BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gempa bumi berkekuatan 9 skala richter mengguncang wilayah Timur Jepang tepatnya wilayah lepas pantai Tohoku, Sendai pada 11 Maret 2011. Gempa ini menjadi gempa terbesar dalam sejarah Jepang setelah sebelumnya gempa berkekuatan 7,2 skala richter meluluh lantakkan Kobe pada 17 Januari 1995. Selain menjadi gempa terbesar, Gempa ini diikuti pula dengan gelombang tsunami setinggi 7 meter yang memakan korban jiwa hingga 16.000 orang, 3.000 orang hilang, dan kerusakan fisik hingga 16,9 triliun yen.1 Gempa ini kemudian dikenal sebagai The Great East Japan Earthquake (GEJE) atau Gempa Besar di Jepang Timur. Selain memakan korban jiwa dan kerusakan gempa ini kemudian membawa efek domino yang cukup besar sehingga memberikan implikasi dalam sejarah dunia. Kebocoran salah satu reaktor nuklir di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima, Daichi menambah permasalahan baru bagi penangan efek gempa bumi dan tsunami. Pemerintah Jepang memerlukan kebijakan yang cepat, tepat, dan berkelanjutan untuk memulihkan kondisi ekonomi, infrastruktur, dan sosial. Jepang sebagai negara yang tidak awam lagi dengan bencana gempa bumi telah memiliki berbagai cara untuk mengatasi krisis seperti ini. Tiga bulan setelah bencana ini terjadi dikeluarkanlah basic guideline dan basic act 2 untuk pemulihan kembali pasca gempa yang terdiri dari tiga jangka kebijakan, yaitu jangka pendek (04 bulan), menengah (4-11 bulan), dan panjang (1-10 tahun). Kebijakan jangka pendek berfokus pada pemberian bantuan para pengungsi, livehood assistance, 1
BBC News Asia, “Japan quake: Loss and recovery in numbers.” 11 Maret 2012.,
, pada tanggal 25 Oktober 2013. 2 GOJ (Government of Japan), 2011, “Basic Guidelines for Reconstruction,” Reconstruction Headquarters in Response to the GEJE, June 2011, diakses pada tanggal 19 Desember 2013.
1
pengembalian infrastrutur, dan permasalahan hak milik tanah. Sedangkan untuk kebijakan jangka menengah pemerintah berfokus pada manajemen bencana dengan mengevaluasi pengurangan resiko dari penyebab dan efek gempa. Pemulihan pasca gempa kemudian berlanjut pada kebijakan jangka panjang yang dianggap sebagai kebijakan yang sangat penting untuk menciptakan stabilitas ekonomi dan pemulihan kondisi. Kebijakan ini menitik beratkan pada pemulihan ekonomi jangka panjang seperti pembentukan reconstruction agency dan special zone for reconstruction. Salah satu perhatian yang cukup menarik dalam melihat usaha recovery ini adalah melihat kebijakan jangka panjang, yaitu special zone for reconstruction. Kebijakan ini dibentuk untuk memfokuskan pembangunan kembali wilayah yang terkena dampak gempa yaitu Tohoku. Pemerintah lokal yang didukung pemerintah pusat mengeluarkan berbagai peraturan untuk mengurangi pajak agar aliran foreign direct investment (FDI) dapat masuk ke Jepang untuk membangun kembali infrastruktur dan perekonomian wilayah yang terkena gempa. Namun sayangnya kebijakan ini justru menimbulkan permasalahan baru dengan besarnya aliran FDI yang tidak seimbang dan hanya digunakan untuk kepentingan pemulihan saja. Tidak banyak FDI tersebut yang digunakan untuk investasi jangka panjang dan penciptaan lapangan pekerjaan. Sehingga kemudian pemerintah Jepang mengeluarkan kebijakan tambahan melalui comprehensive special zone for international competitiveness. Comprehensive special zone for international competitiveness adalah kebijakan pembentukan wilayah ekonomi khusus yang mampu meningkatkan daya saing Jepang di ranah internasional. Kebijakan ini muncul tidak hanya untuk menyeimbangkan kebijakan special zone for reconstruction namun juga melihat kondisi ekonomi Jepang yang stagnan serta permasalahan nilai Yen yang cenderung terus meningkat. Setelah belajar dari pengalaman gempa di wilayah Kobe pada tahun 1995 yang pemulihan ekonomi terbilang cukup sulit di bidang bisnis dan investasi. Gempa berskala 7,2 skala richter tersebut membawa efek berantai yaitu apresiasi
2
Yen selama 6 bulan mencapai 118 hingga 120 yen per dollar.3 Keadaan ini terbilang apresiasi yang cukup tinggi mengingat nilai normal Yen berkisar 79,75 yen per dollar.4 Nilai Yen yang terus membumbung tinggi mengakibatkan kekhawatiran para eksportir dan beban utang yang semakin besar. Sehingga pemerintah mengeluarkan kebijakan pemulihan ekonomi pasca gempa yang sekaligus bertujuan untuk menjaga kestabilan nilai tukar mata uang Yen. Diharapkan melalui kebijakan ini, pemulihan ekonomi pasca gempa 2011 dapat sejalan dengan pembangunan ekonomi nasional Jepang. Jepang menargetkan dua wilayah dalam kebijakan comprehensive special zone for international competitiveness ini yaitu, Tokyo dan Kansai. Kedua wilayah tersebut memiliki ciri khusus untuk dikembangkan seperti wilayah Tokyo lebih mengedepankan pada konsep pusat kantor perwakilan perusahaan di wilayah Asia (Asian Headquarter) sedangkan untuk Kansai dibentuk sebagai basis wilayah inovasi perkembangan teknologi dan industry di kawasan Asia (Kansai Innovation Comprehensive Global Strategic Special Zone). Tokyo sebagai ibukota negara sekaligus pusat perekonomian mengalami krisis kepercayaan dalam berinvestasi pasca gempa 2011. Kedekatan geografis Tokyo dengan Tohoku sebagai pusat gempa dan Fukushima sebagai pusat bencana nuklir membuat tren investasi semakin menurun. Selain itu munculnya pusat bisnis baru di Asia seperti Singapura dan Hongkong membuat Jepang mendapatkan pesaing baru. Pemerintah masih melihat potensi yang besar bagi Jepang sebagai pusat bisnis di Asia sehingga pemerintah mendorong kebijakan ini untuk dimaksimalkan. Wilayah kedua adalah Kansai. Kansai merupakan jantung sekaligus motor penggerak utama perekonomian wilayah Jepang Barat. Kansai yang terdiri dari 8 prefektur (Osaka, Kyoto, Nara, Hyogo, Shiga, Fukui, Wakayama, Mie, dan
3
4
Ronald I. McKinnon, 2007, ”Japan’s Deflationary Hangover: Wage Stagnation and the Syndrome of the Ever-Weaker Yen,” ADB Institute Discussion Paper No. 74. Keiichiro Kobayashi, 2011, “Economic Policies Following The Great East Japan Earthquake,” Canon-Ifri series no.1, p.2.
3
Tokushima) dinobatkan sebagai kawasan perekonomian kedua terbesar di Jepang setelah Kanto (Tokyo dan sekitarnya) dengan total Gross Regional Product (GRP) mencapai US$954 miliar pada tahun 2008.5 Letak Kansai yang terbilang cukup jauh dari Honshu sebagai pusat gempa 2011, membuat pemerintah menunjuk Kansai sebagai salah satu comprehensive special zone untuk mendorong laju perekonomian Jepang. Infrastruktur yang sudah mapan dan tidak banyak terimbas dari bencana gempa dan tsunami tersebut membuat perekonomian akan jauh lebih cepat pulih. Berbagai langkah kebijakan yang diambil oleh pemerintah Jepang tidak pernah terlepas dari sistem ekonomi unik yang dianut oleh Jepang yaitu, capitalist developmental state. Sistem capitalist developmental state yang dianut Jepang membuat Jepang harus selalu seimbang atas kebebasan pasar dan mampu mengontrol industri sebagai kepentingan nasional utamanya.6 . Sistem ekonomi ini sendiri secara tidak langsung menggambarkan kombinasi karakter ekonomi, dimana sebuah Negara harus menunjukkan sifat kapitalisnya seperti private property rights ataupun sistem pasar. Namun disisi lain Negara harus menunjukkan sisi developmentalnya dengan menunjukkan konsistensi komitmen atas industrialisasi sebagai salah satu kepentingan nasionalnya. Tidak hanya dua karakter itu saja namun Negara dalam sistem capitalist developmental state harus menunjukkan kebersatuannya dalam berinteraksi dengan kelompok pebisnis.7 Sehingga menjadi perhatian cukup menarik untuk meninjau kebijakan comprehensive special zone ini melalui sistem capitalis developmental state. Apakah kebijakan ini akan terus sejalan dengan sistem yang telah lama dianut oleh Jepang atau justru ini merupakan salah satu bentuk pembaharuan sistem ekonomi Jepang.
5
Konsulat Jenderal Republik Indonesia untuk Jepang di Osaka, 2012, “Ekonomi Jepang Barat: Potensi Ekonomi Wilayah Kerja KJRI Osaka.” 6 Tianbiao Zhu, 2002,“Developmental states and threat perceptions in Northeast Asia,” Conflict, Security & Development vol.2 no.1. 7 Tianbiao Zhu, 2002, “Developmental states and threat perceptions in Northeast Asia,” Conflict, Security & Development vol.2 no.1, 2002.
4
Kebijakan jangka panjang dalam recovery plan from The Great East Japan Earthquake menjadi perhatian menarik dalam studi ekonomi politik internasional mengingat stagnansi ekonomi Jepang dalam 20 tahun terakhir. Sehingga melalui langkah-langkah yang diambil Perdana Menteri Jepang menjadi perhatian cukup menarik apakah kebijakan tersebut mampu memulihan ekonomi Jepang pasca the great east japan earthquake sekaligus mendinamiskan perokomian Jepang. 1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah yang akan diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Mengapa pemerintah Jepang memilih kebijakan comprehensive special zone for international competitiveness guna pemulihan ekonomi pasca the great east earthquake? 2. Bagaimana implementasi comprehensive special zone for international competitiveness dalam memulihkan perekonomian Jepang?
1.3 Landasan Konseptual Landasan konseptual yang akan digunakan untuk menganalis rumusan masalah penelitian ini adalah Comprehensive Special Zone dan International Competitiveness. A. Capitalist Developmental State Pada masa sebelunya kebangkitan ekonomi Jepang atau Japanese Miracle menghubungkan kesinergisan tersebut dalam istilah Japan Incorporated. Chalmers Jhonson dalam tulisannya Japanese “Capitalism” Revisited bahwa Jepang menyusun kebijakan industry dimana pemerintah memberikan insentif dan disentif bagi perusahaan yang mampu mencapai tujuan tertentu. Pemerintah memberikan kuasa penuh melalui Ministry of International Trade and Industry (MITI)
sebagai pembimbing perusahaan-perusahaan
tersebut.
Chalmers
menyebut sistem tersebut sebagai ‘conjoining private ownership with state
5
guidance’8. Peneliti lain seperti Meredith Woo-Cumings9 menggambarkan situasi developmental state ini sebagai penjelasan kemajuan industri di Asia Timur. Keunikan sistem ekonomi yang dianut Jepang inilah yang kemudian menjadi cirri khas tersendiri bagi perkembangan ekonomi Jepang. Istilah capitalist developmental state seringkali dikaitkan dengan sistem ekonomi Jepang atau negara Asia Timur secara umum. Sistem ekonomi ini sendiri secara tidak langsung menggambarkan kombinasi karakter ekonomi, dimana sebuah Negara harus menunjukkan sifat kapitalisnya seperti private property rights ataupun sistem pasar. Namun disisi lain Negara harus menunjukkan sisi developmentalnya dengan menunjukkan konsistensi komitmen atas industrialisasi sebagai salah satu kepentingan nasionalnya. Tidak hanya dua unsur itu saja namun Negara dalam sistem capitalist developmental state harus menunjukkan kebersatuannya dalam berinteraksi dengan kelompok pebisnis.10 Capitalist Developmental State memiliki dua karakteristik utama, yaitu institusi dan kebijakan. Institusi dalam negara yang menganut sistem capitalist developmental state akan memainkan peran sebagai aktor utama. Sedangkan aspek kebijakan dalam capitalist developmental state
akan memperlihatkan
peraturan-peraturan yang cenderung memihak kepentingan domestik ditengah tuntutan globalisasi.
B. Comprehensive Special Zone Pendefinisian Comprehensive special zone secara istilah terbagi menjadi dua bagian yaitu, comprehensive dan special zone. Comprehensive sendiri memiliki arti “(adj) including or dealing with all or nearly all elements or aspects of something.”
Sehingga dapat diartikan bahwa hal yang komprehensif merupakan
8
Woo-Cumings, M. (ed.), “The Developmental State,” Cornell University Press, 1999, p.2. Woo-Cumings, M. (ed.), “The Developmental State,” p.1. 10 Tianbiao Zhu, “Developmental states and threat perceptions in Northeast Asia,” Conflict, Security & Development vol.2 no.1, 2002. 9
6
melibatkan segala aspek penting dalam variabel yang ada. Sedangakan special economic zone (SEZ) merupakan sebuah istilah yang ditujukan sebagai bagian teritori wilayah asing yang memiliki peraturan khusus untuk memfasilitasi masuknya foreign direct investment untuk tujuan produksi ekspor, perdagangan, dan urusan bea cukai. Definisi lainnya dari Kementerian Perindustrian dan Perdagangan India dalam tulisan Devdas dan Gupta11, “Special economic zone is a specifically duty free enclave and shall be deemed to be foreign territory for the purpose of trade operations and duties and tariffs.” Special economic zone seringkali disebut dengan berbagai istilah seperti free trade zone, export processing zone, free zone, industrial parks,free ports, urban enterprise zone, dan free economic zone. Sering kali SEZ diinterpretasikan secara berbeda oleh masing-masing Negara dengan berbagai istilah khusus, salah satunya oleh Jepang, yaitu Comprehensive Special Zone. Comprehensive special zone menurut The Comprehensive Special Zone Act12 adalah: “Comprehensive Special Zone system aims to make Japan’s economy and society more dynamic and sustainable through the comprehensive and intensive implementation of policies that will strengthen the international competitiveness of industries and revitalize communities.” Pada dasarnya wilayah ini sama seperti SEZ lainnya yaitu mendapatkan perlakuan khusus dalam hal regulasi, pajak, fiskal, dan adanya dukungan dana. Namun tujuan utama yang terlihat jelas adalah Jepang ingin menjadi pusat industri di Asian melalui bidang inovasi teknologi.
11
Devadas, V. and Vaibhav Gupta, 2011, ”Planning for Special Economic Zone: A Regional Perspective,” Institute of Town Planners, India Journal 8 - 2, April - June 2011, p.54. 12 Tokyo Metropolitan Government, 2012, “Special Zone fo Asian Headquarters: Tokyo’s Comprehensive Special Zone for International Competitiveness Development,” 17 Januari 2012, Diakses melalui situs pada tanggal 5 November 2013.
7
Tujuan utama dari comprehensive special zone ini adalah menciptakan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan ekspor, penciptaan lingkungan investasi yang baik serta menghasilkan lapangan pekerjaan yang berskala besar. Faktor utama yang menjadi garis bawah adalah dengan membawa semua elemen perkembangan ekonomi baik domestik maupun asing bekerjasama dalam pembangunan ekonomi.
C. International Competitiveness Teori ini pada awalnya berkembang mengikuti konsep perdagangan internasional, yaitu keunggulan komparatif. Konsep yang diperkenalkan David Ricardo ini melihat bahwa suatu negara tidak bisa memproduksi semua kebutuhannya secara efisien sehingga diperlukan spesialisasi produksi dan perdagangan internasional. Kondisi pasar yang tidak selamanya bersaing secara sempurna menimbulkan kondisi pasar oligopoly, dimana terdapat beberapa penjual untuk suatu barang tertentu. Munculnya beberapa pesaing yang memperoduksi barang secara terbatas membuat tingkat kompetisi semakin meningkat diantara para perusahaan. Daya saing atau competitiveness sering kali didefinisikan sebagai usaha Negara mencapai efektivitas dan efisiensi melalui sumber daya manusia, alam, dan modal.13 Definisi lainnya menyatakan bahwa daya saing merupakan kemampuan Negara untuk mengatur angka pertumbuhan penduduk yang tinggi dan tenaga kerja.14 Sedangkan untuk definisi international competitiveness sendiri menurut President's Commission on Industrial Competitiveness15:
13
14
15
Magdolna Csath, 2007, “The Competitiveness of Economies: Different Views and Argument,” Society and Economy 29 (2007) 1, pp.87 Magdolna Csath, 2007, “The Competitiveness of Economies: Different Views and Argument,” pp.88 Global Competition, 1985, “The New Reality, Report of the President's Commission on Industrial Competitiveness,” Washington, DC: US Government Printing Office, Vol. II, 1985, p. 6.
8
“The degree to which a nation can, under free and fair market conditions, produce goods and services that meet the test of international markets while simultaneously maintaining or expanding the real income of its citizens.” Sebuah Negara tidaklah harus memiliki daya saing untuk semua barang yang ada di dunia ini. Setiap Negara memiliki spresialisasinya masing-masing, namun hal yang perlu digaris bawahi dalam menciptakan daya saing internasional ini adalah dengan menciptakan daya saing diberbagai macam bidang.16 Alat analisis daya saing internasional memiliki dua sudut pandang penting, pertama adalah dari sisi manajemen yang diperkenalkan oleh Michael Porter dalam model diamond17 nya. Sudut pandang kedua adalah sisi ekonomi politik yang disampaikan oleh Jeffrey A. Hart. Sudut pandang kedua menjadi analisis yang tepat dalam penelitian ini karena Hart melihat efek State-Societal Arrangements dan kesinergisan pengembangan teknologi yang ada di masyarakat melalui inovasi teknologi. Jeffrey A.Hart menggambarkan hubungan yang linear antara statesocietal arrangement dengan inovasi dan difusi teknologi untuk mencapai international competitiveness.
16
17
(lihat juga No Name, “The Cuomo Commission Report. A New American Formula for a Strong Economy,” New York: Simon and Schuster, 1988, p. 19. Stephen S. Cohen and John Zysman, “Manufacturing Matters. The Myth of the PostIndustrial Economy,” New York: Basic Books, 1987, p. 60.) Jeffrey A. Hart, 1992, “The Effects of State-Societal Arrangements on International Competitiveness: Steel, MotorVehicles and Semiconductors in the United States, Japan and Western Europe,” British Journal of Political Science, Vol. 22, No. 3, Jul., 1992, pp. 255-300 Michael Porter, 1990, “The Competitive Advantage of Nations,” New York: Free Press, Macmillan, Hal.273.
9
State-societal arrangement atau perencanaan pemerintah dan masyarakat didefinisikan dalam tulisan Hart, “as the manner in which the state and civil society are organized and how state and society are institutionally linked.”18 Keterhubungan
dalam
perencanaan
pembangunan
pemerintah
secara
institusional mencakup seperti bagaimana pemerintahan, sector bisnis, tenaga kerja terorganisasi dan adanya institusi yang menghubungkan pemererintah dan masyarakat. Sedangkan untuk peran inovasi teknologi dalam daya saing memberi penekanan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk mendorong kemunculan inovasi baru melalui paten ataupun riset pengembangan teknologi lainnya.19 Hal menarik yang kemudian muncul untuk dibahas dalam teori adalah mengenai sektor apa yang menjadi bidang unggulan untuk meningkatkan daya saing internasional dalam perdagangan. Secara garis besar teori international competitiveness sebagai alat analisis memfokuskan pada performa hubungan baik dari perusahaan, masyarakat maupun Negara sebagai aktor yang membangun kondisi lingkungan yang mendukung. Penelitian ini akan lebih berfokus pada sudut pandang pemerintah Jepang yang berusaha membangun sistem capitalist developmental state. Negara harus menunjukkan sifat kapitalisnya seperti private property rights ataupun sistem pasar. Namun disisi
18 19
Michael Porter, 1990, “The Competitive Advantage of Nations,” Hal.274. Michael Porter, 1990, “The Competitive Advantage of Nations,” Hal.275.
10
lain Negara harus menunjukkan sisi developmentalnya dengan menunjukkan konsistensi komitmen atas industrialisasi sebagai salah satu kepentingan nasionalnya. Tidak hanya dua karakter itu saja namun Negara dalam sistem capitalist developmental state harus menunjukkan kebersatuannya dalam berinteraksi dengan kelompok pebisnis.20
1.4 Argumen Utama Pemulihan ekonomi Jepang pasca The Great East Japan Earthquake merupakan momentum bangkitnya kembali perekonomian Jepang. Melalui sistem capitalist
developmental
state
yang
dianut
Jepang,
pemerintah
berusaha
mengharmoniskan pemulihan ekonomi baik di level perusahaan besar maupun kecil menengah. Pemerintah yang cukup tanggap dengan mengeluarkan strategi pemulihan ekonomi dalam kurun waktu 8 bulan. Dikeluarkannya kebijakan Comprehensive Special Zones for International Competitiveness System telah membawa harapan baru atas industri di Jepang. Jepang tidak hanya mengatasi pemulihan ekonomi pasca the great east Japan earthquake saja namun berupaya membangun lingkungan ekonomi yang stabil dengan menjaga nilai Yen yang cenderung akan meningkat setelah bencana tersebut. Hal ini tidak terlepas dari pola hubungan antara Negara dan masyarakat. Masayarakat yang cenderung tidak aktif dalam politik membuat kebijakan yang dikeluarkan pemerintah akan sangat terkontrol. Kebijakan ini diharapkan mampu membawa segala aspek kehidupan baik domestik maupun asing mampu mendorong perekonomian Jepang pasca the great east japan earthquake khususnya membawa daya saing internasional Jepang.
20
Tianbiao Zhu, 2002, “Developmental states and threat perceptions in Northeast Asia,” Conflict, Security & Development vol.2 no.1.
11
1.5 Metode Penelitian Penelitian
yang
membahas
mengenai
alasan
dipilihnya
kebijakan
comprehensive special zone dalam pemulihan ekonomi Jepang ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan data kualitatif sebagai data utama dan data kuantitatif sebagai data pendukung argumen. Penulis menghimpun data-data kualitatif dan kuantitatif dari berbagai sumber, meliputi sumber primer, sekunder, dan tersier. Data-data kualitatif diperoleh melalui studi literatur beberapa buku dan studi online beberapa jurnal, laporan penelitian, dan artikel yang berkaitan dengan kebijakan Kansai Innovation International Strategic Comprehensive Special Zone. Sedangkan untuk data kuantitatif didapatkan dari laporan pemerintah, jurnal, dan artikel-artikel terkait. Teknik analisi data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif karena penulis melakukan analisis terhadap data-data yang diperoleh untuk kemudian ditarik kesimpulan.
1.6 Jangkauan Penelitian Penelitian ini akan memfokuskan pembahasan pengambilan kebijakan penangan bencana setelah gempa bumi dan tsunami tanggal 11 Maret 2011 hingga tahun 2013. Dimana pada rentang waktu tersebut kebijakan untuk pemulihan ekonomi
pasca
bencana
mulai
dikeluarkan.
Pembahasan
akan
sedikit
menggambarkan usaha penangan gempa di Kobe tahun 1995 sebagai bahan rujukan pengambilan kebijakan di penangan gempa besar di Jepang Timur tahun 2011. Untuk mendukung penelitian ini, maka akan diambil penjelasan pelaksanakan kebijakan dari dua wilayah penerapan kebijakan, yaitu Tokyo dan Kansai.
1.7 Sistematika Penulisan Penelitian ini akan dibagi menjadi empat bab. Bab I merupakan bagian pendahuluan, berisi latar belakang pengambilan kebijakan Comprehensive Special Zone serta penjelasan mengenai rumusan masalah. Bab ini juga akan membahas landasan konseptual penelitian berupa definisi comprehensive special zone dan teori
12
national competitivenes. Pembahasan kemudian dilanjutkan dengan pemaparan argument utama dan metode penelitian yang digunakan. Bab II
yang berjudul Gempa Besar di Jepang Timur dan Kondisi
Perekonomian akan memaparkan mengenai mengenai fakta-fakta gempa 2011 diantaranya efek domino, tantangan pemulihan ekonomi bagi Jepang, dan alasan dipilihnya kebijakan comprehensive special zone sebagai kebijakan ekonomi jangka panjang. Sebagai bahan perbandingan atas pengambilan kebijakan pemulihan keadaan pasca gempa, pemerintah belajar banyak dari gempa besar di Kobe pada tahun 1995. Bab ini juga akan membahas rancangan kebijakan 3 jangka pemulihan ekonomi dalam basic guideline dan basic act.Serta melihat pola hubungan statesocietal yang terbentuk di Jepang. Pada bab III yang berjudul Kebijakan Wilayah Spesial Komprehensif untuk Peningkatan Daya Saing Internasional akan memaparkan definisi atas kebijakan, visi dan misi kebijakan, lingkup kebijakan Comprehensive Special Zone (CSZ)), dan mekanisme CSZ itu sendiri. Penjelasan kemudian dilanjutkan dengan pemaparan dua wilayah comprehensive special zone yang ada di Jepang. Sub bab pertama yang berjudul Tokyo as Asia Headquarter akan membahas pentingnya pusat bisnis di Tokyo dan proses pelaksanaan kebijakan tersebut. Sub bab kedua yang berjudul Kansai Innovation International Strategic Comprehensive Special Zone akan menjelaskan secara detail mengenai special economic zone tersebut dan konsep yang dibawa Kansai secara khusus. Kemudian di sub bab kedua akan fokus pada potensi yang dimiliki Kansai sehingga menjadi special economic zone untuk pemulihan ekonomi Jepang pasca The Great East Japan Earthquake. Bab IV yang berjudul Implementasi Kebijakan Wilayah Spesial Komprehensif untuk Daya Saing Internasional dalam Pemulihan Ekonomi Jepang merupakan analisis atas peran kebijakan comprehensive special zone for international competitiveness dalam pemulihan ekonomi Jepang menggunakan teori yang dipaparkan dalam landasan konseptual. Analisis ini pun melihat seberapa penting kebijakan ini membangun kembali ekonomi Jepang pasca gempa 2011
13
sekaligus mempengaruhi Jepang dalam tataran ekonomi internasional. Analisis akan dilihat berdasarkan landasan konseptual mengenai special economic zone yang berfokus pada international competitiveness. Bab V merupakan bagian penutup yang berisi kesimpulan mengenai alasan dan urgensi terpilihnya kebijakan comprehensive special zone for international competitiveness sebagai penggerak dalam pemulihan ekonomi Jepang pasca the great east Japan earthquake.
14