BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang
Krisis global merupakan peristiwa dimana seluruh sektor ekonomi di pasar dunia mengalami keterpurukan dan mempengaruhi sektor lainnya di seluruh dunia yang memberi dampak besar pada negara-negara di seluruh dunia, salah satunya adalah Indonesia. Hal ini memberikan tekanan yang cukup besar terhadap kinerja komoditas ekspor-impor yaitu terjadinya penurunan harga berbagai komoditas akibat adanya perlambatan ekonomi dunia (UNIDO, 2008) sehingga peluang untuk memasarkan komoditas-komoditas antar negara mengalami berbagai kendala. Chistanto (2011) memaparkan bahwa Indonesia sebagai Negara anggota World Trade Organization (WTO) menghadapi suatu kondisi pasar dalam negeri yang terbuka seiring dengan diterapkannya ASEAN Free Trade Agreement, Asia Pasific Economic Cooperation sejak tahun 2010 kemudian menyusul ChinaASEAN Free Trade Agreement hingga ASEAN Economic Community di tahun 2015. Dengan adanya pasar bebas ini maka produk-produk mancanegara disadari ataupun tidak akan beredar secara luas di pasar nasional bahkan hingga pasar tradisional. Demikian pula dengan produk-produk lokal dapat memasuki pasarpasar internasional. Dalam rangka menghadapi persaingan tersebut maka diperlukan produksi dalam negeri yang dapat bertahan sekaligus bersaing dengan produk-produk yang berkualitas global di pasar dunia, sehingga diperlukan adanya efisiensi serta standardisasi di semua aspek baik dalam proses perolehan bahan baku, produksi maupun pemasaran produk-produk tersebut. Menurut Chumaira (2010) pada tahap ini Indonesia baru memasuki ranah kebijakan yang disebut Satu Kabupaten Satu Kompetensi Inti (Saka Sakti), itupun baru sebagian kabupaten/kota yang menerapkannya sehingga untuk bersaing dalam tataran global seringkali mengalami kendala akibat diversifikasi produk yang belum optimal, oleh karena itu maka penguatan sektor unggulan yang lebih 1
mikro mutlak diperlukan dengan meningkatkan diversifikasi atau memperkecil lingkup kebijakan dari level kabupaten/kota menjadi level desa/kelurahan yang kemudian dikenal dengan konsep One Village One Product (OVOP) yang pada awalnya diinisiasi dan dikembangkan oleh Gubernur Hiramatsu di Daerah Oita, Jepang pada tahun 1980 yang dianggap berhasil mengentaskan kemiskinan di Desa Oyama berkat adanya hasil pertanian unggulan meskipun dengan skala kecil (Kurokawa, 2010). Optimalisasi sektor unggulan ini menurut Sutikno dan Maryunani (2007) diperlukan agar seluruh sumber daya dan kemampuan yang dimiliki oleh suatu daerah dapat teroptimalisasi pada upaya untuk menciptakan kompetensi inti yang beragam. Data dari BPS (2011) menunjukan bahwa rata-rata dalam satu kabupaten/kota di Indonesia memiliki 150 sampai dengan 160 desa/kelurahan, artinya dengan menggali potensi produk unggulan melalui One Village One Product (OVOP) akan ada perubahan yang signifikan dalam mendorong produk unggulan daerah dari suatu kabupaten/kota yang semula hanya satu produk menjadi minimal 150-160 produk. Hal ini tentu saja menjadi potensi kekuatan besar untuk menghadapi persaingan global sebab daerah memiliki tingkat kesiapan yang lebih prima karena produk yang terdiversivikasi dengan kompetensi lokal dan berpotensi dikembangkan menjadi produk berkualitas global karena faktor keunikan. Widodo (2006) menjelaskan bahwa ada dua faktor utama yang perlu diperhatikan dalam mengidentifikasi potensi unggulan daerah. Pertama, sektor ekonomi yang unggul atau mempunyai daya saing dalam beberapa periode tahun terakhir dan kemungkinan prospek ekonomi di masa mendatang. Kedua, sektor ekonomi yang potensial untuk dikembangkan dimasa mendatang, walaupun pada saat ini belum mempunyai tingkat daya saing yang baik. Sejalan dengan itu, Harini (2005) juga memaparkan bahwa sektor unggulan mempunyai peranan sebagai penggerak utama dimana efek pengganda / multiplier effect yang ditimbulkan dapat mendominasi perekonomian daerah sehingga mencapai tingkat pertumbuhan tertentu yang diharapkan.
2
Gerakan OVOP ini diperlukan untuk mendorong desa agar mampu menghasilkan sebuah produk yang unik dan memiliki kualitas yang mampu bersaing dengan produk lokal, regional, nasional bahkan internasional. UNIDO pada penelitian yang dilakukan tahun 2008 berkesimpulan bahwa jika perusahaan memproduksi komoditas terdiferensiasi, seperti dalam kasus banyaknya produk pertanian, maka produk tersebut berada dalam pasar persaingan sempurna. Harga ditentukan oleh penawaran dan permintaan pasar. Kondisi demikian tentu menguntungkan perekonomian desa/kelurahan selaku produsen dengan hadirnya produk yang unik yang berkualitas global.
Tabel 1 . Rekap Industri Kecil dan Menengah (IKM) Komponen Otomotif dan Logam Kabupaten Purbalingga Tahun 2014 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Desa/Kelurahan
Jumlah Usaha
Purbalingga Kulon 3 Purbalingga Lor 61 Kembaran Kulon 41 Wirasana 8 Mewek 1 Karangjambe 1 Gemuruh 1 Karanglewas 1 Brobot 2 Gembong 2 Galuh 10 Patemon 2 Kajongan 1 Selaganggeng 1 Kertanegara 140 Total 275 Sumber : Disperindagkop (2014)
Keterangan Perabot Rumah Tangga Knalpot Knalpot Perabot Rumah Tangga Knalpot Perabot Rumah Tangga Perabot Rumah Tangga Perabot Rumah Tangga Perabot Rumah Tangga Knalpot Knalpot Perabot Rumah Tangga Perabot Rumah Tangga Perabot Rumah Tangga Knalpot dan Perobot RT -
Nilai ( Ribu Rupiah)
Jumlah
Aset
Produksi
Tenaga
78.000 2.037.135 2.966.180 159.850 59.500 15.500 19.500 22.500 14.500 42.600 87.778 39.500 2.500 2.320 238.776 5.786.139
29.200 2.256.680 2.600.070 1.152.300 4.800 86.350 108.000 31.200 117.000 76.000 309.945 180.000 3.888 4.800 1.152.058 8.112.291
Kerja 17 324 162 30 1 5 3 5 2 5 22 11 1 3 155 746
Kelurahan (sebutan untuk daerah administrasi setara dengan desa untuk kawasan perkotaan) Kembaran Kulon, Kecamatan Purbalingga, Kabupaten Purbalingga, Provinsi Jawa Tengah memiliki produk lokal unggulan berupa knalpot yang menjadi kebanggaan masyarakat setempat bahkan Disperindagkop
3
(2014) mencatat bahwa produk knalpot ini telah menembus pasar global dengan pasar industri mobil seperti Toyota, Isuzu, Daihatsu, Honda, Suzuki, Mitsubishi, Nissan, Peugeot, BMW, Hartop, Chevrolet dan Mercedes Benz serta pasar industri sepeda motor seperti Yamaha F1Z R, RX King, Mio, Honda Tiger, GL Pro, Mega Pro Suzuki Thunder, Vespa, Kawasaki Ninja 250cc dan Harley Davidson namun perlu adanya optimalisasi kualitas baik itu SDM, produk ataupun pemasarannya. Optimalisasi ini diperlukan suatu daerah agar seluruh sumber daya dan kemampuan yang dimiliki terfokus pada upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ditinjau dari aspek distribusi spasial bahwa sembilan desa/kelurahan merupakan lokasi industri logam berupa perabot rumah tangga dan lokasi industri komponen otomotif berupa knalpot ini hanya terdapat di enam desa/kelurahan yang berlokasi berjauhan antar desa/kelurahan yaitu Kelurahan Kembaran Kulon dan Purbalingga Lor di Kecamatan Purbalingga, Kelurahan Mewek di Kecamatan Kalimanah, Desa Gembong dan Galuh Kecamatan Bojongsari serta Desa Kertanegara di Kecamatan Kertanegara sebagaimana tertera pada gambar 1. Dari keenam desa/kelurahan penghasil knalpot di Kabupaten Purbalingga tersebut jumlah total masing-masing pemilik industri knalpot/ pelaku usaha yaitu 41 pengusaha di Kelurahan Kembaran Kulon, 61 pengusaha di Kelurahan Purbalingga Lor, 1 di Kelurahan Mewek, 2 pengusaha di Desa Geombong, 10 pengusaha di Desa Galuh dan 26 di Desa Kertanegara pemilik usaha sehingga secara total berjumlah 141 pemilik industri knalpot. Tabel 1 menunjukan bahwa dalam kepemilikan aset dan kemampuan produksi industri komponen otomotif knalpot Kelurahan Kembaran Kulon adalah yang tertinggi dengan aset senilai Rp. 2.966.180.000,00 dan produksi senilai Rp. 2.600.070.000,00 walaupun dengan penyerapan tenaga kerja terbesar kedua yaitu 162 pengrajin setelah Kelurahan Purbalingga Lor yang memiliki 324 pengrajin. Hal ini menunjukan tingkat produktivitas para pegrajin yang tinggi dibandingkan dengan desa/kelurahan lain sekaligus menjadi potensi pengembangan yang prospektif dimasa yang akan datang.
4
5
Gambar 1. Peta Distribusi Spasial Desa/Kelurahan Industri Knalpot
Atas dasar persoalan tersebut peneliti tertarik untuk mengkaji industri knalpot ini dengan mengukur kesiapannya menjadi One Village One Product (OVOP) yang bertumpu pada konsepsi geografi ekonomi dengan produk unggulan berbasis kewilayahan. Di Kelurahan Kembaran Kulon
6
1.2. Rumusan Permasalahan
Disperindagkop (2014) memaparkan bahwa industri komponen otomotif tipe KBLI 34300 yaitu Industri Perlengkapan dan Komponen Kendaraan Bermotor sebagaimana tertera pada Tabel 1 tersebar di 15 (lima belas) desa/kelurahan yang mencakup 6 (enam) kecamatan di Kabupaten Purbalingga. Industri Komponen Otomotif umumnya diproduksi oleh industri skala besar yang padat modal dengan menggunakan teknologi tinggi, namun hal ini berbeda dengan warga Kelurahan Kembaran Kulon, Kecamatan Purbalingga, Kabupaten Purbalingga, Propinsi Jawa Tengah ini yang mampu memproduksi komponen otomotif yaitu knalpot berbasis industri rumahan (home industry) dengan penggunakan teknologi yang sangat terbatas tetapi memiliki kualitas yang telah diakui industri otomotif skala besar mobil dan sepeda motor di berbagai belahan dunia. Industri knalpot telah dijadikan sebagai mata pencaharian penduduk setempat, sehingga industri komponen otomotif knalpot ini menjadi bidang yang strategis untuk meningkatkan kualitas perekonomian daerah. Berdasarkan persoalan tersebut maka penelitian ini memiliki titik tekan untuk mengkaji tentang kesiapan industri knalpot yang diukur melalui parameter One Village One Product (OVOP). Kesiapan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pemenuhan parameter OVOP yang ditinjau dari tiga aspek sebagaimana dipaparkan oleh Christanto (2011)
yaitu kekuatan pelaku usaha, dukungan
pemerintah dan masyarakat. Agar diskursus terkait dengan sasaran yang diteliti lebih fokus dan bahasannya tidak meluas maka dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : 1. bagaimana kesiapan Industri Knalpot Kelurahan Kembaran Kulon sebagai One Village One Product (OVOP) ? 2. bagaimana strategi pengembangan Industri Knalpot Kelurahan Kembaran Kulon sebagai One Village One Product (OVOP) di Kabupaten Purbalingga?
1.3.
Tujuan Penelitian
7
1. mengevaluasi tingkat kesiapan Industri Knalpot Kelurahan Kembaran Kulon sebagai One Village One Product (OVOP). 2. merumuskan strategi pengembangan Industri Knalpot Kelurahan Kembaran Kulon sebagai One Village One Product (OVOP) di Kabupaten Purbalingga.
1.4.
Kegunaan Penelitian
1.4.1. Manfaat Bagi Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini memberikan sumbangsih pada bidang ilmu strategi peningkatan daya saing daerah di negara berkembang seperti Indonesia yang berbasis satu desa minimal satu produk unggulan yang kemudian dikenal dengan istilah One Village One Product (OVOP) , khususnya pada daerah dengan kategori kota kecil dan menengah seperti Kabupaten Purbalingga.
1.4.2. Manfaat Praktis Bagi Pembangunan
Dengan mengetahui kesiapan produk unggulan lokal pada desa/kelurahan menjadi One Village One Product (OVOP) Kabupaten Purbalingga akan sangat membantu Pemerintah Kabupaten (Pemkab) setempat dalam alokasi pembiayaan pembangunan yang bertumpu pada sektor strategis sehingga setiap desa/kelurahan mampu berdaya saing karena mendapatkan dukungan yang kuat dari Pemerintah yang pada muaranya berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat Purbalingga.
1.4.3. Manfaat Praktis Bagi Akademik
Penelitian ini sebagai bahan penyusunan skripsi yang merupakan salah satu syarat untuk memenuhi gelar kesarjanaan S-1 pada Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada.
1.5.Tinjauan Pustaka 8
1.5.1. Telaah Pustaka
Geografi adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari fenomena sosial, ekonomi dan kultural beserta perubahan-perubahannya di suatu wilayah dalam keterkaitannya dengan berbagai faktor penentunya ( Baiquni, 2007). Salah satu penerapan ilmu geografi dalam menjawab tantangan pembangunan di Indonesia adalah melalui bidang pengembangan wilayah, selain itu objek kajian geografi yang mencakup fenomena geosfer dengan pendekatan keruangan, ekologi dan kompleks wilayah juga merupakan terapan yang fundamental dalam penataan ruang berwawasan pembangunan berkelanjutan yang menitikberatkan tidak hanya pada aspek ekonomi an sich tetapi aspek sosial dan juga lingkungan. Dari definisi tersebut, dapat digambarkan dengan jelas bahwa kajian ilmu geografi mencakup segala fenomena yang terjadi dalam ruang muka bumi, termasuk bidang ekonomi regional yang menjadi sasaran penelitian ini yang bertumpu pada konsepsi geografi ekonomi berbasis kompetensi inti.
1.5.1.1. Kompetensi Inti
Pemikiran teori basis ekonomi menurut Kadariah (1985) dilatarbelakangi karena adanya industri yang memproduksi barang/jasa baik untuk pasar dalam maupun luar daerah yang dapat mendatangkan arus pendapatan pada daerah yang bersangkutan. Arus pendapatan ini menyebabkan kenaikan konsumsi dan investasi yang berdampak pada peningkatan pendapatan dan kesempatan kerja masyarakat. Oleh sebab itu setiap daerah mutlak memiliki kekhasan produk lokal yang memiliki daya saing atau dapat disebut sebagai kompetensi inti. Sutikno dan Maryunani (2007) telah memaparkan bahwa kompetensi inti yang dimaksud adalah kemampuan suatu daerah secara keseluruhan untuk mengembangkan ekonomi yang unik dan mampu bersaing dengan daerah lain. Kompetensi inti ini tidak harus berteknologi tinggi tetapi lebih bertumpu pada keunikan berbasis sumberdaya lokal sehingga memiliki keunggulan komparatif dengan daerah lain.
9
Optimalisasi kompetensi inti yang bertumpu pada konsepsi geografi ekonomi dengan produk unggulan berbasis lokalitas kewilayahan yaitu One Village One Product (OVOP) telah berhasil dikembangkan
di Jepang yaitu
kebijakan One Village One Product (OVOP) / satu desa satu produk unggulan dan Thailand yaitu kebijakan One Tambon One Product (OTOP) / satu kecamatan satu produk unggulan.
1.5.1.2. One Village One Product (OVOP)
Produk Lokal Berkualitas Global
Pembangunan Sumberdaya Manusia
(Kewirausahaan)
Inisiatif - Kreatifitas
Gambar 2. Prinsip Dasar OVOP Sumber : Igusa (2010) dalam Murayama (2011)
One Village One Product (OVOP) merupakan sebuah kebijakan yang menetapkan
suatu desa
minimal memiliki satu produk unggulan yang
mempunyai kekhasan untuk dikembangkan dengan optimalisasi sumberdaya yang ada sehingga akan memberikan nilai tambah pada produk tersebut dan memberikan kontribusi pendapatan cukup besar bagi desa setempat (Shakya, 2011). OVOP pada awalnya diinisiasi dan dikembangkan oleh Prof. Morihiko Hiramatsu yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Oita Jepang pada tahun 1980. Kebijakan ini berhasil mengentaskan kemiskinan di Desa Oyama yang 10
dilatarbelakangi oleh adanya peningkatan produksi hasil-hasil pertanian varietas unggul yang berdaya saing tinggi bahkan berkualitas ekspor sehingga menciptakan banyak lapangan perkerjaan dan peningkatan pendapat yang berdampak meningkatnya kesejahteraan masyarakat setempat. Hiroshi Murayama dan Kyungmi Son pada penelitiannya yang dilakukan pada tahun 2011 menegaskan bahwa pada sepuluh tahun terakhir, OVOP terus berkembang hampir ke seluruh negara-negara di dunia seperti ASEAN diantaranya Malaysia, Philipina, Indonesia, Kamboja, Vietnam, Thailand), negaranegara di Asia Selatan, Afrika, Eropa Timur , dan Amerika Selatan. Faktor yang mendorong perkembangan ini disebabkan karena produk-produk yang dihasilkan mendapat respon cukup besar dari pasar di setiap negara. Contoh keberhasilan penerapan kebijakan ini adalah Jepang dan Thailand.
1.5.1.3. Keberhasilan Kebijakan One Village One Product (OVOP)
1. Jepang Kurokawa (2010) menegaskan bahwa kunci keberhasilan OVOP Jepang atau dalam bahasa setempat Isson Ippin Undo adalah karena adanya inisiatif dan inovasi praktis dari masyarakat dengan metode jejaring produk serta implementasi gerakan secara paralel hingga membentuk ekonomi wilayah yang kuat. Kegiatan sehari-hari yang sederhana, potensi alam dan hiburan setempat dapat diubah menjadi produk atau jasa yang bernilai tinggi dengan sentuhan inovasi dan jejaring ini. Keberhasilan OVOP juga didorong oleh kantor-kantor publik, terutama pemerintah baik daerah maupun pusat yang berfungsi sebagai fasilitator kegiatan OVOP berupa inovasi teknis, produksi, dan pemasaran. Dalam pelaksanaannya gagasan tersebut dijabarkan dalam kegiatan lokal atau kegiatan yang menggunakan sepenuhnya atau sebagian sumber daya lokal, baik bahan baku ataupun sumberdaya manusianya. OVOP di Negara Jepang dimotori oleh sebuah koperasi desa yang pada akhirnya mampu berkembang dengan bekerjasama dengan pihak swasta tanpa adanya intervensi yang dominan dari Pemerintah Prefektur Oita. Masyarakat 11
setempat yang berasal dari kota dan desa memiliki rasa tanggung jawab untuk mempromosikan OVOP secara swadaya baik skala regional, nasional bahkan internasional (Shakya,2011)
Partisipasi Masyarakat
Peran Pemerintah
Sumber Daya Lokal - Melakukan fasilitasi - Menyediakan Insentif - Pengembangan Pasar - Promosi - Pembangunan Sistem - Dukungan Teknologi, Keuangan dan Kelembagaan -Pembangunan Sumberdaya Manusia
Produk yang mudah diterima pasar
Regional Brand
Peningkatan Pendapatan
Revitalisasi Wilayah
Gambar 3. Model OVOP Oita Jepang Sumber : Igusa (2010) dalam Murayama (2011)
Keberhasilan ataupun kegagalan program tergantung pada komitmen dan dedikasi dari lokal masyarakat. Dari Jepang dapat diambil pelajaran bahwa untuk mempromosikan produk agar dapat diterima secara global perlu dilakukan identifikasi potensi sumber daya lokal dan optimalisasi pemanfaatan keterampilan lokal dengan dukungan penuh dari seluruh stakeholder yang ada baik masyarakat, swasta dan juga pemerintah.
2. Thailand Thailand mengadopsi pendekatan OVOP Jepang dengan menitikberatkan pada pembangunan sistem ekonomi. Pemerintah Thailand melakukan intervensi dari awal tanpa menunggu inisiatif dari masyarakat, walaupun secara bertahap memupuk semangat kemandirian di kalangan penduduk setempat dengan meregulasikan kebijakan One Tambon One Product (OTOP), tambon dalam 12
bahasa setempat artinya kecamatan. Artinya kebijakan ini dimaksudkan agar setiap kecamatan di Thailand minimal memiliki satu produk unggulan yang berdaya saing tinggi. Kebijakan OTOP ini diluncurkan satu dekade yang lalu oleh Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra pada tahun 2001 yang diadopsi dari OVOP Oita Jepang dimana masyarakat lokal menjadi titik fokus dari gerakan OVOP untuk melakukan inisiasi yang bersifat buttom up yaitu gagasan muncul dari masyarakat berupa aspirasi. Filosofi dari OTOP sepenuhnya didasarkan pada prinsip dasar gerakan OVOP yang kemudian diperluas dalam produk, jasa, budaya lokal, lokasi wisata, dan sektor tradisi (Shakya, 2011). Namun Thailand mengimplementasikannya dalam perspektif nasional yang bersifat top down yaitu gagasan muncul dari pemerintah berupa regulasi. Dengan kata lain, OTOP adalah kebijakan pembangunan nasional dari pemerintah Thailand. OTOP di Thailand merupakan agenda nasional untuk pembangunan ekonomi dari akar rumput. Oleh karena itu, peran pemerintah termasuk Perdana Menteri sangat signifikan (patron client). Para pemangku kepentingan sangat aktif dan bekerja secara terpadu. Program ini telah memberikan prioritas utama untuk masyarakat, kelompok dan kearifan lokal yang dimanfaatkan secara optimal sehingga masyarakat dan pemerintah bersinergi mempromosikan produk untuk bersaing pada tataran domestik maupun mancanegara.
1.5.1.4. Indikator Keberhasilan One Village One Product (OVOP)
Dari studi dua negara yang berhasil mengindentifikasi, mengembangkan dan memasarkan kompetensi inti daerah yaitu OVOP Jepang dan OTOP Thailand, dapat disimpulkan sebagaimana dirangkum oleh Christanto (2011) dalam bukunya yang berjudul Membangun Daya Saing Daerah melalui Penciptaan Kompetensi 13
Inti Daerah, bahwa setidaknya ada beberapa indikator keberhasilan dari kebijakan OVOP yang ada di Negara Jepang dan Thailand termasuk negara-negara lain di dunia. Keberhasilan tersebut tidak terlepas dari peran serta pelaku usaha, pemerintah dan masyarakat serta swasta yang dijabarkan sebagai berikut :
I. Indikator kekuatan pelaku usaha yang meliputi empat aspek yaitu: 1. Keunikan, menyangkut sumber bahan baku dan inovasi produk yang berbeda dengan daerah lain. 2. Potensi sumberdaya manusia yang memiliki keterampilan khusus, etos kerja dan semangat kerjasama yang tinggi. 3. Kerjasama produktif dengan mitra yang menyangkut pemerintah, swasta ataupun masyarakat dalam hal penyediaan dan peningkatan kapasitas SDM termasuk dalam hal distribusi produk. 4. Penggunaan teknologi untuk keperluan produksi, pengembangan dan perdagangan produk. III. Indikator kekuatan dukungan pemerintah yang meliputi empat aspek yaitu: 1. Kepemilikan lembaga promosi, pengembangan produk dan koperasi untuk memperkuat posisi tawar, menangkap peluang pasar dan penetrasi pasar baru yang dapat juga didukung oleh pemerintah atau swasta 2. Akses permodalan yang mudah dalam bentuk kredit dan dana bergulir untuk pengembangan usaha kecil. 3. Pembangunan berkelanjutan yang berbasis produk lokal dan sumberdaya setempat yang dilakukan secara berkesinambungan. 4. Menempatkan peran sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) sebagai prioritas pembangunan ekonomi. III. Indikator kekuatan dukungan masyarakat yang meliputi dua aspek yaitu : 1. Dukungan kuat masyarakat dengan pembentukan komunitas usaha yang menjadi penopang keberhasilan OVOP. 2. Adanya Patron Client, penggunaan produk lokal yang dimotori oleh tokoh setempat sebagai rujukan karena kharismanya, dihormati dan menjadi panutan semua lapisan masyarakat. 14
1.5.2. Penelitian Sebelumnya
Penelitian mengenai potensi unggulan sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu namun memiliki tujuan, metode dan lokasi yang berbeda. Keberadaan penelitian sebagaimana tercantum pada Tabel 2 dapat dijadikan sebagai acuan pengembangan analisis. Tujuan penelitian ini yaitu 1) mengevaluasi tingkat kesiapan Industri Kanlpot Kelurahan Kembaran Kulon sebagai One Village One Product (OVOP) di Kabupaten Purbalingga, 2) merumuskan strategi pengembangan Industri Knalpot Kelurahan Kembaran Kulon sebagai One Village One Product (OVOP) di Kabupaten Purbalingga. Sejumlah penelitian yang dilakukan terdahulu lebih menitikberatkan pada identifikasi potensi unggulan ataupun komparasi implementasi OVOP dibeberapa daerah, sedangkan pada penelitian kali ini peneliti mengukur kesiapan Industri Knalpot
Kelurahan
Kembaran
Kulon
sebagai
OVOP
dan
strategi
pengembangannya. Secara lebih terperinci sebagaimana tertera pada Tabel 2 berikut: Tabel 2. Penelitian Sebelumnya yang Relevan dengan Penelitian No 1.
No 2.
Nama Peneliti Kyoto Kurokawa (2010)
Nama Peneliti Hiroshi Murayama and Kyungmi Son (2011)
Judul Penelitian
Tujuan
Hasil
Challenges for the OVOP movement in Sub-Saharan Africa –Insights from Malawi, Japan and Thailand.
Melakukan komparasi pengembangan OVOP di Malawi, Jepang dan Thailand untuk diimplementasikan di kawasan SubSahara Afrika
Judul Penelitian
Tujuan
Hasil
Understanding the OVOP Movement in Japan An Evaluation of Regional OneProduct Activities for Future World Expansion of the
Mengetahui tingkat signifikansi gerakan OVOP terhadap perekonomian di Oita Jepang dan prospek di masa yang akan datang.
OVOP berpengaruh pada perekonomian lokal masyarakat dengan berbasis pada sumberdaya lokal karena menawarkan gagasan kompleks dengan metode yang simpel dan adaptif
Malawi merupakan model OVOP terbaik karena mampu meningkatkan produktivitas, merubah rantai nilai, membuka akses pasar dan melibatkan ribuan perumahan.
Ruang Lingkup Negara, yaitu dengan mengambil tiga negara sampel yaitu Malawi, Jepang dan Thailand Ruang Lingkup Propinsi, yaitu dengan sampel Propinsi Oita, Jepang
15
3.
Wiyadi ( 2009)
4.
Sutikno dan Maryunani (2007)
OVOP/OTOP Policy. Pengukuran Indeks Daya Saing Industri Kecil Menengah (IKM) di Jawa Tengah
Analisis Potensi dan Daya Saing Kecamatan sebagai Pusat Pertumbuhan Satuan Wilayah Pengembangan Kabupaten Malang
Menganalisis daya saing industri industri kecil dan menengah di Jawa Tengah dengan menggunakan model Framework Porter’s diamond
Mengetahui potensi dan daya saing masing-masing kecamatan sebagai prioritas pusat pertumbuhan pada masing-masing Satuan Wilayah Pengembangan
IKM di Jawa Tengah memiliki daya saing yang tinggi dibuktikan dengan penyerapan tenaga kerja, peningkatan Gross Domestic Product (GDP) daerah, nilai output ekspor non migas dan penyerapan nilai investasi yang tinggi Berdasarkan Analisis Scalogram, Daya Saing, dan Jarak, maka diperoleh gambaran pusat-pusat pertumbuhan di masingmasing SWP
Propinsi yaitu dengan sampel Propinsi Jawa Tengah, Indonesia
Kabupaten/ Kota yaitu Kota Malang dan Kabupaten Malang
1.6. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini berpijak pada suatu pemikiran mengenai daya saing daerah berbasis kekuatan komoditas lokal yang mengakar pada lingkup administratif terkecil bernama desa/ kelurahan yaitu One Village One Product (OVOP), satu desa dengan minimal satu produk unggulan di Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah. Kajian ini dilakukan dengan mengevaluasi tingkat kesiapan Industri Knalpot Kelurahan Kembaran Kulon yang meliputi ketangguhan pelaku industri, dukungan pemerintah dan masyarakat yang kemudian dirinci menjadi 10 parameter pokok OVOP sebagaimana dijelaskan oleh Christanto (2011) sehingga dapat diketahui derajat pencapaian standar OVOP Industri Knalpot Kelurahan Kembaran Kulon. Data pencapaian standar OVOP tersebut kemudian dipadukan dengan sarana prasarana penunjang yang dimiliki Kabupaten Purbalingga terkait dengan Industri Knalpot yang meliputi : pertama fasilitas fisik yaitu perbankan,
16
ketenagakerjaan dan lembaga koperasi serta yang kedua fasilitas non fisik yaitu kemudahan izin usaha, investasi daerah dan Peraturan Perundang-Undangan Hasil kombinasi dua data tersebut dijadikan bahan untuk merumuskan strategi pengembangan kebijakan OVOP di Kabupaten Purbalingga berdasarkan analisis SWOT. Sehingga kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat digambarkan secara sederhana melalui diagram alir sebagaimana tertera pada Gambar 4 berikut:
Industri Knalpot
Parameter One Village One Product
Kesiapan Industri sebagai One Village One Product
Sarana Prasarana Daerah
Strategi pengembangan OVOP
Gambar 4. Diagram Alir Kerangka Pemikiran Penelitian 1.7.
Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan pada rumusan permasalahan, tujuan penelitian, dan tinjauan pustaka dapat disusun pertanyaan penelitian yaitu bagaimana kesiapan Industri Knalpot Kelurahan Kembaran Kulon sebagai One Village One Product ( OVOP) dan strategi pengembangannya di Kabupaten Purbalingga Propinsi Jawa Tengah ? 17
1.8.
Batasan Operasional
Berikut disajikan pengertian yang memuat batasan operasional dan istilah penting dalam penelitian untuk memudahkan dalam memahami penelitian ini secara utuh. 1. Potensi Wilayah adalah segala kemampuan yang dimiliki suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah yang lain baik ditinjau dari kepemilikan dan juga manajemen pengelolaan sumber daya (Wiyadi, 2007) 2. Kompetensi Inti
adalah kumpulan keterampilan dan teknologi yang
memungkinkan suatu daerah dapat menyediakan manfaat tersendiri bagi masyarakat (Christanto, 2011) 3. Keunggulan Kompetitif adalah keunggulan suatu daerah yang menekankan pada kepemilikan sumber ekonomi, sosial, politik, dan kelembagaan suatu daerah, seperti kepemilikan sumber daya alam, sumber daya manusia, infrastruktur dan lain-lain (Widodo, 2006). 4. Keunggulan Komparatif adalah keunggulan suatu daerah yang menekankan pada efisiensi pengeloaan (manajemen : perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan) penggunaan sumber-sumber tersebut dalam produksi, konsumsi maupun distribusi (Widodo, 2006). 5. One Village One Product : Suatu kebijakan dimana suatu desa menetapkan minimal
satu produk yang memiliki keunikan untuk dikembangkan oleh
masyarakat dengan optimalisasi sumberdaya yang ada sehingga akan memberikan nilai tambah pada produk tersebut (Shakya, 2011) 6. Potensi Unggulan adalah sektor yang mempunyai prospek yang baik dan dapat dikembangkan terhadap peningkatan perekonomian daerah kabupaten/kota atau sektor yang memenangkan persaingan dengan sektor lain yang dapat dilihat dari sumbangan setiap sektor pada PDRB atas dasar harga konstan dalam suatu daerah ( Arsyad, 1999 dalam Harini dkk, 2005).
18
7. Industri adalah rangkaian kegiatan yang memproses barang mentah menjadi barang jadi atau setengah jadi menjadi memiliki nilai tambah dan nilai guna yang optimal (Djajadiningrat dan Malia Famiola, 2004)
19