BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perencanaan pengelolaan sumber daya lahan merupakan pedoman dalam perencanaan pembangunan. Hal ini bertujuan agar pemanfaatan sumberdaya lahan dapat tertib, efisien dan efektif sesuai daya dukungnya. Dalam konteks perencanaan pembangunan, bahwa pembangunan bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat baik yang bersifat material maupun spiritual tanpa meninggalkan kelestarian lingkungan. Untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan sumber-sumber pendanaan yang memadai. Salah satu usaha untuk mewujudkan tujuan pembangunan adalah menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama (Waluyo dan Wirawan, 2000). Pajak mempunyai dua fungsi yaitu fungsi budgeter dan fungsi Regulerend. Fungsi regulerend atau fungsi mengatur dimana merupakan fungsi pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah di bidang ekonomi, sosial dan budaya, dan sebagainya sebagai fungsi tambahan karena fungsi ini hanya sebagai pelengkap dari fungsi utama pajak. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pajak dipakai sebagai alat kebijakan (Rooroh, 2007). PBB sebagai salah satu instrumen fiskal dapat digunakan sebagai alat kebijakan dalam rangka pengendalian sumber daya lahan sehubungan dengan fungsi regulerend. Pajak properti (PBB) lebih stabil dan dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan daripada pajak lainnya (IAAO, 2010). Obyek PBB yang berupa bumi dan/atau bangunan merupakan obyek pajak yang relatif stabil baik dari jumlahnya maupun nilainya. Jumlah atau luas bumi dan/atau bangunan tidak pernah berkurang, bahkan jumlah bangunan terus bertambah seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Dari kondisi di atas, dapat dipahami betapa pentingnya PBB sebagai fungsi regulerend
1
dalam mendukung manajemen sumber daya lahan dan pentingnya metode penilaian lahan untuk dasar pengenaan PBB dalam fungsi kebijakan. Penentuan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) terus dioptimalkan oleh pihak terkait dengan mengacu pada Undang - Undang No. 12 Tahun 1985 yang diperbaharui dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Penyempurnaan dalam menentukan NJOP perlu terus dilakukan karena NJOP merupakan dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan. Apabila penentuan NJOP ini kurang baik dan benar akan berdampak pada ketetapan Pajak Bumi dan Bangunan (Sutawijaya, 2004). Selama ini penilaian pajak atau NJOP yang dilakukan hanya mempertimbangkan aspek ekonomi sehubungan fungsinya sebagai fungsi budgeter dan kurang memperhatikan aspek yang lainnya. Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) sebagai dasar pengenaan PBB yang selama ini diterapkan menggunakan data pasar dengan penyesuaian ekonomi saja sesuai peruntukannya. Sehingga kedepan dipandang penting memperhatikan faktorfaktor lingkungan dalam melakukan penilaian tanah untuk menentukan besarnya NJOP. Pertumbuhan jumlah dan aktivitas penduduk akan menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan yang cepat. Lahan-lahan produktif akan berubah menjadi lahan permukiman. Hal ini apabila tidak dikendalikan akan berakibat pada kerusakan lingkungan. Diperlukan kebijakan untuk melakukan pengaturan lahan melalui peraturan yang mengikat seperti retribusi atau pajak. Tujuan diberlakukannya kebijakan tersebut adalah sebagai instrumen pengelolaan lingkungan. Instrumen pembiayaan yang didukung dengan administrasi dan kelembagaan yang tepat, maka instrumen kebijakan itu akan menjadi sangat efektif dalam mempengaruhi perilaku masyarakat dalam memperlakukan lingkungan (Santosa, 2005). 1.2. Perumusan Masalah Fungsi pajak yang bersifat mengatur (regulerend) dan instrumen pengendalian hendaknya dapat diterapkan melalui PBB. Aspek-aspek lingkungan dan peruntukan
2
ruang menjadi aspek yang diperhitungkan dalam penentuan NJOP selain aspek ekonomi. Pajak Bumi dan Bangunan selain mampu menambah pemasukan kepada Negara juga sebagai instrument pengendalian, pencegahan dan perbaikan lingkungan. Melalui mekanisme insentif dan disinsentif pajak juga dapat diterapkan terhadap penggunaan lahan yang tidak sesuai peruntukannya. Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) sebagai dasar pengenaan PBB yang selama ini diterapkan menggunakan data pasar dengan penyesuaian ekonomi. Aspek-aspek lain yang melekat pada lahan seperti aspek kelingkungan atau peruntukan ruang belum diikutsertakan dalam penilaian. Aspek-aspek tersebut juga penting kaitannya dalam pembangunan, bahwa kondisi ekologi tertentu seharusnya mempunyai NJOP tertentu juga, hal ini guna menjaga kelestarian lingkungan. Kebijakan pajak yang ada justru mendorong petani untuk menjual lahan pertanian dikarenakan pajak terhadap lahan yang ada dianggap memberatkan petani (Ely,1921). Kebijakan pajak dan penataan ruang seharusnya menjadi sarana tegas untuk mengatur peruntukan dan pengelolaan lahan. Salah satu pendekatan yang digunakan dalam mengambil suatu kebijakan pada kegiatan perencanaan adalah dengan cara memanfaatkan metode tipologi. Tujuan pembentukan tipologi untuk mengembangkan pendekatan kebijakan yang bersifat spesifik sesuai dengan tipe wilayah. Agar diperoleh gambaran yang realistis, logis dan rasional sehingga dapat diukur kinerja secara objektif diperlukan langkah dengan membuat tipologi. Tipologi wilayah dengan indikator yang ideal dapat menjadi deliniasi awal dalam pengambilan kebijakan Peneliti mencoba untuk menyusun jenjang nilai lahan sebagai dasar penilaian NJOP dengan memperhatikan aspek ekonomi dan lingkungan. Kriteria ini berarti bahwa pajak yang bersifat netral terhadap lingkungan, yakni pengenaan PBB tersebut tidak memberikan peluang kepada pemerintah dan masyarakat untuk merusak lingkungan atau melakukan alih fungsi lahan yang akan menjadi beban pemerintah
3
daerah dan masyarakat. Dalam penelitian ini dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana tipologi karakteristik nilai lahan sesuai aspek ekonomi dan lingkungan di wilayah penelitian 2. Bagaimana merumuskan nilai lahan sebagai dasar penentuan NJOP dengan memperhatikan aspek ekonomi dan lingkungan Berdasarkan permasalahan dan pertanyaan penelitian diatas, maka penulis merumuskan judul : Nilai Lahan Sebagai Dasar Penilaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Bumi Menurut Aspek Ekonomi dan Lingkungan di Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Menyusun tipologi karakteristik nilai lahan sesuai aspek ekonomi dan lingkungan di wilayah penelitian 2. Menyusun jenjang nilai lahan sebagai dasar penentuan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sesuai aspek ekonomi dan lingkungan di wilayah penelitian 1.4. Kegunaan Penelitian 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan pengetahuan mengenai nilai lahan di Kecamatan Sewon yang disusun menurut aspek ekonomi dan lingkungan. 2. Penelitian ini dapat dipergunakan bagi para stakeholder di bidang penilaian tanah dalam menentukan langkah apa saja yang dapat dilakukan terkait dengan penentuan Nilai Lahan dan NJOP.
4
1.5. Telaah Pustaka 1.5.1. Pendekatan Ilmu Geografi Geografi pada dasarnya merupakan ilmu yang mempelajari tentang permukaan bumi beserta isinya serta hubungan keduanya. Dalam kajiannya geografi membicarakan fenomena alam dan non-alam (manusia). Secara umum geografi mempunyai 2 (dua) objek bahasan, yaitu objek yang berkenaan dengan materi (material object) dan objek formal. Obyek materi geografi berupa fenomena geosfer, yaitu atmosfer, hidrosfer, litosfer, dan biosfer. Dalam fenomena-fenomena tersebut dijalin suatu interaksi, baik yang sederhana maupun yang rumit (Bintarto, 1983). Objek formal geografi merupakan cara pendekatan atau pandangan geografi. Dalam perkembangannya, geografi tidak membedakan elemen fisik dan non fisik dalam pendekatannya, tetapi lebih ditekankan pada metode analisisnya. Bintarto (1979) mengemukakan geografi mempelajari hubungan kausal gejala muka bumi baik fisik atau makhluk hidup beserta permasalahannya melalui pendekatan keruangan, ekologikal, dan kompleks wilayah. Pendekatan keruangan melihat gejala atau peristiwa yang dibedakan atas dasar lokasinya dalam suatu wilayah tertentu. Pendekatan ekologi, pengamatan di titik beratkan terhadap interaksi antara manusia dengan lingkungannya dalam suatu ekosistem tertentu. Pendekatan kompleks wilayah merupakan kombinasi dari pendekatan keruangan dan pendekatan ekologi. Dalam pendekatan ini wilayahwilayah yang menjadi ajang penelitian didekati dengan dasar konsep perbedaan wilayah (areal differentiation). Pendekatan tersebut pada hakekatnya dikarenakan terdapat perbedaan karakteristik antar wilayah. Studi geografi dalam penelitian ini berperan sebagai dasar berfikir dan memberikan arah serta gambaran untuk mencapai tujuan penelitian. Dalam studi geografi juga terdapat adanya suatu sistem yang saling terkait satu sama lain, mengingat bahwa manusia dengan lingkungan memiliki hubungan yang sangat erat. Untuk itu dalam penelitian perlu menggunakan pendekatan-pendekatan dalam studi geografi agar dapat dicapai suatu penelitian yang sesuai dengan bidang keilmuan
5
geografi. Dalam penelitian ini analisa didasarkan pada pendekatan komplek wilayah dimana merupakan integrasi dari pendekatan keruangan dan pendekatan ekologi (Yunus, 2004).
1.5.2. Konsep Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Bumi Menurut Rocmat Soemitro (1988) bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan
undang-undang
(yang
dapat dipaksakan)
dengan
tidak
mendapat jasa imbal (kontraprestasi), yang langsung dapat dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum. PBB merupakan iuran wajib oleh rakyat kepada kas Negara atas dasar pemilikan, penguasaan dan peroehan manfaat dari bumi dan bangunan. Sehingga PBB adalah pajak yang dikenakan pada harta tidak bergerak dimana yang menjadi fokusnya adalah objeknya bukan subjek status orang atau badan. Menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.03/2010 tentang Klasifikasi dan Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan, yang menggantikan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998, dalam pasal 1 ayat 1 dan 2 dijelaskan bahwa Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) merupakan harga lahan rata-rata yang diperoleh dari harga transaksi jual-beli yang terjadi secara wajar. Apabila pada wilayah dimaksud tidak terdapat transaksi jual beli, maka penetapan NJOP ditentukan melalui perbandingan dengan harga dengan objek lain sejenis, atau dengan perumusan harga lahan baru, atau NJOP pengganti dengan pengertian sebagai berikut. 1. Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis adalah suatu pendekatan metode penentuan harga jual objek pajak dengan cara membandingkannya dengan objek pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama serta telah diketahui harganya. 2. Nilai perolehan baru adalah suatu pendekatan metode penentuan harga jual dengan menghitung selururh biaya yang dikeluarkan untuk memeperoleh
6
objek tersebut pada saat penilaian dilakukan. Perhitungan diatas dikurangi dengan penyusustan berdasarkan kondisi fisik objek pajak tersebut. 3. Nilai jual pengganti adalah pendekatan metode penentuan NJOP berdasarkan pada hasil produksi objek tersebut Pasal 6 Undang-Undang PBB menentukan bahwa yang menjadi dasar untuk pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP ditetapkan oleh menteri keuangan setiap 3 tahun sekali sedangkan untuk daerah-daerah tertentu yang pembangunannya sangat pesat menyebabkan kenaikan NJOP cukup besar dan cepat, maka penentuan NJOP dilakukan setahun sekali. NJOP yang disusun perlu dirumuskan pengklasifikasian objek bumi dan bangunan, Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang PBB memberikan kuasa kepada menteri keuangan untuk menentukan klasifikasi objek pajak. Klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya. Nilai jual bumi dan bangunan digunakan sebagai dasar untuk memudahkan perhitungan pajak terhutang. Penentuan klasifikasi lahan perlu memperhatikan : 1. Letak lokasi 2. Peruntukan lahan 3. Pemanfaatan lahan 4. Kondisi lingkungan Mengingat jumlah objek pajak bumi yang sangat banyak dan menyebar di seluruh wilayah Indonesia maka untuk memudahkan dalam penilaian lahan untuk penentuan NJOP, maka lahan dikelompokkan dalam beberapa zona. Dalam istilah PBB zona yang dimaksud adalah Zona Nilai Tanah (ZNT) yaitu daftar yang memuat himpunan atau kelompok atau area lahan (sekelompok objek pajak) yang memiliki Nilai Indikasi Rata-Rata (NIR) yng sama. Dalam melakukan penilaian terhadap NJOP bumi, digunakan dua metode penilaian yaitu : 1. Penilaian massal, dalam metode ini NJOP dihitung berdasarkan NIR yang terdapat pada setiap ZNT. Dalam metode ini dibutuhkan data transaksi harga
7
jual lahan dari berbagai sumber seperti data jual beli dari Notaris atau PPAT, agen property, dll. Data yang diperoleh dikelompokkan sesuai penggunaannya, wilayah dan luas tanahnya. 2. Penilaian Individu, dalam penilaian secara individu terdapat tiga macam pendekatan yaitu: a. Penilaian dengan pendekatan data pasar b. Penilaian dengan pendekatan biaya c. Penilaian dengan pendekatan kapitalisasi pendapatan. 1.5.3. Konsep Nilai Lahan Ada beberapa teori tentang nilai lahan tetapi pada umumnya teori tersebut mengemukakan bahwa ada hubungan yang erat antara lokasi dengan nilai lahan. Perbedaan yang terjadi dalam nilai lahan adalah perbedaan dalam suatu lokasi (Nasucha, 1995) Teori nilai lahan juga menjelaskan bahwa nilai lahan dan penggunaan lahan mempunyai kaitan yang sangat erat. Apabila masalah nilai lahan dikaitkan dengan pertanian, maka variasi nilai lahan ini banyak tergantung pada ”fertility” (kesuburan), faktor lingkungan, keadaan drainase dan lokasi dimana lahan tersebut berada. Hal yang terakhir ini lebih berkaitan dengan aksesibilitas. Lahan yang subur biasanya memberikan ’output’ yang lebih besar bila dibandingkan dengan lahan yang tidak subur dan akibatnya akan mempunyai nilai yang lebih tinggi serta harga yang lebih tinggi pula. Walaupun demikian ada pula nilai-nilai tanah yang tidak ditentukan oleh kesuburan, tetapi lebih banyak ditentukan oleh lokasi. Lokasi tertentu mempunyai nilai aksesibilitas yang mewarnai tinggi rendahnya nilai lahan, semakin tinggi aksesibilitas yang dimiliki oleh suatu lokasi akan semakin tinggi pula nilai lahannya. Derajad aksesibilitas ini berkaitan dengan (a) potential shoper yang banyak; (b) kemudahan untuk datang dan pergi dari lokasi tersebut atau pasar. Nilai lahan dapat bernilai rendah apabila kesuburannya rendah tetapi dapat pula menjadi tinggi apabila letaknya strategis. Apabila dua-duanya menunjukkan nilai tinggi maka sudah jelas bahwa nilainya akan tinggi pula, namun apabila salah satu
8
diantaranya rendah maka nilai lahannya dapat rendah atau mungkin dapat tinggi. Perbedaan nilai lahan yang muncul akan sangat bervariasi. Oleh karena untuk daerah perkotaan, orientasi penggunaan lahan adalah non-pertanian maka penilaian atas lahan semata-semata dilakukan secara tidak langsung yakni produktivitas lahan yang ditimbulkan oleh keberadaan lokasi, atas dasar inilah struktur penggunaan lahan kota akan terseleksi menurut kemampuan fungsi-fungsi membayar lahan tersebut. Faktor ekonomi bukan merupakan satu-satunya faktor penentu penggunaan lahan karena faktor lain seperti sosial dan politik juga berpengaruh besar, namun kekuatan ekonomi nampaknya masih mendominasi dan tidak dapat diabaikan begitu saja dalam setiap analisa penggunaan lahan di dalam dan sekitar kota (Mather, 1996 dalam Yunus, 2004). Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai lahan ada empat kategori sebagai berikut (Eckert, et al., 1990 dalam Diddy, 2007) a. Faktor ekonomi. Faktor ekonomi berhubungan dengan lingkup perekonomian internasional, nasional, regional dan lokal, meliputi permintaan dan penawaran. Variabel permintaan yang mempengaruhi nilai tanah mencakup status kepemilikan, tingkat pendapatan/gaji, ketersediaan dana, tingkat suku bunga, biaya transaksi. Variabel penawaran mencakup ketersediaan tanah, biaya pemeliharaan, biaya konstruksi, perpajakan, dan biaya kepemilikan yang lain. b. Faktor sosial. Faktor sosial mempengaruhi pola penggunaan lahan. Manusia mempunyai keinginan dasar terhadap tanah untuk menetap dan hidup bersama dengan yang lain. Keinginan tersebut tampak dalam kecenderungan untuk mendekati pusat kegiatan yang terdiri dari berbagai macam penggunaan tanah. Hal tersebut pula yang mempercepat perpindahan dan perubahan kepemilikan lahan. c. Faktor legal, kebijakan pemerintah, dan politik. Faktor legal, kebijakan pemerintah dan politik dapat menaikkan atau menurunkan permintaan akan tanah, kebijakan-kebijakan yang baik dapat
9
meningkatkan efisiensi pemeliharaan dan penggunaan tanah/lahan. Pada tingkat nasional, keadaan ekonomi, kebijakan moneter dan perpajakan dapat mempercepat atau memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mempengaruhi permintaan akan tanah. Kebijakan pemerintah daerah seperti mekanisme perpajakan, tata guna lahan dapat memberikan keuntungan maupun kerugian pada perkembangan tanah/lahan, termasuk juga kebijakan pengadaan prasarana jalan, transportasi, pendidikan, keamanan dan sebagainya. d. Faktor fisik, lingkungan, dan lokasi. Faktor-faktor fisik, lingkungan dan lokasi besar pengaruhnya terhadap nilai tanah. Faktor lokasi meliputi ukuran, topografi dan ciri-ciri fisik yang membentuk persil. Faktor situasi meliputi titik pusat persil yang berhubungan dengan persil lain, seperti pusat bisnis, jalan bebas hambatan, pasar/pasaraya, tempat pendidikan, pantai, tempat pembuangan sampah dan sebagainya. Faktor lokasi mempengaruhi nilai tanah karena pemilik tanah dapat saja menggunakan/memanfaatkan sumber daya yang menjadi sifat lahannya. Faktor situasi dapat mempengaruhi nilai tanah karena pengaruh kedekatan atau aksesibilitas ke sumber daya di sekitarnya. 1.5.4. Ekonomi Lahan Kriteria nilai lahan pada penelitian ini disusun berdasarkan hirarki yang meliputi variabel, indikator dan faktor. Kriteria yang digunakan dalam hirarki yaitu: 1. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan erat kaitannya dengan aktivitas manusia. Sehingga lahan akan mempunyai nilai sesuai dengan pemanfaatannya (Yunus, 1994). Suatu luasan persil dapat memiliki nilai lahan yang tinggi jika diatasnya terdapat suatu penggunaan lahan yang dapat memberikan keuntungan dari segi ekonomi (Nasucha, 1994).
10
2. Pusat Kegiatan/Central Bussines District (CBD) CBD merupakan lokasi optimum dari berbagai macam aktifitas ekonomi. Nilai tanah akan tinggi pada pusat kota dan akan semakin menurun apabila menjauhi pusat kota (Tarigan, 2005) 3. Jarak Jalan Utama Jalan selalu diasosiasikan dengan aksesibilitas. Aksesibilitas diidentifikasikan sebagai kedekatan lahan terhadap jalan utama. Nilai Tanah akan tinggi pada jalan-jalan utama dan akan rendah apabila menjauhi jalan utama (Tarigan, 2005). 1.5.5.
Lingkungan
1.5.5.1.
Daya Dukung Lingkungan (DDL) Fungsi Lindung
Manusia selalu membutuhkan sumber daya dalam mendukung kegiatan kehidupannya, tak terkecuali sumber daya lahan, namun demikian keberadaan sumberdaya lahan memiliki daya dukung, kesesuian dan ambang batas tertentu. Dalam pemanfaatan sumberya, teknologi berperan membantu manusia. Teknologi dapat dimanfaatkan untuk mengetahui kemampuan sumberdaya lahan sehingga dapat diidentifikasi daya dukung dari lahan tersebut. Kepentingan dan keinginan manusia dalam mengolah lahan harus sesuai dengan kelayakan lingkungan agar dapat terus mendukung kehidupan manusia. Seiring perkembangan kependudukan dan teknologi semakin meningkatnya kepentingan manusia terhadap lahan menyebabkan terjadinya penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan daya dukung dan kelayakannya. Pemanfaatan lahan diluar daya dukungnya akan menyebabkan pemanfaatan lahan yang tidak efektif. Proses perencanaan pembangunan dengan konsep daya dukung mengandung pengertian adanya kemampuan dari alam dan sistim lingkungan buatan untuk mendukung kebutuhan yang melibatkan keterbatasan alam yang melebihi kemampuannya, yang secara tidak langsung dapat menyebabkan degradasi atau kerusakan lingkungan. Implementasi daya dukung lingkungan dapat dilakukan dengan tiga cara:
11
1. daya dukung lingkungan disusun pada level minimum sebagai aktivitas baru yang dapat diakomodasikan sebelum terjadi perubahan yang nyata dalam lingkungan yang ada. Misalnya: daya dukung untuk wilayah pertanian, kehutanan dan kegiatan wisata 2. perubahan dapat diterima, tetapi pada level tertentu dibatasi agar tidak mengalami proses degradasi serta sesuai dengan ketentuan standart. Cara ini kemungkinan dapat lebih meluas dan relevan terutama untuk ambang batas udara dan air. Contoh implementasi model ini adalah ijin pembuangan limbah yang disesuaikan dengan kapasitas jaringan air 3. kapasitas lingkungan diterima sebagai aktivitas baru. Model ini dipakai untuk manajemen sumber daya. Cara ini kemungkinan tidak relevan dengan kasus perkembangan kota, namun dapat relevan dalam kasus drainase yang menyebar pada lahan pertanian basah (Nasucha, 2008). Daya dukung lingkungan suatu wilayah menjadi faktor penting yang harus diperhatikan agar proses pembangunan yang dilaksanakan dapat berkelanjutan dalam arti mampu memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengabaikan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu setiap upaya pemanfaatan sumberdaya alam untuk kegiatan pembangunan diarahkan berwawasan lingkungan (Soemarwoto, 1987). Salah satu komponen dari daya dukung lingkungan adalah lahan. Batasan pengertian daya dukung lahan yaitu kemampuan sebidang lahan dalam mendukung kehidupan manusia (Soemarwoto, 2001). Konsep daya dukung lahan ini menjadi alat untuk menguji lahan yang dibutuhkan untuk mendukung aktivitas ekonomi. 1.5.5.2. Rencana
tata
Perencanaan Tata Ruang ruang
yang
berkualitas
merupakan
prasyarat
dalam
penyelenggaraan penataan ruang. Namun demikian rencana tata ruang tersebut harus dibarengi dengan pengendalian pemanfaatan ruang yang tegas dan konsisten untuk menjamin agar pemanfaatan ruang/lahan dapat tetap sesuai dengan rencana tata ruang
12
yang telah ditetapkan dan mendukung pembangunan berkelanjutan. Terkait pengendalian, terdapat 3 (tiga) perangkat utama yang harus disiapkan yakni: 1. Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Fungsi utama dari RDTR adalah sebagai dokumen operasionalisasi rencana tata ruang wilayah. Dengan kedalaman pengaturan yang rinci dan skala peta yang besar, rencana detail dapat dijadikan dasar dalam pemberian ijin dan mengevaluasi kesesuaian pemanfaatan lahan dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Penyiapan RDTR dilaksanakan dengan memperhatikan beberapa prinsip dasar. Pertama, rencana detail tata ruang harus dapat langsung diterapkan, sehingga kedalaman rencana dan skala petanya harus benar-benar memadai. Kedua, rencana detail tata ruang harus memiliki kekuatan hukum yang mengikat, untuk itu harus diamanatkan dalam Peraturan Daerah dan secara tegas dinyatakan sebagai bagian tak terpisahkan dari rencana tata ruang wilayah. Ketiga, rencana detail tata ruang harus memiliki legitimasi yang kuat dari seluruh pemangku kepentingan, sehingga harus disusun dengan pendekatan partisipatif. 2. Peraturan Zonasi (Zoning Regulation) Peraturan zonasi merupakan dokumen turunan dari RDTR yang berisi ketentuan yang harus diterapkan pada setiap zona peruntukan. Dalam peraturan zonasi dimuat hal-hal yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan oleh pihak yang memanfaatkan ruang, termasuk pengaturan koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, penyediaan ruang terbuka hijau publik, dan hal-hal lain yang dipandang perlu untuk mewujudkan ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Peraturan zonasi tersebut bersama dengan RDTR menjadi bagian ketentuan perizinan pemanfaatan ruang yang harus dipatuhi oleh pemanfaan ruang. 3. Mekanisme Insentif-Disinsentif Pemberian insentif kepada pemanfaat ruang dimaksudkan untuk mendorong pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang. Sebaliknya, penerapan perangkat disinsentif dimaksudkan untuk mencegah pemanfaatan ruang yang
13
menyimpang dari ketentuan rencana tata ruang. Contoh bentuk insentif adalah penyediaan prasarana dan sarana lingkungan yang sesuai dengan karakteristik kegiatan yang diarahkan untuk berkembang di suatu lokasi. Sedangkan disinsentif untuk mengurangi pertumbuhan kegiatan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dapat berupa pengenaan pajak yang tinggi atau ketidak-tersediaan prasarana dan sarana. Penetapan perangkat insentif dan disinsentif harus memperhatikan unsur keadilan dalam penerapannya. Perangkat insentif dan disinsentif yang ditetapkan juga harus sesuai dengan kemampuan pembiayaan pemerintah, sehingga dimungkinkan pemberian insentif tertentu, misalnya izin bangunan lebih tinggi bagi yang bersedia membangun ruang terbuka hijau publik maupun yang membebaskan daerah tertentu untuk resapan air (Dardak, 2005). 1.6. Keaslian Penelitian Sebagai bahan perbandingan dan rujukan, penelitian ini sesungguhnya berpijak pada beberapa penelitian sebelumnya. Terutama yang berkaitan dengan tema nilai lahan. Diantaranya adalah penelitian yang dilakukan Benyamin Andries Rooroh pada tahun
2007
dengan
Pengembangan
Metode
Penilaian
Tanah
Dengan
Mempertimbangkan Aspek Ekonomi, Sosial dan Lingkungan Untuk Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sebagai Fungsi Regulerend. Penelitian kedua, yang dilakukan oleh Harris Wahju Widodo pada tahun 2008 dengan Judul Pemodelan Nilai Tanah di Kawasan Karst Untuk Pengenaan Pajak Bumi Dan Bangunan Sektor Pertambangan. Pada penelitian ini mencoba menilai lahan dengan memperhatikan aspek ekonomi, lingkungan dan tata ruang. Gagasan awal penelitian ini adalah mencoba untuk menyusun tipologi dan jenjang nilai lahan sebagai langkah awal dalam melindungi kelestarian lingkungan melalui fungsi pajak. Titik berat penilaian lahan pada penelitian ini adalah pada aspek lingkungan, tata ruang. Harapan dari penelitian ini mampu menyusun penilaian lahan berbasis lingkungan yang pada akhirnya
14
mempengaruhi kebijakan perpajakan yang melindungi kelestarian dan keberlanjutan lingkungan. Tujuan dari penelitian ini adalah menyusun tipologi lahan dan jenjang kelas lahan. Metode dan analisis data yang diterapkan dalam penentuan tipologi adalah dengan metode analisis cluster (hierarchical cluster) dengan terlebih dahulu melakukan pembobotan pada variabel dan indikator penelitian menggunakan metode AHP. Metode analisis data dan ruang lingkup yang dipilih dalam penelitian ini mengacu kepada tujuan penelitian. penelitian ini juga tidak mengabaikan penggunaan metode-metode yang terbarukan. Analisis pengelompokan hirarkis (hierarchical cluster), merupakan metode yang relatif baru untuk menyusun tipologi lahan. Metode AHP juga merupakan metode yang relatif baru dalam hal pembobotan. Keterbaruan metode dan ruang lingkup pada penelitian ini diharapkan mampu lebih optimal menjawab tujuan penelitian. Secara rinci penelitian sebelumnya dapat diamati pada tabel 1.1 berikut. Tabel 1. 1 Penelitian yang Terkait Penelitian ini No
1
2
Judul dan Lokasi Penelitian Pengembangan Metode Penilaian Tanah Dengan Mempertimbang kan Aspek Ekonomi, Sosial dan Lingkungan Untuk Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sebagai Fungsi Regulerend (Kota Administrasi Bandung) Pemetaan Nilai Jual Objek Pajak Bumi
Nama Penulis
Tujuan
Metode
Hasil Penelitian
Benyamin Andries Rooroh (Tahun 2007)
menghasilkan metode penentuan kelas nilai tanah dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan dengan sistem pendukung keputusan multikriteria
Metode penelitian yang digunakan adalah menentukan model kelas tanah dari kriteria ekonomi, sosial dan lingkungan. Penentuan kelas tanah dilakukan dengan pembobotan kriteria dan penentuan urutan kelas tanah.
metode penilaian tanah dengan mempertimbangkan aspek sosial dan lingkungan dapat digunakan untuk dasar pengenaan PBB sebagai fungsi regulerend. Berdasarkan kriteria ekonomi, sosial dan lingkungan dapat dilakukan penilaian tanah sesuai dengan manfaat tersebut.
Ratna Dwi Hapsari
Tujuan dari penelitian ini adalah memetakan
Interpretas terhadap citra Quickbird untuk
Uji ketelitian interpretasi
15
No
3
Judul dan Lokasi Penelitian Menggunakan Citra Quickbird di Kecamatan Mergangsan Kota Yogyakarta
Nilai Lahan Sebagai Dasar Nilai Jual Objek Pajak Bumi (NJOP) Menurut Aspek Ekonomi dan Lingkungan di Kecamatan Sewon Kab. Bantul
Nama Penulis
Tujuan
Metode
Hasil Penelitian
(Tahun 2006)
kelas harga lahan untuk penentuan NJOP Bumi dengan teknik penginderaan jauh dan SIG.
Peta Penggunaan Lahan Peta Tematik Parameter Penentu harga Lahan Peta Kelas Harga Lahan Peta Kelas NJOP Bumi
Rahadi Kurniawan Susanto
Menyusun dan menganalisa kelas nilai lahan menurut aspek ekonomi dan lingkungan
memperoleh data penentu harga lahan, pengharkatan, buffering dan overlay. Penentuan kelas harga lahan dan NJOP Bumi dengan metode arithmatik Analisis Peta, Analisis Statistik Hierarki Cluster dan analisis deskriptif (
Tipologi karakteristik nilai lahan menurut aspek ekonomi dan lingkungan Kelas nilai lahan menurut aspek ekonomi dan lingkungan
1.7. Kerangka Pemikiran Penelitian ini didasarkan pada lahan, wilayah atau ruang yang menjadi tempat manusia beraktivitas. Segala aktivitas dan interaksi manusia membutuhkan ruang. Pertambahan penduduk dan aktivitasnya secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi
ruang
dalam
suatu
wilayah.
Perkembangan
tersebut
akan
mempengaruhi perkembangan suatu wilayah. Dengan demikian seiring pergerakan waktu, akan menimbulkan dinamika keruangan wilayah. Perkembangan penduduk termasuk aktivitas penduduk yang terus meningkat akan berpengaruh terhadap lahan. Kebutuhan lahan untuk mendukung aktivitas penduduk semakin meningkat sedangkan luas lahan tetap. Kondisi unik mengenai lahan ini menyebabkan terjadinya perkembangan kebutuhan akan lahan. Perkembangan kebutuhan lahan yang terus meningkat, mengarahkan lahan menjadi sesuatu yang mempunyai nilai. Adanya keuntungan atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari suatu
16
lahan maka secara wajar diberlakukan pungutan pajak. Pungutan resmi yang berhubungan dengan lahan salah satunya adalah PBB. Dasar pengenaan pajak dalam PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP disusun berdasarkan nilai lahan sesuai harga pasar wajar yang berlaku. Dengan demikian yang menjadi landasan dasar PBB adalah nilai lahan. Berdasarkan fungsi pajak, terdapat dua fungsi utama pajak yaitu fungsi budgeter atau financial dan fungsi regulerend atau fungsi mengatur. Pajak selain sebagai instrumen penerimaan Negara, juga berfungsi sebagai alat kebijakan untuk mengatur dan mengarahkan sesuai tujuan pembangunan. Selama ini penilaian yang dilakukan hanya mempertimbangkan aspek ekonomi sehubungan fungsinya sebagai fungsi budgeter dan kurang memperhatikan aspek yang lainnya seperti aspek kelingkungan. Berdasarkan kondisi di atas, dapat dipahami betapa pentingnya perumusan kebijakan PBB sebagai fungsi regulerend dalam mendukung manajemen sumber daya lahan dan pentingnya metode penilaian tanah untuk dasar pengenaan PBB dalam fungsi regulerend. Hal ini yang mendorong adanya kegiatan penelitian untuk melakukan pengembangan metode penentuan kelas nilai tanah. Dalam penelitian ini diusulkan metode penentuan kelas nilai tanah yang memperhatikan aspek ekonomi, lingkungan dan tata ruang. Secara sistematis kerangka pemikiran penelitian ini dapat diamati pada bagan 1.1.
17
LAHAN
Perkembangan Kebutuhan Lahan
- Ekonomi - Lingkungan - Perencanaan Tata Ruang
Nilai Lahan
Rumusan Nilai Lahan untuk NJOP yang memperhatikan Aspek Ekonomi dan Lingkungan
Pajak
Fungsi Budgeter Fungsi Regulern
Tipologi karakteristik nilai lahan aspek ekonomi dan lingkungan
Implikasi kebijakan perumusan hirarki nilai lahan sebagai dasar NJOP dan PBB
Perencanaan Penataan Ruang
Gambar 1. 1 Diagram Alir Pemikiran
18