BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Industri MIGAS di Indonesia masih memegang peranan penting dalam ekonomi negara. Dalam beberapa tahun belakangan industri MIGAS di Indonesia mengalami penurunan karena berkurangnya jumlah cadangan MIGAS yang ada. Oleh sebab itu, eksplorasi secara berkelanjutan dan terus menerus diperlukan untuk menambah kembali cadangan yang ada. Kegiatan eksplorasi minyak bumi merupakan tahapan penting dalam industri MIGAS dimana cadangan yang baru ditemukan. Dalam usaha mencari lapangan minyak yang baru perusahaan minyak umumnya menggunakan metode well logging. Metode ini merekam respon dari alat log yang dimasukan ke dalam sumur karena perbedaan sifat fisik dan fluida batuan. Respon tersebut direkam secara terus menerus dalam sebuah kurva. Kurva ini mengandung informasi mengenai keadaan formasi batuan di bawah suatu sumur baik itu jenis litologi maupun fluida. Hasil well logging yang berupa kurva tersebut memerlukan teknik interpretasi untuk menginterpretasi
kondisi
bawah
permukaan,
menentukan
lapisan
yang
mengandung hidrokarbon, dan zona penyebaran hidrokarbon. Terdapat 2 (dua) macam teknik interpretasi data well log yaitu metode interpretasi kualitatif dan metode interpretasi kuantitatif. Analisis petrofisika terdiri dari dua tahap, yang pertama adalah interpretasi kualitatif untuk menentukan zona prospek dan yang kedua adalah interpretasi kuantitatif. Interpretasi kuantitatif bertujuan untuk menentukan nilai-nilai parameter petrofisika batuan seperti volume serpih, porositas, permeabilitas, saturasi air, dan saturasi hidrokarbon. Nilai-nilai tadi berguna dalam pengambilan keputusan selanjutnya yang menentukan nasib suatu sumur. Nilai-nilai parameter ini dijadikan sebagai dasar dalam pembuatan net-pay suatu zona yang merupakan aset bagi perusahaan. Setelah diketemukan jumlah cadangan hidrokarbon dalam suatu lapisan dan dianggap ekonomis, 1
kegiatan dilanjutkan dengan eksploitasi. Kegiatan ini diharapkan dapat mengembangkan zona hidrokarbon lebih luas. Cekungan Sumatra Selatan merupakan salah satu cekungan sedimen yang sampai saat ini masih menyumbang cadangan minyak dan gas bumi di Indonesia. Cekungan ini terletak di sebelah timur dari Pegunungan Barisan dan memanjang sampai ke paparan Sunda di tenggara. Reservoir utama pada cekungan ini yaitu batupasir Formasi Talang Akar, batuan karbonat Formasi Baturaja, dan batupasir Air Benakat. Meskipun sudah banyak minyak yang dihasilkan, cekungan ini masih menarik untuk dieksplorasi. Dalam penulisan seminar ini metode yang digunakan adalah metode kuantitatif. Metode kuantitatif memberikan nilai yang menggambarkan prospektifitas suatu batuan reservoir di cekungan tersebut disamping kondisi cekungan yang terbukti menjadi cekungan yang produktif. Metode ini cocok digunakan pada cekungan Sumatra Selatan yang telah terbukti menghasilkan hidrokarbon.
1.2 Maksud dan Tujuan 1.2.1 Maksud Maksud dari penulisan seminar ini adalah untuk melakukan analisis data well log secara kuantitatif guna menghitung nilai-nilai parameter petrofisika batuan. Tahapan
ini
dimulai dengan
menganalisis
data log
sumur
untuk
menginterpretasi jenis-jenis litologi yang terdapat di bawah permukaan, jenis fluida, dan zona hidrokarbon. Dilanjutkan dengan menghitung parameter petrofisika batuan. 1.2.2
Tujuan Tujuan dari penulisan seminar ini adalah menghitung nilai parameter petrofisika seperti volume serpih, porositas, saturasi air, resistivitas air formasi, dan saturasi hidrokarbon.
2
1.3 Batasan Masalah Pembatasan masalah perlu dilakukan agar dalam pengerjaan dan pembahasan tidak terjadi penyimpangan yang mengarah ke hal yang terlalu luas. Pembatasan dilakukan agar dalam pengerjaan data log dapat diketahui nilai-nilai parameter petrofisika batuan guna menemukan zona-zona hidrokarbon yang prospektif secara kuantitatif. Aspek-aspek yang akan ditentukan meliputi: 1. Penentuan volume serpih 2. Penentuan nilai resistivitas air formasi 3. Penentuan nilai porositas 4. Penentuan nilai saturasi air 5. Penentuan nilai saturasi hidrokarbon.
3
BAB II GEOLOGI REGIONAL CEKUNGAN SUMATRA SELATAN 2.1 Kondisi Geologi Regional Cekungan Sumatera Selatan Cekungan Sumatera Selatan merupakan cekungan busur belakang (Back Arc Basin) yang terbentuk akibat interaksi antara lempeng Hindia-Australia dengan lempeng Mikro Sunda. Pulonggono (1984) membagi cekungan ini menjadi 4 (empat) sub cekungan yaitu:
Sub Cekungan Jambi
Sub Cekungan Palembang Utara
Sub Cekungan Palembang Selatan
Sub Cekungan Palembang Tengah
Cekungan ini terdiri dari sedimen Tersier yang terletak tidak selaras (unconformity) di atas permukaan batuan metamorf dan batuan beku Pra-Tersier.
Gambar 2.1 Letak Geografis Cekungan Sumatera Selatan (PERTAMINA BPPKA, 1997)
4
2.2 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan Stratigrafi daerah cekungan Sumatera Selatan secara umum dapat dikenal satu megacycle (daur besar) yang terdiri dari suatu transgesi dan diikuti regresi. Formasi yang terbentuk selama fase transgesi dikelompokkan menjadi Kelompok Telisa (Formasi Talang Akar, Formasi Baturaja, dan Formasi Gumai). Kelompok Palembang diendapkan selama fase regresi (Formasi Air Benakat, Formasi Muara Enim, dan Formasi Kasai), sedangkan Formasi Lemat dan older Lemat diendapkan sebelum fase transgesi utama. Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan menurut De Coster (1974) adalah sebagai berikut: 1. Kelompok Pra Tersier Formasi ini merupakan batuan dasar (basement rock) dari Cekungan Sumatera Selatan. Tersusun atas batuan beku Mesozoikum, batuan metamorf Paleozoikum Mesozoikum, dan batuan karbonat yang termetamorfosa. Hasil dating di beberapa tempat menunjukkan bahwa beberapa batuan berumur Kapur Akhir sampai Eosen Awal. Batuan metamorf Paleozoikum-Mesozoikum dan batuan sedimen mengalami perlipatan dan pensesaran akibat intrusi batuan beku selama episode orogenesa Mesozoikum Tengah (Mid-Mesozoikum). 2. Formasi Kikim Tuff dan older Lemat atau Lahat Batuan tertua yang ditemukan pada Cekungan Sumatera Selatan adalah batuan yang berumur akhir Mesozoik. Batuan yang ada pada Formasi ini terdiri dari batupasir tuffan, konglomerat, breksi, dan lempung. Batuan-batuan tersebut kemungkinan merupakan bagian dari siklus sedimentasi yang berasal dari daratan, aktivitas vulkanik, dan proses erosi disertai aktivitas tektonik pada Kapur Akhir sampai Tersier Awal di Cekungan Sumatera Selatan. 3. Formasi Lemat Muda atau Lahat Muda Formasi Lemat tersusun atas klastika berukuran butir kasar berupa batupasir, batulempung, fragmen batuan, breksi, granite wash, terdapat lapisan tipis
5
batubara, dan tuf. Semuanya diendapkan pada lingkungan daratan (continent). Anggota Benakat dari Formasi Lemat terbentuk pada bagian tengah cekungan dan tersusun atas serpih berwarna coklat abu-abu yang berlapis dengan serpih tuffaan (tuffaceous shales), batulanau, batupasir, terdapat lapisan tipis batubara dan batugamping (stringer), mineral glauconit yang diendapkan pada lingkungan fresh-brackish. Formasi Lemat secara normal dibatasi oleh bidang ketidakselarasan (unconformity) pada bagian atas dan bawah formasi. Kontak antara Formasi Lemat
dengan Formasi Talang
Akar
yang
dintepretasikan sebagai
paraconformable. Formasi Lemat berumur Paleosen-Oligosen, dan Anggota Benakat berumur Eosen Akhir-Oligosen, yang ditentukan dari spora dan pollen, juga dengan dating K-Ar. Ketebalan formasi ini bervariasi, lebih dari 2500 kaki (±760 m) pada Cekungan Sumatera Selatan dan lebih dari 3500 kaki (± 1070 m) pada zona depresi sesar di bagian tengah cekungan (didapat dari data seismik). 4. Formasi Talang Akar Formasi Talang Akar terdapat di Cekungan Sumatera Selatan, formasi ini terletak di atas Formasi Lemat dan di bawah Formasi Telisa atau Anggota Basal Batugamping Telisa. Formasi Talang Akar terdiri dari batupasir yang berasal dari delta plain, serpih, lanau, batupasir kuarsa, dengan sisipan batulempung karbonan, batubara dan di beberapa tempat terdapat konglomerat. Kontak antara Formasi Talang Akar dengan Formasi Lemat tidak selaras pada bagian tengah dan pada bagian pinggir dari cekungan kemungkinan paraconformable, sedangkan kontak antara Formasi Talang Akar dengan Telisa dan Anggota Basal Batugamping Telisa adalah conformable. Kontak antara Talang Akar dan Telisa sulit di pick dari sumur di daerah palung disebabkan litologi dari dua formasi ini secara umum sama. Ketebalan dari Formasi Talang Akar bervariasi 1500-2000 kaki (± 460-610 m). 6
Umur dari Formasi Talang Akar ini adalah Oligosen Atas-Miosen Bawah dan kemungkinan meliputi N3 (P22), N7 dan bagian N5 berdasarkan zona foraminifera plangtonik yang ada pada sumur pengeboran pada formasi ini berhubungan dengan delta plain dan daerah shelf. 5. Formasi Baturaja Anggota ini dikenal dengan Formasi Baturaja. Diendapkan pada bagian paparan laut bagian tengah (intermediate shelf) dari Cekungan Sumatera Selatan, di atas dan di sekitar platform dan tinggian. Kontak pada bagian bawah dengan Formasi Talang Akar atau dengan batuan Pra Tersier. Komposisi dari Formasi Baturaja ini terdiri dari Batugamping Bank (Bank Limestone) atau platform dan reefal. Ketebalan bagian bawah dari formasi ini bervariasi, namun rata-ratta 200-250 kaki (sekitar 60-75 m). Singkapan dari Formasi Baturaja di Pegunungan Garba tebalnya sekitar 1700 kaki (sekitar 520 m). Formasi ini sangat fossiliferous dan dari analisis umur anggota ini berumur Miosen. Fauna yang ada pada Formasi Baturaja umurnya N6-N7. 6. Formasi Telisa (Gumai) Formasi Gumai tersebar secara luas dan terjadi pada zaman Tersier, formasi ini terendapkan selama fase transgresif laut maksimum, (maximum marine transgressive) ke dalam 2 cekungan. Batuan yang ada di formasi ini terdiri dari napal yang mempunyai karakteristik fossiliferous, banyak mengandung foram plankton. Sisipan batugamping dijumpai pada bagian bawah. Formasi Gumai beda fasies dengan Formasi Talang Akar dan sebagian berada di atas Formasi Baturaja. Ketebalan dari formasi ini bervariasi tergantung pada posisi dari cekungan, namun variasi ketebalan untuk Formasi Gumai ini berkisar dari 6000 – 9000 kaki (1800-2700 m). Penentuan umur Formasi Gumai dapat ditentukan dari dating dengan menggunakan foraminifera plangtonik. Pemeriksaan mikropaleontologi 7
terhadap contoh batuan dari beberapa sumur menunjukkan bahwa fosil foraminifera planktonik yang dijumpai dapat digolongkan ke dalam zona Globigerinoides sicanus, Globogerinotella insueta, dan bagian bawah zona Orbulina Satiralis Globorotalia peripheroranda, umurnya disimpulkan Miosen Awal-Miosen Tengah. Lingkungan pengendapan Laut Terbuka, Neritik.
7.
Formasi Lower Palembang (Air Benakat) Formasi Lower Palembang diendapkan selama awal fase siklus regresi. Komposisi dari formasi ini terdiri dari batupasir glaukonitan, batulempung, batulanau, dan batupasir yang mengandung unsur karbonatan. Pada bagian bawah dari Formasi Lower Palembang kontak dengan Formasi Telisa. Ketebalan dari formasi ini bervariasi dari 3300 – 5000 feet (sekitar 1000 – 1500 m). Fauna-fauna yang dijumpai pada Formasi Lower Palembang ini antara lain
Orbulina
Universa
d’Orbigny,
Orbulina
Suturalis
Bronimann,
Globigerinoides Subquadratus Bronimann, Globigerina Venezuelana Hedberg, Globorotalia Peripronda Blow & Banner, Globorotalia Venezuelana Hedberg, Globorotalia Peripronda Blow & Banner, Globorotalia mayeri Cushman & Ellisor, yang menunjukkan umur Miosen Tengah N12-N12. Formasi ini diendapkan di lingkungan laut dangkal. 8.
Formasi Middle Palembang (Muara Enim) Batuan penyusun yang ada pada formasi ini berupa batupasir, batulempung, dan lapisan batubara. Batas bawah dari Formasi Middle Palembang di bagian selatan cekungan berupa lapisan batubara yang biasanya digunakan sebagai marker. Jumlah serta ketebalan lapisan-lapisan batubara menurun dari selatan ke utara pada cekungan ini. Ketebalan formasi berkisar antara 1500 – 2500 kaki (sekitar 450-750 m). De Coster (1974) menafsirkan formasi ini berumur Miosen Akhir sampai Pliosen, berdasarkan kedudukan stratigrafinya. Formasi ini
8
diendapkan pada lingkungan laut dangkal sampai brackist (pada bagian dasar), delta plain dan lingkungan non marine. 9. Formasi Upper Palembang (Kasai) Formasi ini merupakan formasi yang paling muda di Cekungan Sumatera Selatan. Formasi ini diendapkan selama orogenesa pada Plio-Pleistosen dan dihasilkan dari proses erosi Pegunungan Barisan dan Tigapuluh. Komposisi dari formasi ini terdiri dari batupasir tuffan, lempung, dan kerakal dan lapisan tipis batubara. Umur dari formasi ini tidak dapat dipastikan, tetapi diduga PlioPleistosen. Lingkungan pengendapannya darat.
Gambar 2.2 Stratigrafi Regional Daerah Cekungan Sumatera Selatan (De Coster, 1974)
9
2.3 Petroleum System Cekungan Sumatra Selatan Cekungan Sumatera Selatan merupakan cekungan yang produktif. Hal ini disebabkan terdapat beberapa formasi yang dapat bertindak sebagai batuan induk yang baik, batuan reservoir yang memadai dan batuan penutup. Jalur migrasinya diperkirakan oleh adanya sesar-sesar yang terjadi pada cekungan ini. 1. Batuan Induk Batuan Induk yang potensial berasal dari batulempung hitam Formasi Lahat, lignit (batubara), batulempung Formasi Talang Akar dan Batulempung Formasi Gumai. Formasi Lahat mengalami perubahan fasies yag cepat kearah lateral sehingga dapat bertindak sebagai batuan induk yang baik dengan kandungan material organiknya 1.2 - 5%. Formasi Lahat diendapkan dibagian graben dan dibagian tengah Sub cekungan Palembang. Landaian suhu berkisar 4.8 – 5.5o C/100 m, sehingga ke dalaman pembentukan minyak yang komersil terdapat pada ke dalaman 2000 – 3000 m. Formasi yang paling banyak menghasilkan minyak yang diketahui hingga saat ini adalah Formasi Talang Akar, dengan kandungan material organik yang berkisar 0.5 – 1.5%. Diperkirakan dibagian tengah cekungan Formasi Talang Akar telah mencapai tingkatan lewat matang. Minyak di Cekungan Sumatera Selatan berasal dari batuan induk yang mengandung kerogen wax. Formasi Gumai mempunyai kandungan material organik yang berkisar 1 – 1.38% di Subcekungan Jambi, sedangkan di Subcekungan Palembang tidak ada data yang menunjukkan bahwa formasi ini dapat bertindak sebagai batuan induk. Kandungan material organik pada Formasi Air Benakat berkisar antara 0.5 – 50%, karena pada Formasi ini banyak mengandung lapisan lignit. Tetapi kadungan rataratanya adalah 1.1%. Temperatur jendela minyak (oil window) adalah 115 oC pada ke dalaman 1700 m, sedangkan jendela gas (gas window) adalah 320 oC pada ke dalaman 2500m.
10
2. Batuan Reservoir Lapisan batupasir yang terdapat dalam Formasi Lahat, Talang Akar, Gumai, Air Benakat, dan Muara Enim dapat menjadi batuan reservoir, selain itu batugamping Formasi Baturaja juga dapat berlaku sebagai batuan reservoir. Pada Subcekungan Jambi, produksi terbesar terdapat pada batuan reservoir Formasi Air Benakat. Batupasir pada bagian dasar mempunyai porositas 27%, batupasir delta porositasnya 20% dan batupasir laut dangkal mempunyai porositas 10%. Batupasir konglomeratan dari Formasi Talang Akar merupakan reservoir kedua yang berproduksi minyak dengan porositas 30% dan permeabilitas 12 – 180 mD. Batugamping Formasi Baturaja berproduksi minyak hanya dibagian Tenggara Subcekungan Jambi dengan porositas 19%. Pada Subcekungan Palembang produksi minyak terbesar terdapat pada batuan reservoir Formasi Talang Akar dan Formasi Baturaja. Porositas lapisan batupasir berkisar 15 – 28%. Reservoir dari Formasi Air Benakat dan Muara Enim merupakan penghasil minyak kedua setelah kedua formasi tersebut diatas. Batugamping Formasi Baturaja menghasilkan kondensat dan gas ditepi sebelah Barat dan Timur dari Subcekungan Palembang. 3. Batuan Tudung Batuan tudung pada umumnya merupakan lapisan batulempung yang tebal dari Formasi Gumai, Air Benakat dan Muara Enim. Disamping itu terjadinya perubahan fasies kearah lateral dai Formasi Talang Akar dan Baturaja. 4. Perangkap dan Migrasi Pada umumnya perangkap hidrokarbon di Cekungan Sumatera Selatan merupakan perangkap struktur antiklinal dari suatu antiklinorium yang terbentuk pada Pleo-Pleistosen. Selain itu terdapat drape batuan sedimen terhadap batuan dasar disuatu tinggian. Struktur sesar, baik normal maupun geser, dapat bertindak sebagai perangkap untuk minyak. Perangkap stratigrafi terjadi pada batugamping
11
terumbu, bentuk membaji, bentuk kipas, dan lensa dari batupasir karena perubahan fasies. Migrasi umumnya terjadi kearah up – dip serta melalui sesar-sesar yang ada.
Gambar 2.3 Hydrocarbon Play Cekungan Sumatera Selatan (PERTAMINA BPPKA, 1997)
2.4 Tektonostratigrafi Cekungan Sumatera Selatan Cekungan Sumatera Selatan terletak memanjang berarah NW-SE dibagian Selatan Pulau Sumatera. Luas cekungan ini sekitar 85.670 Km2 dan terdiri atas dua subcekungan,
yaitu Subcekungan Jambi dan Subcekungan Palembang.
Subcekungan Jambi berarah NE-SW sedangkan Subcekungan Palembang berarah NNW-SSE, dan diantara keduanya dipisahkan oleh sesar normal NE-SW. Cekungan Sumatera Selatan ini berbentuk tidak simetris di bagian Barat dibatasi oleh Pegunungan Barisan, disebelah Utara dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh dan Pegunungan Duabelas sedangkan dibagian Timur dibatasi oleh pulau-pulau Bangka-Bliton dan disebelah Selatan dibatasi oleh Tinggian Lampung
12
Cekungan Sumatera Selatan merupakan cekungan yang luas. Perbedaan relief pada batuan dasar disebabkan oleh pematahan batuan dasar dalam bongkahbongkah sehingga menghasilkan bentukan peninggian dan depresi batuan dasar. Relief yang tidak rata serta reaktivasi dari sesar bongkah tersebut mengontrol sedimentasi dan perlipatan lapisan Tersier yang ada pada cekungan ini.
Gambar 2.4 Kerangka Tektonik Paleogene Cekungan Sumatera Selatan (Pulonggono, 1984)
2.4.1 Eosen-Oligosen Awal Cekungan Besar Belakang Sumatera terbentuk pada fase pertama tektonik regangan pada masa awal Tersier. Sedimentasi awal merupakan sedimentasi lingkungan darat yang diakibatkan pengangkatan blok batuan dasar. Batuan dasar yang tersingkap sekarang di Cekungan Sumatera Selatan yakni Palembang Utara, Jambi, Palembang Selatan dan Tengah.
13
Gambar 2.5 Struktur Batuan Dasar di Cekungan Sumatera Selatan (PERTAMINA BPPKA, 1997)
2.4.2 Oligosen Awal-Miosen Awal Tektonik ekstrusi yang dikemukakan oleh Tapponier
dkk (1986)
menyebabkan sutura-sutura tektonik di Asia berbelok dan mengalamai perputaran blok.
Gambar 2.6 Skema Tektonik Ekstrusi (Tapponier, 1986)
14
Fase transgesi terjadi di Akhir Oligosen atau Awal Miosen Formasi ini tersesarkan dan terlipat berulang kali membentuk jebakan struktur untuk hidrokarbon.
Gambar 2.7 Jebakan Hidrokarbon di Cekungan Sumatera Selatan (PERTAMINA BPPKA, 1997)
Impilikasi model tektonik ini adalah adanya tektonik transtensional yang mengawali terbentuknya cekungan pull apart yang kemudian mengawali diendapkannya Formasi Talang Akar secara selaras di atas sedimen syn-rift tetapi tidak selaras di batas cekungan. Beberapa seri cekungan pull apart berarah utara-selatan terbentuk dari mekanisme transtensional yang dipresentasikan oleh cekungan-cekungan di Sumatera.
15
Gambar 2.8 Mekanisme Pembentukan Cekungan berarah Pull Apart Utara-Selatan (PERTAMINA BPPKA, 1997)
2.4.3 Miosen Tengah-Resen Pengangkatan Bukit Barisan menyebabkan regresi muka air laut yang dilanjutkan dengan pengendapan sedimen darat pada Miosen Tengah. Cekungannya menjadi objek deformasi baru berarah timurlaut-baratdaya yang mengaktifkan kembali struktur perlipatan berarah baratlaut-tenggara dan sesar mendatar berarah utara-selatan juga membentuk strukur-struktur bunga.
Gambar 2.9 Model Deformasi Sesar Mendatar di Sumatra (PERTAMINA BPPKA, 1997)
16
BAB III TEORI DASAR 3.1 Well Logging Menurut Rider (2002) well logging adalah perekaman secara terus menerus dari parameter geofisika sepanjang suatu sumur. Angka dari pengukuran tadi digambarkan dalam bentuk kurva terhadap ke dalaman di sumur. Misalnya, log resistivitas adalah plot resistivitas formasi dari bawah sampai atas sumur secara terus menerus terhadap ke dalam sumur. Berdasarkan waktu pelaksanaanya, Schlumberger (1991) membagi well logging menjadi 2 kelompok yaitu: a. Drilling operation log meliputi mud logs, MWD (measurement while drilling), dan LWD (logging while drilling). b. After drilling/wireline logs meliputi electrical log, acoustic log, radioactive log, electromagnetic logs, dll. 3.2 Tujuan Well Logging Well logging adalah pengukuran respon alat terhadap ke dalaman akibat dari sifat fisik batuan dan fluida yang diukur. Oleh karena itu, well logging digunakan untuk macam-macam tujuan terutama yaitu: a. Keberadaan reservoir b. Litologi penyusun suatu sumur dan litologi reservoir c. Ketebalan reservoir d. Sifat fisik reservoir (porositas, Permeabilitas, saturasi air, dan saturasi hidrokarbon) e. Distribusi lateral dan vertikal reservoir f. Jenis fluida yang ada di dalam reservoir g. Saturasi fluida yang mengisinya
17
3.3 Ruang Lingkup Well Logging Tidak banyak yang dapat dipelajari tentang potensi suatu sumur yang sedang di bor. Dalam kenyataanya lumpur bor mendesak hidrokarbon masuk ke dalam formasi menjauhi lubang bor dan mencegah hidrokarbon keluar permukaan. Pemeriksaan sampel cutting yang kembali ke permukaan dapat memberikan petunjuk tentang litologi secara umum dari formasi yang ditembus oleh alat bor dan mungkin juga mampu menyingkap tanda-tanda hidrokarbon, tetapi cara ini tidak mampu memperkirakan banyaknya minyak atau gas di lapisan formasi. Logging memberikan data yang diperlukan untuk mengevaluasi secara kuantitas banyaknya hidrokarbon di lapisan pada situasi dan kondisi sesungguhnya. Kurva log memberikan informasi yang cukup tentang sifat-sifat batuan dan cairan. Dari sudut pandang pengambil keputusan, logging adalah bagian penting dari proses pengeboran dan penyelesaian sumur. Bagi suatu perusahaan mutlak untuk mendapatkan data yang berkualitas dalam waktu yang singkat mengingat biaya yang dikeluarkan. Biaya logging diperkirakan hanya sekitar 5% dari total biaya eksplorasi sebuah sumur, sehingga kurang bijaksana bila tahap yang penting ini tidak dilaksanakan dengan baik. 3.4 Proses Logging Menurut Harsono (1997) pada saat pengeboran sumur-sumur penting sekali untuk mengumpulkan informasi yang sebanyak mungkin secara terus menerus, agar diperoleh suatu pengamatan susunan geologi yang lebih baik. Hal ini bertujuan untuk korelasi dengan sumur –sumur lainya saat pengembangan suatu lapangan minyak. Operasi logging dibagian sumur terbuka biasanya dimulai dari ke dalaman maksimum (TD) sampai dengan sepatu selubung (casing shoe). Dianjurkan melakukan logging pada interval yang tidak terlalu panjang untuk menghindari keterbukaan lapisan formasi yang terlalu lama terhadap sistem lumpur.
18
Pada saat operasi logging, secara teknis sumur seluruhnya diserahkan kepada perusahaan logging maka, operasi logging hendaknya dilakukan sesingkat mungkin walaupun kondisi di lapangan seringkali tidak menguntungkan. Khusus pada operasi logging tahap akhir di ke dalaman total, banyak keputusan penting akan dibuat atas hasil log yang sering kali menjadi penentu nasib suatu sumur. Maka, setelah serangkaian proses perekaman data ini, sejumlah interpretasi harus dilakukan di lapangan. Di daratan, kabin atau truk logging diatur segaris dengan kepala sumur, kabel logging dimasukan melalui dua buah roda-katrol. Roda katrol atas diikat pada sebuah alat pengukur tegangan kabel. Di dalam kabin logging terdapat alat petunjuk beban yang menunjukkan tegangan kabel atau berat total alat. Rodakatrol bawah diikat pada struktur menara bor dekat dengan mulut sumur. Setelah alat-alat logging disambungkan menjadi satu diadakan serangkaian pemeriksaan ulang dan kaliberasi awal alat logging, kemudian rangkaian alat logging diturunkan ke dasar sumur. Di dasar sumur pemeriksaan dan kaliberasi alat sekali lagi dilakukan supaya yakin bahwa alat berfungsi dengan baik dan tidak terpengaruh oleh suhu tinggi atau lumpur. Alat logging kemudian ditarik dengan kecepatan tetap, maka dimulailah proses perekaman data. Untuk mengumpulkan semua data yang diperlukan, seringkali diadakan perekaman dengan kombinasi alat logging yang berbeda. Untuk operasi di lepas pantai, kabin logging ditinggalkan di kapal atau anjungan lepas pantai. Biasanya kabin unit dipasang pada suatu poros dan rel untuk memungkinkannya bergerak kekiri dan kekanan sehingga arah kabin selalu lurus terhadap kepala sumur. Hal ini juga memudahkan penggulungan kabel logging apabila letak kabin terlalu dekat dengan kepala sumur (Harsono, 1997). Kecepatan pengukuran diatur konstan antara 1800 s/d 1900 kaki/jam, tergantung pada jenis alat logging yang dipakai.
Alat logging terdiri dari
kombinasi beberapa alat, misalnya: 1. DIL-SLS-GR
Dual Induction-Sonic-Gamma Ray 19
2. LDL-CNL-NGL
Litho Density-Neutron-Natural Gamma Ray
3. DLL-MSFL-GR
Dual Laterolog-Micro SFl-Gamma Ray
Untuk lebih menghemat waktu, dapat dilakukan kombinasi alat yang lebih banyak lagi. Kombinasi alat yang umum adalah Triple-combo. Kombinasi ini terdiri alat logging gamma ray, porositas densitas-neutron, dan resistivitas. 3.5 Keuntungan dan Batasan Well Logging Keuntungan dari metode well logging antara lain sebagai berikut: a. Pengukuran well logging sangat rinci dan menerus b. Penggunaannya tergolong mudah dan cepat c. Waktu yang dibutuhkan cukup singkat d. Resolusinya lebih baik daripada data seismik e. Tergolong murah sekitar 5% dari total biaya eksplorasi (Harsono, 1997). Sedangkan metode well logging mempunyai batasan sebagai berikut: a. Pengukuranya tergolong tidak langsung b. Keterbatasan kemampuan alat c. Dipengaruhi kondisi sumur seperti kondisi lubang bor yang buruk dan lumpur pengeboran yang digunakan 3.6
Hubungan Dasar Petrofisik dengan Batuan Reservoir
3.6.1 Batuan Reservoir Batuan reservoir merupakan batuan yang menyimpan sejumlah hidrokarbon di dalamnya. Batuan reservoir memiliki karateristik berpori-pori dan permeabel sehingga dapat menyimpan dan mengalirkan fluida di pori-pori batuan tersebut. Pada umumnya batuan reservoir merupakan batuan sedimen baik klastik maupun karbonat. Batuan paling umum yang didapati sebagai reservoir adalah batuan sedimen berupa batupasir dan batuan karbonat. Batuan sedimen tersebut memiliki pori-pori disebabkan proses pengendapan, proses diagenesis, atau alterasi. Khusus pada batuan karbonat pori-pori dapat terbentuk karena morfologi
20
organisme terumbu itu sendiri. Selain batuan sedimen, batuan kristalin juga dapat berpotensi menjadi reservoir jika terdapat rekahan yang cukup di batuan tersebut. Batuan kristalin yang menjadi reservoir ini disbeut dengan fractured reservoir (reservoir rekahan). Menurut Asquith dan Kyrgowski (2006) sifat fisik batuan yang mempengaruhi respon kurva log yaitu porositas, litologi atau mineralogi, permeabilitas, resistivitas, dan kejenuhan. Resistivitas atau Resistivitas berkorelasi dengan fluida yang terkandung dalam suatu formasi batuan. 1. Porositas Menurut Asquith dan Krygowski (2006) porositas didefinisikan sebagai rasio pori-pori terhadap volume total batuan. Dihitung dengan angka fraksi atau persentase dan biasanya ditulis dengan huruf Yunani phi (Φ). volume pori-pori Porositas (Φ) = volume total batuan
……………………………. (3.1)
Porositas total adalah perbandingan antara ruang kosong (pori-pori dan rekahan) total yang tidak diisi oleh benda padat penyusun batuan sedangkan porositas efektif adalah porositas batuan yang saling terhubung dan dapat mengalirkan fluida. Porositas total meliputi: a. Porositas primer yang terdapat antar butir-butir kristal atau material padat batuan (intergrain). Porositas ini umumnya terdapat pada batuan sedimen klastik. Porositas ini terbentuk karena adanya proses pengendapan. Oleh karena itu, sortasi, ukuran butir, bentuk butir, dan tekstur batuan sangat berpengaruh terhadap porositas yang dihasilkan. Seringkali porositas ini terkait erat dengan lingkungan pengendapan dan fasies pengendapan batuan. b. Porositas sekunder adalah porositas yang diperoleh karena proses disolusi membentuk porositas gerowong (vuggy) dan porositas rekahan yang diperoleh secara mekanik akan membentuk porositas sekunder. Porositas ini umum dijumpai pada batuan sedimen karbonat 21
Sehingga porositas total batuan merupakan penjumlahan dari kedua porositas tadi. Porositas total menjadi Φt= Φp + Φs
……………………………. (3.2)
Sesuai dengan perkembangan teknologi logging, industri MIGAS mulai memakai alat Nuclear Magnetic Resonance. Alat ini digunakan untuk mengukur produktibilitas, saturasi air sisa, dan saturasi minyak sisa. Dari alat ini muncul istilah porositas baru, misalnya porositas NMR dan porositas fluida bebas. 2. Permeabilitas Permeabilitas merupakan suatu kemampuan batuan untuk mengalirkan fluida. Permeabilitas terkait dengan porositas tetapi tidak selalu. Permeabilitas dikontrol oleh ukuran dari saluran (pore throat atau pori-pori kapiler) diantara pori-pori batuan yang saling terhubung. Permeabilitas diukur dalam satuan darcy atau milidarcy dan disimbolkan dengan huruf K. Kemampuan suatu fluida untuk mengalirkan fluida tunggal ketika jenuh dengan fluida disebut dengan permeabilitas absolut. Permeabilitas efektif merupakan kemampuan batuan mengalirkan fluida ketika terdapat 2 (dua) jenis fluida yang berbeda yang bersifat tidak saling mencampuri (immiscible). Air formasi (air connate) yang ditahan oleh tekanan kapiler di dalam pori-pori batuan menghalangi hidrokarbon untuk bergerak. Dengan kata lain, air formasi mengisi baik ruang pori-pori dan juga saluran diantara pori-pori yang terhubung. Hal ini mengakibatkan suatu fluida terhalang dan berkurangnya kemampuan fluida dalam batuan untuk mengalir. Permeabilitas relatif merupakan perbandingan permeabilitas fluida dalam keadaan saturasi sebagian (partial saturation) dengan permeabilitas absolut. Ketika permeabilitas relatif dari air formasi bernilai 0, maka formasi batuan menghasilkan hidrokarbon bebas air. Ketika permeabilitas relatif air formasi meningkat, maka formasi batuan menghasilkan air yang makin banyak dibandingkan dengan hidrokarbon. 22
3. Kejenuhan Kejenuhan atau saturasi merupakan rasio dari volume yang terisi oleh fluida tersebut dengan volume porositas batuan. Saturasi air merupakan jumlah volume air yang terdapat dalam batuan dibandingkan dengan volume porositas batuan. Saturasi air merupakan bilangan fraksional decimal dan memiliki symbol S w. Melalui eksperimen di laboratorium, Archie merumuskan persamaan kejenuhan air yang sampai sekarang populer disebut Persamaan Archie 𝑛 R Sw= √𝑎⁄𝜙 𝑚 X t⁄R w
Keterangan: Sw = saturasi air Sh = saturasi hidrokarbon Rt = resistivitas dalam formasi kandung air Rw= resistivitas air formasi
……………………………. (3.3)
a = faktor tortuosity m = faktor semestasi Φ = porositas
Meskipun saturasi hidrokarbon adalah hal yang dicari dalam evaluasi formasi, tetapi kejenuhan air biasa digunakan karena kejenuhan air berhubungan langsung dengan Persamaan Archie. Ketika reservoir tidak sepernuhnya jenuh air (Sw <1), maka fluida yang lain hadir dalam reservoir yaitu hidrokarbon. Dengan kata lain, kejenuhan hidrokarbon dapat dicari dengan rumus Sh= 1Sw. Saturasi air sisa atau irreducible water saturation (Swiir) merupakan saturasi air yang tidak dapat digantikan hidrokarbon. Hal ini disebakan sifat air yang membasahi material padat dan peristiwa kapilaritas dimana air formasi teradsorbsi pada permukaan butiran penyusun batuan dan ditahan oleh tekanan kapilaritas. Pada saturasi air sisa, air formasi tidak akan bergerak dan Permeabilitas relatif air formasi bernilai 0 (nol). Hal yang sama berlaku pada hidrokarbon, bahwa tidak semua hidrokarbon dapat dialirkan. Hal ini disebut
23
dengan saturasi hidrokarbon sisa atau irreducible hydrocarbon saturation (Shirr). 4. Resistivitas Resistivitas atau tahanan jenis merupakan sifat dimana alat log pertama kali dibuat. Resistivitas merupakan sifat bawaan material. Resistivitas ini berbeda untuk tiap jenis material dan tidak tergantung pada dimensi bentuk dan ukuran material sedangkan tahanan (resistance) bergantung pada bentuk dan dimensi material. Material yang berbeda memiliki kemampuan tersendiri untuk menahan aliran listrik. Hidrokarbon, batuan, dan air formasi merupakan benda insulator dan bersifat nonkonduktif terhadap aliran listrik. Dalam interpretasi log, hal ini menyebabkan nilai resistivitas batuan tinggi sampai sangat tinggi untuk hidrokarbon. Meskipun begitu, air asin adalah konduktor dan resistivitasnya rendah. Pengukuran resistivitas adalah pengukuran tidak langsung dimana sebenarnya yang diukur alat logging adalah konduktivitas (salinitas) batuan. Resistivitas diturunkan dengan operasi recriprocal nilai konduktivitas batuan. Resistivitas diukur dalam ohm-meter2/meter atau ohm-meter. R=
rA L
……………………………. (3.4)
dimana: R = resistivitas (ohm-m) r = resistansi (ohms) A = luas permukaan benda (m2) L = panjang benda (m) Resistivitas merupakan pengukuran dasar dalam penentuan saturasi fluida reservoir. Resistivitas batuan tergantung dari jenis porositas, tipe fluida, jumlah fluida, dan tipe batuan itu sendiri. Karena batuan dan hidrokarbon adalah insulator, maka pengukuran resistivitas dapat menjadi indikator keterdapatan hidrokarbon dan menghitung jumlah porositas batuan reservoir. 24
BAB IV PEMBAHASAN 4.1
Identifikasi Litologi Reservoir Melalui Well Logging Salah satu tujuan dari well logging yaitu mengidentifiakasi litologi reservoir. Well logging dapat digunakan untuk mengidentifikasi litologi batuan reservoir dan non-reservoir khususnya batupasir dan batulempung. Log yang terutama digunakan untuk identifikasi reservoir yaitu log Spontaneous Potensial (SP) dan log Gamma Ray (GR).
4.1.1 Log Gamma Ray Menurut Rider (2002), log gamma ray adalah rekaman radioaktifitas alami batuan. Radiasi ini memancar dari 3 (tiga) unsur radioaktif yang ditemukan umum di batuan yaitu Uranium (U), Thorium (Th), dan Potassium (K). Log Gamma Ray biasa merekam kombinasi radioaktifitas dari tiga unsur tadi sedangkan log spectral gamma ray merekam radioaktifitas masing-masing unsur tersebut. Batuan merupakan benda yang memancarkan sinar gamma secara alami. Batuan beku dan batuan metamorf terutama bersifat radioaktif. Batuan sedimen juga bersifat radiokatif, tetapi diantara batuan sedimen serpih (shale) memancarkan sinar radioaktif yang sangat kuat. Sifat radioaktif ini terjadi karena pengendapan serpih melalui mekanisme suspensi di tempat yang berenergi rendah. Lingkungan pengendapan berenergi rendah ini sangat berpotensi menjebak 3 (tiga) unsur radioaktif tersebut. Batupasir dengan komposisi utama butiran kuarsa tidak menunjukkan radioaktifitas dengan begitu nilai log GR batupasir menjadi rendah. Hal ini dapat dijadikan acuan dalam penentuan litologi reservoir. Akan tetapi, kehadiran mineral feldspar, mika, dan fragmen batuan menyebabkan nilai log GR batupasir
25
menjadi tinggi. Mengidentifikasi interval batupasir radioaktif sebagai shale berarti kehilangan interval batuan yang berpotensi menjadi reservoir. Alat GR menggunakan detektor sodium iodida untuk mendeteksi sinar gamma dalam batuan. Alat ini terdiri atas detektor sintilasi dan photomultiplier. Unsur unsur radioaktif akan memancarkan sinar gamma dalam bentuk pulsa-pulsa energi. Ketika sinar gamma melewati detektor sintilasi terjadi sinar flash. Sinar ini akan dideteksi oleh photomultiplier (Gambar 4.1 a dan b). Dengan memperhitungkan intensitas dari sinar ini dimungkinkan untuk memisahkan 3 (tiga) jenis unsur radioaktif tadi. a
b
Gambar 4.1 Alat logging Gamma Ray (a). Prinsip pengukuran alat logging gamma ray (b) (Serra, 2004).
Log Gamma Ray digunakan terutama untuk membedakan lapisan serpih dan non-serpih. Jika digabungkan dengan log lain seperti SP, neutron, dan densitas log ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi secara kualtitatif jenis litologi terutama batupasir dan batulempung. Log ini digunakan secara kuantitatif untuk menghitung volume serpih. Secara khusus Log Gamma Ray berguna untuk definisi lapisan permeabel disaat log SP tidak berfungsi karena formasi yang sangat resistif atau bila kurva SP kehilangan karakternya (Rmf=Rw). Menurut Harsono (1997) log ini digunakan
26
secara luas untuk tujuan korelasi pada sumur sumur cased-hole, interpretasi lingkungan pengendapan dan fasies. Selain itu, log ini dapat memberikan kontrol ke dalaman atau referensi untuk tool lain. Misalnya dalam penempatan alat perforasi secara akurat di depan lapisan yang akan diperforasi. 4.1.2 Keterbatasan Log Gamma Ray Log Gamma Ray mempunyai keterbatasan alat beserta variabel penyertanya yang membatasi interpretasi dan perhitungan petrofisika dalam karakterisasi reservoir menggunakan log ini. Adapun keterbatasan alat ini antara lain: 1. Standard Gamma Ray Log a. Kehadiran potassium dalam lumpur KCL menyebabkan bacaan log yang tinggi. Apabila lumpur ini masuk ke dalam formasi permeabel, maka pembacaan log GR akan tinggi dan identifikasi litologi reservoir menjadi kurang tepat b. Kehadiran barit dalam lumpur menyebabkan pengurangan log GR c. Evaluasi volume serpih tidak valid apabila terdapat batupasir radioaktif 2. Natural Gamma Ray Spectroscopy (NGS) a. Kehadiran potassium pada lumpur KCL menyebabkan tingginya nilai SGR b. Kehadiran barit dalam lumpur KCL menyebabkan pengurangan nilai SGR. Evaluasi kandungan K,Th, dan U menjadi salah karena terjadi pergesaran nilai puncak dari ketiga unsur tadi. 4.1.3 Log Spontaneous Potential Menurut Harsono (1997) log SP adalah rekaman perbedaan potensial antara elektroda yang bergerak di dalam lubang bor dengan elektroda di permukaan. Penyimpangan SP disebabkan oleh aliran arus listrik di dalam lumpur. Penyebab utamanya adalah dari dua kelompok tenaga elektromotif di dalam formasi yaitu komponen elektrokimia dan elektrokinetik. Keduanya berasal dari pengeboran
27
sumur menggunakan lumpur pengeboran yang berinteraksi dengan berbagai jenis fluida formasi (Harsono, 1997). Menurut Harsono (1997) log SP digunakan antara lain sebagai berikut: a. Untuk mengindentifikasi litologi b. Menentukan lapisan-lapisan yang permeabel c. Mencari batas-batas lapisan yang permeabel d. Menentukan nilai resistivitas air formasi e. Memberikan indikasi kualitatif lapisan serpih. Dalam lapisan yang mengandung hidrokarbon defleksi kurva SP berkurang. Efek ini disebut dengan hydrocarbon suppresion. Respon SP dari lapisan serpih relatif konstan dan membentuk garis lurus yang disebut garis dasar serpih. Garis dasar ini diasumsikan bernilai nol dan defleksi diukur dari garis ini. Zona permeabel diidentifikasi jika terjadi defleksi dari garis dasar serpih baik ke kanan maupun ke kiri. Sebagai contoh jika kurva SP bergerak ke kiri (defleksi negatif jika Rmf>Rw) atau ke kanan (defleksi positif jika R mf
𝑅𝑚𝑓𝑒 ⁄𝑅 ] 𝑤𝑒
……………………………. (4.1)
Menurut Rider (2002) dibutuhkan 3 faktor untuk menyebabkan terjadinya arus SP yaitu fluida konduktif dalam formasi, batuan berpori dan permeabel yang dibatasi lapisan impermeabel, dan perbedaan salinitas antara fluida sumur dengan fluida pengeboran. Dalam sumur yang mengandung minyak, kedua fluida tadi adalah air formasi dan filtrat lumpur. Komponen potensial elektrokimia disebabkan oleh pergerakan ion-ion. Komponen ini terbagi menjadi 2 (dua) yaitu: 1. Potensial Difusi atau Liquid Junction
28
Potensial ini disebabkan oleh kontak antara filtrasi lumpur dan air formasi pada daerah rembesan. Ion-ion yang menyebabkan terjadinya arus potensial adalah ion Na+ dan Cl-. Ion Na+ akan berpindah dari larutan dengan konsentrasi tinggi menuju ke konsentrasi rendah melalui proses difusi. Karena memiliki mobilitas yang lebih tinggi daripada ion Na+, maka ion Cl- akan bergerak dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Ini berakibat pada adanya muatan positif di daerah dengan konsentrasi tinggi dan terjadi beda potensial (Gambar 4.2). 2. Potensial Membran Potensial ini muncul dari membran yang bersifat semi permeabel. Dalam potensial ini konsentrasi dua larutan hampir sama. Mineral lempung yang terdapat pada serpih memiliki struktur berlapis dengan permukaan yang bermuatan negatif. Karena konsentrasi larutan yang hampir sama, maka ion Cl- tidak akan bergerak antara dua larutan tadi. Dengan kata lain, permukaan lempung merupakan membran semi-permeabel terhadap ion Cl-. Ion Na+ akan lolos bergerak melewati membran menuju larutan dengan konsentrasi lebih rendah. Akibatnya terjadi muatan negatif pada larutan yang berkonsentrasi lebih tinggi dan terjadilah beda potensial (Gambar 4.2).
Gambar 4.2 Potensial liquid junction dan potensial membran (Serra, 2004).
29
4.1.4 Keterbatasan Log Spontaneous Potential Seperti alat logging lain alat SP mempunyai keterbatasan alat dan variabelnya. Karena berhubungan dengan fluida dan sifat kelistrikan batuan, keterbatasan alat ini terutama disebabkan oleh hal tersebut. Adapun keterbatasan alat SP menurut Harsono (1997) antara lain sebagai berikut: a. Formasi yang resistif Pada formasi yang sangat resistif arus SP dapat meninggalkan atau masuk ke dalam lubang bor pada lapisan permeabel atau serpih. Kurva SP akan berupa garis lurus dan terjadi perubahan sudut pada setiap interval permeabel dan lapisan serpih. Batasan dari lapisan permeabel dan lapisan serpih tidak dapat ditentukan (Gambar 4.3).
Gambar 4.3 Limitasi Log SP untuk lapisan yang resistif (Harsono, 1997).
b. Pergeseran garis dasar serpih Garis dasar serpih dapat bergesar sehingga mempersulit dalam pencarian nilai SSP. Hal ini terjadi ketika air formasi dengan kadar garam yang berbeda dipisahkan oleh lapisan serpih yang bukan merupakan membran semipermeabel yang baik
Gambar 4.4 Limitasi log SP berupa shale baseline shift (Harsono, 1997).
30
Jika tidak terdapat lapisan serpih yang memisahkan dua lapisan permeabel dengan salinitas berbeda, maka garis dasar serpih tetap akan bergeser. c. Ketebalan lapisan Menurut Asquith dan Krygowski (2006) apabila ketebalan lapisan kurang dari 10 feet, maka diperlukan koreksi terhadap nilai SSP. d. Gangguan (noise) Noise ini terjadi karena magnetisasi suku cadang dari mesin derek. Noise ini menimbulkan kenampakan gigi gergaji. Apabila terjadi, kurva SP masih berlaku karena gejala magnetisasi tadi tidak menambah atau mengurangi nilai SP pada log. Noise juga dapat terjadi jika terdapat arus listrik yang mengalir melalui formasi didekat elektroda SP dan mengakibatkan terjadi kesalahan pembacaan SP. Alat proteksi katodis pada anjungan lepas pantai atau kebocoran listrik dapat mengakibatkan pembacaan SP menjadi kacau. Pada dasarnya elektroda SP yang diletakkan pada permukaan harus diletakkan seksama untuk menghindari kontak dengan benda bertegangan listrik. 4.2
Perhitungan Posoritas Melalui Well Logging Porositas dapat dihitung secara tidak langsung menggunakan pendekatan well logging. Porositas berpengaruh terhadap densitas batuan dan keterdapatan hidrokarbon atau air formasi mempengaruhi porositas batuan. Terdapat banyak log yang dapat dipakai untuk menghitung porositas batuan seperti Photoelectric (PE), Densitas, Neutron, Nuclear Magnetic Resonance, dan Sonik. Kurva log yang umum dipakai dalam perhitungan porositas yaitu log densitas dan log neutron.
4.2.1 Log Densitas Menurut Rider (2002) log densitas adalah rekaman densitas keseluruhan (bulk density) batuan. Bulk density ini mencakup densitas matriks dan fluida di dalamnya. Secara geologi, densitas ini merupakan fungsi densitas mineral yang
31
menyusun batuan dan volume fluida bebas di dalam pori-pori. Contohnya, densitas batupasir kuarsa tanpa porositas memiliki bernilai 2,65 g/cc yaitu densitas dari kuarsa itu sendiri. Kehadiran air dalam porositas batupasir ini akan menghasilkan nilai densitas sebesar 2,49 g/cc. Prinsip pengukuran alat ini adalah membombardir formasi batuan dengan sinar gamma ray berenergi menengah sampai tinggi (0,2–2,0 MeV) dan mengukur attenuasi antara sumber energi dengan detektor (Gambar 4.5). Peristiwa attenuasi ini disebut dengan penghamburan Compton (Compton scattering) dimana terdapat elektron formasi yang terhambur keluar karena energi sinar gamma. Hubungan antara elektron yang terhambur keluar ini merupakan gambaran mengenai densitas elektron dalam formasi yang secara langsung berhubungan dengan densitas batuan. Menurut Rider (2002) di dalam formasi yang memiliki densitas tinggi penghamburan elektron jarang dan hanya sedikit yang sampai ke alat detektor sebaliknya di dalam batuan yang berdensitas rendah penghamburan elektron lebih banyak terjadi. Dari gambar tampak adanya 2 (dua) jenis detektor. Detektor yang letaknya lebih jauh dari sumber radiasi disebut detektor sumbu pendek, sedangkan yang letaknya lebih jauh dari sumber radiasi disebut detektor sumbu panjang. Detektor sumbu panjang memegang peranan penting dalam pengukuran densitas, sedangkan detektor sumbu pendek sangat dipengaruhi oleh kerak lumpur. Dengan adanya detektor sumbu pendek ini, maka kompensasi terhadap adanya kerak lumpur dapat dilakukan terhadap hasil logging. Densitas yang dibaca oleh tiap detektor tidak akan sama. Jika kerak lumpur lebih berat daripada formasi, maka densitas yang terbaca lebih tinggi, begitu sebaliknya. Perbedaan nilai densitas antara sumbu panjang dengan sumbu pendek memberikan besarnya koreksi yang harus ditambahkan atau dikurangkan kepada detektor sumbu panjang.
32
Log densitas dapat digunakan secara kualitatif dan kuantitatif. Secara kuantitatif log ini digunakan dalam perhitungan porositas densitas dari hubungan persamaan bulk density batuan. ρb= porositas (Φ) x densitas fluida + (1-Φ) densitas matriks ……………. (4.2) Dengan menurunkan persamaan tadi didapatkan perhitungan porositas porositas (Φ) =
ρma - ρb
……………………………. (4.3)
pb -ρf
Keterangan: ρma = densitas matrik batuan ρb = bulk density (dibaca dari log densitas) ρf = densitas fluida Selain dalam perhitungan porositas log densitas juga digunakan untuk menghitung impedansi akustik dikombinasikan dengan log sonik. Secara kualitatif log densitas digunakan untuk interpretasi litologi, identifikasi mineral, identifikasi overpressure, dan rekahan.
-Ray
-
e
W a
b
Gambar 4.5 Prinsip pengukuran logging densitas (a) dan alat logging densitas (b) (Serra, 2004).
4.2.2 Batasan Log Densitas Seperti proses logging lain logging densitas mempunyai keterbatasan alat dan variabelnya. Batasan dari logging ini antara lain: a. Lubang buruk Lubang yang buruk akan memberikan nilai log yang tidak pasti meskipun sudah menggunakan sistem dua detektor. 33
b. Kandungan serpih Serpih memenegaruhi pegukuran densitas sebesar jumlah volumenya. Koreksi terhadap serpih perlu dilakukan untuk memperoleh densitas sesungguhnya. c. Hidrokarbon Jika terdapat hidrokarbon maka densitas air (p f) dalam rumus diatas mungkin perlu dirubah untuk memperoleh porositas densitas. Kehadiran hidrokarbon terutama gas akan mengurangi densitas formasi yang berakibat terhadap besarnya nilai porositas. d. Lumpur barit Barit dalam lumpur seringkali dapat dideteksi oleh penyimpangan yang tajam dari defleksi kurva ke kanan. Namun kehadiran barit menjadi adanya indikasi rekahan dalam batuan karbonat. 4.2.3 Log Neutron Menurut Rider (2002) log neutron adalah rekaman reaksi formasi batuan terhadap bombardir neutron berkecepatan tinggi. Neutron memiliki massa yang hampir sama dengan atom hidrogen dan menurut hukum fisika neutron yang menumbuk dengan atom lain dengan massa yang sama akan mengalami penurunan kecepatan. Log neutron ini merekam jumlah neutron yang tertangkap kembali oleh detektor sehingga berhubungan dengan indeks hidrogen formasi. Porositas dari log ini berhubungan dengan indeks hidrogen batuan. Jika dalam batuan terdapat banyak air, maka porositas akan berkurang dan nilai kurva log neutron akan tinggi. Jika terdapat porositas yang banyak di dalam batuan nilai kurva log neutron batuan menjadi rendah. Porositas dari log ini dinyatakan dalam neutron porosity unit.
34
Gambar 4.6 Alat logging Compensated Neutron Logging. Alat ini terdiri atas pendeteksi neutron dual spacing. Rasio dari counting rate kedua detektor menghasilkan neutron porosity index (Serra, 2004).
Alat logging neutron memiliki sumber zat kimia yang memancarkan neutron dengan energi 4MeV. Dengan energi sebesar ini, maka kecepatan luncur dari neutron ini adalah 2800 cm/µsec (Gambar 4.6). Respon alat logging neutron mencerminkan banyaknya atom hidrogen di dalam formasi batuan. Karenya minyak dan air mempunyai jumlah hidrogen per unit volume yang hampir sama, maka log neutron akan memberikan respon porositas fluida dalam formasi bersih. Namun pada formasi lempung yang mengandung atom-atom hidrogen dalam susunan molekulnya, porositas yang terukur akan terlihat seolah-oleh lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena alat logging neutron tidak dapat membedakan atom hidrogen yang terikat pada mineral batuan. Log neutron akan memberikan respon porositas yang lebih rendah daripada porositas formasi sesungguhnya pada daerah gas yang cukup dekat dengan dinding sumur. Hal ini disebabkan karena gas memiliki atom hidrogen yang lebih rendah daripada air dan minyak.
35
4.2.4 Batasan Log Neutron Seperti proses logging lain logging neutron mempunyai keterbatasan alat dan variabelnya. Batasan dari logging ini antara lain: a. Serpih dan air-terikat (bound water) Alat neutron melihat semua atom hidrogen dalam formasi. Alat neutron akan melihat air-terikat berasosiasi dengan serpih. Karna serpih umumnya memiliki HI, maka pada formasi serpihan (shaly formation) porositas yang terbaca dari log ini akan lebih besar daripada porositas yang sebenarnya. Selain itu kehadiran mineral hidrat lain sepertih gypsum akan menghasilkan nilai porositas neutron yang lebih tinggi daripada porositas sesungguhnya. Hal ini cukup signifikan dalam perhitungan petrofisika. b. Tipe fluida Residu minyak menyebabkan porositas neutron membaca lebih rendah karena nilai HI hidrokarbon yang rendah. Gas menyebabkan bacaan porositas neutron sangat rendah karena nilai HI gas yang jauh lebih kecil daripada air dan minyak. 4.3
Identifikasi Tipe Fluida melalui Well Logging Metode well logging dapat digunakan dalam identifikasi tipe fluida yang hadir dalam formasi batuan. Log resistivitas adalah kunci dalam penentuan tipe fluida dan saturasi fluida melalui metode well logging.
4.3.1 Log Resistivitas Log resistivitas menurut Rider (2002) adalah rekaman mengenai resistivitas batuan termasuk fluida di dalamnya. Resistivitas ini adalah resistansi batuan terhadap arus listrik yang melewatinya. Terdapat 2 (dua) macam pengukuran resistivitas. Alat yang mengukur resistivitas batuan adalah alat resistivity. Di samping itu, alat induksi mengukur konduktivitas formasi batuan yang merupakan kebalikan dari resistivitas batuan.
36
Kebanyakan batuan merupakan insulator sedangkan fluida formasi terutama air adalah konduktor. Hidrokarbon merupakan pengecualian karena sifat hidrokarbon sebagai fluida yang resistif. Resistivitas diukur dengan cara mengirim arus listrik ke dalam formasi batuan dan mengukur berapa resistivitasnya terhadap arus listrik yang mengalir di formasi tersebut. Selain itu bisa juga dengan cara mengirimkan arus listrik ke dalam formasi batuan dan mengukur berapa konduktivitas batuan. Resistivitas batuan umumnya berkisar antara 0,2 sampai 1000 ohm-m. Resistivitas batuan yang lebih besar daripada 1000 ohm-m ditemukan pada batuan yang impermeabel atau memiliki porositas yang sangat rendah seperti batuan evaporit. Log
resistivitas
menurut
Harsono
(1997) dapat
digunakan untuk
mengidentifikasi: 1. Lapisan yang impermeabel seperti sedimen evaporit 2. Menghitung resistivitas air (Rw) formasi 3. Menghitung saturasi air (Sw) 4. Menghitung ke dalaman zona invasi dalam lapisan permeabel Jika dikombinasikan dengan log-log lain seperti log densitas-neutron, maka kita dapat melakukan interpretasi untuk: a. Mengidentifikasi zona hidrokarbon dalam reservoir b. Mengkalkulasi saturasi air Berikut merupakan alat-alat logging resistivitas: 1. Alat laterolog ganda (dual laterolog) Alat ini memfokuskan arus listrik secara lateral ke dalam formasi dalam bentuk lembaran tipis (Gambar 4.7). Ini dicapai dengan menggunakan aruspengawal (bucking current) yang fungsinya untuk mengawal arus utama (measurent current) masuk ke dalam formasi sedalam-dalamnya. Dengan mengukur tegangan listrik yang diperlukan untuk menghasilkan arus listrik utama yang besarnya tetap, maka resistivitas dapat dihitung dengan menggunakan Hukum Ohm. 37
Gambar 4.7 Skema alat dual-laterolog (Serra, 2004)
Sebenarnya alat ini terdiri dari dua bagian yaitu satu bagian mempunyai elektroda yang berjarak sedemikian rupa untuk memaksa arus utama masuk sejauh mungkin ke dalam formasi dan mengukur resistivitas laterolog dalam (LLd). Yang lain mempunyai elekroda berjarak sedemikian rupa membiarkan lembar arus utama terbuka sedikit dan mengukur resistivitas laterolog dangkal (LLs). Arus yang dipancarkan adalah arus bolak-balik dengan frekuensi yang berbeda. Arus LLd menggunakan frekuensi 28 kHz, sedangkan frekuensi arus LLs sebesar 35 kHz (Harsono, 1997). 2. Alat Induksi Terfokuskan Speris (Spherically Focused Induction Tool) Sonde terdiri dari dua set kumparan disusun dalam batangan fiberglass non-konduktif. Suatu rangkaian isolator menghasilkan arus konstan pada kumparan pemancar. Sebuah kumparan yang dialiri oleh arus listrik akan menghasilkan medan magnet dan sebaliknya medan magnet akan menimbulkan arus listrik pada kumparan sehingga arus listrik yang mengalir dalam kumparan alat induksi ini menghasilkan medan magnet di sekeliling sonde (Gambar 4.8).
38
Gambar 4.8 Skema Alat Induksi (Serra, 2004)
Medan magnet ini menghasilkan arus eddy di dalam formasi di sekitar alat sesuai dengan hukum Faraday. Formasi konduktif di sekitar alat bereaksi seperti kumparan-kumparan kecil. Bisa dibayangkan terdapat berjuta-juta kumparan kecil di dalam formasi yang mengalirkan arus eddy terinduksi. Arus eddy akan menghasilkan medan magnet sendiri yang dideteksi melalui kumparan penerima. Kekuatan dari arus pada penerima adalah sebanding dengan kekuatan medan magnet yang dihasilkan dan sebanding dengan arus eddy dan juga konduktivitas dari formasi. Oleh sebab itu, alat induksi disebut dengan alat konduktivitas. Alat SFL mempunyai dua jenis sinyal yang diterima oleh rangkain penerima. Yang satu berasal dari interaksi dengan formasi disebut dengan sinyal R dan yang satu lagi merupakan pengaruh langsung dari kumparan pemancar disebut sinyal X. Alat detektor SFL hanya mendeteksi sinyal R saja. Pada beberapa alat sinyal X digunakan untuk memperbaiki sinyal R. Alat induksi dapat digunakan pada lumpur yang tidak konduktif seperti air tawar dan minyak. Alat ini dapat memberikan hasil yang lebih baik dala formasi resistifitas rendah atau konduktivitas tinggi.
39
4.4 Proses Invasi pada Pengeboran Pada saat dilakukanya proses pengeboran lumpur pengeboran dapat menginfiltrasi ke dalam lapisan permeabel. Dengan masuknya lumpur ini ke dalam formasi batuan mempengaruhi respon log. Terbentuk 3 (tiga) zona infiltrasi pada formasi batuan (Gambar 4.9). Ketiga zona tersebut adalah: 1. Zona terusir (Flushed Zone) Merupakan zona infiltrasi yang terletak paling dekat dengan lubang bor dan terisi oleh filtrat lumpur yang mendesak kandungan fluida formasi batuan semula 2. Zona Transisi (Transition Zone) Merupakan zona infiltrasi yang lebih dalam daripada zona terusir. Ciri zona ini adalah adanya campuran lumpur pengeboran dan fluida formasi. 3. Zona Tidak Terganggu (Uninvaded Zone) Merupakan zona infiltrasi yang terletak paling jauh dari lubang bor. Zona ini menggambarkan keadaan formasi yang sebenarnya dimana seluruh pori-pori batuan terisi oleh fluida batuan dan tidak terpengaruh oleh adanya infiltrasi lumpur pengeboran.
Gambar 4.9 Profil lubang bor yang menunjukkan ketiga zona infiltrasi (Asquith dan Kyrgowski, 2006).
40
Keterangan: Rm = resistivitas lumpur
Flushed Zone
Rmf = resistivitas filtrat lumpur
Rmc = resistivitas kerak lumpur
Rxo = resistivitas flushed zone
Rs
= resistivitas serpih
Sxo = saturasi air flushed zone
dh
= diameter lubang bor
di
= diameter invasi
h
= ketebalan lapisan
Uninvaded Zone Rt = resistivitas formasi sebenarnya Rw = resistivitas air formasi
Sw = saturasi air
4.4.1 Variasi Profil Resistivitas Dikarenakan terjadinya infiltrasi filtrat lumpur ke dalam lubang bor menyebabkan terjadinya pencampuran fluida formasi dengan lumpur. Keadaan ini mempengaruhi respon log resistivitas. Terdapat variasi resistivitas dalam ketiga zona tersebut. a. Profil Transisi Pada flushed zone lumpur masuk ke dalam formasi dan mendesak fluida formasi seluruhnya sehingga resistivitas flushed zone terbaca tinggi. Pada zona transisi terjadi pencampuran antara filtrat lumpur dan fluida formasi. Pada zona ini nilai resistivitas lebih rendah daripada flushed zone. Pada zona tak terinvasi tidak ada filtrat lumpur yang masuk. Pada zona ini nilai resistivitas adalah nilai resistivitas sesungguhnya. Jika terdapat hidrokarbon, maka nilai resistivitas menjadi tinggi. Sebaliknya, jika terdapat air formasi nilai resistivitas menjadi rendah daripada zona terinvasi dan zona transisi.
Gambar 4.10 Model Resistivitas Profil Transisi (Asquith dan Kyrgowski, 2006)
41
b. Profil Annulus Model ini menggambarkan adanya invasi fluida secara temporer dan akan menghilang seiring waktu. Profil annulus menggambarkan distribusi fluida di flushed zone dan zona tak terganggu. Profil ini hanya ada ketika hidrokarbon terdapat dalam formasi. Pada flushed zone, pori-pori batuan terisi oleh filtrat lumpur dan hidrokarbon residual. Bacaan nilai resistivitas zona ini menjadi tinggi. Pada zona transisi pori-pori diisi oleh filtrat lumpur, air formasi, dan hidrokarbon residual. Zona ini disebut juga dengan zona annulus. Bacaan resistivitas pada zona ini menjadi lebih rendah daripada flushed zone. Pada zona tak terinvasi, pori-pori diisi oleh air formasi dan hidrokarbon. Bacaan nilai resistivitas pada zona ini menjadi lebih tinggi daripada zona transisi atau zona annulus (Gambar 4.11).
Gambar 4.11 Model Resistivitas Profil Annulus (Asquith dan Kyrgowski, 2006).
4.5 Interpretasi Formasi Bersih Formasi pasir bersih adalah batuan sedimen yang tidak mengandung mineral lempung. Meskipun pada batupasir masih memiliki matriks berupa butiran pasir yang lebih halus, tetapi kondisi ini dikategorikan sebagai formasi bersih.
42
Tujuan dari interpretasi formasi bersih adalah untuk menentukan zona-zona permeabel, lapisan yang mengandung hidrokarbon, menentukan nilai porositas, permeabilitas, ketebalan lapisan efektif, saturasi air, dan saturasi hidrokarbon. Sebelum dilakukan interpretasi kuantitatif terlebih dulu dilakukan interpretasi kualitatif untuk menentukan zona batuan yang berpotensi menjadi reservoir. Pada interpretasi kualitatif, parameter yang dievaluasi diantaranya: a. Zona Batuan Reservoir Batuan reservoir yang bersifat porous dapat dibedakan dari zona batuan impermeabel melalui pengamatan bentuk-bentuk kurva log. Kenampakan kurva log tersebut antara lain sebagai berikut: Tabel 4.1 Karakteristik Kurva Log pada Batuan Reservoir dan Batuan Impermeabel
No Batuan Reservoir 1 Nilai log GR rendah 2 Terdapat separasi positif kurva log Densitas dengan Neutron 3 Terbentuk kerak lumpur pada flushed zone 4 Nilai kurva log SP menjauhi shale baseline 5 Terdapat separasi positif kurva microlog
Batuan Impermeabel Nilai log GR tinggi Separasi negatif kurva log Densitas dengan Neutron Tidak terbentuk kerak lumpur pada flushed zone Kurva log SP stabil pada shale baseline Separasi negatif pada kurva microlog
b. Jenis Litologi Jenis litologi dapat ditentukan dari kenampakan log tanpa melakuan perhitungan. Adapun kenampakan log dari beberapa jenis litologi yang umum dijumpai antara lain sebagai berikut: 1. Batupasir Nilai nilai log GR rendah Terdapat separasi positif pada kurva resistivitas mikro Pada flushed zone terbentuk kerak lumpur
43
2. Batugamping Nilai log GR rendah Nilai porositas tinggi dibandingkan batupasir Terdapat separasi positif antara kurva porositas apabila batugamping bersifat porous dan separasi negatif apabila batugamping tidak porous. Kurva log neutron berhimpit dengan kurva log densitas Lubang bor kadang-kadang membesar dilihat dari kurva log caliper c. Jenis fluida formasi Untuk menentukan jenis fluida yang mengisi batuan dapat dilakukan dengan mengamati log resistivitas dan log porositas. Zona hidrokarbon dicirikan oleh adanya separasi antara nilai resistivitas flushed zone dan nilai resistivitas formasi sebenarnya. Separasi dapat bernilai positif atau negatif bergantung dari jenis filtrat lumpur yang digunakan dalam pengeboran. Nilai perbandingan resistivitas flushed zone dan resistivitas formasi sesungguhnya akan bernilai maksimum atau sama dengan nilai perbandingan resistivitas filtrat lumpur dan resistivitas air di dalam zona air. Nilai perbandingan resistivitas flushed zone dan resistivitas formasi yang lebih rendah menunjukkan adanya hidrokarbon pada formasi. Untuk membedakan antara minyak atau gas pada suatu reservoir dapat menggunakan log porositas densitas dan log neutron. Zona gas memiliki separasi positif antara log porositas dan log neutron yang besar. Porositas neutron zona gas sangat rendah dan porositas densitasnya juga rendah sehingga terbentuk separasi. Untuk zona minyak separasi antara kedua log ini lebih sempit. Pada zona shale kedua log ini berhimpit dimana nilai porositas neutron lebih tinggi daripada nilai porositas densitas.
44
d. Mobilitas Hidrokarbon Mobilitas
hidrokarbon
dapat
ditentukan
secara
kualitatif
dengan
menggunakan log yang ditumpang tindih (overlay). Profil dari resistivitas flushed zone dengan zona tidak terganggu dapat dijadikan sebagai indikasi mobilitas hidrokarbon. Hidrokarbon yang bergerak (moveable hydrocarbon) akan ditunjukan dengan adanya separasi antara resistivitas formasi yang sebenarnya dengan resistivitas formasi pada flushed zone. Dalam zona tidak terganggu nilai resistivitas bernilai lebih tinggi daripada nilai resistivitas flushed zone. Dalam zona hidrokarbon yang tidak bergerak ditunjukan oleh resistivitas formasi yang hampir sama dengan resistivitas flushed zone. Dalam melakukan interpretasi kuantitatif parameter yang harus diperhitungkan antara lain: 1. Litologi Interpretasi kuantitatif litologi yang dicatat dalam kurva log dapat menggunakan 3 (tiga) log porositas (log densitas, sonik, dan log neutron). Digunakan 2 (dua) metode yang banyak dikenal yaitu: a. Plot M-N Metode ini menggunakan ketiga log porositas. Pada metode ini ketiga log tadi digunakan untuk menghitung nilai M dan N yang berguna dalam menentukan matrik dan formasi. Nilai variabel ini dihitung denga persamaan Schlumberger, 1972 yaitu: M= N=
∆tf - ∆t ρb - ρf
x 0.01
…….……………………………. (4.4)
𝜙𝑁𝑓 - 𝜙𝑁 ρb- ρf
Keterangan: ∆tf = interval travel time fluida ∆t = interval travel time fluida dari log sonik ρb = bulk density dibaca dari log densitas ρf = densitas fluida ( 1 untuk air tawar dan 1.2 untuk lumpur) 45
ΦNf ΦN
= porositas neutron fluida = porositas neutron yang dibaca dari log neutron
b. Plot M-D Plot ini juga menggunakan ketiga log porositas untuk mengidentifikasi jenis litologi dari matriks batuan dan porositas sekunder. Pada metode ini M adalah nilai matrik yang menggambarkan litologi. Langkah pertama yaitu melakukan perhitungan nilai apparent matrix density (ρmaa) dan apparent matrix traveltime (∆tmaa). Ketiga nilai tadi dihitung dengan menggunakan log neutron, log densitas, dan log sonik menggunakan rumus berikut: ρmaa =
𝜌𝑏−(𝜙𝑁𝐷 𝑋 𝜌 ) 𝑓𝑙
…….……………………………. (4.5)
1− 𝜙𝑁𝐷 ∆t - (𝜙𝑆𝑁 𝑋 ∆𝑡𝑓𝑙 )
∆tmaa=
1−𝜙𝑆𝑁
Keterangan: ρmaa = apparent matrix density (g/cm3) ρb = densitas batuan dibaca dari log densitas (g/cm3) 𝜙𝑁𝐷 = porositas plot neutron-density 𝜌𝑓𝑙 = densitas fluida (g/cm3) ∆tmaa = apparent matrix interval travel time (μsec/ft atau μsec/m) ∆t = interval travel time dibaca dari log sonik (μsec/ft atau μsec/m) ф𝑆𝑁 = porositas plot sonik-neutron ∆𝑡𝑓𝑙 = interval travel time fluida (μsec/ft atau μsec/m) Pada tabel 4.2 nilai umum dari ρmaa dan ∆tmaa dapat digunakan untuk identifikasi litologi. Tabel 4.2 Nilai Umum ρmaa dan ∆tmaa dari beberapa jenis litologi (Asquith dan Kyrgowski, 2006).
Litologi Batupasir Batugamping Dolomit Anhidrit Gipsum
ρmaa
∆tmaa
2.65 2.71 2.87 2.98 2.35
55.5 47.5 43.5 50.0 52.0
46
2. Resistivitas Air Formasi Resisitivitas atau resistivitas air formasi merupakan resistivitas air yang terdapat dalam formasi batuan sebelum ditembus oleh pengeboran. Air formasi ini sering berupa air fossil (connate water). Resistivitas air formasi ini dapat ditentukan nilainya menggunakan beberapa metode yaitu: a. Metode Rwa (apparent water resistivity) Dalam suatu zona air bersih (clean water formation) berlaku rumus: Ro = F x Rw F= a/ Φm Rw=
Ro X Φm
Rwa =
a Rt X Φm a
…….……………………………. (4.6)
Keterangan: Ro F a Φ
= resistivitas jenuh air = faktor formasi = faktor turtuosity = porositas
m = faktor sementasi Rw = resistivitas air Rwa = apparent water resistivity
Pada zona yang mengandung air Ro=Rt dan nilai Rw=Rwa. Dalam zona hidrokarbon nilai Rt > Ro dan Rwa > Rw. b. Rw dari test produksi Nilai Rw ditentukan dengan cara mengukur langsung resistivitas air formasi c. Rw dari nilai yang sudah diketahui Pada metode ini, nilai Rw ditentukan dengan cara melihat nilai resistivitas air formasi dari sumur yang berdekatan letaknya dan sudah diketahui nilai resistivitas air formasinya. d. Resistivitas Filtrat Lumpur Pada metode ini, resistivitas filtrat lumpur digunakan untuk mencari resistivitas air yang sebenarnya dengan rumus tersendiri.
47
Rw =
R𝑚𝑓 𝑋 R𝑡
…….……………………………. (4.7)
R𝑥𝑜
Keterangan: Rw = resistivitas air formasi Rmf = resistivitas filtrat lumpur Rt = resistivitas dalam formasi Rxo = resistivitas flushed zone e. Resistivitas Formasi Resistivitas formasi diukur pada uninvaded zone yang letaknya cukup jauh dari lubang bor sehingga tidak terpengaruh oleh invasi lumpur pengeboran. Pada metode ini, nilai Rt atau resistivitas formasi digunakan untuk mencari nilai Rw. Nilai Rt dapat langsung dibaca pada log deep resistivity (LLD atau ILD). 3. Porositas Porositas dapat dicari dengan 3 (tiga) log porositas utama yaitu log neutron, log densitas, dan log sonik. Metode perhitungan porositas dari ketiga log tadi yaitu sebagai berikut: a. Porositas densitas Untuk formasi bersih dapat digunakan persamaan: ΦD =
ρma - ρb
…….……………………………. (4.8)
pb - ρf
Keterangan: ρma = densitas matrik batuan ρb = bulk density (dibaca dari log densitas) ρf = densitas fluida (1 untuk fresh water mud dan 1,1 untuk salt mud) Tabel 4.3 Densitas matriks batuan yang umum digunakan untuk analisis petrofisika.
Litologi Batupasir Batugamping Dolomit Anhidrit
ρma 2,648 2,710 2,876 2,977
b. Porositas Neutron Untuk formasi bersih nilai porositas dapat dibaca langsung dari log neutron
48
c. Porositas Sonik Untuk formasi bersih, porositas sonik dapat dihitung menggunakan persamaan Willey dan Hunt-Raymer ΦS = ΦS =
∆t - ∆tma ∆tf - ∆tma ∆t - ∆tma ∆tf
X
1 Bcp
…….……………………………. (4.9)
(Wiley, 1986)
5
x (Hunt-Raymer, 1986) …….…………………………. (4.10) 8
Keterangan: ΦS = porositas sonik ∆t = interval travel time yang terekam pada log sonik ∆tma = interval travel time gelombang sonik pada matriks batuan ∆tf = interval travel time gelombang sonik pada fluida Bcp = koreksi kompaksi Tabel 4.4 Nilai Vma dan ∆tma pada berbagai litologi
Litologi
Vma (ft/sec)
∆tma (µs/sec)
Batupasir
18000-19500
51-55,5
55,5
Batugamping
21000-23000
43,5-47,6
47,6
Dolomit
23000-26000
38,5-43,5
43,5
Anhidrit
20000
50
50
∆tma
4. Kejenuhan Air Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa kejenuhan air adalah volume pori-pori yang terisi oleh air dari volume pori-pori total. Kejenuhan air (Sw) dapat dihitung dengan menggunakan beberapa metode. Untuk formasi bersih berlaku persamaan Archie 𝑛
Sw= √𝑎⁄
𝑚
X
Rt ⁄R w
…….…………………………. (4.11)
Keterangan: Sw = saturasi air Sh = saturasi hidrokarbon Rt = resistivitas dalam formasi kandung air Rw = resistivitas air formasi a = faktor tortuosity 49
m = faktor sementasi Φ = porositas 4.6 Interpretasi Formasi Pasir Serpihan Formasi pasir serpihan (shaly formation) adalah formasi batupasir yang mengandung serpih dengan jumlah komposisi yang cukup signifikan. Serpih ini pada umumnya berupa mineral lempung yang berupa kaolinit, illit, atau smektit. Kehadiran mineral lempung pada pori-pori batuan menyebabkan terjadinya perubahan nilai yang tercatat pada alat logging seperti porositas, resistivitas, dan kejenuhan air. Formasi serpihan cenderung memberikan efek negatif antara lain: 1. Mengurangi porositas efektif 2. Mengurangi permeabilitas 3. Memberikan nilai resistivitas yang berbeda dengan resistivitas 4. Memberikan pembacaan log porositas yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Lempung (clay) terdiri atas partikel-partikel yang sangat kecil dan memiliki permukaan yang luas sehingga dapat mengikat air formasi dalam jumlah yang banyak di bagian permukaan. Air yang terikat tidak dapat didorong oleh hidrokarbon sehingga hidrokarbon tidak dapat mengalir. Distribusi serpih pada batupasir dibagi menjadi 3 (tiga) macam yaitu: 1. Berlapis (laminated) 2. Tersebar (dispersed) 3. Terstruktur (structural) Distribusi serpih yang berlapis pada umumnya tipis dan terletak berselangseling dengan pasir. Lapisan serpih ini berasal dari hasil rombakan batuan. Setelah pengendapan lapisan serpih dan pasir dapat menjadi homogen melalui proses infiltrasi lempung ke dalam ruang pori-pori atau berbagai macam aktivitas organisme.
50
Pada lapisan serpih yang menyebar (dispersed), lempung dalam lapisan serpih disebarkan ke dalam ruang pori-pori. Mineral lempung pada batupasir disebabkan oleh proses authigenesis selama proses diagenesis. Lempung ini tumbuh karena adanya alterasi mineral seperti feldspar. Pada lapisan serpih yang terstruktur (structural clay) butiran lempung menggusur butiran pasir tetapi jenis ini jarang sekali ditemukan. Untuk evaluasi pasir serpihan metode yang digunakan diantaranya: 1. Metode Kompensasi Metode ini digunakan untuk interpretasi batupasir yang mengandung dispersed clay dan porositas batuan lebih dari 15%. Dua jenis log yang penting digunakan adalah log porositas dan log induksi. Kedua log ini digunakan untuk mengkoreksi nilai resistivitas formasi yang terlalu rendah dan nilai porositas yang terlalu tinggi yang dibaca oleh kedua log tadi pada formasi pasir serpihan dalam persamaan Archie. Tahapan interpretasi pasir serpihan dengan metode kompensasi adalah sebagai berikut: a. Menyiapkan data pendukung seperti nilai resistivitas lumpur, resistivitas kerak lumpur, dan resistivitas filtrat lumpur. b. Membaca tebal lapisan c. Membaca defleksi log SP, log resistivitas, dan log porositas pada lapisan yang bersangkutan dan lapisan serpih di dekatnya. d. Menentukan nilai resistivitas air formasi dan nilai resistivitas formasi yang sesungguhnya. e. Menghitung nilai porositas sonik tanpa koreksi serpih f. Menentukan volume serpih g. Menghitung nilai porositas efektif dengan menggunakan rumus Φe = Φs – (Vsh x Φssh)
…….……………………………. (4.12)
Keterangan: Φe = porositas efektif Φs = porositas sonik Vsh = volume serpih Φssh = porositas sonik lapisan serpih
51
h. Menghitung nilai saturasi air dengan rumus Sw = 0.9 √
Rw⁄ Rt Φs
…….……………………………. (4.13)
Keterangan: Sw = saturasi air Rw = resistivitas air formasi Rt = resistivitas formasi Φs = porositas sonik 2. Metode Dispersed Clay Metode ini menggunakan 2 (dua) log porositas yaitu porositas sonik dan porositas densitas untuk menentukan porositas efektif. Perbedaan keduanya menunjukkan jumlah lempung dalam batuan. Lapisan batuan diperkirakan tidak mengandung gas dan batupasir memiliki komposisi authigenic clay yang terdistribusi secara dispersed. Tahapan interpretasi dengan metode ini sebagai berikut: a. Menyiapkan data pendukung seperti nilai resistivitas lumpur, resistivitas kerak lumpur, dan resistivitas filtrat lumpur. b. Membaca tebal lapisan c. Membaca defleksi log SP, log resistivitas, dan log porositas pada lapisan yang bersangkutan dan lapisan serpih di dekatnya. d. Menentukan nilai resistivitas air formasi dan nilai resistivitas formasi yang sesungguhnya. e. Menghitung nilai porositas sonik dan porositas densitas f. Menentukan volume serpih g. Menghitung nilai porositas efektif dengan menggunakan rumus Φe = ΦD – (Vsh x ΦDsh)
…….……………………………. (4.14)
Keterangan: Φe = porositas efektif ΦD = porositas densitas Vsh = volume serpih ΦDsh = porositas densitas lapisan serpih
52
h. Menghitung nilai saturasi air dengan rumus 0.8𝑅𝑤
Sw= √𝑠 2𝑅𝑡 +(
𝛷𝑠− 𝛷𝐷 2 2𝛷𝑠
) –
𝑠 − 𝛷𝐷 2𝛷𝑠
/(1 −
(
𝑠 − 𝐷 )).……………. 𝑠
(4.15)
Keterangan: Sw = saturasi air Rw = resistivitas air formasi Rt = resistivitas formasi Φs = porositas sonik ΦD = porositas densitas 3. Metode Simandoux Metode ini menggunakan 2 (dua) log porositas yakni log densitas dan log neutron. Pada umumnya serpih terdistribusi secara laminated atau dispersed. Tahapan interpretasi dari metode ini sebagai berikut: a. Menyiapkan data pendukung seperti nilai resistivitas lumpur, resistivitas kerak lumpur, dan resistivitas filtrat lumpur. b. Membaca tebal lapisan c. Membaca defleksi log SP, log resistivitas, dan log porositas pada lapisan yang bersangkutan dan lapisan serpih di dekatnya. d. Menentukan nilai resistivitas air formasi dan nilai resistivitas formasi e. Menghitung nilai porositas neutron dan porositas densitas pada lapisan yang akan dievaluasi dan lapisan serpih di dekatnya f. Menentukan volume serpih g. Melakukan koreksi porositas densitas dan porositas neutron terhadap serpih menggunakan rumus: ΦDC = ΦD – (Vsh x ΦDsh)
…….……………. (4.16)
ΦNC = ΦN – (Vsh x ΦNsh)
…….……………. (4.17)
Keterangan: ΦDC = porositas densitas terkoreksi ΦD = porositas densitas Vsh = volume serpih ΦDsh = porositas densitas pada lapisan serpih ΦNC = porositas neutron terkoreksi ΦN = porisitas neutron ΦNsh = porositas neutron pada lapisan serpih
53
h. Menghitung nilai porositas efektif dengan menggunakan rumus Φe = √
ΦDC 2 + ΦNC 2
…….……………. (4.18)
2
Keterangan: Φe = porositas efektif ΦDC = porositas densitas terkoreksi ΦNC = porositas neutron terkoreksi i. Menghitung nilai saturasi air dengan rumus Sw =
C x Rw Φe
2
[√
5Φe 2
V
2
V
sh + (Rsh ) - ( Rsh )] Rw x Rt sh
…….……………. (4.19)
Atau dengan menggunakan rumus kejenuhan air Indonesia 𝑆𝑤 𝑛⁄2 =
1
√
(1-Vsh) m Vsh 2 Φ2 + .√Rt Rsh √a x Rw
…….……………. (4.20)
Keterangan: Sw = saturasi air Rw = resistivitas air formasi Rt = resisvitas formasi Rsh = resistivitas serpih C = konstanta (0,4 untuk batupasir dan 0,45 untuk batugamping) Vsh = volume serpih m = faktor sementasi a = faktor tortuosity Φ = porositas n`` = derajat saturasi (pada umumnya 2) 4. Metode Dual Water Pada tahun 1968 Waxman dan Smits berdasarkan studi teoritis dan eksperimen di laboratorium memperkenalkan hubungan antara resistivitas dengan kejenuhan air untuk formasi serpihan. Model ini mengkaitkan kontribusi resistivitas dari serpih (relatif terhadap resistivitas dari formasi) terhadap CEC (Cation Exchange Capacity). Pada dasarnya model dual water menganggap bahwa formasi serpihan adalah formasi bersih dengan porositas, susunan butiran, dan kandungan fluida yang sama kecuali air yang terdapat dalam formasi ini lebih konduktif dari salinitas air biasa. Kelebihan konduktifitas ini disebabkan oleh tambahan ion-ion positif (Na+, K+, Ca2+ dll) yang terikat di permukaan mineral lempung (Harsono, 1997). Pada
54
metode ini formasi berserpih dapat dianggap sebagai formasi bersih yang mengandung dua jenis air: 1. Air yang berasosiasi dengan lempung disebut air-ikat (bound water) dengan konduktivitas Cwb. Air ini tidak dapat diproduksikan karena terikat oleh lempung itu sendiri. 2. Air lain berasosiasi dengan batuan disebut dengan air bebas (free water) Secara skematis model dual water dapat digambarkan menggunakan tabel dibawah ini: Tabel 4.5 Skema Model Dual Water
Zat padat Matriks
Lanau
Cairan/fluida Lempung kering
Matriks
Air ikat
Air bebas
Serpih
Hidrokarbon
Porositas efektif Porositas total
Metode ini membutuhkan log yang dapat berfungsi sebagai indikator serpih untuk menghitung volume serpih. Jenis serpih yang terdapat pada formasi batuan berupa laminated shale. Tahapan interpretasi dari metode ini sebagai berikut: a.
Menyiapkan data pendukung seperti nilai resistivitas lumpur, resistivitas kerak lumpur, dan resistivitas filtrat lumpur.
b.
Membaca tebal lapisan
c.
Membaca defleksi log SP, log resistivitas, dan log porositas pada lapisan yang bersangkutan dan lapisan serpih di dekatnya.
d.
Menentukan nilai resistivitas air formasi lapisan yang akan dievaluasi, resistivitas formasi pasir bersih, dan nilai resistivitas formasi serpih di dekatnya
e.
Menghitung nilai porositas neutron dan porositas densitas pada lapisan yang akan dievaluasi dan lapisan serpih di dekatnya bila perlu melakukan koreksi terhadap matriks batuan.
55
f.
Menentukan volume serpih
g.
Melakukan koreksi porositas densitas dan porositas neutron terhadap serpih menggunakan rumus: ΦDC = ΦD – (Vsh x ΦDsh)
…….……………. (4.21)
ΦNC = ΦN – (Vsh x ΦNsh)
…….……………. (4.22)
Keterangan: ΦDC = porositas densitas terkoreksi ΦD = porositas densitas Vsh = volume serpih ΦDsh = porositas densitas pada lapisan serpih ΦNC = porositas neutron terkoreksi ΦN = porisitas neutron ΦNsh = porositas neutron pada lapisan serpih h. Menghitung nilai porositas efektif dengan menggunakan rumus Jika terdapat gas Φe = √
ΦDC 2 + ΦNC 2
Jika tidak terdapat gas Φe =
2 ΦDC + ΦNC 2
…….……………. (4.23) …….……………. (4.24)
Keterangan: Φe = porositas efektif ΦDC = porositas densitas terkoreksi ΦNC = porositas neutron terkoreksi ΦDsh= porositas densitas pada lapisan serpih i. Menentukan porositas total pada lapisan serpih menggunakan persamaan: Φtsh = δΦDsh + (1-δ) ΦNsh
…….……………. (4.25)
Keterangan: Φtsh = porositas total serpih ΦNsh = porositas neutron pada lapisan serpih j. Menghitung nilai porositas total dan saturasi air ikat dalam serpih
menggunakan rumus Φt
= Φe + (Vsh x Φtsh)
Sb
= Vsh x
tsh⁄ t
…….……………. (4.26) …….……………. (4.27)
Keterangan: Φt = porositas total Sb = saturasi air ikat dalam serpih (bound water saturation) Φtsh = porositas total serpih 56
Φe = porositas efektif Vsh = volume serpih k. Menghitung nilai resistivitas air formasi pasir bersih mengunakan rumus Rw = Rcl x Φcl2
…….……………. (4.28)
Keterangan: Rw = resistivitas air formasi Rcl = resistivitas formasi pasir bersih Φcl = porositas pasir bersih l. Menghitung nilai resistivitas air ikat serpih menggunakan rumus Rb = Rsh x Φtsh2
…….……………. (4.29)
Keterangan: Rb = resistivitas air terikat dalam serpih Rsh = resistivitas formasi serpih Φtsh = porositas total serpih m. Menghitung resistivitas air formasi sebenarnya menggunakan rumus Rwa = Rt x Φt2 Keterangan: Rwa = resistivitas water apparent Rt = resistivitas formasi Φt = porositas total
…….……………. (4.30)
n. Menghitung saturasi air total menggunakan rumus Swt =
R Sb (1− w⁄R ) b 2
Sb(1− +√
2 Rw ⁄R ) b 2
R
+Rw
wa
…….……………. (4.31)
Keterangan: Swt = saturasi air total Sb = saturasi air ikat dalam serpih (bound water saturation) Rb = resistivitas air terikat dalam serpih Rw = resistivitas air formasi Rwa = resistivitas water apparent o. Menghitung saturasi air efektif menggunakan rumus Swe =
Swt −Sb 1− Sb
…….……………. 4.32
Keterangan: Swe = saturasi air efektif Swt = saturasi air total Sb = saturasi air ikat dalam serpih (bound water saturation)
57
4.7 Studi Kasus Interpretasi Kuantitatif Reservoir di Cekungan Sumatra Selatan Berdasarkan pengamatan terhadap bentuk kurva log litologi yaitu SP dan GR pada sumur “DANU-1” didapatkan 2 jenis litologi yaitu serpih dan batupasir. Defleksi kurva log GR yang tinggi pada log menunjukkan litologi yang memiliki radioaktivitas tinggi yang merupakan ciri-ciri dari serpih. Sebaliknya kurva log GR menunjukkan defleksi negatif ke kiri yang menunjukkan sifat radioaktivitas rendah yang merupakan ciri-ciri dari batupasir (Gambar 4.12).
Shale
GR tinggi
GR rendah
Batupasir
Gambar 4.12 Pengamatan Bentuk Kurva Untuk Identifikasi Litologi Berdasarkan Data Log Sumur
Berdasarkan pengamatan terhadap bentuk kurva log densitas dan kurva log neutron pada sumur tersebut terdapat 2 macam zona hidrokarbon yang diinterpretasi. Zona gas dicirikan oleh adanya separasi antara kurva log densitas dan kurva log neutron yang besar dan nilai resistivitas formasi yang sangat tinggi (Gambar 4.13). Zona gas terdapat pada kedalaman 4665 sampai 4726 feet. Zona minyak dicirikan oleh separasi kurva log densitas dan kurva log neutron yang kecil
58
dan resistivitas formasi lebih rendah daripada zona gas. Zona minyak berada pada kedalaman 4751 sampai 4815 feet (Gambar 4.13). Berdasarkan data yang yang diberikan faktor koreksi lubang bor adalah 1 (satu) sehingga gamma ray terkoreksi sama dengan pembacaan log GR.
Zona gas
Zona minyak
Gambar 4.13 Pengamatan Bentuk Kurva Log Untuk Identifikasi Jenis Fluida Formasi pada reservoir Berdasarkan Data Log Sumur
GRc= GR (1+0,04(MW-8,3)(1+0,06(Cal-8) (Harsono, 1997) GRc= GR.1 GRc= GR Koreksi resistivitas terhadap pengaruh lubang bor pada sumur tidak dapat dilakukan karena data log sumur hanya memiliki log ILD dan log ILM sedangkan koreksi resistivitas membutuhkan micro resistivity log misalnya log MSFL. Kandungan serpih memberi pengaruh terhadap porositas dan permeabilitas. Yakni berdampak pada berkurangnya nilai porositas efektif, berkurangnya nilai permeabilitas, memberikan bacaan log resistivitas dan log porositas yang berbeda dan tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya.
59
Berdasarkan identifikasi defleksi sinar gamma didapatkan nilai minimum dari Gamma Ray sebesar 22 API dan nilai maksimum dari Gamma Ray pada log sebesar 162 API. Contoh perhitungan berdasarkan metode log gamma ray, volume serpih pada kedalaman 4680 feet sebesar: Pembacaan log GR = 39 39-22
Ish
=
Ish
= 0,119
Vsh
= 0,083 [2(3,7𝑥0,119) − 1]
Vsh
= 0,03
166-22
Berdasarkan metode log neutron, volume serpih pada kedalaman 4680 feet sebesar: Pembacaan log neutron = 0,217 Pembacaan log neutron pada serpih di dekat lapisan = 0,36 Vsh
= (0,217⁄0,36)
Vsh
= 0,603
Berdasarkan metode densitas-neutron volume serpih pada kedalaman 4680 feet sebesar: Perhitungan porositas densitas = 0,306 Perhitungan porositas densitas pada serpih = 0,1 Vsh =
0,306- 0,217 0,36-0,1
Vsh = 0,34 Dari ketiga metode tadi didapat nilai sebesar 0,03, 0,603, dan 0,34 maka nilai kandungan serpih yang dipilih adalah 0.03 sebagai nilai terendah. Contoh perhitungan porositas densitas pada kedalaman 4681 feet adalah: Densitas bulk formasi dari pembacaan log = 2,145 Densitas matriks = 2,65 Densitas fluida = 1 ΦD =
ρma - ρb pb - ρf
60
Perhitungan porositas densitas =
2,65-2,145 2,65-1
ΦD = 0,306 Karena formasi mengandung serpih, maka porositas densitas harus dikoreksi terhadap keberadaan serpih. Untuk mendapatkan nilai porositas densitas yang terkoreksi nilai dari densitas porositas serpih harus dihitung terlebih dahulu ΦDsh =
2,65−2,46 2,65- 1
ΦDsh = 0,115 ΦDC = 0,306 - (0,115 x 0,03) ΦDC = 0,302 Harga porositas neutron pada lapisan ini dapat dibaca langsung dari log neutron. Karena formasi memiliki komposisi serpih, maka porositas neutron harus dikoreksi terhadap serpih. Harga porositas neutron serpih dibaca dari log neutron yang memiliki harga GR maksimum ΦN = 0,217 ΦNsh= 0,36 ΦNC = 0,217 – (0,36 x 0,03) ΦNC = 0,2062 Porositas efektif pada lapisan di kedalaman 4681 feet adalah: Φe = √
0,3022 +0.2062 2
Φe = 0,26 Setelah mendapatkan nilai porositas, maka dilanjutkan dengan mencari nilai saturasi air. Untuk mencari nilai saturasi air membutuhkan nilai resistivitas formasi, resistivitas air, dan resistivitas filtrat lumpur. Umumnya nilai resistivitas formasi dapat dibaca langsung dari log resistivitas dalam (ILD atau LLD). Nilai resistivitas harus dikoreksi terhadap suhu formasi karena harga Resistivitas berbeda sesuai dengan suhu formasi.
61
Karena log sumur hanya memiliki data resistivitas ILD dan ILM, maka koreksi resistivitas dalam tidak dapat dilakukan. Pembacaan induction log dalam (ILD) dianggap mewakili nilai resistivitas formasi yang sesungguhnya. Untuk mencari nilai saturasi air pada lapisan di kedalaman 4680 feet menggunakan metode SP tahapannya sebagai berikut: a. Lapisan pada kedalaman 4736 feet dianggap sebagai zona bersih. Hal ini ditunjukan dengan defleksi kurva SP yang maksimum. Defleksi pada kedalaman ini bernilai negatif (-). Tanda negatif menunjukkan defleksi menuju ke kiri. Pada kedalaman ini nilai SP sebesar -55. b. Menghitung gradien temperatur Dari informasi kepala log diketahui bahwa Bottom Hole Temperature sebesar 1950 F dan suhu permukaan 920 F. Total kedalaman sumur Gradien temperatur =
195 F-92 F 4980 feet
= 0,020 F/feet
c. Menentukan temperatur formasi pada lapisan yang dievaluasi dan pada lapisan 4736 feet Tf pada kedalaman 4680 feet = 0,02 (4680) + 92 = 185,60 F Tf pada kedalaman 4736 feet = 0,02 (4736) + 92 = 186,720 F d. Menentukan nilai resistivitas filtrat lumpur pada lapisan di kedalaman 4680 feet dan 4736 feet dengan mengunakan nilai resistivitas filtrat lumpur (Rmf) pada temperatur yang diketahui di kepala log Rmf @ 4680 feet dengan suhu 185,6 = 0,128 x
92 + 6,77 185,6 + 6,77
Rmf @ 4689 feet = 0,06 Ωm Rmf @ 4736 feet dengan suhu 186,72 = 0,128 x
92 + 6,77 186,72 + 6,77
Rmf @ 4736 feet = 0,06 Ωm e. Menentukan nilai K (faktor dasar) dengan menggunakan rumus: K = 60 + (0,133 x Tf @ 4736 f) K = 60 + (0,133 x 186,72 F) K = 84,83
62
f. Menentukan perbandingan harga Rmfe (resistivity of mud filtrate equivalent) /Rwe (resistivity water equivalent) dengan rumus: Rmfe/ Rwe
= 10 – (SSP)/K
Rmfe/ Rwe
= 10 – (55)/84,83
Rmfe/ Rwe
= 4,45
g. Menentukan nilai Rmfe dengan menggunakan rumus: Rmfe = 0,85 x Rmf @ Tf SSP Rmfe = 0,85 X 0.06 Rmfe = 0,051 i. Menentukan nilai Rwe (resistivity of water equivalent) dengan menggunakan rumus: Rwe =
R mfe ⁄Rasio R /R mfe we
Rwe = 0,051 / 4.45 Rwe = 0,015 j. Menghitung nilai Rw pada lapisan 4736 feet dengan rumus Rw @ 186,72 F = -[0,58- 10 (0,69xRwe-0,24) Rw @ 186,72 F = 0,0102 h. Menghitung nilai Rw di lapisan kedalaman 4680 feet dengan menggunakan rumus: Rw @ 185,6 = 0,0102
(186,72+6,77) (185,6+6,77)
Rw @ 185,6 = 0.0112 Ωm 2.6 Perhitungan Saturasi Air (S w) dan Saturasi Hidrokarbon (Sh) Nilai resistivitas formasi serpih = 2,85 Ωm Nilai resistivitas formasi di kedalaman 4680 feet = 107 Ωm Nilai saturasi air pada lapisan di kedalaman 4680 feet dapat dihitung sebagai berikut: 𝑆𝑤 =
1 (1-0,03) 0.03 2
√
2,85
2,15
+
0,26 2 √0,62 x 0,0112
. √107
63
Sw = 0,58 Sh = 1- 0,58 Sh = 0,42 Jadi nilai kejenuhan air pada kedalaman 4680 feet sebesar 58% sedangkan nilai kejenuhan hidrokarbonnya sebesar 42%.
64
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan
1. Perhitungan nilai petrofisika batuan tergantung dari model interpretasi yang dipilih sesuai dengan jenis litologi dan ketersedian data log. Di Cekungan Sumatra Selatan dapat dilihat dari data log bahwa kandungan serpih relatif besar sehingga dapat dilakukan interpretasi formasi serpihan. 2. Evaluasi formasi dengan menggunakan metode Simandoux dipilih berdasarkan beberapa pertimbangan berikut: a. Distribusi serpih dalam batupasir berupa dispersed clay b. Ketiadaan data log sonik pada log sumur c. Dari log GR tampak terdapat anomali pada batuserpih berupa defleksi kurva ke kanan menunjukkan radioaktivitas yang meningkat karena komposisi serpih. 3.
Batuan reservoir yang terdapat pada sumur DANU-1 diinterpretasi merupakan batupasir dengan kandungan hidrokarbon berupa minyak dan gas. Nilai parameter petrofisika yang didapat sebagai berikut: a. Nilai volume serpih sebesar 0.03, 0.603, dan 0.34 b. Nilai resistivitas air formasi sebesar 0,0112 Ωm c. Porositas efektif sebesar 0,26 d. Saturasi air sebesar 0,58 atau 58% e. Saturasi hidrokarbon sebesar 0,42 atau 42%
4. Kelemahan interpretasi formasi serpihan antara lain: a. Sulit menentukan parameter untuk menghitung kandungan serpih b. Tidak terdapat pasir bersih yang dapat digunakan untuk menghitung harga resistivitas air formasi
5.2 Saran 1. Perhitungan petrofisika akan lebih akurat dengan koreksi log menggunakan microlog dan menggunakan metode selain metode kurva SP. 65
DAFTAR PUSTAKA Asquith dan Kyrgowski. 2006. Basic Well Log Interpretation 2nd Edition. Tulsa Oklahoma: The American Association of Petroleum Geologists. De Coster, G.L. 1974. The geology of the Central and South Sumatra Basins, Proceedings of the 3rd Indonesian Petroleum Association Annual Convention, hal. 77-110. Harsono, Adi. 1997. Evaluasi Formasi dan Aplikasi Well Log. Jakarta: Schlumberger SIS. Pertamina-BPPKA. 1997. Petroleum geology of Indonesian basins: principles, methods and applications, volume X, South Sumatra Basin. Jakarta: Pertamina BPPKA. Pulunggono, A. dan Cameron, N.R. 1984, Sumatran microplates, their characteristics and their role in the evolution of the Central and South Sumatra Basins. Proceedings of the 13th Indonesian Petroleum Association Annual Convention, hal. 121-143. Rider, Malcolm. 2002. The Geological Interpretation of Well Log. Scotland: Whittless Publishing. Schlumberger, 1991. Log Interpretation Principle and Aplication. Schlumberger Wireline and Testing: Texas Serra, Oberto dan Serra, L. 2004. Well Logging Data Acquisition and Applications. Méry Corbon: Serralog Publishing. Tapponnier. P, Peltzer, dan Armijo, R. 1986. On the mechanics between the collision of India and Asia: Collision Tectonics. Geological Society of London, Special Publications 19. Geological Society of London: London.
66