BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tenaga kerja atau Sumber Daya Manusia merupakan sumber daya yang penting di dalam sebuah perusahaan atau organisasi, sehingga masalah sumber daya manusia menjadi hal yang menarik untuk dikaji. Sumber daya manusia merupakan salah satu aset yang dapat menjadi keunggulan kompetitif suatu perusahaan. Sumber daya manusia merupakan ujung tombak aset perusahaan dan me njadi roda penggerak dalam mencapai dan mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, produktivitas perusahaan sangat ditentuka n oleh produktivitas sumber daya manusia yang bekerja di dalamnya. Dalam proses mewujudkan tujuan perusahaan yang telah ditetapkan tersebut , sumber daya manusia yang bekerja di dalam nya dapat mengalami stres kerja. Stres merupakan bagian dari kehidupan manusia. Stres yang ringan dapat berguna dan bisa memacu seseorang untuk berpikir dan berusaha lebih cepat dan keras sehingga dapat menjawab tantangan hidup sehari-hari. Stres ringan bisa merangsang dan memberikan rasa lebih bergairah dalam kehidupan yang biasanya membosankan dan rutin. Akan tetapi, stres yang tidak diatasi dengan baik biasanya berakibat pada ketidakmampuan seseorang untuk berinteraksi secara positif dengan lingkungannya, baik dalam lingkungan pekerjaan maupun di luarnya, serta dapat membahayakan kesehatan. Stres dapat didefinisikan sebagai sebuah keadaan yang dialami ketika ada sebuah ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan yang diterima dan kemampuan untuk mengatasinya. Savery dan Luks (2001) dalam Wilar (2011) menyata kan definisi dari stres kerja adalah suatu kondisi mental dan kondisi fisik yang mempengaruhi produktivitas, efektivitas, kesehatan individu dan kualitas kerja dari seorang karyawan. Stres biasanya bersifat negatif, yang disebabkan oleh sesuatu yang dapat menimbulkan ketegangan. Dampak dari stres yang dialami oleh karyawan dapat menghambat kegiatan operasional perusahaan karena karyawan tidak dapat bekerja secara maksimal, mengganggu aktivitas kerja, menurunkan produktivitas kerja, serta prestasi kerja karyawan dapat mengalami penurunan. Stres dapat dipengaruhi oleh berbagai macam hal. Selain dipengaruhi oleh faktor -faktor yang ada dalam diri individu, stres juga dipengaruhi 1
oleh faktor -faktor organisasi dan lingkungan. Hal ini perlu disadari dan dipahami oleh semua pihak. Pemahaman akan sumber -sumber penyebab stres di lingkungan pekerjaan disertai pemahaman terhadap penanggulangannya merupakan hal yang penting, baik bagi para karyawan maupun para eksekutif untuk kelangsungan organisasi yang sehat dan efektif. Setiap pekerjaan memiliki kapasitas stres, namun tingkatannya berbeda-beda. Beberapa pekerjaan dan organisasi di dalam industri jasa merupakan organisasi yang lebih potensial terhadap stres. Hal tersebut dapat terjadi karena posisi pekerjaannya berhubungan langsung dengan publik atau pelanggan yang mungkin lebih sensitif terhadap pengaruh negatif dari stres (Burke, 1994; Sager dan Jeffrey, 1994 dalam Ratnasari, 2003). Stres menunjukkan sebab dan pengaruh yang dirasakan akibat dari tekanan-tekanan yang dihadapi. Bagaimana cara menghadapi tekanan tersebut seringkali ditentukan oleh tingkat ketahanan masing-masing individu dan hal-hal lain yang terjadi pada waktu itu, sehingga stres dapat didefinisikan sebagai suatu respon terhadap hubungan yang disadari antara tuntutan terhadap individu dan kemampuan individu untuk menghadapinya (Warren dan Toll, 1997 dalam Wilar, 2011). Perubahan ekonomi dan politik, serta perubahan nilai-nilai di dalam masyarakat menyebabkan perubahan tuntutan peran wanita baik di tempat ke rja maupun di dalam keluarga. Model keluarga tradisional dimana suami sebagai orang yang mencari nafkah dan istri sebagai ibu rumah tangga yang mengurus rumah dan anak-anak, sudah semakin ditinggalkan. Pada saat ini semakin banyak wanita yang terlibat dala m dunia kerja yang dahulunya didominasi oleh kaum pria. Keikutsertaaan wanita dalam pembangunan ekonomi tampak dari partisipasinya dalam angkatan kerja. Partisipasi mereka bukan sekedar menuntut persamaan hak tetapi juga menyatakan fungsinya yang mempunyai arti bagi pembangunan dalam masyarakat Indonesia. Peningkatan partisipasi wanita dalam dunia kerja telah menjadi fenomena yang menarik di Indonesia. Pesatnya perkembangan industri di Indonesia telah memberikan berbagai perubahan sekaligus tantangan yang perlu diantisipasi. Salah satu perubahan yang terjadi adalah peningkatan jumlah angkatan kerja wanita. Dorongan yang menyebabkan masuknya wanita dalam dunia kerja salah satunya adalah faktor ekonomi. Kebutuhan tambahan finansial keluarga merupakan pendorong 2
terbesar keikutsertaan wanita dalam dunia kerja . Di sisi lain, terjadi kecenderungan peningkatan pekerja wanita yang terjadi sejalan dengan terbukanya akses pendidikan terutama untuk wanita agar bisa mengaktualisasikan dirinya. Fenomena ini menarik untuk diamati, karena masuknya wanita ke dalam dunia kerja dapat menimbulkan banyak konsekuensi. Sebagai pekerja kadang mereka mengalami konflik yang dihadapakan pada keadaan dimana mereka harus membuat keputusan di antara beberapa pilihan yang bersamaan waktunya. Sehingga pekerja wanita dituntut untuk mampu menyeimbangkan peran mereka dalam pekerjaan dan keluarga. Dilihat dari segi ekonomi, keluarga dengan pasangan yang keduanya bekerja (dual career couple) dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga. Dengan tambahan ekstra pendapatan yang diterima, mereka berharap dapat mencukupi semua kebutuhan keluarga. Namun, pendapatan yang tinggi akibat dual career couple tidak kemudian berdampak baik terhadap psikologis kesejahteraan keluarga tersebut. Hidup untuk bekerja tanpa ada keseimbangan yang baik, mengakibatkan stabilitas kehidupan keluarga akan terganggu. Dengan kondisi suami dan istri bekerja terkadang justru dapat menyebabkan masalah lain yang lebih pelik, ya itu terjadinya konflik pekerjaan-keluarga. Perubahan lingkungan tenaga kerja (pasangan yang bekerja) dan lingkungan kerja dapat meningkatkan konflik dalam pekerjaan-keluarga yang kemudian dapat berakibat pada kinerja karyawan dan organisasi. Konflik pekerjaan-keluarga (work family conflict), merupakan konflik yang terjadi karena tekanan peran dari domain pekerjaan dan keluarga tidak dapat terpenuhi secara seimbang. Partisipasi dalam salah satu peran mempersulit partisipasi peran dalam domain lainnya (Greenhause and Beutell, 1985). Pada saat ini semakin banyak wanita yang berambisi dan mampu untuk mengembangkan karirnya. Hal tersebut memang dimungkinkan, karena meningkatnya jumlah wanita yang berpendidikan menengah dan tinggi, serta karena adanya pergeseran jenis pekerjaan dari sektor pertanian ke sektor industri dan jasa memberikan peluang kepada para tenaga kerja. Pekerjaan dan kehidupan keluarga merupakan dua hal yang saling terkait dalam kehidupan orang dewasa. Upaya untuk menyeimbangkan antara kepentingan pekerjaan dan kepentingan dalam kehidupan keluarga bukanlah suatu perkara yang dapat dengan mudah diatasi. Seseorang yang tidak mampu untuk mengintegrasikan kepentingan 3
pekerjaan dan kepentingan dalam kehidupan keluarga cenderung akan mengalami konflik. Wanita yang bekerja akan menghadapi konflik yang berkaitan dengan rumah tangga, anak-anak, dan tanggung jawab pada orang tua (Higgin, Duxbury and Irving, 1992). Wanita yang bekerja dituntut untuk mampu menyeimbangkan perannya dalam pekerjaan dan keluarga. Di dalam lingkungan keluarga pun, wanita dituntut untuk mampu menjalankan perannya sebagai seorang ibu dan istri. Menurut Stevens, Minnote, dan Kigger (2004) pekerjaan terkadang dapat menimbulkan konflik dalam domain keluarga, dan begitu pula sebaliknya. Konflik pekerjaan-keluarga (work -interfering -with -family ) dapat didefinisikan sebagai konflik antar peran dimana tanggung jawab baik dalam domain pekerjaan maupun dalam domain keluarga tidak selaras. Konflik pekerjaan-keluarga dapat terjadi saat partisipasi dalam domain keluarga semakin sulit untuk dilakukan karena keterlibatan yang tinggi dalam domain pekerjaan. Menurut Spector et.al. (2007) dalam Kismono (2011) di negara-negara individualis, keluarga dan pekerjaan dilihat sebagai bidang yang berbeda dan independen yang bersaing untuk sumber daya yang sama (waktu, tenaga, dan energi). Lebih lanjut dikatakan ketika permintaan dari pekerjaan mengganggu kebutuhan individu dalam melaksanakan tanggung jawab keluarga, saat itulah konflik pekerjaan dan keluarga dapat terjadi. Sebaliknya, di negara-negara kolektif, pekerjaan dan keluarga dilihat sebagai bidang yang independen dimana pekerjaan dinilai sebagai pemberi kontribusi untuk keluarga bukan sebagai pesaing. Masalah keluarga dan pekerjaan saling berinteraksi dan mempunyai relevansi satu dengan yang lain (Ratnasari, 2003). Salah satu permasalahan yang timbul adalah konflik pekerjaan dan keluarga. Pola kehidupan keluarga dimana suami dan istri yang keduanya bekerja dapat menjadi alasan terbesar yang memicu timbulnya konflik. Hal tersebut dikarenakan pada saat ini peran sosial pria dan wanita menjadi tidak jelas dan terjadi kebingungan pada konsep berbagi dalam suatu keluarga (Rani dan Muzhumathi, 2012). Pekerja pria maupun pekerja wanita mempunya i peran yang sama dalam pekerjaan, namun memiliki peran yang berbeda dalam ke luarga (Permana, 2010). Situasi tersebut 4
dapat memicu permasalahan dalam keluarga maupun pekerjaan yang akan berujung pada timbulnya stres. Tidak terhindarinya konflik yang terjadi, baik konflik pekerjaan-keluarga maupun konflik keluarga-pekerjaan, lama-kelamaan akan dapat memicu munculnya stres pada karyawan di tempat kerja . Seorang karyawan dituntut untuk menyeimbangkan peran kerja dan peran keluarga secara bersamaan. Kondisi tersebutlah yang pada akhirnya akan dapat menyebabkan stres pada karyawan. Seseorang yang tidak mampu menanggapi atau mengelola konflik pekerjaankeluarga dengan baik dapat mengalami stres. Sama halnya dengan seseorang yang mengalami konflik pada pekerjaan dan keluarga tetapi orang tersebut tidak mampu mengelola konflik dengan baik, maka dapat mengakibatkan keresahan, kecemasan, stres, bahkan depresi, akan tetapi apabila mereka mampu menghadapi konflik yang dihadapinya, maka stres tersebut akan dapat dihindari. Pekerjaan yang tidak terselesaikan di tempat kerja dan kemudian diputuskan untuk diselesaikan di rumah merupakan salah satu pemicu munculnya konflik pekerjaankeluarga, dimana hal tersebut lama kelamaan dapat menimbulkan terjadinya stres karena mendapatkan tekanan dari dua sisi. Di satu sisi pekerjaan harus terselesaikan, sedangkan di sisi yang lain ada keluarga yang menuntut untuk diberikan perhatian lebih ketika sudah berada di rumah. Organisasi terkadang tidak memperhatikan keadaan tersebut, karena mereka menuntut karyawan untuk bersikap profesional dengan tidak mencampur adukan urusan rumah tangga dengan urusan pekerjaan di lingkungan kerja. Karyawan pun kadang tertutup dalam mengemukakan permasalahan keluarga di lingkungan kerja yang akhirnya malah berdampak pada stres kerja. Konflik pekerjaan-keluarga memiliki dua arah (Netemeyer, 2005), yaitu konflik pekerjaan ke keluarga dan konflik keluarga ke pekerjaan. Konflik pekerjaan ke keluarga terjadi ketika pekerjaan mengganggu kehidupan keluarga. Sedangan konflik keluarga ke pekerjaan terjadi ketika kehidupan keluarga mengganggu pe kerjaan. Berdasarkan hubungan dua arah tersebut, dapat diindikasikan bahwa konflik pekerjaan ke keluarga maupun konflik keluarga ke pekerjaan merupakan prediktor terjadinya stres.
5
Salah satu contoh yang menunjukan pekerjaan yang mengganggu kehidupan keluarga atau disebut Konflik Pekerjaan-Keluarga (KPK) adalah orang tua yang melewatkan hari kelulusan anaknya karena harus keluar kota demi pekerjaan. Sedangkan contoh kehidupan keluarga yang mengganggu pekerjaan atau disebut Konflik KeluargaPekerjaan (KKP) adalah orang tua harus terlambat datang ke kantor karena menemani anaknya yang sakit. Konflik pekerjaan-keluarga dan stres kerja memiliki hubungan seperti yang ditunjukkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Netemeyer, et.al., (2005) mengenai konflik pekerjaan-keluarga dan stres kerja dalam penelitiannya pada perusahaan manufaktur untuk perlengkapan teknologi. Responden dari penelitian tersebut terdiri dari 3 kelompok, yaitu: pelanggan 132 orang, karyawan bagian pelayanan konsumen 185 orang, dan supervisor 27 orang. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa stres kerja secara signifikan berhubungan secara positif dengan konflik pekerjaan-keluarga. 1.2 Rumusan Masalah Terdapat dua jenis konflik pekerjaan dan keluarga, yaitu konflik pekerjaan keluarga dan konflik keluarga -pekerjaan (Allen, et.al. 2000). Kedua jenis konflik tersebut telah dibuktikan memiliki hubungan dengan stres kerja. Penelitian Netemeyer et.al. (2005) menunjukkan bahwa stres kerja secara signifikan berhubungan secara positif dengan konflik pekerjaan-keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konflik pekerjaankeluarga dan konflik keluarga-pekerjaan dengan stres kerja. Dengan demikian, rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah konflik pekerjaan-keluarga berpengaruh positif pada stres kerja? 2. Apakah konflik keluarga-pekerjaan berpengaruh positif pada stres kerja?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis pengaruh konflik pekerjaa n-keluarga pada stres kerja 2. Menganalisis pengaruh konflik keluarga -pekerjaan pada stres kerja 6
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk studi mengenai konflik pekerjaan keluarga untuk kedepannya, dan memberikan pengetahuan serta informasi baru untuk isu-isu tentang konflik pekerjaan keluarga. Selain itu, hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai pelengkap penelitian sebelumnya dan dapat digunakan sebagai rujukan untuk penelitian yang akan datang.
7