1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang cukup luas dari Sabang sampai Merauke dan dari Mianggas hingga Pulau Rote. Indonesia memiliki tidak kurang dari 400 suku bangsa (Ritonga dkk, 1993). Suku bangsa tersebut terbagi atas berbagai agama, kepercayaan, tingkat ekonomi, latar belakang pendidikan, pengetahuan politik yang sangat berbeda-beda. Nilai-nilai budaya yang terdapat pada masing-masing komunitas menjadi penanda identitas dan penjaga nilai-nilai serta pemersatu antar satu dengan yang lain. Salah satu kekayaan sosial kultural Indonesia adalah Suku Batak. Suku Batak adalah salah satu suku dari sekian banyak suku yang ada di Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 2008, “Batak” mempunyai
arti
petualang,
pengembara,
sedang
“membatak”
berarti
berpetualang, pergi mengembara. Orang Batak sangat suka mengembara. Mobilitas yang tinggi dan semangat serta perasaan ingin tahu yang sangat besar menjadi salah satu faktor yang membuat suku ini tersebar dimana-mana di Nusantara pun di luar negeri (Naim, 1979). Riwayat migrasi sudah setua riwayat manusia. Orang mungkin bermigrasi karena terpaksa, diatur atau tidak diatur, berkelompok atau secara perorangan. Sebagai pendorong mungkin keadaan alam (termasuk bencana alam), keadaan politik, keadaan ekonomi atau kelangkaan berbagai fasilitas. Walaupun dalam keputusan bermigrasi berbagai faktor mempengaruhi, secara umum kiranya faktor ekonomi dapat dianggap dominan. Faktor psikologi sosial jelas mengambil bagian pula karena tindakan ini menyangkut suatu pengambilan keputusan yang penting bagi seseorang atau keluarga yang bersangkutan. Bermigrasi sering merupakan keputusan yang begitu penting karena dapat merubah jalan hidup seseorang atau juga kelompok dan keturunan mereka secara fundamental (Singarimbun, 1979 dalam Naim, 1979). Migrasi terjadi karena kesempatan untuk mengembangkan diri di daerah asal cukup terbatas, baik oleh faktor alam maupun ketersediaan insfrastruktur.
2
Pembangunan yang tidak merata antara daerah mereka dan kota, kesempatan memperoleh pendidikan, kesempatan memperoleh pekerjaan yang lebih baik di daerah tujuan, sehingga membuat mobilitas orang Batak cukup tinggi, salah satunya dengan merantau atau yang biasa disebut migrasi. Migrasi adalah suatu bentuk gerak penduduk secara geografis, spasial atau teroterial antara unit geografis, sehingga terjadi suatu perubahan tempat tinggal dari tempat tinggal ke tempat tujuan. Migrasi dilakukan dengan melewati batas administrasi suatu daerah atau wilayah dengan tujuan untuk mempertahankan atau memperbaiki kehidupan, baik untuk dirinya maupun untuk keluarganya (Rusli, 1995). Menurut sensus 1930 suku bangsa Batak merupakan suku yang jumlah migrannya mencapai 15,3 persen dari jumlah penduduk yang bersuku Batak. Suku bangsa Batak yang terdata pada saat itu dan menempati urutan kedua secara persentase dalam hal migrasi penduduk pada suku-suku bangsa utama di Indonesia. Jumlah migran suku bangsa Batak mencapai 140.776 orang dari total 919.462
orang.
Cunningham
(1958)
yang
dikutip
oleh
Naim
(1979)
memperkirakan bahwa dalam periode tahun 1950-1956 terdapat seperempat juta orang Batak Toba yang bermigrasi ke Pesisir Timur Sumatera Utara. Sampai pada tahun 1960 lebih dari 1 juta orang Batak dari semua daerah di Tapanuli telah bermigrasi ke luar daerah Batak. Castles (1967) juga memperkirakan bahwa tahun 1961 terdapat kira-kira 29.000 orang Batak berdiam di Jakarta, 40.000 sampai 50.000, berada di Jawa (Naim, 1979). Suku Batak juga tetap membawa budayanya ke daerah tujuan migrasi. Seperti yang disebutkan Siahaan (1982) yang dikutip oleh Daulay (2006) bahwa sekalipun di daerah rantau, suku Batak selalu peduli dengan identitas sukunya, seperti berusaha mendirikan perhimpunan semarga atau sekampung dengan tujuan untuk menghidupkan ide-ide adat budayanya. Proses belajar kebudayaan yang dilakukan migran ini akan berpengaruh terhadap pola sikap, pola tindak dan pola sarana masyarakat migran itu sendiri maupun terhadap penduduk asli setempat, tanpa harus meninggalkan identitas sukunya dan tetap mempertahankan adatistiadat mereka. Hal ini bisa terjadi karena orang Batak selalu memegang teguh prinsip dalihan na tolu. Dalihan na tolu, sebagai identitas orang Batak akan selalu dihayati kemanapun mereka tinggal, karena dalihan na tolu merupakan hakekat
3
interaksi orang Batak dengan lingkungan hidupnya yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Masyarakat dengan etnik tertentu yang melakukan migrasi ke suatu tempat dengan membawa budaya yang berbeda akan mengalami proses belajar kebudayaan, sehingga akan beradaptasi dan belajar menerima kebudayaan penduduk asli begitu juga sebaliknya. Kaum migran akan melakukan strategi untuk dapat beradaptasi di daerah tujuan guna mempertahankan kehidupan dan kelangsungan pekerjaannya. Berbagai macam strategi adaptasi dilakukan oleh berbagai macam kaum migran di daerah tujuannya. Strategi adaptasi yang dilakukan meliputi proses penyesuaian migran terhadap lingkungan sosial yang baru dan strategi adaptasi untuk mempertahankan atau memperbesar kondisi ekonomi (Sjahrir, 1995). Masyarakat sebagai sistem sosial terbentuk karena adanya interaksi antar individu didalamnya. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis dan menyangkut hubungan antar orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Apabila dua orang bertemu maka interaksi sosial dimulai pada saat itu (Gillin dan Gillin, 1954 dalam Soekanto, 1990). Melihat realita dan fakta yang ada maka menjadi menarik untuk di kaji tentang “Migrasi dan Proses Interaksi Sosial Migran Batak Toba di Bogor”. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya migrasi, proses adaptasi di daerah tujuan dan bagaimana proses interaksi sosial yang terjadi pada migran dalam usaha untuk bertahan dan berhasil didaerah tujuan migrasi.
1.2 Perumusan Masalah Sebagaimana diketahui bahwa fenomena mobilitas penduduk dari desa ke kota yang terjadi dewasa ini diakibatkan oleh peningkatan kesenjangan kondisi kehidupan antara desa dan kota. Sangat banyak faktor yang mendorong terjadinya migrasi. Hal tersebut juga berpengaruh pada suku Batak, sehingga sebagian masyarakatnya melakukan migrasi kedaerah-daerah yang dianggap menjanjikan. Suku Batak yang melakukan migrasi kedaerah tujuan mau tidak mau harus beradaptasi dengan kebudayaan dan penduduk daerah tujuan maupun dengan
4
sesama migran satu suku. Menjadi menarik untuk dikaji proses interaksi sosial yang terjadi pada migran Batak dan pengaruhnya terhadap kebudayaan migran yang terekam lewat perubahan pola sikap, pola tindakan dan kehidupan sosial. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka masalah yang dikaji dalam penelitian ini antara lain: 1. Mengapa migran Batak melakukan migrasi ke Kota Bogor? 2. Bagaimana proses interaksi sosial yang dijalin oleh migran Batak di Kota Bogor? 3. Bagaimana hubungan antara proses interaksi sosial dengan keberhasilan migran secara ekonomi dan sosial?
1.3 Tujuan Penelitian Merujuk perumusan masalah diatas maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mendorong migran Batak melakukan migrasi ke Kota Bogor. 2. Menganalisis proses interaksi sosial yang dijalin oleh migran Batak di Kota Bogor. 3. Menganalisis
hubungan
antara
proses
interaksi
sosial
dengan
keberhasilan migran secara ekonomi dan sosial.
1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian mengenai migrasi dan proses interaksi sosial masyarakat migran Batak, dengan harapan akan berguna untuk: 1. Bahan literatur bagi pembaca atau peneliti yang mempunyai minat dan kajian ilmu yang sama sebagai sarana untuk menambah pengalaman dan pemahaman yang lebih seksama mengenai pola migrasi dan proses interaksi sosial migran suku Batak. 2. Memberikan gambaran faktual mengenai proses interaksi sosial migran Batak yang terjalin di Bogor. 3. Menjadi masukan bagi pihak-pihak tekait dalam rangka pemahaman interakasi sosial migran Batak dalam rangka pengembangan toleransi
5
didalam membangun kehidupan masyarakat yang lebih baik dan harmonis. 4. Menjadi masukan bagi pihak-pihak terkait dalam merumuskan kebijakan dalam pengelolaan migrasi di Indonesia. 5. Sebagai literatur untuk seni bertahan hidup dan semangat kerjasama yang dapat pembaca terapkan dalam kehidupan sehari-hari.