan untuk tetap menjaga hubungan tersebut dan mengarahkannya kepada kemajuan. Selain itu juga untuk menyamakan standar etika, moral, dan hukum yang berlaku di masing – masing negara yang berbeda. 5) Personalisasi Personalisasi adalah penonjolan ketokohan dalam berita yang disajikan oleh media. Frame ini menggunakan „wajah manusia‟ untuk menampilkan suatu peristiwa. Yang jelas frame ini bertujuan untuk lebih mendramatisir berita secara emosional untuk membuat khalayak lebih tertarik. Dasar – dasar framing itu bisa dilihat pada table berikut: Tabel 1.2 Basis Frame Urs Dahinden27 Nama Basis frame Konflik
Deskripsi Singkat Tema dibahas berdasarkan konflik kepentingan antara kelompok sosial yang berbeda Ekonomi Tema dibahas berdasarkan perspektif ekonomi Kemajuan Tema dibahas dengan memfokuskan pada peran ilmu pengetahuan Moral, etika, hukum Tema dibahas dengan latar belakang moralitas, etik, dan hukum Personalisasi Tema dibahas dari perspektif personalisasi Erving Goffman menjelaskan bahwa dalam sudut pandang sosiologi, seseorang akan dibiasakan untuk mengklasifikasi, menyusun, dan menginterpretasi pengalaman – pengalaman yang pernah dirasakan. Konsep tersebut akan membiasakan orang untuk dapat memahami dunia secara keseluruhan dan konstan. Goffman berpendapat bahwa skema interpretasi terhadap informasi disusun oleh
26 27
Eriyanto, op.cit.., halaman 32. Urs Dahinden, Framing (Konstanz: UVK Verlagsegesellscahft mbH, 2006), halaman 108.
17
pengalaman seseorang yang disebut frames. Dalam kerangka utama pengalaman seseorang dalam menginterpretasi informasi tersebut membantu seseorang untuk meletakkan, mempersepsikan, mengidentifikasi, dan melabeli informasi tersebut.28 Sehingga dengan cara tersebut seseorang dapat menilai informasi tersebut berguna atau tidak untuk dirinya. Artinya framing informasi dapat mempermudah atau menyulitkan seseorang dalam menginterpretasi informasi tergantung dari cara framing yang dilakukan oleh media dan juga pengalaman yang dimiliki oleh khalayak. Ada dua aspek yang digunakan dalam framing. Yang pertama adalah memilih fakta/ realitas. Proses pemilihan fakta ini didasarkan pada asumsi bahwa wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tanpa perspektif. Ada dua kemungkinan dalam proses ini, yaitu memilih fakta untuk dipilih (included) atau dibuang (excluded). Penekanan yang dilakukan dengan memilih angel tertentu, memilih fakta tertentu, melupakan fakta yang lain, memberitakan aspek tertentu, dan melupakan aspek yang lain. Intinya, peristiwa dilihat dari sisi tertentu yang berakibat pada cara pandang dan pemahaman antara media satu dengan yang lain bisa berbeda dalam melihat suatu realitas. Pemilihan fakta ini biasanya berdasarkan pada kandungan nilai dan unsur berita apa yang ingin disampaikan kepada khalayak tentang suatu peristiwa. Kedua, adalah cara menuliskan fakta. Hal ini berkaitan dengan bagaimana fakta yang telah dipilih disajikan kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengan kata, kalimat, dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto dan gambar apa, metafora apa yang digunakan untuk mendeskripsikan, dan sebagainya. Kemudian fakta yang sudah dipilih itu ditekankan pada perangkat tertentu. Misal pada penempatan yang mencolok (headline depan atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang atau peristiwa yang sedang diberitakan, dan sebagainya. Pemakaian dan pemilihan kata, kalimat, dan foto merupakan implikasi 28
Erving Goffman dalam Alex Sobur, op.cit., halaman 163.
18
dalam memilih aspek tertentu dari realitas. Semua aspek yang dipilih tersebut bertujuan untuk membentuk dimensi tertentu dari konstruksi media sehingga menjadi bermakna dan diingat oleh khalayak.29 Dalam menjalani proses framing, wartawan memiliki skema masing – masing dalam memandang sebuah peristiwa. Skema digunakan untuk mengorganisir pengetahuan, memancing pengalaman dan memori masa lalu untuk melihat dunia sekarang dan memprediksi masa depan.30 Skema akan menggiring pandangan seseorang untuk meletakkan realitas mana yang relevan dan tidak, yang bisa dimasukkan dan tidak bisa dimasukkan. Skema mengorganisir pengetahuan dan pengalaman serta mendikte bagaimana seharusnya realitas dilihat. Skema dalam framing ada tiga macam. Yang pertama, skema sosial. Skema ini sering disebut juga sebagai skrip atau skenario. Dalam skenario ini kita membayangkan realitas layaknya drama. Ada pembagian peran, latar, alur, dan sebagainya. Sementara itu dalam skrip kita memasukkan berbagai peristiwa, pelaku, dan orang dalam tata aturan yang telah ada. Ada dua bentuk skema sosial, yaitu skema peran (bagaimana seseorang memandang peran tertentu dalam masyarakat) dan skema personal (pandangan mengenai seseorang, perbedaan – perbedaannya, tipe – tipe yang ada, dan sebaginya). Kedua, skema tekstual, yaitu mengamati bentuk skema pada teks. Skema ini sering digunakan seseorang untuk menafsirkan suatu teks. Ada tiga bentuk skema tekstual ini, yaitu genre yang berhubungan dengan pola atau bentuk teks; kode – kode tertentu dari teks komunikasi, seperti korelasi antara bahasa verbal dengan simbol nonverbal; gambaran umum media. Skema yang ketiga adalah skema ideologis. Skema ideologi ini terjadi ketika dihubungkan antara skema diri (self – schema) – umumnya diklasifikasikan sebagai skema sosial – seseorang menggunakan skemanya untuk melihat dirinya sendiri. Skema ideologi ini merupakan bagian dari ideologi yang terpenting. Skema ideologi 29 30
Alex Sobur, ibid, halaman 69 – 70. Ibid, halaman 89 – 90.
19
ini memasukkan secara inferensial tentang asumsi ideologi yang implisit terdapat dalam teks. Mereka akan menggunakan skema dan kepercayaan dirinya sendiri untuk melihat dan menafsirkan realitas, di antaranya yang ada dalam teks.31 Framing adalah perpanjangan teori agenda setting.32 Framing menjadi alat untuk membentuk agenda. Dengan agenda setting yang dimiliki, media mempunyai kemampuan untuk menggiring perhatian khalayak terhadap isu tertentu. Agenda setting adalah pemahaman bahwa berita mempengaruhi agenda publik yang secara rutin diberitakan oleh media massa. Sebab, menurut McComb dan Shaw media massa dipandang memiliki kemampuan untuk memindahkan unsur – unsur yang menonjol dalam agenda beritanya kepada agenda publik.33 Dalam teori agenda setting ini media diposisikan sebagai penyaring informasi (gatekeeper). Media melakukan seleksi berita, melakukan pemilihan mengenai fakta apa saja yang dilaporkan serta bagaimana cara melaporkannya. Dari hasil seleksi fakta tersebut akan dihasilkan berita yang sesuai dengan arahan redaksi. Dengan melakukan seleksi informasi, media berusaha menonjolkan suatu isu dibandingkan berita – berita lainnya. Sehingga pembaca akan melihat isu yang ditonjolkan tersebut sebagai berita yang paling menarik. Dalam hal ini media mengawali perspektif publik terhadap hal yang menarik. Oleh karena itu, apa yang dianggap penting dan diagendakan oleh media, kemudian dianggap penting oleh publik atau menjadi agenda publik juga. Sehingga bisa dikatakan media memiliki kemampuan untuk membentuk agenda khalayak dan menjadikan sesuatu sebagai hal yang penting bagi khalayak. Apa yang disampaikan oleh media dianggap mampu mendefinisikan apa yang dipikirkan oleh khalayak. Hal inilah yang dimaksud oleh McCombs, “media do influence the way we think”.34 31
Ibid, halaman 90 – 91. Ibid, halaman 167. 33 “Mass media have the ability to transfer the salience of items on their new agendas to public th agendas” dalam Emory A. Griffin, A First Look at Communication Theory 5 ed. (New York: McGrawHill, 2003), halaman 396. 34 McCombs dalam Griffin, ibid, halaman 396. 32
20
Menurut James Tankard, media membentuk kerangka sebuah berita melalui proses penyeleksian, penekanan, pengurangan, dan perluasan (selection, emphasis, exclusion, dan elaboration). Hal tersebut menunjukkan bahwa media tidak hanya menonjolkan agenda suatu isu, tokoh, dan kejadian tertentu agar terlihat leboh menonjol. Tetapi media juga menonjolkan unsur – unsur seperti atribut spesifik yang dimiliki oleh kepentingan – kepentingan tertentu.35 Fishman mengatakan bahwa ada dua pendekatan untuk dapat melihat bagaimana proses produksi berita. Pandangan pertama disebut pandangan seleksi berita (selectivity of news) yang melahirkan salah satunya teori tentang gatekeeper. Yang ditekankan adalah proses seleksi, komunikator memilih mana yang penting, mana yang ditonjolkan dan bagian mana yang disamarkan, serta memilih mana yang diberitakan dan mana yang tidak. Pandangan ini menyatakan bahwa memang ada realitas riil yang diseleksi oleh wartawan untuk dibentuk menjadi berita. Pandangan yang kedua adalah pembentukan berita (creation of news). Dalam pandangan ini menyatakan bahwa peristiwa tidak diseleksi, namun dibentuk. Aktornya adalah wartawan sebagai pembentuk berita, mana yang disebut berita dan mana yang tidak. Wartawan menjadi lebih aktif untuk berhubungan dengan realitas dan menentukan bagaimana bentuk dan isi berita disampaikan.36 Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese meringkas beberapa faktor yang mempengaruhi kebijakan redaksi dalam memproduksi berita.37 Pertama, faktor Individual, yaitu bagaimana latar belakang profesional dari pengelola media berpengaruh dalam pembuatan berita. Kemudian rutinitas media yang menekankan pada bagaimana mekanisme dan proses penentuan berita. Lalu pada level organisasi, bagaimana struktur organisasi yang secara hipotetik mampu mempengaruhi pemberitaan. Keempat adalah level ekstramedia yang melihat bagaimana lingkungan di luar media mempengaruhi kebijakan media tersebut. Lingkungan di luar media 35
Dennis McQuail, Teori Komunikasi Massa: Suatu Pengantar (Jakarta: Erlangga, 1994), halaman 163. Ibid 37 Mark Fishman dalam Agus Sudibyo, op.cit., halaman 7 – 12. 36
21
yang berpengaruh tersebut antara lain: (i) sumber berita, dipandang bukan sebagai pihak yang netral tapi juga memiliki kepentingan untuk mempengaruhi media dengan berbagai alasan, misal memenangkan opini publik, memberi citra tertentu kepada khalayak, dsb; (ii) sumber penghasilan media, yang terdiri dari pemasang iklan, penanam modal, dll. Media harus bertahan hidup, untuk itu terkadang media harus berkompromi dengan pihak - pihak dan berbagai sumber daya yang menghidupi mereka; (iii) pihak eksternal, seperti pemerintah yang memegang kebijakan dunia media dalam negeri dan lingkungan persaingan bisnis. Terakhir adalah level ideologi, yang merupakan kerangka berpikir atau kerangka referensi individu dalam menafsirkan realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Sementara itu Funkhouser memberikan lima teknik untuk membuat suatu peristiwa yang hangat atau aktual mampu dikonstruksi oleh media sehingga menarik perhatian:38 1. Adaptation of the media to a stream of events, adalah kemampuan media dalam memahami peristiwa – peristiwa yang sedang berlangsung tidak secara an sich dan memberikan pengertian bahwa peristiwa – peristiwa tersebut bisa dipandang dengan sudut pandang yang berbeda. 2. Overreporting of significant but unusual events, yaitu kekuatan media untuk menampilkankan pemberitaan dalam jumlah dan frekuensi yang tinggi tentang peristiwa yang dianggap penting (dan seringkali bersifat sensasional). 3. Selective
reporting
of
the
newsworthy
aspects
of
otherwise
nonnewsworthy situations, yaitu berkaitan dengan kemampuan media untuk mencari sudut pandang tertentu untuk mengolah berita agar tampak menarik dan penting. 4. Pseudoevents, or the manufacturing of newsworthy events, adalah rencana media membuat suatu peristiwa menjadi layak untuk dijadikan agenda 38
Funkhouser dalam Werner J. Severin dan James W. Tankard Jr., Communication Theories: Origins, Methods, and Uses in the Mass Media, (New York: Longman, 2001), halaman 232.
22
masyarakat. Misalnya menampilkan berita tentang demonstrasi, protes, dan sebagainya. 5. Event summaries, or situations that portray nonnewsworthy events in a newsworthy way, yaitu bagaimana upaya media mengkorelasikan peristiwa dari sesuatu yang tidak memiliki nilai berita dengan hal lain sehingga layak untuk diberitakan. Misalnya berita tentang hubungan antara kelalaian pengendara dengan meningkatnya kasus kecelakaan di jalan raya. Sehingga proses pembingkaian peristiwa merupakan hasil dari kerja wartawan dan kebijakan redaksi media. Perbedaan pada referensi dan pengalaman wartawan mempengaruhi caranya membentuk berita. Begitu juga dengan media, mempunyai standar – standar tertentu dalam ruang redaksi untuk menentukan realitas dan membentuknya menjadi berita. Hal ini yang disebut sebagai nilai kelaikan berita (news values/ news worthy). Dalam memilih realitas ada beberapa nilai berita yang dipertimbangkan. Nilai – nilai berita tersebut antara lain consequences (dampak bagi masyarakat), human interest (nilai kemanusiaan), prominence (ketokohan), proximity (kedekatan secara psikologis maupun geografis terhadap khalayak), timeliness (kebaruan suatu peristiwa peristiwa), conflict (kandungan konflik dalam peristiwa), significance (pentingnya suatu peristiwa), magnitude (besarnya kasus secara kuantitatif), dan unique (tidak lazim).39 Teori framing, salah satunya digunakan untuk menemukan bias dalam pemberitaan. Proses pemilihan, penonjolan, pengabaian, dan pengolahan yang melalui berbagai proses terhadap suatu peristiwa memungkinkan munculnya karakteristik berita yang tidak presisi dengan realitas sosial yang ada. Intinya, bagaimanapun bentuknya modifikasi yang dilakukan wartawan ketika membingkai berita, tetap ada kemungkinan terjadi bias yang bisa mencemari objektivitas. 39
Ana Nadhya Abrar, 1995, op.cit., halaman 3 – 4.
23
Saat membingkai berita, tetap ada beberapa konsep objektivitas yang tidak boleh diabaikan oleh wartawan. Hal tersebut diperhatikan untuk tetap menjaga kualitas berita. Konsep – konsep yang dimaksud adalah: (i) Factualness, yaitu tingkat kebenaran informasi berdasarkan fakta. Termasuk dalam kualitas factualness adalah nilai informasi, readability, dan checkability; (ii) Akurasi, yaitu seberapa tepat data yang disampaikan dalam berita. Termasuk di dalamnya adalah verifikasi fakta, relevansi sumber, dan akurasi penyajian; (iii) Completeness, yaitu kelengkapan unsur berita (5W+1H); (iv) Relevance, yaitu kriteria yang menentukan berita yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang bisa dilihat dari nilai – nilai berita yang telah disebutkan sebelumnya; (v) Balance, yaitu keseimbangan proporsi opini dalam pemberitaan, diukur dari ada tidaknya penampilan satu sisi dalam berita (source bias); (vi) Neutrality, yaitu berita yang dibuat tidak mengandung prasangka.40 Hal – hal di atas perlu diperhatikan oleh wartawan ketika membuat berita. Karena proses pembingkaian berita berhubungan dengan praktik bias informasi. Bias bisa diekspresikan ketika melakukan pemilihan informasi mana yang dipakai dan mana yang tidak. Dan walaupun pada dasarnya berita idealnya dibuat dengan menghendaki objektivitas, namun berita dipengaruhi oleh sikap dan latar belakang pembuatnya. 1.5.2 Media Massa dan Konstruksi Realitas Konflik dalam Hubungan Bilateral Internasional Istilah
bilateral
biasa
kita
temukan
dalam
pembahasan
hubungan
internasional. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bilateral berarti hubungan di antara dua pihak.41 Sehingga hubungan bilateral selalu melibatkan dua pihak, tidak kurang atau lebih yang berupa individu atau organisasi. Dalam isu penyadapan yang dilakukan Pemerintah Australia terhadap Pemerintah Indonesia dua pihak yang berhubungan adalah antara dua negara, yaitu Indonesia dan Australia, sebagai 40
Diterjemahkan dari Dennis McQuail, Media Performance (London: Sage Publications, 1992), halaman 200 – 211. 41 Dalam http://kbbi.web.id/bilateral. Diakses 13 Desember 2014.
24
organisasi tertinggi sebuah bangsa. Karena hubungan yang terjadi adalah interaksi dengan negara lain di luar masing – masing negara, maka kita bisa menyebutnya sebagai hubungan bilateral internasional. Bentuk kerjasama antarnegara memang sudah selayaknya terjadi, apalagi jika negara yang berhubungan berdekatan secara geografis. Salah satu hal yang mendorong terjadinya kerjasama antara negara yang berdekatan adalah untuk menciptakan perdamaian yang dilandasi dengan perhatian terhadap kesamaan politik, budaya, dan struktur ekonomi.42 Bila dalam bidang – bidang tersebut negara yang berhubungan memiliki perbedaan kemampuan, maka untuk menciptakan kedamaian yang diinginkan perlu dilakukan kerjasama yang bertujuan untuk menyetarakan kemampuan antara dua negara tersebut. Plano dan Olton mengatakan bahwa kerjasama antara negara yang saling berdekatan secara geografis merupakan upaya masing – masing negara untuk melaksanakan kepentingan nasionalnya. Dari sekian banyak kepentingan nasional yang dimiliki sebuah negara pasti ada yang perlu dipenuhi melalui hubungan dengan negara lain. Dalam berhubungan dengan negara lain untuk memenuhi kepentingan nasionalnya, suatu negara memiliki prinsip – prinsip yang sudah dirumuskan dalam politik luar negerinya. Politik luar negeri ini lah yang menentukan apakan suatu negara mampu menggapai kepentingan dalam negerinya, seperti pengakuan terhadap kemerdekaan, keutuhan dan keamanan wilayah, kekuatan militer, serta kesejahteraan ekonomi.43 Hubungan bilateral bisa dimaknai sebagai konflik atau kerjasama.44 Kedua hal tersebut selalu berdampingan dalam suatu hubungan antar negara, karena setiap bangsa dan negara memiliki karakteristik, sejarah, dan kebutuhan yang berbeda. 42
Kusumohamidjojo dalam http://taufiqyr.wordpress.com/konsep-hubungan-bilateral. Diakses 11 Desember 2014. 43 Plano dan Olton dalam http://taufiqyr.wordpress.com/konsep-hubungan-bilateral. Diakses 11 Desember 2014. 44 Coplin dalam http://taufiqyr.wordpress.com/konsep-hubungan-bilateral. Diakses 11 Desember 2014.
25
Dalam upaya kerjasama untuk menciptakan kedamaian dan kesetaraan dalam berbagai bidang, terutama bidang sosial, ekonomi, dan politik, negara yang berhubungan pasti mengalami konflik prinsip. Hal tersebut menunjukkan keberadaan konflik sebagai upaya positif untuk mengkompromikan perbedaan – perbedaan di antara kedua negara. Ketika kompromi sudah ditemukan dalam bentuk aturan – aturan, maka kerjasama bilateral bisa berlangsung dengan damai. Akan tetapi isu konflik antarnegara cenderung lebih menarik perhatian media dibandingkan isu – isu lain yang membangun. Apalagi bila konflik tersebut dianggap melecehkan salah satu negara. Media massa sebagai bagian dari suatu bangsa akan mendukung kepentingan negara untuk memperjuangkan harga dirinya. Yaitu dengan mencari dan mengolah fakta serta memproduksi berita yang sekiranya menonjolkan negaranya sebagai pihak yang benar sekaligus dikorbankan. Produksi berita itu lah yang akan memunculkan pola – pola tertentu dalam artikel bertema konflik antarnegara. Termasuk juga bagaimana pola – pola umum konstruksi realitas konflik antarnegara terbentuk. 1.5.2.1 Karakteristik Berita Konflik Antarnegara Isu penyadapan Pemerintah Australia terhadap Pemerintah Indonesia menarik untuk dibahas dan diteliti. Hal ini bisa terjadi karena hubungan diplomatik antar negara menjadi hal yang vital demi keberlangsungan masing – masing negara. Misalnya salah satu syarat negara berdiri adalah pengakuan dari negara lain. Hal ini menunjukkan bahwa sejak dahulu, hubungan politik dengan negara – negara lain sangat penting bagi negara itu sendiri. Sebagai negara yang berdekatan secara geografis, Indonesia dan Australia pasti memiliki banyak permasalahan yang perlu dipecahkan secara bersama – sama dengan mengandalkan kerjasama bilateral. Seperti kerjasama keamanan secara maritim, perdagangan, pengurusan imigran gelap dan lain sebagainya. Kedekatan secara geografis membuat kedua negara harus saling berurusan untuk menjaga kepentingan masing – masing negara. 26
Indonesia dan Australia kerap mengalami panas dingin dalam hubungannya antara kedua negara tersebut. Indonesia – Australia sempat mengalami hubungan yang tidak baik akibat krisis Timor Leste. Setelah peristiwa itu berlalu, hubungan kedua negara berangsur membaik kembali melalui berbagai perjanjian yang saling menguntungkan. Lalu muncul kembali isu yang memanaskan hubungan antara kedua negara yang diutarakan oleh Edward Snowden, yaitu penyadapan yang dilakukan Pemerintah Australia terhadap Pemerintah Indonesia. Media pun tak kalah gencar dalam membela kepentingan negara. Apalagi dalam kasus konflik internasional dengan negara lain, media seolah menjadi senjata bagi negara dan rakyat untuk memperjuangkan
harga dirinya. Media menjadi
kepanjangan tangan pemerintah untuk menyampaikan kebijakan – kebijakan yang terkait dengan konflik yang terjadi. Media jelas tidak mungkin melawan negaranya sendiri. Karena media hidup dalam regulasi negara yang membantunya tumbuh, maka ia akan membela kepentingan negara layaknya warga negara itu sendiri. Fungsi utama media adalah menyediakan informasi bagi masyarakat. Dalam peristiwa penyadapan Pemerintah Australia terhadap Pemerintah Indonesia ini masyarakat membutuhkan informasi yang aktual untuk mengetahui perkembangan informasi yang terjadi mengenai isu tersebut. Dalam produksi berita ini media memiliki andil cukup besar dalam membingkai berita yang bersifat aktual tersebut untuk memberikan pemahaman kepada warga negara Indonesia bahwa negaranya sedang dilecehkan oleh negara lain. Karena berita yang ditanami unsur propaganda akan memiliki kekuatan memobilisasi massa untuk membentuk gerakan – gerakan yang mampu menentukan sikap politik negara terhadap negara lain. Salah satu ciri berita membingkai informasi yang bersifat konflik adalah membuat cerita yang membuat informasi itu seolah – olah seperti pertempuran.45 Dalam cerita pertempuran ada yang bertindak sebagai protagonis dan antagonis. Seperti yang telah dijelaskan di atas, media bertindak sebagai senjata salah satu pihak 45
Iswandi Syahputra, op.cit., halaman 84.
27
yang bertempur. Dengan kata lain, media juga bertempur bersama negara untuk menjaga harga diri mereka. Dalam berita konflik antarnegara, media selalu menempatkan negaranya sebagai aktor protagonis. Sehingga dalam beritanya ia mengajak warga negara untuk bertempur bersama negara untuk membela harga diri bangsa dan negara. Namun ada yang perlu diwaspadai, bahwa tidak semua media mengakomodir informasi mengenai konflik dengan negara lain semata karena alasan membela negara. Konflik terkadang dikomodifikasi oleh media untuk menarik perhatian dari pembaca, karena konflik menarik untuk disimak dan merupakan salah satu nilai berita. Konflik seakan selalu melekat pada kehidupan manusia, karena manusia memiliki kebutuhan dasar yang sama dengan manusia yang lain, yaitu hak asasi yang melekat sejak manusia lahir. Seperti hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak, penghormatan, pendidikan, kesehatan, kemerdekaan, dan lain sebagainya. Kebutuhan dasar tersebutlah yang terkadang saling bertabrakan satu sama lain dan terkadang mendapat apresiasi yang berbeda dari pelaku sosial lainnya, sehingga meimbulkan konflik.46 Dalam institusi yang lebih tinggi, yaitu negara hak asasi juga berlaku. Terutama hak untuk mendapat penghormatan dari negara lain. Penyadapan terhadap negara lain, apalagi tetangga dan sudah lama menjalin persahabatan dianggap sebagai penghinaan terhadap kedaulatan suatu bangsa. Ciri – ciri berita yang dikomodifikasi adalah memanfaatkan aktualitas dari isu yang digulirkan. Berita konflik antarnegara tidak hanya berhenti pada satu waktu saja. Pasti akan ada kelanjutannya yang salah satunya sebagai upaya menegosiasikan perdamaian antara pihak yang terkait. Oleh karena konflik menarik perhatian masyarakat, berita yang dibuat panjang dan dalam waktu lama akan membuat pembacanya mengikuti perkembangan isu tersebut dari waktu ke waktu. Hal ini tentu mempertahankan dan sekaligus meningkatkan oplah dari surat kabar yang memberitakan peristiwa tersebut. Dan dalam berita konflik, biasanya tidak hanya 46
Ibid, halaman 3.
28
menginformasikan mengenai apa yang sedang terjadi. Tetapi juga menginformasikan antara lain latar belakang konflik bisa terjadi, bagaimana hubungan antara kedua pihak sebelum terjadinya konflik, konflik – konflik lainnya yang menyusul terjadi sebagai akibat dari konflik utama, dan lain sebagainya. Semakin melebar informasi yang diberikan, semakin menarik perhatian khalayak untuk membacanya. Karakteristik berita konflik dapat kita temukan salah satunya dari seorang pakar konflik dari Amerika Serikat bernama Lewis Coser (1956).47
Ia
mengungkapkan bahwa konflik, selain menimbulkan gesekan kepentingan juga memunculkan beberapa efek. Yang pertama adalah konflik mampu menumbuhkan identitas suatu masyarakat. Melalui berita konflik, media berupaya membangun karakteristik bangsanya supaya tidak direndahkan negara lain dan menjunjung harga diri bangsa. Hal tersebut bisa dimunculkan dengan mendorong agar masyarakat dan pemerintah menunjukkan bahwa tanpa pihak seberang pun bisa mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidup negara. Kemudian konflik menunjukkan bahwa di antara kedua pihak yang bertikai terdapat sebuah hubungan. Hal ini bisa terwakilkan dalam hubungan Indonesia – Australia, bahwa negara yang bertetangga dekat ini akan selalu berhubungan dan memiliki kepentingan bersama walaupun berusaha untuk dihilangkan. Konflik yang terjadi berusaha diingatkan kepada publik melalui berita bahwa kedua pihak sebenarnya mempunyai hubungan dan kepentingan bersama yang jauh lebih penting dibandingkan konflik tersebut. Kesadaran ini terkadang tidak disadari oleh warga suatu negara bila hubungan antar negara baik – baik saja. Unsur ketiga yang diungkapkan Coser adalah konflik yang lebih berat dan radikal bisa muncul dari hubungan yang dekat. Hal tersebut wajar mengingat kedekatan secara geografis tidak selalu diikuti dengan kedekatan secara budaya, seperti Indonesia dan Australia. Secara kekuatan ekonomi pun berbeda, hal tersebut menimbulkan beberapa perbedaan kepentingan yang bisa tidak sinkron bila dikaitkan 47
Lewis Coser dalam Iswandi Syahputra, Ibid, halaman 22 – 26.
29
dengan kedekatan geografis. Seperti pada kasus imigran gelap. Australia sebagai negara maju merupakan salah satu tujuan utama para pengungsi korban perang di Timur Tengah yang mencari perlindungan hak hidup yang lebih layak. Dan karena banyaknya imigran yang ingin ke Australia terpaksa harus membatasi jumlah imigran yang datang. Dan Indonesia sempat dituduh tidak bisa diajak bekerjasama membatasi kedatangan imigran tersebut karena lolos dari pengawasan aparat maritim Indonesia. Kedekatan secara geografis terkadang memunculkan konflik yang tidak bisa dielakkan kedua belah pihak. Unsur keempat adalah sebuah kelompok yang menghadapi konflik dari luar harus memobilisasi dirinya dan hal ini akan menghasilkan hubungan yang lebih erat di dalam kelompok. Hal ini merupakan salah satu tujuan utama pers dalam negeri, yaitu untuk mempersatukan seluruh unsur dalam negeri untuk melakukan desakan kepada Australia untuk meminta maaf atas munculnya isu penyadapan terhadap Pemerintah Indonesia. Masyarakat membaca berita yang dibuat oleh media dan kemudian bertidak sesuai bingkai dari berita tersebut yang bertujuan untuk membela bangsa dan menunjukkan kepada dunia bahwa seluruh unsur di dalam negara Indonesia tidak terima atas perlakuan Pemerintah Australia terhadap Indonesia. Pergerakan yang masif dan kompak ini menunjukkan hubungan yang erat antara masyarakat dengan negara untuk menekan pihak lawan. Konflik disini justru menyatukan berbagai unsur dalam negeri. Demi kepentingan yang lebih besar, setiap individu rela meninggalkan kepentingan pribadi. Hal tersebut bisa dilakukan oleh pers dengan menempatkan musuh bersama untuk menguatkan hubungan internal dalam negeri. 1.5.2.2 Batasan Konflik dalam Isu Penyadapan Pemerintah Australia terhadap Pemerintah Indonesia George Simmel mengatakan bahwa konflik adalah cara untuk menyelesaikan dualisme, walaupun salah satu jalan keluarnya adalah memusnahkan salah satu dari
30
pihak yang bertikai48. Menurutnya konflik merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang bisa bertransformasi menjadi kompetisi dan pertarungan. Konflik sendiri tidak selalu sama dengan kekerasan. Konflik bisa juga timbul dari hubungan dua pihak atau lebih yang memiliki atau paling tidak merasa memiliki sasaran yang tidak sejalan.49 Ketika muncul perasaan bahwa sasaran yang dituju tidak sama, maka cara yang digunakan untuk memenuhi tujuan masing – masing pihak pasti tidak sama juga. Oleh karena itu konflik bisa juga berarti gesekan kepentingan dari masing – masing pihak yang memiliki ikatan yang disebabkan perbedaan tujuan. Dalam isu tentang penyadapan Pemerintah Australia terhadap Pemerintah Indonesia ini konflik yang terjadi bukan dalam bentuk kekerasan. Pemerintah dan rakyat Indonesia merasa tersinggung kepada Australia yang telah dianggap sebagai negara tetangga sekaligus sahabat dekat. Karena muncul isu bahwa Pemerintah Australia telah melakukan penyadapan terhadap kehidupan pribadi para petinggi Pemerintah Indonesia. Dalam budaya Indonesia, menyadap bisa disamakan dengan menguping atau mencuri dengar untuk mencari informasi yang bersifat pribadi milik orang lain. Oleh karena itu berbagai pihak di Indonesia menyayangkan tindakan yang telah dilakukan Australia pada tahun 2009 tersebut karena dapat merusak hubungan yang telah terjalin dengan baik. Konflik dalam kasus ini bisa dirumuskan bukan sebagai kekerasan, yaitu sebagai kebijakan – kebijakan yang dirumuskan oleh suatu pihak di mana kebijakan itu menghambat laju kerjasama dengan pihak lain, yang kemudian juga menghambat tindakan pihak lain untuk mencapai tujuan - tujuannya. Dalam hal ini bisa dikatakan konflik yang timbul muncul dalam ranah diplomasi. Indonesia sebagai pihak yang tersinggung akibat ulah penyadapan yang dilakukan Pemerintah Australia mencoba menahan berbagai kerjasama yang sudah terjalin di antara mereka. Tujuannya adalah
48
George Simmel dalam Habib, Ahmad, Konflik Antaretnik di Pedesaan (Yogyakarta: LKiS, 2004), halaman 28. 49 Wayan R. Windia (ed), dkk, Mengelola Konflik Batas Wilayah, Paduan Bagi Prajuru Desa Pakraman (Bali: Uluangkep Press, 2004), halaman
31
untuk menekan Australia agar menyadari kesalahannya serta untuk tidak mengulanginya lagi. Konflik jenis ini bisa dimasukkan ke dalam jenis konflik sosial – emosional. Dalam konflik ini yang menjadi permasalahan adalah identitas diri.50 Penyadapan yang dilakukan oleh pihak lain merupakan suatu tindak pencorengan harga diri terhadap negara yang disadap. Penyadapan merupakan kegiatan ilegal yang dilakukan untuk memperoleh informasi yang bersifat pribadi dari suatu pihak. Hal tersebut berkaitan dengan citra suatu pihak. Sehingga rasa keterikatan dan identifikasi sebagai suatu bangsa membuat konfrontasi diplomasi yang dilakukan oleh bagian dari negara tersebut terhadap pihak lawan bisa dikategorikan sebagai konflik. Berbagai konflik diplomasi yang terjadi di antara Indonesia dan Australia dimulai dari surat yang dikirimkan Presiden SBY kepada Perdana Menteri Australia Tony Abbot. Surat itu berisi permintaan presiden untuk meminta konfirmasi dari pihak Australia terkait munculnya isu penyadapan tersebut. Peristiwa tersebut muncul dalam suratkabar Tribun Jogja tanggal 19 November 2013 yang berjudul “Australia Sadap Ponsel Presiden SBY dan Istrinya”. Lalu di hari berikutnya pada suratkabar yang sama muncul headline dengan judul “Australia Petentang – Petenteng”. Berita tersebut memberitakan konfirmasi dari pihak Australia yang tidak disertai permintaan maaf. Hal tersebut menunjukkan bahwa Australia dalam menanggapi isu penyadapan tersebut mencoreng nilai keluhuran bangsa Indonesia. Di Indonesia untuk menerima permintaan maaf dan kembali menjalani hubungan baik seperti sedia kala harus ada pernyataan maaf dari pihak yang telah melakukan kesalahan. Sehingga pengabaian nilai moral suatu bangsa oleh bangsa lain bisa dikategorikan sebagai konflik diplomasi. Setelah itu pihak Indonesia kembali melanjutkan konfrontasi diplomasinya untuk menekan Australia. Masih dari suratkabar Tribun Jogja tanggal 21 November
50
W.F.G. Mastenbroek yang diterjemahkan oleh Pandam Guritno, Penanganan Konflik dan Pertumbuhan Organisasi (Jakarta: UI – Press, 1986), halaman 192.
32
2013, dalam berita yang berjudul “Pasukan TNI Langsung Ditarik”, pihak Indonesia langsung menangguhkan beberapa kerjasama dengan Australia, seperti kerjasama latihan militer bersama, perdagangan daging sapi, dan lain sebagainya. Bahkan dalam aksi demonstrasi, masyarakat membakar bendera Australia sebagai bentuk kekesalan akibat sikap meremehkan yang ditunjukkan Pemerintah Australia. Menurut dr. W.F.G. Mastenbroek, bahwa konflik sosial – emosional ini bisa timbul dengan tindakan – tindakan yang memunculkan negatif di antara keduanya.
51
perasaan – perasaan yang sensitif dan
Termasuk munculnya peringatan dari Pemerintah
Australia kepada warga negaranya di Indonesia agar mewaspadai hubungan antara kedua negara yang sedang memanas. Hal tersebut terdapat dalam suratkabar Tribun Jogja tanggal 22 November 2013 yang berjudul “Muncul Peringatan Waspada Luar Biasa”. Dalam beberapa kesempatan masyarakat Indonesia melakukan beberapa aksi yang kurang damai tetapi tidak sampai menjurus ke arah kekerasan. Seperti ajakan untuk membunyikan klakson di depan kantor duta besar (kedubes) Australia52 dan pembakaran bendera Australia dalam sebuah unjuk rasa di Kota Yogyakarta.53 Menurut Arief Budiman aksi unjuk rasa yang diidentifikasi sebagai tindakan “kurang damai” merupakan wujud konflik yang dapat membuat komunikasi antar pihak yang terkait menjadi lebih efektif.54 Hal tersebut dilakukan ketika aksi yang sebelumnya sudah dilakukan dengan damai tidak ditanggapi atau tidak menghasilkan apapun. Demonstrasi yang dilakukan masyarakat untuk melaksanakan komunikasi yang efektif agar aspirasi mereka didengarkan. Tujuannya ada dua, yaitu menekan Pemerintah Indonesia agar bertindak lebih tegas kepada Pemerintah Australia dan juga menekan langsung Pemerintah Australia. 51
W.F.G. Mastenbroek yang diterjemahkan oleh Pandam Guritno, loc.cit. Dimuat dalam artikel Tiga Kali Klakson Kedubes Australia, Harian Tribun Jogja 20 November 2013. 53 Dimuat dalam artikel Pasukan TNI Langsung Ditarik, Harian Tribun Jogja 21 November 2013. 54 Dimuat dalam artikel Gerakan Pemuda/ Mahasiswa Sebagai Pressure Group, Harian Kompas tanggal 12 April 1972 yang terdapat dalam Arief Budiman, Kebebasan, Negara, dan Pembangunan, Kumpulan Tulisan 1965 – 2005, (Jakarta: Freedom Institute, 2006), halaman 262 - 263. 52
33
Walaupun konflik yang terjadi bersifat diplomatis dan bukan dengan cara kekerasan, hubungan antara Indonesia dan Australia perlahan menuju ke arah perdamaian. Hal tersebut ditunjukkan dalam berita yang berjudul “Abbot Sebut SBY Teman Baik” yang diproduksi oleh suratkabar Tribun Jogja tanggal 24 November 2013. Upaya penyelesaian konflik merupakan bagian dari konflik itu sendiri. 1.5.2.3 Konstruksi Realitas Konflik Antarnegara Walter Lippman, dalam esainya yang berjudul „stereotypes‟ pernah menulis: “for the most part we do not first see, and then define, we define first and then see. In the great blooming, buzzing confusion of the outer world we pick out what our culture has already defined for us, and we tend to perceive that wich we have pick out in the form stereotyped for us by our culture…” “untuk kebanyakan, kita tidak melihat dulu, kemudian menentukan, kita menentukan dulu baru kemudian melihat. Dalam dengung kebingungan yang dahsyat tentang dunia luar kita memilih apa yang telah ditentukan (didefinisikan) oleh budaya kita untuk kita, dan kita cenderung merasa apa yang telah kita pilih merupakan bentuk stereotype budaya kita untuk kita”55 Lippman, dalam ungkapannya di atas, wartawan tidak datang dengan kepala kosong ketika meliput peristiwa. Mereka melaksanakan riset terlebih dahulu sebelum turun lapangan. Sehingga dengan referensi yang telah dikumpulkan wartawan bisa menggali informasi yang lebih unik dan lebih mendalam. Dan dalam mengumpulkan informasi, wartawan tunduk pada keputusan redaksional. Hal tersebut mempengaruhi berita yang dihasilkan oleh wartawan tersebut. Pola kehidupan pers sangat dipengaruhi oleh sistem yang berlaku di tempat pers tersebut hidup. Oleh karena itu, ketika membicarakan pers, kita tidak bisa lepas dari sistem politik yang menjadi acuan negaranya. Begitu pula dengan pola pemberitaan pers yang tidak boleh bertentangan dengan nilai – nilai dasar negara. Pers menjadi pembela negara dan rakyatnya, baik secara internal maupun eksternal. 55
Lihat Walter Lippman, Stereotype, dalam John Corner and Jeremy Hawthorn (editor), Communication Studies: an Introductory Reader, fourth edition, Edward Arnold, 1993, halaman 134.
34
Secara internal bisa dilakukan dengan cara mengkritik kebijakan – kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan dasar negara. Dan secara eksternal bisa dilakukan dengan cara membela negara ketika posisinya ditekan oleh negara lain. Melihat dari sudut pandang konstruksionis, bahasa dipahami bukan hanya sebagai alat berkomunikasi, melainkan juga sebagai representasi yang berperan dalam membentuk suatu objek tertentu, tema dan wacana tertentu, serta berbagai strategi dibaliknya. Ia merupakan kegiatan sosial yang terstruktur dan terikat pada kondisi sosial tertentu. bahasa merupakan instrumen yang merekonstruksi berbagai macam perisiwa yang ada di hidup kita. Menurut pendekatan konstruksionis, bahasa tak hanya mampu membangun simbol – simbol yang diabstraksikan dari pengalaman sehari – hari, melainkan juga „mengembalikan‟ simbol – simbol itu dan menghadirkannya sebagai unsur yang objektif dalam kehidupan.56 Dalam kenyataannya bahasa memang sangat subjektif. Ia tidak hanya menjadi wahana untuk mempresentasikan dunia nyata, namun juga rentan dijejali oleh berbagai nilai dan kepentingan. Oleh karena itu, bahasa sering diandalkan sebagai senjata untuk menguasai. Sehingga bahasa tidak sekedar menjadi alat komunikasi, tetapi menjadi praktik sosial. Sebagai suatu praktik sosial, maka bahasa dapat dipandang sebagai sesuatu yang diatur menurut situasi dan aksi – aksi tertentu.57 Dalam bahasa pula terdapat tarik menarik kekuatan mengenai pembentukan konstruksi tersebut.58 Pandangan – pandangan yang mewakili dua atau lebih pihak yang terlibat konflik berusaha untuk menguasai media yang juga bertujuan untuk menguasai pandangan publik. Karena telah dijelaskan sebelumnya bahwa media memegang peranan kunci terhadap aliran informasi kepada masyarakat. Oleh karena
56
Stephen W. Littlejohn, dikutip Eriyanto, op.cit, halaman 40 – 41. Norman Fairclough, Media Discourse (London: Edward Arnold, 1995), halaman 55 – 56. 58 th Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication 7 ed., (Belmont: Wadsworth Group, 2002), halaman 224. 57
35
itu masyarakat memandang apa yang disampaikan oleh media merupakan suatu kebenaran atas realitas. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam konflik bilateral berskala internasional, media bertindak sebagai kepanjangan tangan negaranya. Media menjadi senjata bersama dengan masyarakat membela harga diri negara. Oleh karena itu pemberitaan media dalam kondisi tersebut cenderung membenarkan keputusan negaranya dan menyalahkan pihak yang lain. Apalagi dalam isu penyadapan yang dilakukan oleh Pemerintah Australia, Pemerintah Indonesia menjadi korban dalam penyadapan tersebut dan akan terus diposisikan oleh media sebagai korban dalam pemberitaannya. Sehingga diharapkan hal tersebut bisa menarik simpati untuk mendukung Indonesia, tidak hanya dari dalam negeri tetapi juga dukungan dari duni internasional. 1.6 KERANGKA KONSEP Setelah mengumpulkan teori – teori yang dibutuhkan, ada beberapa konsep yang akan digabungkan dalam penelitian ini. Konsep – konsep tersebut akan digunakan lebih mendalam, sehingga bisa digunakan sebagai variabel penelitian. Konsep – konsep tersebut antara lain: 1.6.1 Berita Penyadapan oleh Pemerintah Australia terhadap Pemerintah Indonesia Berita yang akan diteliti adalah berita yang memuat isu penyadapan Pemerintah Australia terhadap Pemerintah Indonesia dalam kurun waktu 18 – 28 November 2013. Selain mengenai isu utama, segala berita yang berkaitan dengan hubungan Australia dan Indonesia dalam kurun waktu tersebut juga ikut diteliti. Karena melalui berita yang menyangkut latar belakang dan efek samping dari penyadapan yang dilakukan oleh Pemerintah Australia tersebut dapat menunjukkan sebarapa jauh konflik yang sedang terjadi di antara kedua negara. 1.6.2 Unit Analisis Berita tentang Konflik Antarnegara
36
Dalam penelitian ini, framing merupakan proses menyeleksi dan memilih beberapa fakta dari sekian banyak informasi mengenai isu penyadapan yang dilakukan oleh Pemerintah Australia terhadap Pemerintah Indonesia, sehingga suatu sudut pandang dapat terlihat mencolok dalam teks berita yang diproduksi. Cara yang dilakukan media untuk membuat suatu fakta lebih menonjol dalam suatu berita bisa kita lihat dari struktur berita dan jenis berita yang disajikan. 1.6.3 Struktur Teks Kemudian dalam penelitian membedah berita – berita yang berkaitan dengan isu penyadapan Pemerintah Australia terhadap Pemerintah Indonesia peneliti akan menggunakan perangkat framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki.59 Keduanya menjelaskan bahwa analisis framing ditunjukan kepada elemen – elemen yang ditonjolkan dalam suatu berita. Yaitu berupa pemilihan kata dan simbol yang dibuat melalui suatu aturan yang dapat dimanipulasi oleh pembuat berita. Tujuannya adalah untuk meyakinkan khalayak bahwa apa yang disajikan oleh media adalah benar. Mengapa memilih perangkat milik Pan dan Kosicki? Karena mereka memasukkan elemen retoris apa saja yang perlu diperhatikan untuk menunjukkan perangkat framing yang digunakan dalam suatu berita. Perangkat milik Pan dan Kosicki memasukkan elemen – elemen seperti pemakaian kata, pemilihan struktur, dan bentuk kalimat yang mengarahkan bagaimana peristiwa dibingkai oleh media.60 Perangkat framing Pan dan Kosicki ini menurut peneliti sebagai bentuk penyempurna milik Entman. Perangkat framing Entman menyentuh pembingkaian yang dibentuk oleh unsur makrostruktural dan mikrostruktural. Sedangkan unsur retoris yang detail tidak terlalu diperhatikan.61 59
Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki dalam Eriyanto, op.cit., halaman 251. Eriyanto, Ibid, halaman 289. 61 Yang dimaksud unsur makrostruktural adalah bagaimana peristiwa dimaknai oleh media, dalam hal ini merupakan pembingkaian level wacana. Perspektif apa yang digunakan media dalam melihat peristiwa, apakah lewat perspetif ekonomi atau budaya? Kemudian yang dimaksud dengan unsur mikrostruktural adalah memusatkan perhatian pada elemen mana yang ditonjolkan dalam peristiwa tersebut dan elemen mana yang dilupakan. Seperti pemilihan fakta, sudut pandang, dan narasumber. Lihat Eriyanto, ibid, halaman 287 - 288. 60
37
Perangkat framing Zhongdang Pan dan Gerard Kosicki memberikan suatu skema yang tepat digunakan untuk membedah penelitian ini. Dalam perangkat yang mereka tawarkan, framing dibagi menjadi empat struktur besar, yaitu sintaksis, skrip, tematik, dan retoris. Skema analisis framing yang ditawarkan Pan dan Kosicki dapat dilihat sebagai berikut: Tabel 1.3 FRAMING ZHONGDANG PAN dan GERALD M. KOSICKI62 STRUKTUR SINTAKSIS Cara wartawan menyusun fakta SKRIP Cara wartawan mengisahkan fakta TEMATIK Cara wartawan menulis fakta RETORIS Cara wartawan menekankan fakta
PERANGKAT FRAMING 1. Skema berita
2. Kelengkapan berita
3. Detail 4. Koherensi 5. Bentuk kalimat 6. Kata ganti 7. Leksikon 8. Grafis 9. Metafora
UNIT YANG DIAMATI Headline, lead, latar informasi, kutipan sumber, pernyataan, penutup 5W + 1H
Paragraf, proposisi, kalimat, hubungan antarkalimat Kata, idiom, gambar/ foto, grafik
Dari skema di atas dapat kita lihat bahwa Pan dan Kosicki memasukkan unsur makrostruktural dan mikrostruktural pada level Skrip. Unsur diagnose causes, define problems, make moral judgement milik Entman akan terjawab pada level Skrip dalam perangkat milik Pan dan Kosicki ini. Elemen kelengkapan berita 5W + 1H nantinya akan ditambah lagi dengan pertanyaan so what (lalu apa). Unsur so what ini bisa didefinisikan sebagai lalu apa implikasi masalah yang diberitakan tersebut. Implikasi dapat mengarah kepada solusi pemecahan masalah karena berkaitan dengan efek dari peristiwa yang terjadi. Sehingga nantinya bisa memasukkan unsur treatment
62
Ibid, halaman 256.
38
judgement milik Entman, yaitu solusi apa yang dapat diusulkan untuk menyelesaikan rumusan masalah. Luwi Ishwara mengatakan bahwa jurnalisme sekarang perlu menambah unsur so what yang menyelidiki kedalaman implikasi suatu peristiwa atau situasi. Kebanyakan peristiwa tidak berdiri sendiri; mereka berhubungan dengan perkembangan dan isu yang menjadi perhatian masyarakat.63 Skema milik Pan dan Kosicki di atas dibagi menjadi empat alur utama, yaitu sintaksis, skrip, tematik, dan retoris. Struktur sintaksis melihat bagaimana wartawan menuliskan peristiwa berdasarkan pernyataan, opini, kutipan, pengamatan, dan lain sebagainya. Hal tersebut dapat dilihat dari struktur berita, yaitu lead, latar, headline, kutipan yang diambil, dan sebagainya. Intinya adalah bagaimana wartawan membentuk fakta – fakta yang sudah didapatkan menjadi bentuk umum berita. Kedua, yaitu struktur skrip. Struktur ini menekankan pada bagaimana cara wartawan mengisahkan atau bercerita suatu peristiwa dalam sebuah berita. Ketiga, struktur tematik. Struktur ini membedah bagaimana cara wartawan mengungkapkan pandangannya atas suatu peristiwa melalui preposisi, kalimat, hubungan antarkalimat, dan struktur – struktur detail lainnya. Keempat, yaitu struktur retoris yang menonjolkan bagaimana wartawan menonjolkan arti tertentu dalam sebuah berita. Struktur ini dilihat dari pilihan kata, idiom, grafik, dan gambar yang dipakai oleh wartawan. Melalui penekanan tersebut wartawan tidak hanya mendukung tulisan, tetapi juga menekankan arti tertentu terhadap pembaca. Berikut penjelasan mengenai masing – masing struktur dalam perangkat framing Pan dan Kosicki:64 a. Struktur Sintaksis Sintaksis merupakan susunan kata atau frase dalam kalimat. Dengan kata lain proses ini berhubungan dengan bagaimana wartawan menyusun peristiwa yang terdiri dari pernyataan, opini, kutipan, pengamatan atas peristiwa ke dalam bentuk susunan umum berita. Unit analisis yang diamati adalah:
63 64
Luwi Ishwara, op.cit., halaman 98. Eriyanto, op.cit., halaman 257 – 266.
39
1. Headline, merupakan judul besar berita utama yang terletak di halaman pertama surat kabar. Oleh karena itu, berita yang ditempatkan pada headline dengan judul yang besar akan memikat perhatian pembaca melebihi berita mana pun yang ditempatkan pada bagian lain di surat kabar tersebut. Sebab pembaca akan lebih mudah mengingat headline daripada berita lain yang diberikan judul lebih kecil.65 2. Lead, merupakan tulisan pendahuluan sebelum masuk ke dalam isi berita. Lead memberikan gambaran tentang perspektif yang dipilih untuk melihat peristiwa yang diangkat sebagai berita. Fungsinya adalah untuk menarik minat pembaca, sehingga wartawan menghindari pembuatan lead yang tidak baik.66 3. Latar, merupakan bagian berita yang dapat mempengaruhi wartawan untuk menentukan makna yang ingin disampaikan. Latar yang dipilih menentukan ke arah mana pandangan khalayak akan dibawa. Latar ditampilkan di awal sebelum pandangan wartawan yang sebenarnya dimunculkan yang bertujuan untuk membuktikan bahwa alasan yang dikemukakan wartawan sangat kuat. Karena itu, latar membantu penyelidikan mengenai bagaimana seseorang memberikan pemaknaan atas suatu peristiwa.67 4. Kutipan, adalah bagian yang dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa berita yang dibuat tidak berdasarkan pendapat dari wartawan saja, tetapi pendapat dari orang lain yang memiliki suatu otoritas. Dengan kata lain kutipan menunjukkan bahwa wartawan berusaha membangun objektivitas dalam melihat suatu peristiwa melalui berita yang dia buat. Selain itu kutipan juga berfungsi untuk membangun asas cover both side dari sebuah
65
Ibid, halaman 257. Septiawan Santana K., Jurnalisme Kontemporer, (Jakarta: Yayasan Obor, 2005), halaman 46. 67 Eriyanto, op.cit., halaman 258. 66
40
berita,
yaitu
dengan
mengutip
pernyataan
kedua
berseberangan, sehingga berita akan terlihat berimbang.
pihak
yang
68
b. Struktur Skrip69 Struktur ini melihat bagaimana cara wartawan bercerita dalam menyampaikan sebuah berita. Bentuk umum dari struktur ini adalah 5W + 1H (who, what, when, where, why, dan how). Unsur kelengkapan ini merupakan penanda framing yang penting sebab penonjolan atau penghilangan salah satu unsur tersebut akan membuat pemaknaan suatu berita bisa menjadi lain. Struktur skrip ini juga merupakan salah satu cara wartawan untuk mengkonstruksi berita. Yaitu dengan menyusun bagian – bagian dengan urutan tertentu. Skrip memberikan penekanan mana yang didahulukan, dan bagian mana yang bisa ditaruh kemudian sebagai bagian dari strategi untuk menyembunyikan suatu informasi. c. Struktur Tematik Menurut Pan dan Kosicki, hampir menyerupai pengujian hipotesis.70 Peristiwa yang diliput, sumber yang dikutip, dan pernyataan yang diungkapkan, semuanya digunakan untuk menguji kelogisan suatu hipotesis yang dibuat. Pengujian hipotesis ini bisa disamakan dengan struktur skematis berita. Struktur tematik berhubungan dengan bagaimana fakta itu ditulis. Bagaimana kalimat dipakai, bagaimana menempatkan dan menulis sumber ke dalam berita secara keseluruhan. Struktur ini memperlihatkan pemilihan tema yang digunakan wartawan untuk melihat sebuah peristiwa. Tema tersebut dapat dikenali lewat hubungan antarkalimat (koherensi), proposisi, atau kalimat yang menggambarkan tema teks secara keseluruhan; bentuk kalimat; kata ganti yang digunakan; detail; dan keberadaan nominalisasi teks.71 Koherensi merupakan jalinan kata atau kalimat yang ada di
68
Ibid, halaman 259. Ibid, halaman 260 – 261. 70 Ibid, halaman 262. 71 Ibid, halaman 262 – 264. 69
41
dalam teks. Koherensi ini berfungsi untuk menyambungkan antara satu fakta dengan fakta yang lain, walaupun antara fakta – fakta yang disambungkan itu tidak ada hubungannya.72 Lalu bentuk kalimat lebih fokus pada penggunaan logika wartawan yang disusun dalam teks. Sedangkan penggunaan kata ganti menunjukkan upaya wartawan untuk memberikan suatu arti atau makna atas suatu objek pembahasan. Detail berhubungan dengan cara wartawan melakukan kontrol informasi yang ingin dimunculkan. Ia bisa memberikan detail dalam porsi yang sama atau berbeda sesuai dengan makna apa yang ingin ia sampaikan dalam berita yang sedang ia olah. Sedangkan
nominalisasi
merupakan
suatu
pertanyaan
apakah
komunikator
memandang objek sebagai sesuatu yang berdiri sendiri atau sebagai suatu kelompok. Nominalisasi bisa memberi sugesti kepada khalayak tentang adanya generalisasi. d. Struktur Retoris Struktur ini berhubungan dengan cara wartawan untuk menekankan arti tertentu sehingga menciptakan citra dari sebuah fenomena yang disusun ke dalam berita.73 Berikut elemen yang dapat diamati dari struktur ini: 1. Leksikon dan Metafora. Wartawan memilih kata tidak terjadi begitu saja. Pemilihan kata yang mereka gunakan menunjukkan ideologis seseorang dalam memaknai fakta atau realitas. Pilihan kata yang digunakan ini menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan atas berbagai kemungkinan yang tersedia. Sedangkan metafora merupakan kata atau kelompok kata yang mengandung arti bukan sebenarnya, dapat berupa kiasan, kepercayaan masyarakat, peribahasa, pepatah kata – kata kuno, ayat ajaran agama, serta ungkapan sehari – hari yang digunakan secara strategis sebagai landasan berpikir, alasan pembenar atas pendapat 72
Ada beberapa jenis koherensi: (i) koherensi sebab – akibat, yaitu satu proposisi dan kalimat dipandang sebagai akibat atau sebab dari proposisi lain. Koherensi ini ditandai dengan kata ‘sebab’ dan ‘karena’; (ii) koherensi penjelas, yaitu proposisi yang berguna untuk menjelaskan proposisi lain. Ditandai dengan kata ‘dan’ atau ‘lalu’; (iii) koherensi pembeda, proposisi atau kalimat yang dilihat sebagai pembeda dari proposisi atau kalimat lain. Ditandai dengan kata ‘dibandingkan’ atau ‘sedangkan’.Dalam Eriyanto, Ibid, halaman 263 – 264. 73 Ibid, halaman 264.
42
atau gagasan tertentu terhadap publik. Pemakaian metafora tertentu dapat memunculkan
gambaran
makna
berdasarkan
persamaan
atau
perbandingan dengan arti harafiah kata – kata yang digunakan.74 2. Grafis. Dalam wacana berita, grafis biasanya muncul lewat tulisan yang dibuat berbeda dibandingkan tulisan lainnya, seperti penggunaan huruf miring, huruf tebal, pemakaian garis bawah, atau huruf dengan ukuran yang lebih besar. Elemen grafis juga dapat dimunculkan lewat foto, gambar, dan table untuk mendukung arti penting dari suatu pesan. Bagian yang ditonjolkan ini menunjukkan kepada khalayak pentingnya bagian tersebut.75 3. Tone. Elemen ini berkaitan dengan karakter sebuah berita, apakah berita itu menekan, moderat, atau menyerang tanpa kompromi. Penggunaan elemen
ini
berujung
pada
pemilahan
jenis
berita
yang
dipertanggungjawabkan (reasonable) atau hanya bersifat retoris saja.
bisa 76
Ketiga struktur di atas merupakan suatu rangkaian yang dapat menunjukkan bagaimana kecenderungan atau kecondongan wartawan dalam memahami suatu peristiwa. Dengan kata lain hal tersebut bisa dipahami dari bagaimana wartawan menyusun peristiwa ke dalam bentuk umum berita, cara wartawan mengisahkan peristiwa, kalimat yang dipakai, dan pilihan kata atau idiom. Dalam menulis berita dan menakankan makna terhadap suatu peristiwa, wartawan menggunakan semua analisis wacana tersebut untuk meyakinkan khalayak bahwa berita yang dia tulis itu benar. 1.6.4
Bentuk Berita Bentuk berita juga menjadi unsur penting dalam membaca framing yang
dilakukan oleh media. Bentuk berita menunjukkan seberapa penting posisi berita 74
Ibid, halaman 264 – 265. Ibid, halaman 266. 76 Model modifikasi analisis framing Pan dan Kosicki oleh FrameWork Institute, Amerika. Selengkapnya dapat dilihat di www.frameworkinstitue.org/strategicanalysis/FramingPublicIssuesfinal.pdf 75
43
yang ingin disampaikan oleh media. Karena bentuk berita juga menentukan di mana berita itu ditempatkan. Berita dengan unsur aktualitas tinggi biasa di tempatkan di halaman depan dan menjadi headline. Sehingga mempermudah pembacanya untuk mengingat isu yang disampaikan. Berikut bentuk - bentuk berita yang digunakan dalam penelitian ini: a. Berita Lugas atau Hardnews Adalah berita yang dibuat setelah pecahnya suatu peristiwa. Berita lugas memiliki unsur pokok aktualitas, sehingga peristiwa yang baru saja terjadi masih hangat ketika disajikan kepada pembaca. Berita ini biasa disajikan dengan bentuk tulisan yang deduktif atau bisa dilihat sebagai piramida terbalik. Fakta – fakta utama dan yang paling ingin disampaikan ditampilkan di awal. Kemudian semakin ke bawah informasi yang disajikan semakin tidak penting. Hal ini bertujuan agar inti berita segera sampai kepada pembaca. Selain itu juga mengantisipasi agar pembaca bisa langsung menangkap inti berita tanpa harus membacanya sampai akhir.77 b. Softnews Berita halus atau softnews merupakan berita sampingan dari berita lugas. Sifat berita ini tidak menonjolkan aktualitas tapi tetap menjunjung tinggi faktualitas. Berita halus dapat dibuat ketika menemukan fakta menarik di balik sebuah peristiwa yang dapat dikembangkan menjadi cerita yang menarik. Wartawan akan menggali hal – hal menarik yang bisa disajikan kepada pembacanya. Berita halus juga menuntut kreatifitas wartawan untuk membuat peristiwa yang jika ditulis secara lugas tidak menarik menjadi menarik dengan memberikannya sentuhan feature.78 c. Feature Daniel R. Williamson merumuskan bahwa reportase dalam bentuk berita halus, seperti feature, sebagai penulisan cerita yang kreatif, subyektif, yang dirancang untuk menyampaikan informasi dan hiburan kepada pembaca. Penekanan pada kata – kata kreatif, subyektif, informasi, dan hiburan, adalah untuk membedakan dengan 77 78
Luwi Ishwara, op.cit., halaman 58. Ibid, halaman 58 – 59.
44
berita yang disampaikan secara langsung pada berita lugas.79 Dalam menulis feature harus menonjolkan kemampuan bercerita, tetapi tetap faktual. Wartawan tidak hanya menyampaikan fakta, tetapi menggugah pembaca pada pengertian yang lebih dalam mengenai topik yang ditulis.80 feature tidak disusun dengan bentuk piramida terbalik. Pembukaan berita harus ditulis menarik sehingga menarik pembaca untuk mengikuti cerita hingga akhir. 1.7 OBJEK PENELITIAN Objek penelitian ini adalah semua berita yang memuat tema seputar penyadapan oleh Pemerintah Australia terhadap Pemerintah Indonesia. Benis berita yang diteliti berbentuk hardnews, softnews, dan feature dalam rentang waktu antara tanggal 18 November 2013 hingga 28 November 2013. Karena peneliti ingin memaksimalkan objek penelitian pada rentang waktu yang sudah ditentukan, maka peneliti mengambil seluruh artikel yang mengangkat isu tersebut dengan tidak memilih posisi berita. Baik berita yang terletak di headline, opini pembaca, newsfeature, dan lain sebagainya, semua artikel yang berhubungan dengan isu penyadapan Pemerintah Australia terhadap Pemerintah Indonesia akan diambil. Hal tersebut dilakukan karena rentang waktu peristiwa yang terjadi tidak terlalu panjang dan tidak berjumlah banyak. Jumlah semua berita yang diteliti adalah 31 buah. Kedaulatan Rakyat menampilkan 14 artikel, sementara Tribun Jogja 17 artikel. SKH Kedaulatan Rakyat dan Tribun Jogja dipilih karena memberikan perhatian yang cukup besar mengenai isu tersebut. Walaupun kedua surat kabar tersebut memiliki pasar masyarakat daerah, namun tetap memberikan perhatian besar pada isu internasional yang sedang dihadapi negara. Selain itu, kedua surat kabar tersebut memiliki jumlah pembaca yang besar. Sehingga wacana dan representasi realitas dapat tersebar dengan luas. Oleh karena itu, menarik untuk menyimak bagaimana cara surat kabar dengan latar belakang kedaerahan yang kental untuk membingkai
79 80
Daniel R. Williamson dalam Luwi Ishwara, ibid, halaman 59. Luwi Ishwara, Ibid, halaman 26.
45
pemberitaan internasional yang juga ditujukan khusus untuk masyarakat di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Selain itu, penelitian framing ini juga mengamati bagaimana isu tersebut dikemas ke dalam berbagai bentuk berita, yaitu hardnews, softnews, dan feature. Penentuan benis berita juga menentukan seberapa penting fakta yang ingin disampaikan oleh wartawan dan medianya. Seperti hardnews merupakan berita langsung yang lugas dalam memberikan fakta biasanya berdasarkan pada aktualitas yang menuntut agar informasi itu segera diketahui oleh khalayak. Sementara softnews memberikan ruang bagi wartawan memperindah kata - kata untuk menarik perhatian pembaca agar mengikuti cerita sampai akhir. Karena fakta tentang suatu peristiwa pada softnews tidak mengejar aktualitas sehingga bisa dibaca kapan saja. Strategi pengemasan berita tersebut juga bisa menunjukkan bagaimana cara wartawan memandang konflik antarnegara untuk bisa disampaikan pada masyarakat lokal. Penempatan berita pada surat kabar juga menunjukkan seberapa besar perhatian surat kabar tersebut dalam memberikan makna terhadap suatu peristiwa. Berita yang ditempatkan sebagai headline tentu merupakan isu utama yang ingin segera disampaikan media terhadap khalayak karena dirasa sangat penting dan basi jika tidak segera dibaca. Berita penyadapan oleh Pemerintah Australia terhadap Pemerintah Indonesia tidak hanya ditempatkan pada headline, tetapi juga muncul dalam berbagai posisi pada surat kabar. Antara lain berbentuk feature dengan berbagai jenis, seperti sidebar, bright, profil orang atau organisasi, newsfeature, comprehensive newsfeature, service feature, artikel pengalaman pribadi, wawancara, untaian mutiara, dan narasi.81 Sedangkan periode antara tanggal 18 – 28 November 2013 merupakan masa di mana isu ini menjadi topik hangat di berbagai surat kabar baik nasional maupun daerah. Sehingga berita mengenai Penyadapan Pemerintah Australia terhadap Pemerintah Indonesia bisa ditemui dengan mudah di berbagai surat kabar pada 81
Ibid, halaman 61 – 65.
46
rentang waktu tersebut. Sedangkan di luar rentang waktu tersebut berita yang menyangkut isu ini sulit untuk ditemukan, bahkan hampir tidak ada di berbagai macam surat kabar. Sehingga dengan rentang waktu yang sempit tersebut, maka objek penelitian dimanfaatkan semaksimal mungkin jumlahnya. 1.8 METODOLOGI 1.8.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah deskriptif – eksploratif. Penelitian ini berusaha untuk mengeksplorasi sistem sosial, berbagai bentuk hubungan, atau kejadian sosial apa yang bisa mempengaruhi wartawan dalam membingkai berita tentang konflik internasional untuk disampaikan kepada masyarakat daerah. Penelitian ini juga ingin menjelaskan bahwa latar belakang informasi yang dimiliki oleh wartawan mampu memberikan stimulasi dalam memberikan pemaknaan terhadap berita mengenai isu konflik internasional dalam surat kabar daerah.82 1.8.2 Sifat Penelitian Penelitian ini sendiri bersifat induktif – kualitatif, yang memandang sebuah fenomena sebagi simbol.83 Makna di balik simbol – simbol yang berkaitan dengan konflik internasional antarnegara bisa diketahui melalui deskripsi verbal terhadap data temuan. Kemudian dibandingkan dengan master frame yang sering digunakan pada penelitian – penelitian sebelumnya. 1.8.3 Metode Penelitian Dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pola pengemasan berita internasional yang dilakukan oleh suratkabar daerah, penulis menggunakan analisis framing. Dalam ranah studi komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara – cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna,
82
Robert K. Yin, Studi Kasus, Desain & Metode, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), halaman 8 – 9. Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung: Rosdakarya, 2001), halaman 156 – 157. 83
47
lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya.84 Idealnya, berita memang bersifat netral dan tugas wartawan hanya memberitakan. Namun dengan berbagai faktor yang ada dalam diri wartawan sebagai penulis berita dan surat kabar yang memiliki suatu ideologi membuat tugas bagi kedua pihak tersebut untuk mengemas isu tersebut sedemikian rupa sehingga menggiring opini publik kepada suatu tujuan. Dan juga seperti yang disampaikan sebelumnya, agar opini publik tergiring sesuai kemauan pihak wartawan dan surat kabar, maka berita juga harus dibuat semenarik mungkin untuk dibaca. Dalam prakteknya, memang analisis framing membuka analisa teks media dalam perspektif multidisipliner. Tidak hanya melalui ranah komunikasi, tetapi juga dipengaruhi faktor psikologis, sosiologis, politik, dan kultural untuk mempengaruhi sebuah berita. Rapat redaksi pun juga ikut menentukan langkah pemberitaan guna menyusupkan ideologi surat kabar dalam pembingkaian sebuah berita. Ruang redaksi menentukan siapa saja yang perlu diwawancara, kemudian apakah berita tersebut perlu ditambahkan foto, gambar ilustrasi, dan grafik. 1.8.4 Teknik Pengumpulan Data Data dalam penelitian ini dikumpulkan dari berita – berita pada harian Kedaulatan Rakyat dan Tribun Jogja yang menyajikan fakta mengenai Penyadapan Pemerintah Australia terhadap Pemerintah Indonesia pada kurung waktu 18 – 28 November 2013. Melalui data ini diharapkan mampu mengetahui bagaimana cara Kedaulatan Rakyat dan Tribun Jogja ketika membingkai isu konflik internasional untuk disampaikan pada masyarakat lokal DIY. 1.8.5 Teknik Penyajian Data Penelitian ini menyajikan data hasil pengamatan berupa kata – kata, kalimat, dan proposisi dari pengumpulan data yang telah didapatkan. Simbol – simbol bermakna tentang konflik antarnegara dalam Kedaulatan Rakyat dan Tribun Jogja 84
Alex Sobur, op.cit., halaman 162.
48
akan dideskripsikan secara sistematik. Melalui penelitian terhadap kata dan kalimat, interpretasi yang dilakukan peneliti terhadap bingkai wacana feminisme di kedua harian akan lebih dinamis dan tidak kaku. 1.8.6 Teknik Analisis Data Untuk mengetahui wacana sosial terhadap konflik internasional yang dibingkai oleh Kedaulatan Rakyat dan Tribun Jogja dapat diawali dengan klasifikasi teks. Klasifikasi teks berita diseleksi sesuai kategori topik – topik dominan dan relevan dengan permasalahan penelitian. lalu setiap data diolah dan dipilah menjadi kategori yang disebut coding sheet berdasarkan level analisis struktur wacana. Coding sheet dianalisis berdasarkan perangkat framingnya dan ditempatkan ke dalam konteks peristiwa yang diberitakan. Proses analisis data yang dilakukan sebagai berikut: 1. Identifikasi Elemen Frame Identifikasi elemen frame yang dilakukan dengan menggunakan model analisis Pan dan Kosicki yang telah dijelaskan sebelumnya. Peneliti akan mengamati secara detail bagaimana pembingkaian berita dilakukan melalui struktur sintaksis, skrip, tematik, dan retoris. 2. Perbandingan Dengan master Frame Model yang dibuat oleh Pan dan Kosicki berfokus pada studi sistematis terhadap bahasa. Karena menurut mereka framing sangat sensitif terhadap pemakaian bahasa tertentu.85 Dengan asumsi bahwa pernyataan – pertanyaan dari suatu pihak yang dikutip oleh media tidak bersifat netral serta sensitif terhadap pemakaian bahasa tertentu. Dengan kata lain, melalui model ini kita dapat mengamati bagaimana cara wartawan menyusun peristiwa ke dalam bentuk umum berita, termasuk cara wartawan mengisahkan peristiwa tersebut, kalimat yang dipakai, dan pilihan kata atau idiom. Ketika menulis berita dan menekankan makna atas peristiwa, wartawan akan menggunakan semua strategi wacana untuk meyakinkan khalayak bahwa berita yang ia tulis benar. 85
Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki dalam Eriyanto, op.cit., halaman 252.
49
Model yang ditawarkan Pan dan Kosicki merupakan perpaduan dari dua dimensi framing, yaitu psikologis dan sosiologis. Oleh karena itu menurut peneliti, model ini memiliki kekuatan yang berbeda dibandingkan dengan model yang lain. Melalui model ini pula kita bisa mengetahui seberapa jauh latar belakang pendidikan dan ketertarikan wartawan terhadap suatu isu dapat mempengaruhinya dalam mengemas berita. Kekuatan lain terletak pada frame – nya yang dapat dikonseptualisasikan ke dalam elemen yang konkrit dalam suatu wacana yang dapat disusun dan dimanipulasi oleh pembuat berita, dan dapat dikomunikasikan dalam kesadaran komunitas.86 Akan tetapi, model ini bisa memberikan suatu kondisi sulit bagi peneliti bila terjebak pada hal – hal yang mikro yang ketat dan tidak bisa dihubungkan dengan kondisi makro yang berlangsung secara riil di masyarakat. Sehingga hal yang makro tersebut sulit untuk dijelaskan. Selain itu, ada kalanya wartawan dalam membuat berita tidak seserius yang dibayangkan. Bisa saja mereka menulis apa adanya tanpa maksud memanipulasi. Sehingga analisis detail yang telah dilakukan pada teks sebenarnya tidak mempunyai kandungan politis sama sekali. Agar tidak terjebak pada situasi tersebut peneliti akan didukung oleh analisis master frame dari masing – masing berita. Dalam hal ini, terhadap master frame akan membuat peneliti mudah menggambarkan kondisi makro masyarakat secara logis, dengan menggunakan hasil analisis terhadap teks. Coding sheet yang akan digunakan bisa dilihat sebagai berikut:
86
Eriyanto, ibid, halaman 255.
50
Tabel 1.4 Coding Sheet A. Informasi Umum Nama Media Hari/ Tanggal Halaman Judul Jumlah Alinea Penulis Berita B. Bentuk Berita . C. Basis Frame
1. Konflik 2. Ekonomi
3. Kemajuan
D. Struktur Teks Struktur Sintaksis
Elemen Skema Berita
Unit yang diamati 1. Headline 2. Lead 3. Latar 4. Kutipan
Skrip
Kelengkapan Berita
Tematis
Koherensi Bentuk Kalimat Kata Ganti Detail Nominalisasi Leksikon Grafis
1. What 2. When 3. Who 4. Where 5. Why 6. How Hubungan antar kalimat Kalimat Pilihan kata Kontrol informasi (porsi opini) Kata Pilihan Kata 1. Elemen grafis yang ditampilkan 2. Siapa yang lebih difokuskan 3. Sequence atau penempatan visual untuk mendemonstrasikan sebab-akibat 1. Metafora yang muncul 2. Kaitan kemunculan 1. Tekanan pada pihak tertentu - moderat tak kompromi 2. Reasonable bisa dipertanggungjawabkan atau retorik
Retoris
Metafora Tone
Date:
Coder:
4. Personalisasi 5. Moral, Etika, dan Hukum
Signature:
51
Setelah klasifikasi dilakukan terhadap teks, peneliti akan menganalisis hasilnya dengan menggunakan teori – teori yang mendasari penelitian ini. Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan perspektif konflik. Jurnalisme dianggap sebagai sebuah dekonstruksi konflik dalam aspek hubungan antar negara. Melalui proses dekonstruksi itu, bisa dilihat bagaimana media lokal memberikan pemaknaan terhadap isu konflik internasional untuk disajikan kepada masyarakat daerah. Berdasarkan pada perspektif tersebut, ada tiga pertanyaan yang harus dijawab oleh peneliti, yaitu: (i) apa yang merupakan realitas dalam representasi konflik internasional dalam teks media lokal; (ii) bagaimana sikap para pekerja pers dalam menanggapi konflik internasional ketika negara tempat ia tinggal terlibat dalam pihak yang berkonflik; (iii) bagaimana pengaruh berita – berita mengenai konflik internasional di media massa terhadap pola pikir masyarakat daerah yang notabene masih menjaga budaya tradisional kedaerahannya. Jawaban atas tiga pertanyaan di atas diharapkan mampu memetakan pola – pola pembingkaian media massa terhadap berita konflik internasional yang disajikan terhadap masyarakat daerah. Lebih jauh, dapat dilihat bagaimana seharusnya sikap media massa terhadap isu – isu yang sensitif seperti ini.
52