BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki dan hak asasi bagi setiap individu. Oleh karena itu terpenuhinya kebutuhan pangan penduduk merupakan hal yang mutlak harus dipenuhi agar manusia dapat bertahan hidup. Permasalahan pangan dari waktu ke waktu berlangsung dalam tekanan yang terus meningkat. Salah satu penyebab utamanya pertumbuhan
adalah
penduduk yang selalu meningkat. Pertumbuhan penduduk
beriringan dengan meningkatnya permintaan akan pangan sehingga peningkatan produksi pangan harus mampu memenuhi kebutuhan pangan penduduk. Thomas Robert Malthus tahun 1798 dalam Essay on the Principle of Population mengungkapkan sebuah teori yang dikenal dengan teori Malthus. Dalam teorinya, Malthus memaparkan bahwa jumlah penduduk cenderung untuk meningkat secara geometris (deret ukur), sedangkan pasokan bahan makanan cenderung meningkat secara aritmatik (deret hitung) sehingga dikhawatirkan pada suatu saat akan terjadi krisis pangan dimana jumlah pasokan bahan makanan tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan manusia. Permasalahan pangan masih menjadi isu global dunia dewasa ini. Pada tahun 2000, para pimpinan dunia bertemu di New York dalam rangka menandatangani
“Deklarasi
Milennium”
yang
berisi
komitmen
untuk
mempercepat pembangunan manusia dan pemberantasan kemiskinan. Komitmen tersebut diterjemahkan menjadi beberapa tujuan dan target yang dikenal sebagai Milennium Development Goals (MDGs). Prioritas utama komitmen yang dihasilkan dalam deklarasi tersebut adalah menanggulangi kemiskinan dan kelaparan ekstrem yang masih menjadi masalah di semua negara. Kemiskinan dan kelaparan adalah dua tema yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain, kemiskinan adalah aspek utama sebagai penyebab terjadinya kelaparan. Kemiskinan menyebabkan daya beli terhadap bahan makanan rendah sehingga status kecukupan gizi masyarakat tidak terpenuhi. 1
kemudian status ketidakcukupan gizi penduduk ini akan berpengaruh terhadap produktifitas penduduk dalam megupayakan hidupnya. Selain itu ketidakcukupan gizi menyebabkan kerentanan terhadap serangan penyakit dan apabila sesorang sakit mengakibatkan seseorang menjadi semakin miskin.
Kelaparan atau
kekurangan pangan merupakan bentuk terburuk dari kemiskinan yang dihadapi penduduk, dimana kelaparan
merupakan suatu proses sebab-akibat dari
kemiskinan. Pada tahun 2005 di Indonesia telah diluncurkan Peta Kerawanan Pangan (Food Insecurity Atlas atau FIA) yang menggambarkan pemeringkatan situasi ketahanan pangan pada 265 kabupaten di 30 provinsi. Selanjutnya pada tahun 2009 diluncurkan kembali Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (Food Security and Vulnerability Atlas atau FSVA). Perubahan nama Peta Kerawanan Pangan menjadi Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan dilakukan dengan pertimbangan untuk memperjelas pengertian mengenai konsep ketahanan pangan berdasarkan tiga dimensi ketahanan pangan (ketersediaan, akses dan pemanfaatan pangan) dalam semua kondisi, bukan hanya pada situasi kerawanan pangan saja. Pertimbangan yang kedua adalah FVSA juga bermaksud untuk mengetahui berbagai penyebab kerawanan pangan secara lebih baik atau dengan kata lain kerentanan terhadap kerawanan pangan, bukan hanya kerawanan pangan itu sendiri (Dewan Ketahanan Pangan, 2009). Dari perbandingan hasil FIA 2005 dengan FSVA 2009 ditetapkan 100 kabupaten dari 265 kabupaten di 30 provinsi termasuk dalam kategori rentan terhadap pangan prioritas 1 (satu) atau mempunyai resiko kerenatanan terhadap pangan yang sangat tinggi sehingga paling diprioritaskan untuk segera ditanggulangi. Apabila dilihat dari distribusi keruangannya 100 kabupaten tersebut, sebagian besar berada di Provinsi Papua, Papua Barat, Maluku, bagian timur pulau Jawa, NTB, NTT, bagian utara dan barat Kalimantan, bagian tengah dan tenggara Sulawesi, dan bagian barat dan timur Sumatera. Resiko kerentanan terhadap rawan pangan bisa menjadi rawan pangan apabila tidak dilakukan penanganan dengan segera. Kerawanan pangan didefinisikan sebagai kondisi tidak
2
terpenuhinya pangan bagi individu atau rumah tangga dari segi ketersediaan pangan dan kemampuan untuk memperolehnya. Kemampuan penduduk untuk memperoleh pangan yang selanjutnya disebut akses pangan, erat hubunganya dengan kemiskinan. Dari 100 kabupaten yang beresiko terhadap kerawan pangan prioritas 1 merupakan kabupaten dengan persentase penduduk miskin diatas 25 %. Selain hal tersebut, ditengarai mayoritas penduduk Indonesia masih tergantung pada komoditas beras sebagai bahan pangan pokok untuk mencukupi kebutuhan kalori harian. Banyak komoditas bahan pangan alternatif selain beras yang tingkat produksi dan ketersediaanya lebih
melimpah
dari
beras
tetapi
mayoritas
penduduk
enggan
untuk
mengkonsumsinya bahkan ada anggapan yang umum berlaku dimasyarakat bahwa kalau belum makan nasi rasanya sama saja seperti belum makan. Beras menjadi bahan makan yang penting bagi penduduk Indonesia. Hal-hal tersebut tercermin pada partisipasi konsumsi beras dan permintaan akan beras yang tinggi. Berdasarkan data Susenas 1990 -1999, tingkat partisipasi konsumsi beras di setiap provinsi mencapai sekitar 97- 100 %. Ini artinya hanya sekitar 3 % rumah tangga yang tidak mengkonsumsi beras sebagai pangan pokok terutama pangan pokok tunggal. Tingkat partisipasi konsumsi beras yang lebih kecil 90 % hanya ditemukan di pedesaan Papua. Sebagai gambaran, tingkat konsumsi beras rata - rata di kota tahun 1999 adalah 96,0 kg per kapita /tahun dan didesa adalah 111,8 kg per kapita/tahun (Suharno, 2005). Dalam hal produksi beras, hingga saat ini Pulau Jawa masih memegang peranan penting, meskipun beberapa daerah seperti Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan merupakan daerah produksi beras. Namun tingkat produksi yang dihasilkan oleh daerah-daerah tersebut tidak seperti yang dihasilkan oleh Pulau Jawa. Sehingga produksi beras nasional semakin menurun dan Indonesia menjadi negara pengimpor beras terbesar (Amang dan Sawit, 1999). Pulau Jawa sendiri merupakan pusat kegiatan perekonomian dan pemerintahan Indonesia. Dinamika pembangunan berlangsung dengan cepat, berakibat pada semakin menurunnya lahan pertanian. Hal tersebut mempengaruhi produksi beras yang semakin menurun jumlahnya. Dengan jumlah produksi yang
3
semakin menurun sementara permintaan beras meningkat beriringan dengan pertumbuhan penduduk menyebabkan harga beras menjadi tinggi. Kondisi ini memungkinan terjadinya kompetisi penduduk untuk dapat mengakses beras, sementara penduduk dengan kondisi serba kekurangan dalam memenuhi kebutuhan minimum untuk hidup masih tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Ketersediaan beras dan akses penduduk terhadap pangan merupakan dimensi-dimensi yang menentukan kondisi ketahanan pangan wilayah. Saliem dkk (2002), mengemukakan ketahanan pangan pada tingkat wilayah dapat bersumber dari kemampuan produksi pangan pokok (padi), kemampuan ekonomi untuk menyediakan pangan dan kondisi sosial masyarakat yang membedakan tingkat kesulitan dan hambatan untuk akses pangan. Kemampuan memproduksi sangat tergantung pada kondisi wilayah alam setempat seperti topografi, iklim, curah hujan dan kesuburan tanah. Kemampuan ekonomi rumah tangga dalam mengakses kebutuhan pangan yang masih kurang ditandai dengan besarnya proporsi kelompok masyarakat yang mempunyai daya beli rendah. Kabupaten
Gunungkidul
merupakan
salah
satu
Kabupaten
di
D.I.Yogyakarta dan secara geografis terletak di Pulau Jawa. Kabupaten Gunungkidul mempunyai karakteristik geografis yang cukup bervariasi. Secara umum Kabupaten Gunungkidul dibagi dalam tiga zona wilayah, dimana masingmasing mempunyai karakter yang berbeda-beda. Zona utara merupakan daerah perbukitan, dengan tanah didominasi oleh jenis litosol, latosol dan rendzina. Pada wilayah ini banyak dimanfaatkan untuk perkebunan dan kehutanan, pertambangan serta permukiman. Zona tengah atau lebih dikenal sebagai ledok Wonosari (basin Wonosari) merupakan daerah yang relatif landai, dimana pada zone ini banyak dikembangkan untuk pertanian dan permukiman. Zone tengah mempunyai kondisi topografi yang relatif lebih menguntungkan daripada zone utara dan selatan. Jenis tanah yang berkembang pada zone tengah ini antara lain: mediteran, grumusol hitam, rendzina dan sebagian litosol. Pada zone tengah ini perkembangan wilayahnya juga relatif lebih maju dibandingkan dengan zone utara dan selatan. Zona selatan atau yang sering dikenal dengan wilayah karst, merupakan daerah dengan topografi yang bervariasi, antara datar hingga berbukit.
4
Pada daerah karst banyak dijumpai kubah-kubah karst (dome) dan bentuklahanbentuklahan karst lainnya. Daerah karst disusun oleh batugamping terumbu (limestone), dengan jenis tanah yang berkembang adalah litosol dan mediteran merah.
Variatifnya kondisi geografis kabupaten Gunungkidul tersebut secara
langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap kemampuan wilayah untuk memproduksi beras sebagai bahan makanan pemasok kalori utama bagi penduduk di Kabupaten Gunungkidul. Berdasarkan data dan informasi kemiskianan kabupaten tahun 2011 tercatat sebanyak 23.03% penduduk yang tinggal di Kabupaten Gunungkidul hidup dibawah garis kemiskianan. Pendapatan rata-rata perkapita per bulan penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan adalah sebesar 288.048 rupiah. Penduduk yang tergolong hidup dibawah garis kemiskinan tersebut tersebar di 18 (delapan belas) kecamatan di Kabupaten Gunungkidul dengan persentase yang berbeda-beda. Kondisi ini berpengaruh terhadap akses penduduk terhadap beras yang selanjutnya akan mencerminkan kodisi ketahanan pangan di Kabupaten Gunungkidul. Tiga zona wilayah dan jenis tanah yang ada di Kabupaten Gunungkidul memungkinkan terjadinya keberagaman tingkat produksi beras antar kecamatan, begitu juga pada distribusi penduduk dengan kesulitan medapatkan pangan sebagai penentu tingkat ketahanan pangan daerah. Penentuan kondisi ketahanan pangan dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen berupa Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (Food Security and Vulnerability Atlas atau FSVA). Selanjutnya dalam upaya pengkajian fenomena geosfer yang berupa ketahanan pangan tersebut, dalam proses dan analisis kajian digunakan pendekatan keruangan
(Spatial
Appoach)
dengan
tema
analisis
pola
keruangan
(SpatialPattern Analysis). Dengan pendekatan dan tema analisis tersebut pola keruangan ketahanan pangan antar kecamatan di Kabupaten Gunungkidul dapat diketahui dengan lebih jelas.
5
1.2 Perumusan Masalah Permasalahan pangan selalu menjadi isu dunia yang menarik dari waktu ke waktu. Terbukti dengan banyaknya program dari oraganisasi dunia yang menkaji tentang permasalahan pangan. Salah satu program yang populer adalah MDGs yang menempatkan pemberantasan kemiskinan dan kelaparan ekstrem sebagai prioritas utama. Kemiskinan dan kelaparan menjadi permasalahan yang dihadapi oleh semua negara termasuk Indonesia. Indonesia merupakan bagian dari masyarakat dunia dengan 100 kabupaten yang termasuk dalam kategori prioritas 1 (satu) sangat rentan terhadap pangan atau harus segera mendapatkan penanganan. Penduduk miskin tercatat lebih dari 25% dari masing-masing kabupaten tersebut. Fenomena menarik yang ada di Indonesia adalah mayoritas penduduknya masih bergantung pada beras sebagai sumber kalori utama tercatat hanya 3% rumah tangga yang tidak mengkonsumsi beras untuk setiap provinsi yang ada di Indonesia. Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu kabupaten di D.I Yogyakarta dengan kondisi geografis yang bervariasi. Hal tersebut berpengaruh terhadap tingkat produksi bahan makanan khususnya beras. Dinamika pembangunan yang terus berlangsung berdampak pada semakin sempitnya lahan pertanian yang berimbas pada semakin menurunnya produksi beras sementara pemintaan akan beras terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk. Disisi lain, sebagian penduduk di Gunungkidul masih kesulitan dalam meperoleh bahan makanan khususnya beras. Tercatat sebanyak 23.03% penduduk yang tinggal di Kabupaten Gunungkidul hidup dibawah garis kemiskianan dengan pendapatan rata-rata perkapita per bulan penduduk sebesar 288.048 rupiah yang tersebar di 18 kecamatan di Kabupaten Gunungkidul. Ketersediaan dan kemampuan penduduk untuk memperleh bahan makanan berupa beras merupakan cerminan dari ketahanan pangan daerah. Variatifnya kondisi geografis dan tersebarnya penduduk miskin ini menimbulkan keberagaman kondisi ketahanan pangan antar kecamatan terkait dengan tiga zona wilayah yang ada sehingga diperlukan pendekatan keruangan untuk melihat pola persebaran ketahanan pangan antar kecamatan.
6
Beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini, antara lain: 1.
Bagaimana ketersedian beras sebagai sumber kalori penduduk menurut kecamatan di Kabupaten Gunungkidul?
2.
Bagaimanakah kondisi akses penduduk terhadap pangan menurut kecamatan di Kabupaten Gunungkidul?
3.
Bagaimanakah ketahanan pangan berdasar pada ketersediaan beras dan akses pangan menurut kecamatan di Kabupaten Gunungkidul?
4.
Bagaimanakan pola keruangan ketahanan pangan menurut kecamatan di Kabupaten Gunungkidul?
1.3 Tujuan Penelitian Dalam rangka untuk menjawab permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini maka penelitian ini bertujuan untuk: 1.
Mengetahui ketersedian beras sebagai sumber kalori penduduk menurut kecamatan di Kabupaten Gunungkidul,
2.
Mengetahui kondisi akses penduduk terhadap pangan menurut kecamatan di Kabupaten Gunungkidul,
3.
Mengetahui ketahanan pangan berdasarkan ketersediaan beras dan akses pangan menurut kecamatan di Kabupaten Gunungkidul,
4.
Mengetahui pola keruangan ketahanan pangan menurut kecamatan di Kabupaten Gunungkidul.
1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ketahanan pangan yang ditinjau dari ketersediaan beras dan akses pangan penduduk di Kabupaten Gunungkidul ini dapat digunakan sebagai dasar pengembangan kajian ketahanan pangan di kabupaten-kabupaten lain. Selain itu, penelitian ini juga dapat digunakan sebagai acuan pengambilan kebijakan penanganan permasalahan ketahanan di Kabupaten Gunungkidul terkait dengan penentuan prioritas penanganan daerah reantan terhadap rawan pangan.
7
1.5 Tinjauan Pustaka 1.5.1
Ketahanan Pangan Ketahanan pangan merupakan terjemahan dari food security yang
mencakup banyak aspek sehingga setiap orang mencoba menterjemahkan sesuai dengan tujuan dan ketersediaan data serta diinterpretasikan dengan banyak cara. Ketahanan pangan sebagaimana hasil rumusan International Congres of Nutrition (ICN) yang diselenggarakan di Roma tahun 1992 mendefinisikan bahwa ketahanan pangan (food security) adalah kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari. Dalam sidang Committee on World Food Security 1995 definisi tersebut diperluas dengan menambah persyaratan “harus diterima oleh budaya setempat” (Rachman dan Ariani, 2002). Definisi tersebut dipertegas lagi pada Deklarasi Roma tentang Ketahanan Pangan Dunia dan Rencana Tindak Lanjut Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pangan Dunia tahun 1996 menjadi ketahanan pangan adalah situasi dimana semua rumah tangga pada setiap saat memliki akses (baik fisik maupun ekonomi) untuk memperoleh pangan yang cukup, aman dan sehat bagi seluruh anggota rumah tangganya. Definisi tersebut merupakan definisi oleh Food Agriculture Organization (FAO) yang telah diterima secara luas di tingkat internasional. Pada World Food Summit (1996), ketahanan pangan didefinisikan sebagai ”Ketahanan pangan terjadi apabila semua orang secara terus menerus, baik secara fisik, sosial, dan ekonomi mempunyai akses untuk pangan yang memadai/cukup, bergizi dan aman, yang memenuhi kebutuhan pangan mereka dan pilihan makanan untuk hidup secara aktif dan sehat”. Pada Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) 2009, analisis dan pemetaan dilakukan berdasarkan pada pemahaman mengenai ketahanan dan kerentanan pangan dan gizi. Di Indonesia, Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan mengartikan Ketahanan Pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Sebagaimana FIA 2005, FSVA dibuat berdasarkan tiga pilar ketahanan pangan: (i) ketersediaan
8
pangan; (ii) akses terhadap pangan; dan (iii) pemanfaatan pangan. Berdasarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1996 tersebut kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari: (1) tersedianya pangan secara cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya; (2) aman; (3) merata; dan (4) terjangkau. Dengan pengertian tersebut, mewujudkan ketahanan pangan dapat lebih dipahami sebagai berikut: a. Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, diartikan ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak, dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya, yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia. b. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman dari kaidah agama. c. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan pangan yang harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air. d. Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau. Definisi ketahanan pangan (food security) berbeda dalam tiap konteks, waktu dan tempat. Sedikitnya ada 200 definisi ketahanan pangan dan sedikitnya ada 450 indikator ketahanan pangan (Hoddinott 1999). Istilah ketahanan pangan (food security) sebagai sebuah konsep kebijakan baru pertama kali muncul pada tahun 1974, yakni ketika dilaksanakannya konferensi pangan dunia (Sage 2002). Maxwell (1996) mencoba menelusuri perubahan-perubahan definisi tentang ketahanan pangan sejak konferensi pangan dunia 1974 hingga pertengahan decade 90an; perubahan terjadi pada level global, nasional, skala rumah tangga dan individu; dari perspektif pangan sebagai kebutuhan dasar (food first perspective) hingga pada perspektif penghidupan (livelihood perspective) dan dari indikatorindikator objektif ke persepsi yang subjektif. (Maxwell dan Frankenberger, 1992).
9
Maxwell and Slater (2003) juga turut mengevaluasi definisi ketahanan pangan sepanjang waktu dan menemukan bahwa wacana (diskursus) mengenai ketahanan pangan berubah sedemikian cepatnya dari fokus pada ketersediaanpenyediaan (supply & availability) ke perspektif hak dan akses (entitlements). Sejak tahun 1980an awal, diskursus global ketahanan pangan didominasikan oleh hak atas pangan (food entitlements), resiko dan kerentanan (vulnerability). Buku The Poverty dan Famines-nya Amartya Sen (1981) dianggap sebagai salah satu pelopor utama perubahan perspektif ketahanan pangan (Maxwell dan Slater, 2003). Sedikitnya ada empat element ketahanan pangan berkelanjutan (sustainable food security) di level keluarga yang diusulkan oleh Maxwell (1996), yakni: (i) kecukupan pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat. (ii) akses atas pangan, yang didefinisikan sebagai hak (entitlements) untuk berproduksi, membeli atau menukarkan (exchange) pangan ataupun menerima sebagai pemberian (transfer). (iii) ketahanan yang didefinisikan sebagai keseimbangan antara kerentanan, resiko dan jaminan pengaman sosial. (iv) fungsi waktu manakala ketahanan pangan dapat bersifat kronis, transisi dan/atau siklus. Definisi secara formal Ketahanan Pangan sebagai berikut : 1. 1st World Food Conference 1974, UN 1975 : ketahanan pangan adalah "ketersediaan pangan dunia yang cukup dalam segala waktu untuk menjaga keberlanjutan konsumsi pangan dan menyeimbangkan fluktuasi produksi dan harga." 2. FAO 1992 : Ketahanan Pangan adalah "situasi di mana semua orang dalam segala waktu memiliki kecukupan jumlah atas pangan yang aman (safe) dan bergizi demi kehidupan yang sehat dan aktif. 3. World Bank 1996 : Ketahanan pangan adalah: "akses oleh semua orang pada segala waktu atas pangan yang cukup untuk kehidupan yang sehat dan aktif”. 4. Oxfam 2001 : Ketahanan pangan adalah kondisi ketika: “setiap orang dalam segala waktu memiliki akses dan kontrol atas jumlah pangan yang
10
cukup dan kualitas yang baik demi hidup yang aktif dan sehat. Dua kandungan makna tercantum di sini yakni: ketersediaan dalam artian kualitas dan kuantitas dan akses (hak atas pangan melalui pembelian, pertukaran maupun klaim). 5. FIVIMS 2005 : Ketahanan Pangan adalah: kondisi ketika “semua orang pada segala waktu secara fisik, sosial dan ekonomi memiliki akses pada pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi (dietary needs) dan pilihan pangan (food preferences) demi kehidupan yang aktif dan sehat.” 6. Indonesia – UU No.7/1996 : Ketahanan Pangan adalah :”Kondisi di mana terjadinya kecukupan penyediaan pangan bagi rumah tangga yang diukur dari ketercukupan pangan dalam hal jumlah dan kualitas dan juga adanya jaminan atas keamanan (safety), distribusi yang merata dan kemampuan membeli. Ketahanan pangan (food security) mulai populer sejak krisis pangan dan kelaparan pada awal dekade 70-an (Maxwell and Frankerberger, 1997 dalam LIPI, 2007). Dalam kebijakan pangan dunia, istilah ketahanan pangan pertama kali digunakan oleh PBB pada tahun 1971 untuk membangun komitmen internasional dalam mengatasi masalah pangan dan kelaparan terutama di kawasan Afrika dan Asia. Pengertian ketahanan pangan awalnya terfokus pada kondisi pemenuhan kebutuhan pangan pokok. Konsep swasembada berbeda dengan konsep ketahanan pangan, meskipun dalam beberapa hal mungkin berkaitan.United Nation (1975) mendefinisikan ketahanan pangan adalah ketersediaan cukup makanan utama pada setiap saat dan mengembangkan konsumsi pangan secara konsisten dan dapat mengimbangi fluktuasi produksi dan harga. World Bank (1994) menyatakan bahwa ketahanan pangan dapat dicapai hanya jika semua rumah tangga mempunyai kemampuan untuk membeli pangan. Kemudian pada tahun 1986 World Bank mendefinisikan ketahanan pangan adalah akses terhadap cukup pangan oleh penduduk agar dapat melakukan aktivitas dan kehidupan yang sehat. Selanjutnya berdasarkan kesepakatan pada International Food Submit dan International Conference of Nutrition 1992 (FAO, 1997) pengertian ketahanan
11
pangan diperluas menjadi kondisi tersedianya pangan yang memenuhi kebutuhan setiap orang setiap saat untuk hidup sehat, aktif dan produktif. Pengertian ketahanan pangan yang terakhir ini mengandung makna yang selaras dengan paradigma baru kesehatan yaitu Indonesia Sehat 2010. Mengacu pada definisi ketahanan pangan tersebut di atas, maka dapat diidentifikasikan isu-isu strategis yang patut mendapat perhatian untuk pencapaian kondisi ketahanan pangan, yakni: 1. Kapasitas dan kapabilitas produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat dalam jumlah (kuantitas) yang cukup, komposisi gizi yang seimbang, dan aman (bebas dari cemaran biotik dan/atau bahan kimia yang berdampak negatif terhadap kesehatan); 2. Aksesibilitas bahan pangan bagi setiap individu baik secara fisik maupun finansial; 3. Kesesuaian antara jenis pangan yang diproduksi dengan pola konsumsi pangan masyarakat. Ketahanan pangan merupakan bagian terpenting dari pemenuhan hak atas pangan sekaligus merupakan salah satu pilar utama hak azasi manusia. Ketahanan pangan juga merupakan bagian sangat penting dari ketahanan nasional. Dalam hal ini hak atas pangan seharusnya mendapat perhatian yang sama besar dengan usaha menegakkan pilar-pilar hak azasi manusia lain. Oleh sebab itu, usaha pengembangan
ketahanan
pangan
tidak
dapat
dipisahkan
dari
usaha
penanggulangan masalah kemiskinan. Dilain pihak masalah pangan yang dikaitkan dengan kemiskinan telah pula menjadi perhatian dunia, terutama seperti yang telah dinyatakan dalam KTT Pangan Dunia, lima tahun Negara Indonesia memiliki tanggung jawab untuk turut serta secara aktif memberikan kontribusi terhadap usaha menghapuskan kelaparan di dunia. (Edy, 2005). Ketahanan pangan tidak hanya mencakup pengertian ketersediaan pangan yang cukup, tetapi juga kemampuan untuk mengakses (termasuk membeli) pangan dan tidak terjadinya ketergantungan pangan pada pihak manapun. Dalam hal inilah, petani memiliki kedudukan strategis dalam ketahanan pangan: petani adalah produsen pangan dan petani adalah juga sekaligus kelompok konsumen
12
terbesar yang sebagian masih miskin dan membutuhkan daya beli yang cukup untuk membeli pangan. Petani harus memiliki kemampuan untuk memproduksi pangan sekaligus juga harus memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri. (Edy, 2005). Makna yang terkandung dalam pengertian ketahanan pangan tersebut mencakup dimensi fisik pangan (ketersediaan), dimensi ekonomi (daya beli), dimensi pemenuhan kebutuhan gizi individu (dimensi gizi) dan dimensi nilai-nilai budaya dan religi (pola pangan yang sesuai untuk hidup sehat, aktif dan produktif serta halal), dimensi keamanan pangan (kesehatan), dan dimensi waktu (tersedia secara berkesinambungan) (Hardinsyah dan Martianto, 2001). Dengan pengertian tersebut, mewujudkan ketahanan pangan dapat lebih dipahami sebagai berikut: a. Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, diartikan ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak, dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya, yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia. b. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman dari kaidah agama. c. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan pangan yang harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air. d. Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau. Pengembangan ketahanan pangan sampai di tingkat rumah tangga, mempunyai perspektif pembangunan yang sangat mendasar karena (1) akses pangan dan gizi seimbang merupakan hak paling asasi bagi manusia; (2) proses pembentukan sumberdaya manusia yang berkualitas sangat dipengaruhi oleh keberhasilan memenuhi kecukupan pangan; dan (3) ketahanan pangan merupakan unsur strategis dalam pembangunan ekonomi dan ketahanan nasional. Selain itu ketahanan pangan dapat ditinjau dari sistem kelembagaan pangan. Dalam hal ini,
13
terwujudnya ketahanan pangan dihasilkan oleh bekerjanya secara sinergis suatu sistem yang terdiri dari subsistem rumah tangga yang mencakup pengaturan pola konsumsi, pola pengadaan dan pola cadangan; subsistem lingkungan masyarakat mencakup pengaturan produksi, distribusi dan pemasaran; dan subsistem pemerintah mencakup kebijakan, fasilitas dan pengamanan (Suryana, 2003). Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi seperti terlihat pada Gambar 1.1.
Gambar 1.1. Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi (World Foot Programme, 2009).
1.5.1.1 Sistem Ketahanan Pangan Sistem ketahanan pangan terdiri dari tiga sub sistem utama yaitu: (i) sub sistem ketersediaan pangan; (ii) Sub sistem akses terhadap pangan, dan (iii) 14
Sub sistem pemanfaatan (penyerapan) pangan, sedangkan status gizi merupakan outcome dari ketahanan pangan. Ketersediaan, akses, dan penyerapan pangan merupakan sub sistem yang harus dipenuhi secara utuh. Salah satu subsistem tersebut tidak dipenuhi maka suatu negara belum dapat dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang baik. Walaupun pangan tersedia cukup di tingkat nasional dan regional, tetapi jika akses individu untuk memenuhi kebutuhan pangannya tidak merata, maka ketahanan pangan masih dikatakan rapuh. Sistem Ketahanan Pangan seperti ditunjukkan pada Gambar 1.2. berikut.
Ketersediaan Pangan (Food Availiability)
Akses Pangan (Food Access)
Stabilitas (Stability)
Penyerapan Pangan (Food Utilization)
Status Gizi (Nutritional Status)
Gambar 1.2 Sistem Ketahanan Pangan (USAID, 1999; Weingartner, 2004 dalam Nuhfil, 2008)
1.5.1.2
Sub Sistem Ketersediaan Pangan (Food Availability) Sub sistem ketersediaan pangan (food availability) adalah ketersediaan
pangan dalam jumlah yang cukup aman dan bergizi untuk semua orang dalam
15
suatu negara baik yang berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ini harus mampu mencukupi pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan sehat, aktif dan produktif. Sub Sistem Ketersediaan Ketahanan Pangan seperti ditunjukkan pada Gambar 1.3 berikut.
Produksi
Pasokan pangan dari luar Ketersediaan Pangan per Kapita Cadangan pangan
Luas panen Produktivitas Diversifikasi produk
Bantuan pangan
Sarana dan prasarana pemasaran Irigasi, teknologi, kredit, sarana produksi
Jumlah penduduk
Iklim, hama, penyakit, bencana alam dan lain-lain
Gambar 1.3 Sub Sistem Ketersediaan Ketahanan Pangan (Patrick Webb and Beatrice dalam Nuhfil, 2008). 1.5.1.3 Sub Sistem Akses terhadap Pangan (Food Access) Sub sistem akses terhadap pangan (food access), yaitu kemampuan semua rumah tangga dan individu dengan sumberdaya yang dimilikinya untuk memperoleh pangan yang cukup untuk kebutuhan gizinya yang dapat diperoleh dari produksi pangannya sendiri, pembelian ataupun melalui bantuan pangan. Akses rumah tangga dan individu terdiri dari akses ekonomi, fisik dan sosial. Akses ekonomi tergantung pada pendapatan, kesempatan kerja dan harga. Akses
16
fisik menyangkut tingkat isolasi daerah (sarana dan prasarana distribusi), sedangkan akses sosial menyangkut tentang preferensi pangan. Sub Sistem Akses Terhadap Pangan seperti ditunjukkan pada Gambar 1.4 berikut.
Pendapatan
Akses Ekonomi
Kesempatan kerja
Harga pangan AKSES PANGAN
Sarana dan prasarana perhubungan Akses Fisik (Isolasi daerah) Infrastruktur pedesaan
Akses Sosial
Preferensi terhadap jenis pangan dan pendidikan
Tidak adanya konflik, perang, bencana dan lain-lain
Gambar 1.4 Sub Sistem Akses Terhadap Pangan (Patrick Webb and Beatrice dalam Nuhfil, 2008).
1.5.1.4 Sub Sistem Pemanfaatan/Penyerapan Pangan (Food Utilization) Sub sistem pemanfatan/ penyerapan pangan (food utilization), adalah penggunaan pangan untuk kebutuhan hidup sehat yang meliputi kebutuhan kalori, gizi, air dan kesehatan lingkungan. Efektifitas dari penyerapan pangan tergantung pada pengetahuan rumahtangga/individu, sanitasi dan ketersediaan air, fasilitas
17
dan layanan kesehatan, serta penyuluhan gizi dan pemeliharaan balita. Sub sistem Pemanfaatan/penyerapan Pangan seperti terlihat pada Gambar 2.5 berikut. Konsumsi 1. Kecukupan Energi 2. Kecukupan Gizi 3. Diversifikasi Pangan 4. Kemanan Pangan
Fasilitas dan Layanan Kesehatan 1. Fasilitas Kesehatan 2. Layanan Kesehatan
Sanitasi dan Ketersediaan Air:
PEMANFAATAN PANGAN
1. Kecukupan air 2. Sanitasi
Pengetahuan Ibu Rumah Tangga: 1. Pola makan 2. Pola asuhan Kesehatan
Outcome Nutrisi dan Kesehatan: 1. Harapan hidup 2. Gizi balita 3. Kematian bayi
Gambar 1.5 Sub sistem Pemanfaatan/penyerapan Pangan (Patrick Webb and Beatrice dalam Nuhfil, 2008). Sistem ketahanan pangan di Indonesia secara komprehensif meliputi empat sub-sistem, yaitu: (i) ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk seluruh penduduk, (ii) distribusi pangan yang lancar dan merata, (iii) konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi seimbang, yang berdampak pada (iv) status gizi masyarakat . Dengan demikian, sistem ketahanan pangan dan gizi tidak hanya menyangkut soal produksi, distribusi, dan penyediaan pangan ditingkat makro (nasional dan regional), tetapi juga menyangkut aspek mikro, yaitu akses pangan di tingkat rumah tangga dan individu serta status gizi anggota rumah tangga, terutama anak dan ibu hamil dari rumah tangga miskin. Meskipun secara konseptual pengertian ketahanan pangan meliputi aspek mikro, namun dalam pelaksanaan sehari-hari masih sering ditekankan pada aspek makro
18
yaitu ketersediaan pangan. Sistem Ketahanan Pangan di Indonesia seperti ditunjukkan pada Gambar 1.6 berikut. INPUT: Kebijakan dan Kinerja Sektor Ekonomi, Sosial dan Politik :
Ekonomi - Pertanian - Perikanan dan Kehutanan
Prasarana/Sarana - Lahan/pertanahan - Sumberdaya air/irigasi - Perhubungan/tran sportasi - Permodalan
Kersa: - Kependudukan - Pendidikan - Kesehatan
Stabilitas dan Gambar Keamanan Nasional
Nasional, Provinsi Kabupate n Keteredia an
Distribusi
Konsusmi
Rumah Tangga
Pendapa tan dan Akses Pangan
Pengelol aan konsums i pola asuh keluarg Sanit a asi dan kese hatan
OUTPUT:
Individu
Kons umsi sesua i kebut uhan Gizi
S t a t u s
Pema nfaat an oleh tubuh
G I
Pemenuhan Hak Atas Pangan
z
i
1.6 Sistem Ketahanan Pangan di Indonesia
Sumber Daya Manusia (Nuhfil,Berkualitas 2008)
Konsep ketahanan pangan yang sempit meninjau sistem ketahanan Ketahanan pangan Nasional
dari aspek masukan yaitu produksi dan penyediaan pangan. Seperti banyak diketahui, baik secara nasional maupun global, ketersediaan pangan yang melimpah melebihi kebutuhan pangan penduduk tidak menjamin bahwa seluruh penduduk terbebas dari kelaparan dan gizi kurang. Konsep ketahanan pangan yang luas bertolak pada tujuan akhir dari ketahanan pangan yaitu tingkat kesejahteraan manusia. Oleh karena itu, sasaran pertama Millenium Development Goals (MGDs) bukanlah tercapainya produksi atau penyediaan pangan, tetapi menurunkan kemiskinan dan kelaparan sebagai 28 indikator kesejahteraan masyarakat. MDGs menggunakan pendekatan dampak bukan masukan. United Nation Development Programme (UNDP) sebagai lembaga PBB yang berkompeten memantau pelaksanaan MDGs telah menetapkan dua ukuran kelaparan, yaitu jumlah konsumsi kalori rata-rata anggota rumah tangga di bawah kebutuhan hidup sehat dan proporsi anak balita yang menderita gizi kurang.
19
Dalam pendekatan dampak tersebut MDGs memandang bahwa kelaparan adalah bentuk terburuk dari kemiskinan. Kelaparan menyebabkan masyarakat tidak sehat, tidak aktif dan tidak produktif sehingga masyarakat miskin akan menjadi semakin miskin. 1.5.1.5
Indikator Ketahanan Pangan Wilayah Konsep ketahanan pangan menyangkut aspek yang sangat luas sehingga
indikator/variabel, cara dan data yang digunakan untuk mengukur ketahanan pangan juga sangat beragam. Soekirman (2000), mengemukakan bahwa untuk mengukur ketahanan pangan di Indonesia tidak hanya pada tingkat agregatif nasional dan regional tetapi juga dapat diukur pada tingkat rumah tangga. Selanjutnya Sawit (1997), menyatakan bahwa penentu utama ketahanan pangan di tingkat nasional dan wilayah dilihat dari tingkat produksi, permintaan, persediaan dan perdagangan pangan. Sementara itu penentu utama di tingkat rumah tangga adalah ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan risiko yang terkait dengan akses serta ketersediaan pangan. Suryana (2004) mengukur ketahanan pangan wilayah dilihat dari kemampuan wilayah untuk memproduksi empat jenis pangan (padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar) dan digunakan peubah jumlah penduduk, curah hujan serta Pendapatan Domestik Regional Bruto. Sementara itu pengukuran ketahanan pangan rumah tangga juga dilakukan dengan menggunakan model regresi linear berganda dengan peubah tidak bebas adalah tingkat konsumsi energi dan tingkat konsumsi protein. Ketersediaan beras dan akses penduduk terhadap beras merupakan pilarpilar yang menentukan kondisi ketahanan pangan wilayah. Saliem dkk (2002), mengemukakan ketahanan pangan pada tingkat wilayah dapat bersumber dari kemampuan produksi pangan pokok (padi), kemampuan ekonomi untuk menyediakan pangan dan kondisi sosial masyarakat yang membedakan tingkat kesulitan dan hambatan untuk akses pangan. Kemampuan memproduksi sangat tergantung pada kondisi wilayah alam setempat seperti topografi, iklim, curah hujan dan kesuburan tanah. Kemampuan ekonomi rumah tangga dalam mengakses kebutuhan pangan yang masih kurang ditandai dengan besarnya
20
proporsi kelompok masyarakat yang mempunyai daya beli rendah. Kondisi ketahanan pangan juga sangat berkaitan dengan karakteristik sosial seperti jumlah anggota rumah tangga, tingkat pendidikan, jumlah pengangguran dan lain sebagainya. Tim peneliti dari Fakultas Pertanian IPB, mengukur ketahanan pangan wilayah menggunakan data produksi pangan sumber karbohidrat (padi, jagung, ubikayu dan ubijalar) suatu wilayah sebagai proksi ketersediaan pangan dan data kebutuhan konsumsi pangan setara energi dari tahun 1980 – 1989. Sedangkan pengukuran pada tingkat rumah tangga berdasarkan pada ketersediaan pangan dan aksesibilitas masyarakat terhadap pangan. Cara lain untuk mengukurnya adalah melalui perbandingan antara jumlah energi dan protein yang dikonsumsi oleh semua anggota rumah tangga dengan tingkat kecukupan energi dan protein yang dibutuhkan oleh anggota rumah tangga tersebut (Rachman dan Ariani, 2002). Menurut Hardono (2003), kondisi ketahanan pangan wilayah dapat dicerminkan oleh beberapa indikator antara lain : (1) tingkat kerusakan tanaman, ternak dan perikanan; (2) penurunan produksi pangan; (3) tingkat ketersediaan pangan di rumah tangga; (4) proporsi pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total; (5) fluktuasi harga-harga pangan utama yang umum dikonsumsi rumah tangga; (6) perubahan kehidupan sosial (misalnya migrasi, menjual harta milik, penjaminan); (7) keadaan konsumsi pangan (kebiasaan makan, kuantitas dan kualitas); dan (8) status gizi. Berdasarkan dengan indikator (7) dan (8) diatas, ketahanan pangan rumah tangga dapat dilihat dari konsumsi pangan rumah tangga dan keadaan gizi masyarakat. Sementara itu penentu utama di tingkat rumah tangga adalah akses terhadap pangan, ketersediaan pangan dan resiko yang terkait dengan akses serta ketersediaan pangan tersebut. Soetrisno (1998) mengungkapkan bahwa mengacu pada pengertian ketahanan pangan sesuai dengan Undang-undang Pangan No. 7 Tahun 1996, maka indikator yang dapat digunakan adalah angka indeks ketahanan pangan rumah tangga, angka rasio antara stok dengan konsumsi pada berbagai tingkatan wilayah, skor pola pangan harapan untuk tingkat ketersediaan dan konsumsi, kondisi keamanan pangan, keadaan kelembagaan cadangan pangan masyarakat
21
dan tingkat cadangan pangan pemerintah dibandingkan perkiraan kebutuhan. Berkaitan dengan stok pangan, salah satu indikator penting dalam ketahanan pangan baik di tingkat nasional maupun rumah tangga adalah kemampuan untuk melakukan stok pangan. Rachman dan Ariani (2002), menyatakan ketahanan pangan di tingkat wilayah mencakup dua aspek penting yaitu : (1) ketersediaan pangan seimbang dengan jumlah yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan penduduk, dan (2) akses penduduk terhadap pangan merata dan tersebar luas pada tingkat harga yang terjangkau oleh masyarakat. Kemudian pada tingkat rumah tangga, ketahanan pangan meliputi kemampuan rumah tangga tersebut untuk mengamankan pangan serta kecukupan gizi anggota rumah tangga. Suatu rumah tangga dianggap memiliki ketahanan pangan baik jika, rumah tangga tersebut mempunyai ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup dan stabil tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun, dengan mutu yang layak dan aman dikonsumsi atau mempunyai kemampuan ekonomi untuk membeli kebutuhan pangannya yang berkualitas dan aman dalam jangka waktu tertentu. Dengan kata lain kunci dari karakteristik ketahanan pangan dalam suatu rumah tangga adalah terjaminnya akses pemenuhan kebutuhan pangan sepanjang waktu. Ketahanan pangan rumah tangga selalu terkait dengan tiga aspek, yaitu : (1) kecukupan pangan dalam arti dapat memenuhi kalori yang dibutuhkan untuk hidup yang sehat, (2) akses terhadap pangan sepanjang waktu, dan (3) keamanan yang mengandung arti aman untuk pemenuhan kebutuhan makanan yang cukup sepanjang waktu (PPK-LIPI, 2004). Menurut Adjid (1994), ketahanan pangan sangat terkait dengan swasembada pangan yang dinamik, karena mencakup dua aspek penting, yaitu : (1) ketersediaan pangan seimbang dengan jumlah yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan penduduk, pakan dan bahan industri, dan (2) akses penduduk terhadap pangan merata dan tersebar luas pada tingkat harga yang terjangkau oleh masyarakat. Tersedianya pangan, lapangan pekerjaan, pendapatan dan infrastruktur merupakan determinan utama yang menentukan apakah suatu rumah tangga memiliki ketahanan pangan, artinya dapat memenuhi kebutuhan
22
gizi bagi setiap keluarganya atau tidak. Cukup tidaknya persediaan pangan di pasar sangat berpengaruh pada harga pangan. Bagi keluarga yang tidak bekerja dan tidak berpenghasilan ataupun berpenghasilan tidak cukup, kenaikan harga pangan terutama beras dapat mengancam kebutuhan gizinya, berarti ketahanan pangan keluarganya juga terancam. Sebaliknya dapat pula terjadi, persediaan cukup, harga stabil tapi banyak penduduk tidak memiliki pekerjaan sehingga tidak mempunyai sumber pendapatan, berarti tidak mempunyai daya beli, juga menyebabkan ketersediaan pangan tidak efektif. Hal lain adalah terbatasnya aksesibilitas terhadap pangan karena infrastruktur yang tidak memadai, seperti jaringan transportasi yang menghambat bergeraknya pangan dari pusat-pusat ekonomi ke daerah-daerah yang jauh. 1.5.2
Peta Ketahanan dan kerentanan Pangan (Food Security and Vulnerability Atlas atau FSVA) Peta ketahanan dan kerentanan pangan merupakan suatu instrument untuk
memotret situasi pangan di suatu wilayah. Peta ketahanan dan kerentanan pangan disusun berdasarkan beberapa indikator yang sudah ditetapkan oleh World Food programme. Indikator-indikator tersebut dikelompokan kedalam 3 (dimensi) (i) ketersediaan pangan (food availability), (ii) akses pangan dan matapencaharian (food and livelihoods acsess), (iii) kerawanan pangan sementara (transient food insecurity). Tujuan pembuatan peta ketahanan dan kerentanan pangan (FSVA) adalah: (i) menyoroti kondisi ketahanan dan kerentanan terhadap pangan pangan tingkat kabupaten di Indonesia berdasarkan indikator terpilih, (ii) mengidentifikasi penyebab kondisi ketahanan dan kerentanan pangan di kabupaten, dan (iii) menyediakan petunjuk dalam mengembangkan strategi mitigasi yang tepat untuk kerentanan pangan kronis. Kegiatan pemetaan dalam ketahanan dan kerentanan pangan (FSVA) menggunakan 13 (tiga belas) indikator, terbagi ke dalam dua klasifikasi, yaitu indikator kronis dan transien. Pemetaan di tingkat nasional hanya menggunakan 10 indikator yang meliputi aspek ketersediaan, aspek akses pangan dan mata pencaharian dan aspek pemanfaatan pangan. Sedangkan untuk tingkat provinsi
23
menggunakan ke 13 indikator tersebut dimana terdiri dari 9 indikator untuk pemetaan pada wilayah ketahanan dan kerentanan pangan kronis dan 4 indikator (aspek kerentanan) untuk pemetaan rawan pangan transien. Peta ketahanan dan kerentanan pangan komposit dibuat dengan menghitung indeks komposit ketahanan dan kerentanan pangan dengan cara menggabung seluruh indikator dan memberikan bobot pada indikator dengan menggunakan metode Principal Component Analysis. Peta komposit menunjukkan kondisi ketahanan dan kerentanan pangan berdasarkan gabungan berbagai dimensi ketahanan dan kerentanan pangan. Penyebab-penyebab kondisi ketahanan dan kerentanan pangan di daerah dapat diketahui dengan mempelajari kondisi per indikator.
1.5.2.1 Dimensi Ketersediaan Pangan Aspek ini melihat kemampuan suatu daerah untuk menghasilkan pangannya sendiri. Potensi sumberdaya yang dimiliki setiap daerah berbeda-beda. Ada yang menjadi sentra tanaman pangan sementara daerah yang lain menjadi sentra tanaman hortikultura, perkebunan dan lain-lain. Perbedaan potensi produksi pertanian ini tentunya sangat terkait dengan kondisi iklim dan cuaca serta kondisi tanah yang sangat spesifik pada masing-masing daerah. Aspek ketersediaan pangan diukur dari rasio antara konsumsi pangan normatif dengan ketersediaan pangan yang dihasilkan suatu daerah. Konsumsi pangan normatif di peroleh dengan mengasumsikan konsumsi per kapita per hari adalah 1.100 kalori per orang per hari. Rasio antara konsumsi pangan normatif dengan ketersediaan ini sekaligus merupakan ukuran yang menunjukkan proporsi dari ketersediaan yang digunakan untuk konsumsi.
1.5.2.2 Dimensi Akses Pangan dan Mata Pencaharian Suatu kegiatan ekonomi yang tinggi cenderung akan diikuti oleh peluang kerja yang tinggi pula, ini berarti pula bahwa kesempatan kerja dan peluang untuk
24
mendapatkan pendapatan yang lebih baik. Dengan pendapatan yang lebih baik maka akan terdapat daya beli yang lebih baik. Akses pangan ditunjukan dengan kelompok masyarakat yang masih mengalami kesulitan dalam meperoleh makanan atau kelompok masyarakat dengan daya beli rendah. Dimensi akses pangan dan mata perncaharian ini sangat erat dengan kemiskinan dan kemiskinan merupakan indikator kunci dalam penentuan kondisi ketahanan pangan. Jenis pekerjaan atau mata pencaharian berdampak pada tingkat pendapatan masyarakat. Selanjutnya tingkat pendapatan akan memepengaruhi kemampuan masyarakat untuk mencukupi kebutuhan dasar termasuk kebutuhan memperoleh pangan. 1.5.2.3 Dimensi Pemanfaatan atau Penyerapan Pangan Pemanfaatan atau penyerapan pangan sebenarnya adalah indikator dampak dari ketersediaan maupun akses pangan. Akses pangan dan ketersediaan yang baik akan memberikan peluang bagi penyerapan pangan secara lebih baik. Dalam menyusun indikator ini maka asepk-aspek yang menjadi pertimbangan adalah berkenaan dengan: (i) falilitas dan layanan kesehatan; (ii) sanitasi dan ketersediaan air; (iii) pengetahuan ibu RT; dan (iv) outcome nutrisi dan kesehatan. Aspek-aspek di atas sangat strategis dalam memberikan gambaran pemanfaatan pangan suatu wilayah. Pemanfaatan pangan secara implisit adalah merupakan permasalahan asupan gizi di masyarakat. Buta Huruf dijadikan indikator penting karena dengan kondisi seperti tersebut maka sangat lemah sekali menangkap informasi untuk meningkatkan kualitas gizi keluarga. Demikian juga berkenaan dengan kemudahan dalam mengakses fasilitas kesehatan. Akses fasilitas kesehatan dilihat dari keberadaan dan jarak fasilitas kesehatan dari masing-masing wilayah. Air bersih adalah indikator ketiga yang menggambarkan tingkat pemanfaatan pangannya. Variabel ini dipilih karena air merupakan bahan baku yang sangat vital bagi ibu-ibu rumah tangga dalam memasak. Tingginya akses air bersih tentunya menunjukkan tingkat kualitas hidup yang lebih baik dan lebih sehat, hal ini tentunya akan berimplikasi pada makin tingginya harapan hidup rata-rata penduduk. 25
1.5.3
Padi dan Beras Padi merupakan jenis tumbuhan dengan nama yang berubah-ubah pada
setiap tahap prosenya. Kandungan banyak air terdapat pada tumbuhan yang hidup di tanah dan mempunyai bentuk daun yang memanjang tersebut. Nama padi digunakan ketika tumbuhan ini masih dalam proses tanam hingga mulai tumbuh bulir-bulir biji pada tumbuhan ini kemudian ketika proses bulir-bulir mulai terlepas dari tangkainya nama yang dipakai bukan lagi padi melainkan gabah. Selanjutnya dinamakan beras ketika kulit ari dipisahkan dari bijinya.. Asia dan Afrika barat merupakan dua benua yang menjadi cikal bakal komoditas padi. Sekitar 300 (tiga ratus) tahun sebelum masehi di Zhejiang (Cina) tanaman padi mulai dikembangkan dalam bercocok tanam pada penggarapan lahan pertanian dan di Hastinapur Uttar Padesh (India) ditemukan ditemukan fosil dari butir-butir beras yang diperkirakan sebagai persediaan bahan makanan manusia pada 100 (seratus) sebelum masehi. Hal ini membuktikan bahwa padi merupakan bahan makanan yang telah dikonsumsi sejak masa lampau sebagai bahan makanan penghasil kalori atau energi. Selain di Cina dan India hal serupa juga ditemukan di Banglades Utara, Burma, Thailand, Laos dan Vietnam. 1.5.3.1 Ciri Umum Padi Padi termasuk dalam suku padi-padian atau Poaceae (sinonim Graminae atau lumiflorae). Sejumlah ciri suku (familia) ini juga menjadi ciri padi, misalnya berakar serabut, daun berbentuk lanset (sempit memanjang), urat daun sejajar, memiliki pelepah daun, bunga tersusun sebagai bunga majemuk dengan satuan bunga berupa loret, floret tersusun dalam spikelet, khusus untuk padi satu spikelet hanya memiliki satu floret, buah dan biji sulit dibedakan karena merupakan bulir (grain) atau kariopsis. Padi tersebar luas di seluruh dunia dan tumbuh di hampir semua bagian dunia yang memiliki cukup air dan suhu udara cukup hangat. Padi menyukai tanah yang lembab dan becek. Sejumlah ahli menduga, padi merupakan hasil evolusi dari tanaman moyang yang hidup di rawa. Pendapat ini berdasar pada adanya tipe padi yang hidup di rawa-rawa (dapat ditemukan di sejumlah tempat di Pulau Kalimantan), kebutuhan padi yang tinggi akan air pada sebagian tahap 26
kehidupannya, dan adanya pembuluh khusus di bagian akar padi yang berfungsi mengalirkan oksigen ke bagian akar. Setiap bunga padi memiliki enam kepala sari (anther) dan kepala putik (stigma) bercabang dua berbentuk sikat botol. Kedua organ seksual ini umumnya siap reproduksi dalam waktu yang bersamaan. Kepala sari kadang-kadang keluar dari palea dan lemma jika telah masak. Dari segi reproduksi, padi merupakan tanaman berpenyerbukan sendiri, karena 95% atau lebih serbuk sari membuahi sel telur tanaman yang sama. Setelah pembuahan terjadi, zigot dan inti polar yang telah dibuahi segera membelah diri. Zigot berkembang membentuk embrio dan inti polar menjadi endospermia. Pada akhir perkembangan, sebagian besar bulir padi mengadung pati di bagian endospermia. Bagi tanaman muda, pati berfungsi sebagai cadangan makanan. Bagi manusia, pati dimanfaatkan sebagai sumber gizi. Satu set genom padi terdiri dari 12 kromosom. Karena padi adalah tanaman diploid, maka setiap sel padi memiliki 12 pasang kromosom (kecuali sel seksual). Padi merupakan organisme model dalam kajian genetika tumbuhan karena dua alasan yaitu kepentingannya bagi umat manusia dan ukuran kromosom yang relatif kecil, yaitu 1.6~2.3 × 108 pasangan basa (base pairs atau bp). Sebagai tanaman model, genom padi telah disekuensing, seperti juga genom manusia.
1.5.3.2 Keanekaragaman Padi Terdapat dua spesies padi yang dibudidayakan selama ini yaitu Oryza sativa yang berasal dari daerah hulu sungai di kaki Pegunungan Himalaya (India dan Tibet/Tiongkok) dan Oryza glaberrima yang berasal dari Afrika Barat (hulu Sungai Niger). Oryza Sativa terdiri dari dua varietas, indica dan japonica (sinonim sinica). Varietas japonica umumnya berumur panjang, postur tinggi namun mudah rebah, palea-nya memiliki “bulu” (awn), bijinya cenderung panjang. Varietas indica, sebaliknya, berumur lebih pendek, postur lebih kecil, palea-nya tidak ber-”bulu” atau hanya pendek saja, dan biji cenderung oval. Walaupun kedua varietas dapat saling membuahi, persentase keberhasilannya tidak tinggi. Contoh terkenal dari hasil persilangan ini adalah kultivar IR8, yang merupakan
hasil
seleksi
dari
persilangan
27
varietas
japonica
(kultivar
„Deegeowoogen‟ dari Formosa dan varietas indica (kultivar „Peta‟ dari Indonesia). Selain kedua varietas ini, dikenal pula sekelompok padi yang tergolong varietas minor javanica yang memiliki sifat antara dari kedua varietas utama di atas. Varietas javanica hanya ditemukan di Pulau Jawa. Budidaya padi yang telah berlangsung lama telah menghasilkan berbagai macam jenis padi akibat seleksi dan pemuliaan yang dilakukan. 1. Padi pera adalah padi dengan kadar amilosa pada pati lebih dari 20% pada berasnya. Butiran nasinya jika ditanak tidak saling melekat. Lawan dari padi pera adalah padi pulen. Sebagian besar orang Indonesia menyukai nasi jenis ini dan berbagai jenis beras yang dijual di pasar Indonesia tergolong padi pulen. Penggolongan ini terutama dilihat dari konsistensi nasinya. 2. Ketan (sticky rice), baik yang putih maupun merah/hitam, sudah dikenal sejak dulu. Padi ketan memiliki kadar amilosa di bawah 1% pada pati berasnya. Patinya didominasi oleh amilopektin, sehingga jika ditanak sangat lekat. 3. Padi wangi atau harum (aromatic rice) dikembangkan orang di beberapa tempat di Asia, yang terkenal adalah ras „Cianjur Pandanwangi‟ (sekarang telah menjadi kultivar unggul) dan „rajalele‟. Kedua kultivar ini adalah varietas javanica yang berumur panjang. 4. Padi Gogo, Di beberapa daerah tadah hujan orang mengembangkan padi gogo, suatu tipe padi lahan kering yang relatif toleran tanpa penggenangan seperti di sawah. 5. Padi rawa atau padi pasang surut dikembangkan oleh masyarakat yang tinggal di rawa-rawa Kalimantan. Padi rawa mampu membentuk batang yang panjang sehingga dapat mengikuti ayunan kedalaman air. 1.5.3.3 Pengolahan Gabah Menjadi Beras Setelah padi dipanen, bulir padi atau gabah dipisahkan dari jerami padi. Pemisahan dilakukan dengan memukulkan seikat padi sehingga gabah terlepas atau dengan bantuan mesin pemisah gabah. Gabah yang terlepas lalu dikumpulkan dan dijemur. Pada zaman dulu, gabah tidak dipisahkan lebih dulu dari jerami, dan 28
dijemur bersama dengan merangnya. Penjemuran biasanya memakan waktu tiga sampai tujuh hari, tergantung kecerahan penyinaran matahari. Penggunaan mesin pengering jarang dilakukan. Istilah “Gabah Kering Giling” (GKG) mengacu pada gabah yang telah dikeringkan dan siap untuk digiling (plantus, 2008). Gabah yang telah kering disimpan atau langsung ditumbuk/digiling, sehingga bulir beras terpisah dari sekam (kulit gabah). Beras merupakan bentuk olahan yang dijual pada tingkat konsumen. Hasil sampingan yang diperoleh dari pemisahan ini adalah: 1. Sekam (atau merang), yang dapat digunakan sebagai bahan bakar 2. Bekatul, yakni serbuk kulit ari beras; digunakan sebagai bahan makanan ternak 3. Dedak, campuran bekatul kasar dengan serpihan sekam yang kecil-kecil; untuk makanan ternak.
1.5.3.4 Kandungan Gizi Dalam Beras Kandungan gizi dalam beras tergantung pada jenis dan pengolahan beras. Beras yang telah diolah menjadi nasi mengalami pertambahan berat sebesar 50%. Di Indonesia beras yang diolah menjadi nasi merupakan sumber kalori dan protein yang selanjutnya mejadi pemasok energi bagi tubuh untuk sehat, aktif dan produktif. Lebih rinci tentang komposisi gizi yang terkandung dalam nasi dapat dilihat pada tabel 1.1. Tabel 1.1 Informasi Gizi Nasi Per 100 gram No.
Informasi Gizi
Per 100 gram
1.
Kalori
129 kkal
2.
Lemak
0,28 g
3.
Protein
2,66 g
4.
Karbohidrat
27,9 g
Sumber: FatSecret.com, 2013
29
1.5.4
Kemiskinan Kemiskinan adalah permasalahan multidimensional. Pendekatan dengan
satu bidang ilmu tertentu tidaklah mencukupi untuk mengurai makna dan fenomena yang menyertainya. Definisi secara umum yang lazim dipakai dalam perhitungan dan kajian-kajian akademik adalah pengertian kemiskinan yang diperkenalkan oleh Bank Dunia yaitu sebagai ketidakmampuan mencapai standar hidup minimum (Word Bank, 1990). Friedman mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuatan sosial. Basis kekuatan sosial tidak terbatas hanya pada (1) modal produktif atau aset (misalnya organisasi sosial politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama, partai politik, sindikasi, koperasi dan lain-lain), tetapi juga pada (2) network atau jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang dan lain-lain; (3) pengetahuan dan ketrampilan
yang memadai; dan (4) informasi yang berguna untuk
memajukan kehidupan mereka. Scott menerangkan bahwa kemiskinan setidaknya memiliki kondisi-kondisi yang pada umumnya dide kati (1) dari segi pendapatan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntungan non material yang diterima oleh seseorang sehingga secara luas kemiskinan meliputi kekurangan atau tidak memiliki pendidikan, keadaan kesehatan yang buruk atau kekurangan transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat; (2) ka dang-kadang didefinisikan dari segi kepemilikan aset yakni tanah, rumah, peralatan, uang, emas, kredit dan lain-lain; (3) kemiskinan non-materi meliputi berbagai macam kebebasan, hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak, hak atas rumah tangga dan kehidupan yang layak. (Usman, 2006). United
Nations
Development
Program
(UNDP)
mendefinisikan
kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk memperluas pilihan-pilihan dalam hidup, antara lain dengan memasukkan penilaian “tidak adanya partisipasi dalam pengambilan keputusan publik”sebagai salah satu indikator kemiskinan. pada penghujung abad 20 muncul pengertian terbaru mengenai kemiskinan yaitu bahwa kemiskinan
juga
mencakup
dimensi
30
kerentanan,
ketidakberdayaan,
dan
ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi (voicelessness). Jadi kemiskinan berwajah majemuk atau bersifat multi dimensi (Cahyat, 2004). Jhingan (2000) mengemukakan tiga ciri utama negara berkembang yang menurutnya menjadi penyebab dan sekaligus akibat, yang saling terkait, dari kemiskinan yang terjadi. Ciri pertama, prasarana dan sarana pendidikan yang tidak memadai sehingga menyebabkan ti ngginya jumlah penduduk buta huruf dan tidak memiliki keterampilan atau keahlian. Ciri kedua, sarana kesehatan dan pola konsumsi buruk sehingga hanya sebagian kecil penduduk yang bisa menjadi tenaga kerja produktif. Akibatnya, laju pertumbuhan ekonomi menjadi terhambat. Apabila kemiskinan dikaitkan dengan ukuran penentuannya seringkali dibedakan dalam dua definisi yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan secara absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperl ukan untuk hidup dan bekerja. Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang. Nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah garis kemiskinan.
Penduduk
yang
pendapatannya
dibawah
garis
kemiskinan
digolongkan sebagai penduduk miskin. Garis kemiskinan absolut (tidak be rubah) dalam hal standar hidup, garis kemiskinan absolut mampu membandingkan kemiskinan secara umum. Sebagai contoh garis kemiskinan Amerika Serikat tidak berubah dari tahun ke tahun, sehingga angka kemiskinan sekarang mungkin terbanding dengan angka kemiskinan satu dekade yang lalu, dengan catatan definisi kemiskinan tidak berubah. Garis kemiskinan absolut sangat penting jika seseorang akan mencoba menilai efek dari kebijakan anti pemiskinan antar waktu, atau memperkirakan dampak dari suatu proyek terhadap kemiskinan (misalnya, pemberian kredit skala kecil). Angka kemiskinan akan terbanding antara satu negara dengan negara yang lain hanya jika garis kemiskinan absolut yang sama digunakan antar negara. Bank dunia mengeluarkan garis kemiskinan absolut agar dapat membandingkan angka kemiskinan antar negara serta digunakan dalam menganalisis kemajuan dalam memerangi kemiskinan. Pada umumnya ada dua
31
ukuran yang digunakan oleh Bank Dunia, yaitu : a) US $ perkapita per hari dimana diperkirakan ada sekitar 1,2 miliar penduduk dunia yang hidup dibawah ukuran tersebut; b) US $ 2 perkapita per hari dimana lebih dari 2 miliar penduduk yang hidup kurang dari batas tersebut. US dollar yang digunakan adalah US $ PPP (Purchasing Power Parity), bukan nilai tukar resmi (exchange rate). Kedua batas ini adalah garis kemiskinan absolut. Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat, sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Standar minimum disusun berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu dan perhatian terfokus pada golongan penduduk “termiskin”, misalnya 20 persen atau 40 persen lapisan
terendah
dari
total
penduduk
yang
telah
diurutkan
menurut
pendapatan/pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relatif miskin. Dengan demikian, ukuran kemiskinan relatif sangat tergantung pada distribusi pendapatan/pengeluaran penduduk sehingga dengan menggunakan definisi ini berarti “orang miskin selalu hadir bersama kita”. Dalam prakteknya, negara kaya mempunyai garis kemiskinan relatif yang lebih tinggi daripada negara miskin seperti pernah dilaporkan oleh Ravallion (1998 : p26). Dalam paper tersebut Ravallion menjelaskan mengapa, misalnya, angka kemiskinan resmi (official figure) pada awal tahun 1990-an mendekati 15 persen di Amerika Serikat dan mendekati 15 persen di Indonesia (negara yang jauh lebih miskin). Artinya, banyak dari mereka yang dikategorikan miskin di Amerika Serikat akan dikatakan sejahtera menurut standar Indonesia. Tatkala negara menjadi lebih kaya (sejahtera), negara tersebut cenderung merevisi garis kemiskinannya menjadi lebih tinggi, dengan kekecualian Amerika Serikat, dimana garis kemiskinan pada dasarnya tidak berubah selama hampir empat dekade. Misalnya Uni Eropa umumnya mendefinisikan penduduk miskin adalah mereka yang mempunyai pendapatan per kapita dibawah 50 persen dari median (rata-rata) pendapatan. Ketika median atau rata-rata pendapatan meningkat, garis kemiskinan relatif juga meningkat. Dalam hal mengidentifikasi dan menentukan sasaran penduduk miskin, maka garis kemiskinan relatif cukup
32
untuk digunakan, dan perlu disesuaikan terhadap tingkat pembangunan negara secara keseluruhan. Garis kemiskinan relatif tidak dapat dipakai untuk membandingkan tingkat kemiskinan antar negara dan waktu karena tidak mencerminkan tingkat kesejahteraan yang sama. Konsep lain yang pernah dikemukakan sebagai wacana adalah kemiskinan struktural dan kemiskinan ”Kemiskinan
Struktural
:
kultural. Soetandyo Wignjosoebroto dalam Masalah
dan
Kebijakan”
(Suyanto,
1995)
mendefinisikan ”Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang ditengarai atau didalihkan bersebab dari standar atau kriteria yang subjektif karena dipengaruhi oleh adat, budaya, daerah, dan kelom pok sosial”. Disamping itu kesulitan penentuan secara kuantitatif dari ma sing-masing komponen kebutuhan dasar karena dipengaruhi sifat yang dimiliki oleh komponen itu sendiri,misalnya selera konsumen terhadap suatu jenis makanan atau komoditi lainnya. Dari segi faktor penyebabnya, kemiskinan dapat dibedakan menjadi kemiskinan kultural, kemiskinan sumber daya ekonomi, dan kemiskinan struktural. Menurut Surbakti, kemiskinan kultural bukanlah bawaan melainkan akibat dari tidak kemampuan menghadapi kemiskinan yang berkepanjangan. Kemiskinan bukanlah sebab melainkan akibat. Sikap-sikap seperti ini diabadikan melalui proses sosialisasi dari generasi ke generasi. Kemiskinan sumber daya ekonomi melihat fenomena kemiskinan dari sisi ketiadaan atau kelangkaan sumber daya ekonomi baik faktor-faktor produksi yang berupa modal, tanah, sumber daya manusia dalam hal ini tingkat dan kualitas pendidikan maupun kondisi
geografis yang terkait dengan tempat tinggal suatu masyarakat.
Kemiskinan struktural merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh faktor struktur ekonomi dan politik yang melingkupi si miskin. Struktur ekonomi dan politik yang kurang berpihak pada sekelompok masyarakat tertentu sehingga menimbulkan hambatan-hambatan dalam akses sumber daya ekonomi, lapangan pekerjaan dan partisipasi dalam pembangunan. Usman (2006) menyatakan bahwa teori yang menarik dan sering dijadikan acuan dalam membahas permasalahan kemiskinan serta sekaligus menunjukkan bahwa permasalahan kemiskinan bersifat mutidimensi adalah teori lingkaran
33
kemiskinan. Salah satu pencetus teori ini, Myrdal, pada tahun 1957 menjelaskan bahwa setiap individu dan masyarakat memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lain dalam menciptakan suatu problem yang muncul di dalam masyarakat. Teori ini kemudian dikembangkan lagi oleh para pengamat permasalahan kemiskinan, diantaranya adalah Jona than Secher. Ia menjelaskan bahwa pendidikan dan ketenagakerjaaan di masyarakat berinteraksi dalam bentuk sebuah lingkaran yang saling terkait satu sama lain. Masyarakat yang tidak memiliki akses untuk berkembang dengan baik akan terdorong untuk bermigrasi ke tempat lain dan meninggalkan usahanya di tempat asal. Akibatnya, terjadi penurunan produktivitas dan penerimaan pajak di daerah tersebut. Penurunan penerimaan pajak akan berdampak pada pengurangan anggaran pembangunan di daerah itu termasuk belanja pembangunan untuk pendidikan. Penurunan kualitas pendidikan dan kualitas tenaga kerja pada akhirnya tidak dapat dihindari. Dengan tenaga kerja berkualitas rendah, industri tidak dapat mengadopsi teknologi yang lebih baik dan tidak mampu mengembangkan usahanya sehingga berakibat pada berkurangnya penyerapan tenaga kerja dan meningkatnya pengangguran.
1.5.5
Pendekatan Keruangan Pendekatan keruangan menurut Hadi Sabari Yunus tidak lain merupakan
suatu metoda analisis yang menekankan analisisnya pada eksistensi ruang (space) sebagai wadah untuk mengakomodasi kegiatan menusia dalam menjelaskan fenomena geosfer. Oleh karena obyek studi geografi berupa geospheric phenomena maka segala sesuatu yang terkait dengan obyek dalam ruang dapat disoroti dari berbagai matra antara lain: 1. Pola (pattern); 2. Struktur (structure); 3. Proses (process); 4. Interaksi (interaction); 5. Oraganisasi dalam system keruangan (organization within the spatial system); 6. Asosiasi (association);
34
7. Tendensi atau kecenderungan (tendency or trends); 8. Pembandingan (comparation) 9. Sinegisme keruangan (spatial synergism); Dari kesembilan matra tersebut dapat dirumuskan minimal terdapat Sembilan tema analisis dalam pendekatan keruangan, yaitu: 1. Spatial pattern analysis; 2. Spatial structure analysis; 3. Spatial process analysis; 4. Spatial inter-action analysis; 5. Spatial association analysis; 6. Spatial organization analysis; 7. Spatial tendency / trends analysis 8. Spatial comparation analysis; 9. Spatial synergism analysis. Menurut Hadi Sabari Yunus tahun 2008, Dalam mengaplikasikan pendekatan keruangan, seoarang peneliti tidak cukup hanya menyebutnya saja namun secara ekplisit dan jelas menyebutkan tema apa yang akan dianut serta penjelasan mengenahi operasional pendekatanya. Aplikasi analisis pendekatan keruangan, minimal meliputi sembilan macam dan apabila ke sembilan macam tema analisis tersebut harus dilaksanakan maka akan menghabiskan waktu yang lama, tenaga yang banyak, biaya yang besar, pengusaan teknik analisis yang mendalam serta kemantapan keilmuan yang memadai. Masing-masing tema analisis mempunyai spesifikasi sendiri yang terkait dengan spesifikasi obyek kajian yang akan dilaksanakan. Salah satu gabungan dari beberapa diantaranya sangat dimungkinkan untuk dilaksanakan tanpa mengurangi kedar keilmuanya. Oleh karena inderawi manusia sangat terbatas kemampuanya untuk mengamati kenampakan geografis di suatu wilayah atau dipermukaan bumi, maka untuk maksud analisis keruangan seorang peneliti memerlukan alat bantu. Di sinilah peranan model visualisasi permukaan bumi diperlukan kehadiranya. Ketersediaan peta, foto udara maupun citra satelit sangat diperlukan dalam analisis. Namun demikian, gambaran yang ditampilkan dalam peta, foto udara
35
ataupun citra satelit ternyata masih sangat rumit dan kompleks sifatnya. Sehingga penliti dituntut untuk mampu mengabtraksikannya kedalam visualisasi yang manageable. Simbol-simbol yang lebih sederhana sangat diperlukan dalam hal ini, sehingga analisis dapat dilaksanakan dengan lebih mudah. Simbol-simbol yang secra jonvesional dan masih dipakai samapi saat ini berujud simbol-simbol titik garis maupun bidang. Visualisasi dari salah satu atau gabungan dari padanya sangat tergantung dari sifat data dan tujuan analisis. Secara rinci Hadi Sabari Yunus menjabarkan definisi dari masing-masing tema analisis dalam pendekatan keruangan. Spatial pattern analysis: penekanan utama dari analisis ini adalah pada “sebaran” elemen-elemen pembentuk ruang. Taraf awal adalah identifikasi mengenai aglomerasi sebaran dan kemudian dikaitkan dengan upaya untuk menjawab geographic questions. Seperti telah diketahui bahwa geographic questions yang dimaksud adalah pertanyaan What, Where, When, Why, Who dan How atau terkenal dengan 5 W dan 1 H. Spatial structure Analysis menekankan pada analisis susunan elemen-elemen pembentuk ruang. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa struktur elemen-elemen keruangan dapat dikemukakan dari berbagai fenomena baik fenomena fisikal maupun non fisikal. Spatial process Analisis menekankan pada proses keruangan yang biasanya divisualisasikan pada perubahan ruang. Perubahan elemen-elemen pembentuk ruang dapat dikemukakan secara kualitatif maupun kuantitatif. Setiap analisis perubahan keruangan tidak dapat dilaksanakan tanpa mengmukakan dimensi kewaktuannya, maka dimensi temporal mempunyai peranan utama dalam hal ini. Minimal dua titik untuk mengenali perubahan. Selanjutnya, Spatial interaction Analysis menekankan pada interaksi antar ruang. Hubungan timbal balik antar ruang yang satu dengan yang lain mempunyai variasi yang sangat besar, sehingga upaya mengnali factor-faktor pengontrol interaksi menjadi sedemikian penting.tahap selanjutnya dalah menjawab pertanyaan mengapa terjadi interaksi dan bagaimana interaksi terjadi. Spatial organization Analysis bertujuan untuk mengetahui elemen-elemen lingkungan mana yang berpengaruh terhadap terciptanya tatanan spesifik dari elemen-elemen pembentuk ruang. Penekanan utama pada keterkaitan antara penampakan yang
36
satu dengan yang lain secra individual. Spatial Association Analysis bertujuan untuk mengungkapkan terjadinya asosiasi keruangan atara berbagai penampakan pada suatu ruang. Apakah ada keterkaitan fungsional atas sebaran keruangan atau gejala tertentu dengan sebaran keruangan gejala yang lain adalah pertanyaan yang dipecahkan dengan model analisis ini. Spatial Tendency/trend analysis adalah suatu analisis yang menekankan pada upaya mengetahui kecenderungan perubahan suatu gejala. Hal ini dapat dilakukan berdasar pada space based analysis, time based analysis maupun gabungan anatara space based dan time based analysis. Spatial Coparation Analysis merupakan suatu analisis yang bertujuan untuk mengetahui kelemahan dan keunggulan suatu ruang dibandingkan dengan ruang yang lain. Hal ini sangat penting dilakukan dalam studi banding yang mendalam mengenai suatu wilayah dalam rangka mempelajari kelebihan-kelebiahan wilayah lain untuk digunakan sebagai dasar penetuan kebijakan pengembangan wilayah, sehingga wilayahnya dapat mengalami kemajuan yang besar. Spatial Synergism Analisis merupakan perkembangan baru yang saat ini menjadi sorotan ilmu pengetahuan, karena sangat terkait dengan erat dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, khusus dibidang transportasi dan komunikasi. Makin majunya system transportasi dan komunikasi telah memungkinkan terjadinya mobilitas barang, jasa, informasi dan manusia semakin tinggi, sehingga dinamika keruangan juga semakin tinggi. Spatial synergism hanya akan berfungsi efisien dan efektif apabila disertai dengan konsep fungtional synergism (Hadi Sabari Yunus, 2008).
1.6 Kerangka Pemikiran Ketahanan dan kerentanan pangan merupakan hasil dari bentuk interaksi antara manusia dengan lingkungan tempat hidupnya atau disebut dengan fenomena geosfer. Bentuk interaksi tersebut berupa kegiatan manusia mengolah lahan sebagai sumberdaya untuk memproduksi bahan makanan sehingga kodisi geografis lahan menetukan kemapuan lahan untuk mempruduksi bahan makanan khususnya beras. Selanjutnya, hal tersebut akan menjadi penentu ketersediaan beras untuk mencukupi kebutuhan kalori penduduk.
37
Upaya
penduduk
untuk
bertahan
hidup
dan
berkembang
biak
berdampingan dengan kebutuhan-kebutuhan dasar termasuk kebutuhan pangan. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut penduduk melakukan aktifitasaktifitas perekonomian. Aktivitas perekonomian penduduk sangat beragam sehingga hasil dari aktivitas tersebut juga akan beragam pula. Bentuk-bentuk dari aktifitas penduduk dicerminkan oleh jenis pekerjaan dan status pekerjaan yang dipilih oleh penduduk. Secara umum pemilihan terhadap jenis-jenis pekerjaan dan status pekerjaan dilatarbelakangi oleh kualitas sumberdaya manusia yang di tunjukan oleh tingkat pendidikannya. Selanjutnya, dari kesuluruhan aktifitas penduduk akan menentukan kemampuan penduduk dalam mengakses bahan makanan berupa beras. Gabungan antara aspek ketersediaan beras ditambah dengan kemampuan megakses pangan oleh penduduk merupakan aspek-aspek penentu kodisi ketahahan pangan
suatu wilayah. Dalam penelitian ini wilayah yang dipilih
adalah kabupaten Gunungkidul. Penentuan kondisi ketahahan dan kerentanan pangan yang berdasar pada dimensi-dimensi tersebut dikenal dengan peta ketahahan dan kerentanan pangan atau FSVA. Peta ketahahan pangan merupakan terobosan yang mengacu pada bentuk visual penyajian kondisi ketahahan dan kerentanan pangan berupa sebuah peta. Dalam penyajian petanya digunakan pola warna yang seragam dengan teknik gradasi warna untuk menjelaskan kategori prioritas penanganan daerah yang beresiko menjadi rawan pangan. Dalam penelitian ini adalah kecamatankecamatan di kabupaten Gunungkidul. Pada dasarnya peta ketahahan dan kerentanan pangan adalah sebuah metode dan alat. Untuk kepentingan analisis yang lebih mendalam terhadap distribusi ketahanan pangan antar kecamatan diperlukan pendekatan keruangan (spatial approach) dengan menggunakan tema analisis yaitu tema pola keruangan (Spatial Pattern Analysis) Dengan pendekatan dan tema analisis tersebut fenomena distribusi ketahahan dan kerentanan pangan kondisi ketahahan dan kerentanan pangan antar kecamatan di kabupaten Gunungkidul dapat diketahui dengan lebih jelas.
38
Penduduk
Wilayah
Kondisi sosial ekonomi
Ketenagakerjaan
Produksi beras Ketersediaan beras
Penduduk tidak bekerja
Status sebagai buruh tidak tetap
Tingkat pendidikan
Rumah tangga miskin
Akses pangan
Ketahanan pangan
Pendekatan keruangan
Analisis pola keruangan
Peta ketahanan pangan pangan
Pola keruangan ketahanan pangan
Gambar 1.7 Kerangka pemikiran penelitian ketersediaan beras dan akses pangan dalam kajian ketahanan pangan di Kabupaten Gunungkidul tahun 2013.
39
1.7 Batasan Operasional -
Ketahanan Pangan Ketahananan pangan merupakan kondisi tersedianya jumlah kalori dari makanan pokok (beras) yang cukup untuk memenuhi kebutuhan kalori harian individu dan rumah tangga dengan diimbangi kemampuan mengaksesnya untuk hidup sehat, aktif dan produktif.
-
Akses Pangan Kemampuan semua rumah tangga dan individu dengan sumberdaya yang dimilikinya untuk memperoleh pangan yang cukup untuk kebutuhan kalori harian untuk hidup sehat, aktif dan produktif.
-
Beras Daging buah dari tanaman padi (Oriza Sativa).
-
Ketersediaan Beras Ketersediaan beras daerah dalam jumlah yang cukup untuk semua orang yang hidup didalamnya baik yang berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan maupun bantuan pangan terkait dengan jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat (Patrick Webb and Beatrice dalam Nuhfil, 2008).
-
Konsumsi Normatif Jumlah kalori minimum utuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif. Nilai konsumsi normative adalah 1.100 kkal per kapita per hari (FSVA, 2009).
-
Kemiskinan Kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi
hak‐hak
dasarnya
untuk
mempertahankan
dan
mengembangkan kehidupan yang bermartabat (Badan Pusat Statistik). -
Penduduk Miskin Penduduk yang terdafatar sebagai sasaran program pengentasan kemiskinan.
40
-
Kalori Satuan ukuran untuk energi. Satu kalori secara resmi didefinisikan sebagai jumlah energi panas yang dibutuhkan untuk menaikkan 1 cm2 air (atau 1 gram air) sebesar satu derajat Celcius. Untuk mengukur jumlah energi dalam makanan, ahli gizi umumnya menggunakan kilokalori (setara dengan 1.000 kalori), dan label pengukuran mencantumkan sebagai “kkal” (kamus kesehatan, 2012).
-
Kecukupan Kalori Terpenuhinya jumlah kalori rumah tangga dan individu yang diperoleh dari konsumsi beras.
41