BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Air merupakan sumberdaya alam yang sangat penting bagi kehidupan
manusia. Air menjadi kebutuhan dasar tidak hanya bagi manusia namun juga seluruh kehidupan makhluk hidup. Sumberdaya alam ini termasuk sumberdaya terbaharui secara alami dalam siklus hidrologi yang bersifat dinamis mengalami perubahan bentuk dan sifat. Siklus hidrologi merupakan serangkaian proses yang berkelanjutan dan persebaran yang tidak menentukan berpengaruh pada variasi simpanan air di dunia. Keadaan geografis yang berbeda-beda mempengaruhi intensitas hujan yang tidak sama dan merata sehingga ketersediaan air di suatu wilayah akan berbeda dengan wilayah lain (Isnugroho, 2002). Ketersediaan air permukaan terdiri dari air yang mengalir di permukaan dalam sistem sungai, air yang tertampung dalam danau, rawa dan waduk serta air yang tersimpan dalam tanah berupa air tanah. Potensi sumberdaya air yang bervariasi menjadikan pemenuhan sumber air di suatu wilayah juga bervariasi. Ada yang memanfaatkan air sungai sebagai sumber air karena kualitasnya masih bagus, namun juga tidak jarang ditemukan warga yang hanya mengandalkan air dari mataair karena kondisi topografi yang memungkinkan. Potensi mataair merupakan potensi sumberdaya air yang memiliki karakteristik hidrologi khusus. Mataair (spring) merupakan suatu pemusatan pengeluaran air dari airtanah yang muncul ke permukaan sebagai arus dari air yang mengalir (Todd dan Mays, 2005). Tidak semua wilayah dapat dijumpai potensi mataair, dan karakteristik mataairnya pun akan berbeda antara wilayah satu dengan wilayah yang lainnya. Kawasan Gunungapi Merapi terutama di tekuk lereng dapat dijumpai potensi mataair sehingga dapat dimanfaatkan untuk kehidupan manusia. Lereng Gunungapi Merapi bagian tenggara khususnya di wilayah Kabupaten Klaten banyak ditemukan mataair yang memiliki kuantitas yang melimpah dan mengalir
1
sepanjang tahun serta kualitasnya masih sangat baik. Sumber mataair ini dimanfaatkan sebagai sumber bagi perusahaan daerah air minum (PDAM) dan perusahaan air minum dalam kemasan, selain untuk pemenuhan kebutuhan sumber air penduduk sekitar. Mataair ini juga menjadi sumber air untuk perikanan air tawar yaitu usaha kolam ikan yang menjadi mata pencaharian sebagian masyarakat di lereng Gunungapi Merapi bagian tenggara. Terutama dapat dijumpai para petani ikan di Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten. Mataair yang terdapat di Kecamatan Polanharjo oleh masyarakat setempat digunakan untuk sumber air usaha kolam ikan dengan produktivitas yang tinggi dan sangat menguntungkan. Salah satu mataair telah dikembangkan sebagai obyek wisata kolam renang meski pengelolaannya masih bersifat gotong-royong oleh masyarakat sekitar secara mandiri. Adanya dukungan pemerintah dalam pengembangan usaha, mendorong berdirinya usaha warung makan yang menyediakan menu-menu ikan hasil budidaya kolamnya sendiri. Banyak wisatawan lokal maupun dari luar daerah yang berdatangan ke sana untuk sekedar berenang maupun merasakan nikmatnya menu berbagai olahan ikan hasil budidaya warga setempat. Kegiatan usaha ini mampu mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat di sana. Kecamatan Polanharjo memiliki potensi mataair di dua desa yaitu Desa Ponggok dan Sidowayah dan yang menarik adalah pola pembukaan lahan untuk kolam ikan tidak berasosiasi dengan munculnya mataair tersebut. Desa Janti berdasarkan Laporan Statistik Perikanan Budidaya Semester II (Dinas Pertanian, 2015) terdapat 104 petani ikan meski dengan potensi sumber mataair hanya satu dari Desa Sidowayah, sedangkan di Desa Ponggok yang memiliki lima mataair, terdapat 25 petani ikan. Desa Sidowayah terdapat 30 petani ikan, jumlah yang sama di Desa Nganjat. Desa tersebut dikenal dengan Kawasan Minapolitan. Desadesa lainnya juga dijumpai petani ikan meski jumlahnya lebih sedikit. Jumlah petani ikan ini tidak menggambarkan luas lahan kolam ikan karena kepemilikan lahan usaha tersebut bervariasi. Beberapa desa dapat dijumpai kelompok usaha bersama mengunakan sistem koperasi.
2
Pemanfaatan mataair di Kecamatan Polanharjo termasuk cukup tinggi tidak hanya untuk kebutuhan domestik, perikanan, sumber pengisian air untuk wisata kolam renang dan wisata pemancingan ikan, namun juga sumber air irigasi untuk pertanian. Kebutuhan air domestik dan perikanan membutuhkan kualitas air yang baik dan tidak melebihi baku mutu, tidak seperti kebutuhan air pertanian. Hal inilah yang melatarbelakangi dilakukannya penelitian lebih mendalam untuk mengkaji karakteristik dan potensi mataair serta kebutuhan air total dari pemanfaatan mataair di Kecamatan Polanharjo dengan batasan kebutuhan domestik dan perikanan. 1.2.
Perumusan Masalah Kecamatan Polanharjo memiliki enam sumber mataair yang memiliki
karakteristik hidrologi khusus dan potensinya baik kuantitas dan kualitas. Sebaran mataair ini tidak merata di seluruh desa begitu pula dengan sebaran pembukaan lahan untuk usaha kolam ikan. Desa Janti terdapat 104 petani ikan meski dengan potensi sumber mataair hanya satu dari Desa Sidowayah, sedangkan di Desa Ponggok yang memiliki lima mataair, terdapat 25 petani ikan. Hasil produktivitas dari usaha kolam ikan ini cukup menguntungkan dengan permintaan dari daerah sekitar maupun luar daerah yang masih tinggi. Adanya warung dan pemancingan ikan yang juga menjadi tujuan rekreasi bagi penduduk Klaten maupun luar daerah mempengaruhi tingginya permintaan hasil panen usaha kolam ikan di Kecamatan Polanharjo. Selain itu, salah satu mataair telah dikembangkan sebagai obyek wisata kolam renang yang menarik karena kejernihan airnya. Pemanfaatan air mataair inilah yang mempengaruhi besar ketersediaan air yang tersedia untuk pemenuhan kebutuhan air masyarakat sekitar. Berdasarkan fenomena di lapangan ini dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana karakteristik dan kualitas mataair di Kecamatan Polanharjo? 2. Seberapa besar ketersediaan air dari mataair dan kebutuhan air untuk kebutuhan domestik dan perikanan?
3
3. Bagaimana analisis imbangan air antara ketersediaan dengan kebutuhan air total dari mataair di Kecamatan Polanharjo? 1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui
karakteristik dan kualitas
mataair di Kecamatan
Polanharjo. 2. Menghitung ketersediaan air dari mataair dan kebutuhan air untuk kebutuhan domestik dan perikanan. 3. Menganalisis imbangan air antara ketersediaan dengan kebutuhan air total dari mataair di Kecamatan Polanharjo. 1.4.
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah mengetahui karakteristik setiap mataair
di Kecamatan Polanharjo dan besarnya potensi ketersediaan mataair untuk mendukung pemenuhan kebutuhan air baik domestik maupun perikanan air tawar. Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan alam dan dapat dijadikan salah satu referensi terkait penelitian mataair yang merupakan pengembangan ilmu geografi dalam bidang airtanah. Publikasi dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi ketersediaan mataair di Kecamatan Polanharjo yang masih mencukupi sebagai sumber air bagi aktivitas masyarakat setempat. Perkiraan ketersediaan air dari mataair yang masih mencukupi atau tidak sekiranya dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan mataair.
1.5.
Tinjauan Pustaka
1.5.1. Siklus Hidrologi Air adalah sumberdaya alam yang penting bagi kehidupan manusia. Sumberdaya air merupakan sumberdaya yang terbaharukan karena terjadi siklus daur hidrologi yang berlangsung secara dinamis menurut ruang dan waktu (Sudarmadji, 2013). Siklus hidrologi menjelaskan peredaran air dari permukaan
4
air laut yang teruapkan ke atmosfer lalu jatuh ke permukaan tanah berupa air hujan dan menjadi aliran permukaan atau teresap ke dalam tanah yang selanjutnya akan kembali ke laut (Asdak, 1995). Peredaran air ini akan tertahan sementara di sungai, danau/waduk, dan dalam tanah menjadi simpanan air yang dapat dimanfaatkan untuk kehidupan manusia maupun makhluk hidup lain. Simpanan air permukaan berupa air yang tertahan di sungai, danau/waduk atau rawa sedangkan simpanan air di bawah permukaan tanah adalah airtanah. Presipitasi berupa air hujan yang jatuh di permukaan tanah dapat menjadi limpasan permukaan langsung dan masuk ke dalam sistem sungai atau tertahan dalam depresi permukaan yang disebut cadangan depresi (Seyhan, 1990). Air hujan yang tidak teralirkan akan terserap ke dalam tanah (infiltrasi) menuju dasar sungai tanpa mencapai muka air tanah yang akan mengalir sebagai aliran air bawah permukaan. Hasil infilitrasi yang telah melampaui batas kejenuhan tanah akan bergerak menurun sebagai perkolasi dalam mintakat jenuh di bawah muka air tanah. Air akan bergerak secara horisontal jika tingkat kelembaban air tanah telah jenuh menuju tempat tertentu dan muncul ke permukaan kembali (Asdak, 1995). Pemunculan air dari simpanan air tanah akibat kondisi tertentu dapat berupa mataair (spring) atau rembesan (seepage). 1.5.2. Mataair Mataair (spring) merupakan suatu pemusatan pengeluaran air dari airtanah yang muncul ke permukaan sebagai arus dari air yang mengalir. Mataair berbeda dengan rembesan yang merupakan pergerakan air yang lebih lambat melalui tanah atau media poros lain yang muncul ke permukaan tanah atau permukaan tubuh air (Todd dan Mays, 2005). Mataair juga disebabkan oleh singkapan akuifer sehingga muncul ke permukaan bumi, atau akuifer yang terpotong oleh bekas dataran aluvial. Sumber air mataair kemungkinan berasal dari air bebas yang dipengaruhi kemiringan muka air freaktik (muka air mataair), atau air tertekan yang muncul akibat tekanan hidrostatik (mataair artesis).
5
Faktor-faktor yang mempengaruhi lokasi pemunculan mataair, arah arus pergerakan air mataair terhadap sungai, dan besar debitnya menurut Tolman (1937) adalah sebagai berikut: 1. Curah hujan Curah hujan merupakan sumber utama simpanan air yang ada di permukaan bumi, seperti airtanah, danau, rawa, dan sungai. Airtanah yang terpotong dan muncul ke permukaan adalah mataair, sehingga curah hujan juga mempengaruhi besarnya kuantitas air mataair yang dapat dikeluarkan. Semakin besar curah hujan yang terjadi, maka debit air mataair semakin tinggi pula. 2. Karakteristik hidrologi Karakteristik hidrologi berpengaruh pada pembentukan airtanah terutama permeabilitas (kelulusannya) di permukaan tanah. Permeabilitias yang tinggi dapat meloloskan air hujan (presipitasi) ke dalam tanah dan dapat meneruskannya, sebaliknya jika permeabilitas rendah maka air yang terinfiltrasi maupun terloloskan relatif sedikit. 3. Topografi Topografi berkaitan dengan kemiringan lereng dalam pembentikan airtanah. Lereng yang curam akan lebih cepat mengalirkan air, sehingga waktu untuk peresapan air hujan ke dalam tanah relatif sedikit. Air hujan in akan lebih banyak menjadi aliran permukaan, sebaliknya lereng yang datar hingga landai menjadikan aliran air tertahan dan memberikan kesempatan untuk terinflitrasi. Menurut Salamat (2005) hal ini berbeda dengan adanya perubahan lereng curam (break of slope) secara tiba-tiba yang memotong lapisan airtanah atau akuifer dan muncul ke permukaan air, sehingga banyak terbentuk mataair. 4. Karakteristik hidrologi pada formasi akuifer Formasi akuifer berpengaruh pada sumber air untuk mataair yang dapat berasal dari airtanah bebas, air artesisan, air volkanik, dan air dalam yang jauh di lapisan bumi. Karakteristik hidrologi akuifer berpengaruh pada
6
pemunculan mataair yaitu muka airtanah dan kemampuan akuifer untuk meloloskan air. 5. Struktur geologi Geologi (batuan) terutama jenis dan struktur batuan mempengaruhi kuantitas dan kualitas air mataair. Geologi juga mempengaruhi pembentukan mataair, terutama struktur geologi seperti adanya potensi patahan, tabrakan, atau sesar. Struktur geologi ini dapat menyebabkan perpindahan atau pergeseran pemunculan mataair.
I.5.3. Klasifikasi Mataair Mataair diklasifikasikan dalam beberapa kategori tergantung dari parameter yang dijadikan dasar klasifikasi. Klasifikasi mataair dapat didasarkan atas penyebab terjadinya (cause), keluaran atau debitnya (discharge), variabilitas pengaliran, suhu, dan tipe material pembentuk mataairnya. Mataair menurut Bryan dalam Todd dan Mays (2005) dibedakan menjadi dua yaitu mataair yang terbentuk oleh tenaga non-gravitasi dan tenaga gravitasi. Mataair volkanik dan mataair rekahan merupakan contoh dari mataair yang terbentuk oleh tenaga non-gravitasi. Mataair volkanik dicirikan berasosiasi dengan batuan volkanik di bentanglahan vulkanik baik vulkan yang masih aktif maupun pasif (dorman ataupun sudah tidak aktif). Mataair rekahan terbentuk dari hasil rekahan yang panjang dan sangat dalam di kerak kulit bumi. Kedua mataair ini umumnya memilki temperatur yang tinggi sehingga dikenal sebagai mataair panas. Mataair hasil tenaga gravitasi dipengaruhi oleh tekanan hidrostatik sehingga air dapat mengalir dari simpanannya yaitu airtanah. Mataair yang muncul akibat tenaga gravitasi diklasifikasikan menjadi 5 (lima) jenis yaitu mataair depresi, mataair kontak, mataair artesis, mataair pada batuan kedap dan mataair rekahan. Mataair depresi (depression springs) terbentuk saat muka airtanah terpotong oleh permukaan tanah sehingga air dapat muncul ke permukaan. Mataair kontak (contact springs) muncul ketika lapisan lolos air berada di atas lapisan yang kurang lolos air dan terpotong oleh permukaan tanah.
7
Mataair artesis (artesian springs) merupakan pemunculan air akibat tekanan dari akuifer tertekan atau singkapan pada akuifer yang melalui celah terbuka di dasar lapisan kedap air. Mataair pada batuan kedap (impervious rock springs) terjadi pada saluran atau rekahan pada batuan kedap air. Jenis mataair terakhir yaitu mataair rekahan dari saluran yang memiliki bentuk khusus seperti lorong lahar, saluran hasil proses pelarutan dan rekahan di batuan kedap air yang terhubung dengan sistem airtanah. Ilustrasi gambar dari setiap jenis mataair dapat dilihat dalam Gambar 1.1. berikut ini.
Gambar 1.1. Pemunculan mataair akibat tenaga gravitasi (a) mataair depresi, (b) mataair kontak, (c) mataair artesis, dan (d) mataair rekahan Sumber: Todd dan Mays, 2005 Klasifikasi mataair dapat dibedakan pula berdasarkan besar debit air mataair. Mataair memiliki debit yang bervariasi dari debit kurang dari 1 liter per detik hingga ribuan liter per detik. Debit mataair yang bervariasi dipengaruhi oleh luas daerah imbuh dan besarnya imbuhan. Meinzer dalam Todd dan Mays (2005) mengklasifikasi mataair berdasarkan besar debit ke dalam 8 (delapan) kelas seperti dalam Tabel 1.1. Klasifikasi mataair berdasarkan periode pengalirannya dibedakan menjadi tiga yaitu perennial, temporal atau intermittent, dan periodik (Tolman, 1937). Mataair perennial (menahun), jika pengaliran air terus menerus sepanjang tahun dan tidak dipengaruhi oleh curah hujan. Mataair temporal atau intermittent adalah
8
mataair yang mengalir dalam waktu tertentu misalnya setelah terjadi hujan atau selama batas muka airtanah mengalami peningkatan. Mataair periodik adalah mataair yang mengalir dalam periode atau interval waktu tertentu dan tidak dipengaruhi oleh kejadian hujan. Mataair periodik dalam Purnama (2010) disebabkan oleh berkurangnya evapotranspirasi pada malam hari, perubahan tekanan udara, pasang surut dan pemanasan air oleh batuan. Tabel 1.1. Klasifikasi Mataair Berdasarkan Besar Debitnya Kelas
Debit
I
> 10 m3/detik
II
1 – 10 m3/detik
III
0,1 – 1 m3/detik
IV
10 – 100 liter/detik
V
1 – 10 liter/detik
VI
0,1 – 1 liter/detik
VII
10 – 100 ml/detik
VIII
< 10 ml/detik
Sumber: Todd dan Mays, 2005 Klasifikasi mataair berdasarkan suhu air dapat dibedakan menjadi tiga yaitu mataair dingin (cold springs), mataair normal (non thermal atau ordinary temperature springs), dan mataair panas (thermal springs) (Purnama, 2010). Mataair dingin adalah mataair yang suhu airnya rendah dan sumber air berasal dari pencairan salju dan es. Mataair normal adalah mataair yang suhu airnya lebih rendah atau hampir sama dengan suhu udara di sekitarnya. Mataair panas adalah mataair yang suhu airnya lebih tinggi dibandingkan suhu udara di sekitarnya. Sumber air mataair adalah airtanah yang telah melewati pori-pori batuan dan membawa unsur-unsur yang terkandung di dalam batuan tersebut. Hal ini mempengaruhi konsentrasi garam mineral dalam mataair, sehingga klasifikasi mataair berdasarkan tipe material pembentuk mataair dapat dibedakan menjadi dua, yaitu mataair mineral (mineral springs) dan mataair non mineral (non mineral springs) (Tolman, 1937). Mataair mineral dalah mataair yang mempunyai
9
konsentrasi kandungan garam-garam mineral yang lebih tinggi dibandingkan kandungan airtanah pada umumnya (Tyas, 2008). Mataair non mineral, mempunyai kandungan garam mineral seperti dalam airtanah pada umumnya, disebut juga sebagai mataair biasa (common springs). 1.5.4. Karakteristik Mataair Setiap mataair memiliki karakteristik yang khusus sehingga dapat dibedakan antara mataair yang satu dengan yang lain. Karakteristik suatu mataair dapat dilihat berdasarkan tipe klasifikasi proses terbentuknya, debit, fluktuasi keluaran air sepanjang tahun dan kualitasnya. Debit mataair sangat bervariasi, ada yang memiliki debit sangat kecil yaitu kurang dari 1 liter perdetik sehingga disebut sebagai rembesan hingga sangat besar mencapai ribuan liter perdetik. Variasi debit suatu mataair ini mempengaruhi pemanfaatan mataair sebagai sumber air bagi aktivitas masyarakat selain cara perolehannya. Debit yang besar namun cara perolehan yang sulit menjadi faktor penghambat untuk dapat dimanfaatkan oleh penduduk. Pengukuran debit mataair dapat dilakukan jika letak permunculannya jelas dan lokasinya dapat dijangkau. Mataair yang masih alami seperti di pegunungan atau tekuk lereng pada daerah gunungapi terkadang sulit ditemukan lokasi titik pemunculan air, atau terletak sangat dalam tertutup oleh pepohonan yang sangat rimbun. Tidak jarang dijumpai pemunculan mataair berupa rembesan yang memiliki debit kecil. Mataair dengan debit sangat kecil dapat diukur secara langsung menggunakan ember atau alat penampung lainnya untuk menampung air yang keluar dengan waktu terhitung. Pengukuran debit suatu rembesan dapat juga dilakukan dengan menampung seluruh air yang kemudian dialirkan dalam saluran, sehingga debit diukur pada salurannya (Sudarmadji, 2013). Jika mataair yang keluar melalui saluran-saluran, maka debit diukur menggunakan metode apung (menggunakan pelampung) atau metode larutan yang umum digunakan dalam pengukuran hidrologi. Saluran yang mengalirkan air mataair terkadang telah dilengkapi
10
dengan bangunan pengatur distribusi air seperti bendungan, ambang (weir), dan sejenisnya. Maka, pengukuran debit dapat dilakukan dengan menerapkan pendekatan rumus-rumus hidrolika. Kesulitan dalam pengukuran debit mataair jika tampungan air telah ditutup permanen dan airnya disalurkan melalui pipa-pipa. Pembuatan tampungan mataair yang tertutup ini, umumnya pada mataair dengan debit yang kecil agar mudah dikumpulkan dan disalurkan. Namun, saat ini banyak mataair dengan debit yang besar juga dibuatkan bak penampungan permanen dengan ukuran di sesuaikan kapasitas tampungan. Penutupan tampungan mataair secara permanen ini juga bermaksud agar tidak adanya pencemaran dari lingkungan fisik sekitar. Debit mataair menunjukkan karakteristik akuifer yang memunculkan airtanah ke permukaan. Sifat pengaliran air mataair dapat terus menerus mengalir sepanjang tahun (kontinu), namun juga ada yang debitnya berfluktuatif (Sudarmadji, 2013). Debit mataair yang kontinu umumnya berasal dari akuifer tertekan yang mempunyai daerah tangkapan yang luas, sebaliknya mataair yang memiliki daerah tangkapan yang kecil cenderung berfluktuatif dan debitnya kecil. Fluktuasi debit mataair juga tergantung oleh musim. Musim penghujan dengan curah hujan besar yang akan meningkatkan pasokan air airtanah berpengaruh pada debit mataair besar. Musim kemarau, sangat jarang terjadi hujan berakibat pada kecilnya debit mataair aitau bahkan menjadi kering. Fluktuasi debit mataair selain perbedaan debit saat musim penghujan dan kemarau, juga dapat terjadi fluktuasi harian. Fluktuasi harian terjadi pada debit mataair kecil, umumnya disebabkan oleh penggunaan air untuk vegetasi. Mataair akan mengalir dengan kuat antara teng1ah malam dan pagi hari, namun dapat kering selama seharian penuh (Soekiban, 2010). Debit mataair ini dapat kembali stabil ketika trasnpirasi telah berhenti.
11
1.5.5. Kualitas Mataair Kualitas air menjadi aspek penting dalam pengelolaan sumberdaya air, terutama dalam penentuan peruntukkan air harus memperhatikan kualitas air terlebih dahulu. Kualitas air suatu wilayah tidak selalu sama dan cenderung berbeda dengan kualitas air di wilayah lain. Terdapat faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kualitas air di wilayah yang bersangkutan. Faktor yang berpengaruh terhadap kualitas air dapat dibedakan menjadi dua yaitu faktor alami dan faktor buatan (Purnama, 2010). Faktor alami meliputi (1) batuan (geologi), (2) tanah yang merupakan hasil pelapukan dari batuan, (3) vegetasi, baik vegetasi yang masih hidup maupun yang sudah mati dan membusuk, dan (4) iklim terutama hujan, mencakup jumlah dan intesitasnya. Faktor buatan merupakan faktor yang berkaitan dengan manusia dan segala aktifitasnya meliputi (1) pupuk dan limbah pertanian, (2) insektisida, (3) limbah domestik dan (4) limbah industri. Faktor lain yang mempengaruhi kualitas air dalam Sudarmadji (2013) adalah waktu dalam artian waktu senyatanya (real time). Kualitas air merupakan sifat air dan kandungan makhluk hidup, zat, energi, atau komponen lain di dalam air (Effendi, 2003). Kualitas air dinyatakan dalam tiga parameter yaitu parameter fisik, kimia, dan biologi. Identifikasi karateristik kualitas air dari mataair dilakukan pada tempat pemunculan mataair. Mataair yang merupakan pemunculan dari airtanah ke permukaan tanah akan mempunyai kualitas air yang relatif mendekati kualitas airtanah di sekitarnya (Sudarmadji, 2013). Ada beberapa parameter kualitas air yang dapat diukur langsung di lapangan, namun ada pula yang harus dilakukan uji laboratorium. Kualitas air mataair juga dinyatakan dalam tiga parameter yang sama dalam kualitas air secara umum yaitu sifat fisik, kimia, dan biologi. Parameter yang diujikan dalam penelitian ini terbatas pada parameter-paramater yang telah umum diujikan dan merupakan unsur-unsur mayor air yang berkaitan dengan peruntukannya sebagai sumber pemenuhan kebutuhan air domestik dan perikanan. Parameter fisik mataair meliputi warna, suhu (temperatur), kekeruhan, dan daya hantar listrik (DHL). Parameter kimia mataair meliputi pH (derajat
12
keasaman), alkalinitas, besi, kesadahan, klorida, natrium, nitrat, nitrit, bikarbonat, sulfat, kalsium, magnesium, dan kalium. Parameter biologi mataair diwakili dengan pengujian total koliform dalam kandungan air mataair. Berikut ini penjelasan secara singkat dari setiap parameter yang digunakan. 1.5.5.1. Sifat Fisik Air Mataair Kualitas fisik mataair dapat dilihat dan diuji langsung di tempat pemunculan mataair. 1. Warna Warna perairan pada umumnya ditimbulkan oleh adanya (1) bahan organik seperti plankton, dan humus dan (2) bahan anorganik yaitu ion-ion logam (misalnya besi dan mangan). Identifikasi warna dalam perairan dapat dilihat secara langsung (visual) ataupun diukur berdasarkan skala platinum kobalt (dinyatakan dalam PtCo), dengan membandingkan warna air sampel dengan warna standar. Perairan alami pada umumnya tidak berwarna. Air dengan nilai warna yang lebih kecil dari 10 PtCo umumnya tidak akan memperlihatkan warna yang jelas. Intensitas warna cenderung meningkat dengan meningkatnya nilai pH di perairan. 2. Rasa dan Bau Adanya bahan organik yang membusuk atau bahan kimia yang mudah menguap dapat mengakibatkan rasa dan bau pada suatu badan air, selain adanya garam atau zat yang terlarut maupun tersuspensi di dalam air (Soekiban, 2010). Identifikasinya dengan melarutkan sampel air hingga rasa dan bau tidak dapat ditemukan dengan penginderaan manusia. Air minum seharusnya bebas dari rasa dan bau (Tchobanoglous dalam Linsley dan Franzini, 1986). 3. Suhu (temperatur) Faktor yang mempengaruhi suhu suatu badan air umumnya adalah musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, aliran airnya, dan kedalaman badan air (Effendi, 2003). Suhu air mataair menurut Sudarmadji (2013)
13
dipengaruhi oleh kedudukan asal air, semakin dalam asal air maka semakin tinggi suhu air mataairnya. Suhu air mempengaruhi proses pertukaran atau metabolisme makhluk hidup dan kadar oksigen yang terlarut dalam air (Pujiastuti, dkk, 2013). 4. Kekeruhan Kekeruhan merupakan indikator kemampuan air dalam meloloskan cahaya yang jatuh di suatu badan air yang akan disebarkan atau diserap oleh air tersebut. Tingkat kekeruhan yang semakin kecil atau rendah maka semakin dalam cahaya dapat masuk ke dalam badan air. Kekeruhan juga menunjukkan tingkat kejernihan aliran air yang dipengaruhi oleh unsurunsur muatan sedimen, baik yang bersifat mineral maupun organik (Asdak, 1995). Satuan kekeruhan yang digunakan adalah NTU (Nephelometric Turbidity Unit) yang diukur dari metode Nephelometric. Mataair yang muncul di daerah gunungapi umumnya cenderung memiliki tingkat kekeruhan yang rendah (Sudarmadji, 2013). Air dari mataair ini akan tampak jernih bening, sehingga air mataair yang tertampung dalam kolam akan terlihat dengan jelas dasar kolamnya. 5. Daya Hantar Listrik (DHL) Daya Hantar Listrik adalah sifat menghantarkan listrik dari air, karena banyak mengandung garam. Pengukuran dilakukan dengan alat Electric Conductivity Meter (EC Meter) dengan satuan µmhos/cm atau mhos/cm atau siemens/cm (umumnya ditulis S/cm), ketiga satuan ini setara. Besaran DHL dapat dikonversikan menjadi jumlah garam terlarut (mg/L) yaitu 10 m3 mhos/cm setara dengan 640 mg/L atau 1 mg/L = 1,56 µmhos/cm (Soekiban, 2010). Air pada mataair panas dan yang mengandung zat kimia yang tinggi akan mempunyai nilai DHL yang tinggi pula. Klasifikasi air berdasarkan nilai DHL dapat dilihat dalam Tabel 1.2. berikut ini.
14
Tabel 1.2. Klasifikasi Air Berdasarkan Nilai DHL DHL (µmhos/cm pada suhu 250 C)
Tipe air
< 0,055
Air murni
0,5 – 5,0
Air suling
5 – 30
Air hujan
30 – 2.000
Air tanah
35.000 – 45.000
Air laut
Sumber: Soekiban, 2010
1.5.5.2. Sifat Kimia Air Mataair Kualitas kimia mataair dapat dilakukan uji langsung di tempat pemunculan mataair khusus parameter pH, parameter yang lain diujikan di laboratorium dengan mengambil sampel air mataair. 1. Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman menunjukkan jumlah atau aktivitas ion hidrogen dalam perairan. Derajat keasaman suatu badan air dinyatakan dalam dalam dua kondisi yang kontras yaitu asam atau basa. Derajat keasaman ini diperoleh dari hasil nilai pH yang menggambarkan seberapa besar tingkat keasaman atau kebasaan suatu badan air (Pujiastuti, dkk, 2013). Adanya karbonat, bikarbonat dan hidroksida dapat menaikkan kebasaan air, sedangkan asam-asam mineral bebas dan asam karbonat dapat menaikkan keasaman suatu badan air. Air dengan nilai pH < 7 dinyatakan kondisi badan air tersebut bersifat asam, pH = 7 dinyatakan dalam kondisi netral, sedangkan nilai pH > 7 hingga 14 berarti kondisi perairannya bersifat basa (Effendi, 2003). 2. Alkalinitas Alkalinitas menurut Effendi (2003) merupakan gambaran kapasitas air untuk menetralkan asam atau kuantitas anion di dalam perairan yang dapat menetralkan kation hidrogen sehingga dikenal sebagai acid-neutralizing capacity (ACN). Alkalinitas juga diartikan sebagai kapasitas penyangga (buffer capacity) terhadap perubahan pH karena berperan sebagai sistem
15
penyangga agar tidak terjadi perubahan pH secara dratis. Anion utama pembentuk alkalinitas adalah bikarbonat (HCO3-) yang paling banyak dijumpai dalam perairan alami, dan sisanya adalah karbonat (CO 32-), dan hidroksida (OH-). Alkalinitas dinyatakan dalam satuan mg CaCO3/L (Alaerts dan Santika, 1987). 3. Besi (Fe2+) Senyawa besi umumnya bersifat sukar larut dan relatif cukup banyak terdapat di dalam tanah. Kelarutan besi meningkat berbanding terbalik dengan adanya penurunan nilai pH. Perairan yang mengandung kadar besi (Fe2+) yang tinggi akan berkorelasi dengan kadar bahan organik yang tinggi, atau dapat dikatakan bahwa kadar besi tinggi dalam air berasal dari airtanah dalam yang bersuasana anaerob atau dari lapisan dasar perairan yang sudah tidak mengandung oksigen (Effendi, 2003). Mataair yang berasal dari daerah gunungapi cenderung memiliki kandungan besi yang relatif tinggi. Mataair yang berasal dari Gunungapi Merapi menunjukkan adanya kandungan besi yang tinggi, dibandingkan di daerah-daerah sekitarnya (Sudarmadji, 2013). 4. Kesadahan (CaCO3) Kesadahan merupakan hasil dari kation logam bervalensi dua dan yang paling banyak dijumpai adalah kalsium dan magnesium. Ion tersebut bereaksi dengan sabun untuk membentuk presipitasi dan bereaksi dengan anion dalam air dapat membentuk kerak (Todd, 1980). Hal ini menjadikan air sadah tidak digunakan untuk membersihkan peralatan rumah tangga. Penggunaan air sadah menurut Alaerts dan Santika (1987) akan membutuhkan konsumsi sabun lebih tinggi, karena reaksi kimiawi antara ion kesadahan dengan molekul sabun dapat menghilangkan sifat deterjen sabun. Proses pelunakan air digunakan untuk mengurangi tingkat kesadahan dalam air. Kesadahan dinyatakan dalam satuan mg/L sebagai CaCO3. Klasifikasi tingkat kesadahan air dapat dilihat dalam Tabel 1.3.
16
Tabel 1.3. Klasifikasi Tingkat Kesadahan Air Kesadahan sebagai CaCO3 (mg/L)
Kelas air
0 – 75
Lunak
75 - 150
Sedang
150 - 300
Sadah
> 300
Sangat Sadah
Sumber: Todd, 1980 5. Klorida (Cl-) Unsur klor merupakan unsur anion halogen anorganik yang paling banyak ditemukan dalam perairan dibandingkan unsur-unsur anion halogen lainnya. Unsur klor ini biasanya dalam bentuk ion klorida (Cl-). Klorida umumnya dijumpai dalam bentuk senyawa seperti natrium klorida (NaCl), kalium klorida (KCL), dan kalsium klorida (CaCl). Klorida menurut Effendi (2003) berperan dalam pengaturan tekanan osmotik sel bagi makhluk hidup, sehingga tidak bersifat toksik. Adanya batuan sedimen dan batuan beku menjadi sumber keberadaan klorida. 6. Natrium (Na+) Natrium merupakan kation penting yang mempengaruhi kesetimbangan keseluruhan kation dalam suatu badan air. Hampir keseluruhan senyawa natrium mudah larut dalam air dan bersifat sangat reaktif. Sumber utama natrium dalam perairan adalah albite (NaAlSi3O8), nepheline (NaAlSiO4), halite (NaCl), dan mirabilite (Na2SO4.10 H2O). Hampir semua perairan mengandung natrium, namun dengan kadar yang sangat bervariasi antara satu mg/liter hingga ribuan mg/liter. 7. Nitrat (NO3) Nitrat merupakan bentuk utama nitrogen yang sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil, serta nutrient utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen dalam kondisi aerob di perairan yang disebut dengan proses nitrifikasi yaitu proses oksidasi amonia menjadi nitrat dan nitrit (Effendi, 2003). Proses oksidasi dari nitrit menjadi nitrat dilakukan oleh bakteri 17
Nitrobacter. Nitrat tidak bersifat toksik terhadap organisme akuatik, tetapi bila mengkonsumsi air yang mengandung nitrat tinggi dapat menurunkan kapasitas darah untuk mengikat oksigen. 8. Nitrit (NO2) Nitrit merupakan senyawa nitrogen yang ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit, bahkan lebih lebih sedikit dibandingkan nitrat. Hal ini terjadi karena nitrit bersifat tidak stabil dengan keberadaan oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan (intermediate) dari proses kimiawi antara ammonia dan nitrat (nitrifikasi), dan antara nitrat dengan gas nitrogen (denitrifikasi) yang berlangsung dalam kondisi anaerob. Bagi manusia dan hewan, senyawa nitrit bersifat lebih toksik daripada nitrat. Konsumsi nitrit yang berlebihan dapat mengakibatkan terganggunya proses pengikatan oksigen oleh hemoglobin darah. Hal inii dapat berakibat fatal dengan terbentuknya met-hemoglobin, karena tidak mampu mengingkat oksigen. 9. Bikarbonat (HCO3-) Bikarbonat merupakan salah satu ion utama (ion major) yang terlarut di perairan dalam jumlah yang paling banyak terutama di perairan air tawar. Keberadaan karbondioksida dapat membentuk kesetimbangan dengan asam karbonat. Senyawa-senyawa karbonat yang terkandung dalam tanah dan batuan kapur yang tidak larut air dapat berubah menjadi senyawa bikarbonat yang bersifat larut air, jika dalam kondisi yang relatif asam. Kandungan bikarbonat dalam perairan dinyatakan dalam satuan mg/liter. 10. Sulfat (SO42-) Sulfur (S) berada dalam bentuk organik dan anorganik yang sangat esensial bagi makhluk hidup, karena elemen yang sangat penting dalam protoplasma. Sulfur anorganik dijumpai di perairan dan tanah dalam bentuk sulfat (SO42-) yang bersifat larut dan ion yang paling banyak dijumpai kedua setelah bikarbonat. Perairan alami yang telah cukup mendapatkan aerasi umumnya tidak dijumpai hidrogen sulfida (H2S) karena teroksidasi menjadi sulfat. Adanya hidrogen sulfida ini berakibat buruk karena bersifat mudah larut, toksik, dan menimbulkan bau yang
18
sangat menyengat (Effendi, 2003). Selain itu, hidrogen sulfida dianggap salah satu penyebab timbulnya karat pada logam. 11. Kalsium (Ca2+) Keberadaan kalsium sangat dipengaruhi oleh reaksi kimia yang melibatkan karbondioksida, sehingga senyawa kalsium ini akan bersifat stabil dengan adanya karbondioksida. Sumber utama kalsium adalah batuan dan tanah. Kalsium termasuk unsur yang sangat penting bagi semua makhluk hidup, karena berperan dalam pembentukan tulang dan pengaturan permeabilitas dinding sel. Badan air yang mengandung kadar kalsium tinggi relatif tidak membahayakan, justru dapat menurunkan toksisitas beberapa senyawa kimia yang juga terkandung di dalamnya. 12. Magnesium (Mg2+) Magnesium termasuk logam alkali tanah yang cukup melimpah dan komponen utama penyusun kesadahan bersama dengan unsur kalsium. Magnesium bersifat mudah larut dan cenderung dapat bertahan sebagai larutan. Ferro magnesium dan magnesium karbonat yang terdapat pada batuan merupakan sumber utama magnesium di dalam suatu badan air. Magnesium juga tidak besifat toksik bagi makhluk hidup, bahkan menguntungkan bagi fungsi hati dan sistem saraf. 13. Kalium (K+) Kalium atau potassium merupakan salah satu unsur alkali utama di perairan yang berada dalam bentuk ion atau berikatan dengan ion lain, sehingga membentuk garam yang mudah larut. Kalium banyak ditemukan pada batuan mineral seperti feldspar, leucite, dan micas. Rasio kadar natrium dan kalium pada perairan alami antara 2:1 hingga 3:1. Kadar kalium yang sangat tinggi dapat membahayakan bagi sistem pencernaan dan saraf manusia.
1.5.5.3. Sifat Biologi Air Mataair Sifat biologis air mataair yang dikaji adalah jumlah total bakteri koliform. Bakteri koliform dicirikan dengan bentuk spora, aerobik dan anaerob fakulatif
19
yang dapat memfermentasikan laktosa. Bakteri koliform ini dibedakan menjadi dua yaitu (1) koliform fekal, contohnya Escherichia coli yang berasal dari tinja/ kotoran hewan atau pun manusia, dan (2) koliform nonfekal dengan contoh Enterobacter aerogenes ditemukan pada hewan atau tumbuhan yang telah mati (Widiyanti dan Ristiati, 2004). Total koliform umumnya ditemukan dalam lingkungan fisik sekitar seperti tanah maupun vegetasi dan tidak berbahaya. Dengan kata lain, jika ditemukan total koliform pada bahan baku air minum, maka kemungkiman sumber bakteri berasal dari lingkungan fisiknya (Sudarmadji, 2013). Metode yang diguna-kan untuk mengetahui jumlah total koliform umumnya adalah metode Most Probable Number (MPN) yang dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan Jumlah Perkiraan Terdekat (JPT) atau disebut dengan Angka Paling Memungkinkan (APM).
1.5.6. Baku Mutu Air Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 memberikan batasan pengertian terkait pengelolaan kualitas air antara lain mutu air, kriteria mutu air, kelas air, dan baku mutu air. Mutu air adalah kondisi kualitas air yang diukur dan atau diuji berdasarkan parameter-parameter tertentu dan metode tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kriteria mutu air merupakan tolok ukur mutu air untuk setiap kelas air. Kelas air yang dimaksudkan adalalah peringkat kualitas air uang dinilai masih layak untuk dimanfaatkan bagi peruntukan tertentu. Baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air. Klasifikasi mutu air ditetapkan menjadi empat kelas, yaitu: 1. Kelas satu adalah air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; 2. Kelas dua adalah air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan,
20
air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; 3. Kelas tiga adalah air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; 4. Kelas empat adalah air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. Baku mutu air untuk peruntukkannya juga ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1990 yang memiliki batasan pengertian yang sama dengan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001. Baku mutu air dalam peraturan ini diartikan sebagai batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen lain yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemaran yang ditenggang adanya dalam air pada sumber air tertentu sesuai dengan peruntukkannya. Peruntukan air menurut baku mutu air dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1990 dibedakan menjadi empat golongan, yaitu: 1. Golongan A adalah air yang dapat digunakan sebagai air minum secara langsung tanpa pengelohan terlebih dahulu; 2. Golongan B adalah air yang dapat digunakan sebagai air baku air minum; 3. Golongan C adalah air yang dapat digunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan; 4. Golongan D adalah air yang dapat digunakan untuk keperluan pertanian, dan dapat dimanfaatkan untuk usaha perkotaan, industri, pembangkit listrik tenaga air.
1.5.7. Kebutuhan Air Kebutuhan air dibedakan menjadi dua yaitu kebutuhan air irigasi dan nonirigasi. Kebutuhan air domestik dan perikanan termasuk di dalam kebutuhan air non-irigasi. Pemanfaatan air dibedakan menjadi dua menurut keperluan air baku
21
(Triatmodjo, 2010) yaitu air domestik meliputi air minum dan rumah tangga dan non domestik meliputi perdagangan, perkantoran, industri, pemeliharaan sungai, peternakan, perikanan, irigasi, dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA).
1.5.7.1. Kebutuhan Air Domestik Kebutuhan air domestik merupakan kebutuhan air yang digunakan oleh penduduk untuk pemenuhan air sehari-hari. Penggunaan air rumah tangga menurut Linsley dan Franzini (1986) adalah air yang digunakan di tempat-tempat hunian pribadi, rumah-rumah apartemen, dan sebagainya untuk keperluan air minum, mandi, penyiraman, saniter, dan tujuan lainnya. Perhitungan kebutuhan air domestik berdasarkan jumlah penduduk dan kebutuhan air perkapita. Menurut Puslitbang Pengairan Departemen Pekerjaan Umum dalam Triatmodjo (2010) kriteria penentuan jumlah air yang dibutuhkan perkapita per hari menggunakan parameter jumlah penduduk seperti dicantumkan dalam Tabel 1.4. Besarnya penggunaan air menurut Tchobanoglous (dalam Linsley dan Franzini, 1986) dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: 1. Iklim Iklim yang dinamis mempengaruhi besarnya kebutuhan air seperti minum, mandi, penyiraman, pengairan dan lainnya. Kebutuhan air akan lebih besar pada iklim yang hangat dan kering dibandingkan di iklim yang dingin dan lembab. 2. Ciri-ciri penduduk Status ekonomi pengguna air berpengaruh pada kemampuannya dalam pemakaian air. pemakaian air per kapita di daerah-daerah yang miskin jauh lebih rendah dibandingkan di daerah-daerah kaya yang memiliki tingkat ekonomi tinggi. 3. Masalah lingkungan hidup Pemakaian air yang berlebihan menjadi perhatian masyarakat untuk lebih menghemat sumberdaya tersebut. Sehingga, dikembangan alat-alat untuk
22
mengurangi jumlah pemakaian air di daerah permukiman. Pemasangan alat-alat tersebut dapat menurunkan jumlah pemakaian air. 4. Industri dan perdagangan Jumlah penggunaan air tergantung pada besarnya pabrik dan jenis industrinya. Sekitar 80% dari air industri digunakan unuk pendinginan dan umumnya tidak memerlukan mutu yang baik. Letak industri sangat dipengaruhi oleh adanya persediaan air yang memadai. 5. Iuran air dan meteran Apabila harga air tinggi, maka orang-orang akan lebih menahan air untuk pemakaian air dan industri akan mengembangkan persediaan air sendiri dengan biaya yang lebih murah. Para pemakai air yang menggunakan meteran untuk mengukur jatah air juga akan memperbaiki kebocorankebocoran dan lebih jarang menggunakan air. 6. Ukuran kota Penggunaan air per kapita pada kelompok masyarakat di kota-kota besar akan lebih tinggi dibandingkan dengan di kota-kota kecil. Hal ini dipengaruhi pada lebih besarnya pemakaian air oleh industri, lebih banyaknya taman-taman, lebih banyak pemakaian untuk perdagangan, dan lebih banyak kehilangan dan pemborosan.
Tabel 1.4. Kriteria Penentuan Kebutuhan Air Domestik Kategori Kota berdasarkan Jumlah Penduduk
Jumlah Penduduk
Domestik (l/kapita/hari)
Non Domestik (l/kapita/hari)
Kehilangan Air (l/kapita/hari)
Kota Metropolitan
> 1.000.000
150
60
50
Kota Besar
500.000 – 1.000.000
135
40
45
Kota Sedang
100.000 – 500.000
120
30
40
Kota Kecil
20.000 – 100.000
105
20
30
Desa
< 20.000
82,5
10
24
Sumber: Puslitbang Pengairan DPU dalam Triatmodjo, 2010
23
7. Kebutuhan konservasi air Saat terjadi kekeringan, dengan paksa orang-orang akan berusaha untuk mengurangi pemakaian air dengan sukarela. Hal ini terus berlanjut hingga kekeringan telah berlalu, sehingga merubah gaya hidupnya dalam pemakaian air. Maka, pengurangan pemakaian air yang cukup besar dapat dicapai melalui program-program pendidikan yang efektif
1.5.7.2. Kebutuhan Air Perikanan Kebutuhan air perikanan merupakan kebutuhan air yang digunakan untuk sektor perikanan baik tambak maupun perikanan air tawar (kolam ikan). Pemanfaatan air untuk tambak lebih banyak dibandingkan perikanan air tawar karena diperlukan untuk pengenceran dan pembilasan menggunakan air tawar. Salinitas yang diperlukan dalam perikanan tambak berkisar 15-25 ppt, sedangkan salinitas air laut rata-rata 35 ppt. Penggunaan air di sektor perikanan memerlukan air dalam volume besar dan setiap jenis budidaya ikan memiliki pola penggunaan air tersendiri. Kebutuhan air ini digunakan selama masa budidaya dari awal tanam, proses pembudidayaan yang dilakukan penggantian air hingga musim panennya. Perikanan air tawar membutuhkan air hanya untuk mengisi kolam dan pergantian air kolam relatif lebih lama dibandingkan dengan perikanan tambak (SNI, 2002 dalam Widyastuti dan Muntazah, 2014). Pergantian air kolam kurang lebih sepertiga tinggi genangan kolam atau 7 mm/hari/ha.
1.6.
Penelitian Sebelumnya Penelitian tentang ketersediaan air dalam ilmu hidrologi telah sering
dilakukan oleh peneliti untuk kepentingan pribadi maupun kepenetingan dari instansi yang terkait. Ketersediaan air yang dihitung tergantung dari simpanan air yang mana yang akan dihitung volume ketersediaannya di suatu batasan wilayah, paling umum dilakukan penelitian tentang ketersediaan air meteorologis dan airtanah. Ketersediaan air meteorologis dan airtanah telah sering dilakukan penelitian secara mendalam hingga faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah ketersediaan air yang ada di suatau wilayah. Penelitian tentang ketersediaan air
24
untuk mataair saat ini juga menjadi daya tarik tersendiri bagi para peneliti karena karakteristiknya yang khusus. Ketersediaan mataair antar wilayah sangat bervariasi dan pemanfaatannya beragam. Beberapa wilayah menjadikan mataair sebagai sumber air bersih sehingga potensi mataair cukup menarik untuk dikaji lebih mendalam. Penelitian tentang mataair tidak hanya mengkaji karakteristiknya seperti debit, fluktuasi, dan kondisi geologi pemunculan mataair, namun telah berkembang hingga pemanfaatannya untuk aktivitas manusia. Pemanfaatan yang paling sering dilakukan penelitian adalah untuk pemenuhan kebutuhan air domestik yang merupakan kepentingan utama manusia yang membutuhkan air sebagai sumber kehidupan. Penelitian lebih mendalam hingga strategi pengelolaan dan upaya pelestarian lingkungan di sekitar pemunculan mataair. Berikut beberapa penelitian sebelumnya terkait mataair yang menjadi acuan penelitian mataair di Kecamatan Polanharjo ini disajikan dalam Tabel 1.5.
25
Tabel 1.5. Daftar Perbandingan Penelitian Sebelumnya Terkait Mataair dalam Studi Hidrologi dengan Penelitian Sekarang No
Peneliti
Judul
1
Ratna Indriyastuti
Evaluasi Potensi Mataair untuk Kebutuhan Domestik di Kota Klaten Jawa Tengah
2
Ferdy Salamat
Evaluasi Potensi Mataair Sebagai Sumber Air Bersih dan Upaya Pelestarian Lingkungan di Pulau Banggai Sulawesi Tengah
Lokasi, Tahun Kota Klaten, Jawa Tengah, 2004
Pulau Banggai, Sulawesi Tengah, 2005
Tujuan
Metode
Hasil
1. Mengkaji debit, kualitas fisik dan kimia air, tipe mataair dan memperkirakan debit minimum mataair Lanang dan Geneng di Kecamatan Kebonarum 2. Mengevaluasi dan memperkirakan potensi mataair untuk mencukupi kebutuhan domestik saat ini dan yang akan datang 3. Mendeskripsikan pembagian debit mataair untuk PDAM, irigasi, dan masyarakat di sekitar mataair
- Survei lapangan dan pengukuran langsung debit dan kualitas fisik mataair - Perkiraan debit minimum dengan pendekatan kurva resesi debit hariam mataair selama sebulan - Penentuan sampel pelanggan PDAM menurut jarak dari mataair yaitu terdekat, tengah dan terjauh
- Tipe mataair yang digunakan PDAM adalah mataair menahun, dan termasuk kelas III - Kualitas air mataair termasuk golongan A - Mataair belum mencukupi kebutuhan domestik penduduk berdasarkan debit rerata harian mataair sampai tahun 2007 - Deskripsi pembagian pengunaan debit mataair
1. Mengevalusi potensi mataair yang digunkan dalam memenuhi kebutuhan air bersih 2. Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi potensi mataair 3. Menyusun suatu strategi pengelolaan lingkungan sebagai upaya pelestarian mataair untuk sumber air bersih
-Survei lapangan untuk pengukuran langsung debit minimum dan kualitas air mataair - Wawancara menggunakan kuisioner yang dibagikan kepada pelanggan PDAM untuk menghitung kebutuhan air
- Potensi mataair yang dapat dijadikan sebagai sumber air bersih di Pulau Banggai adalah enam mataair - Terdapat enam parameter kualitas air yang melebihi standar baku mutu air golongan A yaitu kekeruhan, kalsium (Ca), besi (Fe), nitrat (NO3), jumlah zat padat terlarut (TDS), dan bakteri coliform
26
- Faktor-faktor yang mempengaruhi potensi mataair di Pulau Banggai yaitu curah hujan, tumbuhan atau vegetasi tutupan lahan dan batuan -Pengelolaan lingkungan mencakup pemeliharaan dan pemulihan potensi mataair 3
La Alimudin Karakteristik Saba dan Potensi Mataair di Pulau Siompu Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara
Pulau Siompu, Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010
1. Mengetahui tipe dan sifat aliran mataair 2. Mengevaluasi potensi mataair sebagai sumber air bersih 3. Mengevaluasi tingkat kekritisan mataair akibat perubahan kebutuhan air 4. Mengetahui potensi mataair berdasarkan pola ruang pemanfaatan mataair
- Metode sensus untuk penentuan sampel mataair - Pengambilan sampel penduduk dengan cara stratified random sampling berdasarkan tingkat pendidikan kepala rumah tangga - Teknik analisis menggunakan deskriptif kualitatif
- Tipe mataair tergolong mataair perennial, mataair magnitude V dan VI, mataair ordinary temperature spring, mataair fracture, mataair tipe kalsium bikarbonat, dan mataair diffuse - Faktor pembatas kelas kualitas air untuk kebutuhan air minum adalah alkalinitas dan TSS - Pola konsumsi air domestik dipengaruhi oleh jumlah anggota rumah tangga, tingkat pendidikan, dan sumber air
4
Fitriyani Nur Rohmah
Desa Umbulharjo dan Kepuharjo,
1. Menghitung dan menganalisis potensi mataair untuk pemenuhan kebutuhan domestik 2. Menganalisa pola
- Survei lapangan dan pengukuran langsung debit dan kualitas fisik mataair
- Empat mataair aktif dengan potensi rendah (2 mataair) dan tinggi (2 mataair) - Mataair dengan debit tinggi
Potensi dan Strategi Pengelolaan Mataair
27
5
Muhammad Firman Nur Said
untuk Memenuhi Kebutuhan Air Domestik Desa Umbulharjo dan Kepuharjo Kecamatan Cangkringan
Kecamatan Cangkringan, 2013
pemanfaatan mataair di Umbulharjo dan Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan setelah erupsi Gunungapi Merapi 2010 3. Merumuskan strategi pengelolaan mataair
- Wawancara menggunakan metode random sampling dan purposive sampling - Strategi pengelolaan mataair dianalisis dengan metode Analytical Hierarchy Process melalui software expert choice 11
tidak ada kandungan kimia yang melebihi baku mutu air, sedangkan mataair dengan debit rendah memiliki kualitas air buruk sehingga tidak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan domestik - Strategi pengolalaan mataair yang dapat diterapkan adalah dengan menjaga kawasan konservasi, melakukan rehabilitasi terhadap lahan yang rusak akibat erupsi Merapi 2010, dan mengalirkan sebagian mataair kembali ke sungai
Kajian Ketersediaan dan Penggunaan Air dari Mataair untuk Kebutuhan Domestik di Kecamatan Turi Kabupaten Sleman
Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, 2014
1. Mempelajari pengelolaan air, agihan keruangan, kuantitas air dan kualitas air dari mataair yang digunakan oleh penduduk Kecamatan Turi 2. Menghitung besarnya kebutuhan air khususnya untuk pemenuhan kebutuhan domestik saat ini 3. Menganalisis daya dukung mataair untuk memenuhi kebutuhan air domestik
- Survei lapangan - Penentuan sampel mataair untuk pengukuran kualitas dan kuantitas secara purposive sampling - Wawancara kepada penduduk secara random sampling - Teknik analisis menggunakan deskriptif kualitatif
- Terdapat 21 mataair yang masih digunakan penduduk dengan debit total 740.756,85 m3/tahun - Kualitas air dari mataair termasuk kelas II dan kelas IV dengan faktor pembatas yang berpengaruh adalah jumlah total coliform - Daya dukung mataair untuk pemenuhan kebutuhan air saat ini belum mencukupi
28
6
Khusnul Syarifah
Karakteristik dan Potensi Mataair untuk Kebutuhan Domestik dan Perikanan di Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten
Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, 2014
1. Mengetahui karakteristik dan kualitas setiap mataair 2. Menghitung ketersediaan air dari mataair dan kebutuhan air untuk kebutuhan domestik dan perikanan 3. Menganalisis imbangan air antara ketersediaan dengan kebutuhan air total dari mataair di Kecamatan Polanharjo
29
- Penentuan sampel mataair dengan metode sensus - Survei lapangan dan pengukuran langsung debit dan kualitas fisik mataair - Uji laboratorium untuk kualitas kimia dan biologi air mataair - Wawancara menggunakan metode non-random sampling yaitu purposive sampling
- Klasifikasi mataair, debit mataair dan kualitas air mataair - Analisis imbangan air antara ketersediaan air mataair dengan kebutuhan air untuk domestik, dan perikanan
1.7.
Kerangka Pemikiran Teoritik Potensi mataair dapat dilihat dari dua aspek yaitu kuantitas dan
kualitasnya. Kuantitas mataair ditunjukkan dari besarnya debit air dari mataair yang akan berpengaruh pada jumlah ketersediaan mataair di daerah penelitian. Debit mataair yang besar maka ketersediaan air mataair juga semakin tinggi, sebaliknya jika debit yang dikeluarkan relatif kecil maka ketersediaan air mataair juga cenderung rendah. Besar debit mataair dipengaruhi oleh faktor curah hujan, karakteristik hidrologi, topografi, karakteristik hidrologi pada formasi akuifer, dan struktur geologinya. Kualitas mataair meliputi parameter fisik, kimia, dan biologi untuk mengetahui kualitas sumber air masih baik atau telah melampaui batas maksimal yang diperbolehkan dengan disesuaikan pada baku mutu air yang berlaku. Sumber air dari mataair berasal dari airtanah, sehingga kualitasnya juga dipengaruhi oleh kualitas airtanahnya yang merupakan faktor alami yang berpengaruh. Faktor buatan yaitu aktivitas manusia pada penggunaan lahan di atasnya juga berpengaruh pada kondisi kualitas airtanah dan juga mataair. Kualitas mataair yang masih baik akan berpengaruh pada peruntukkan air mataair untuk berbagai keperluan manusia, terutama untuk sumber air bersih. Kebutuhan air yang diteliti di daerah penelitian adalah kebutuhan air domestik dan perikanan. Potensi mataair yang besar di Kecamatan Polanharjo dijadikan sumber air bersih bagi masyarakat di sana. Kebutuhan air sehari-hari dipenuhi dengan memanfaatkan sumber air mataair langsung yang dialirkan dengan pipa-pipa besar, dan juga untuk mengisi kolam-kolam budidaya ikan. Pengisian air pada kolam-kolam ikan dilakukan sepanjang hari saat masa pembudidayaan, dan selalu tergenang air meskipun tidak digunakan. Sehingga, kebutuhan
air
perikanan
di
daerah
penelitian
cukup
menarik
untuk
diperhitungkan. Mataair yang cukup melimpah ini juga dialirkan untuk pengisian beberapa kolam renang yang menjadi obyek wisata yang menarik.
30
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis imbangan air mataair berdasarkan perhitungan ketersediaan dan kebutuhan air total di Kecamatan Polanharjo. Terdapat surplus atau defisit air dari mataairkah terutama untuk pemenuhan kebutuhan air domestik dan perikanan masyarakat di sana. Kerangka pemikiran teoritik yang menjadi landasan penelitian ini dapat dilihat dalam Gambar 1.2. sebagai berikut.
Gambar 1.2. Kerangka pemikiran teoritik penelitian
31