BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah penduduk Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada tahun 1990 jumlah penduduk Indonesia berjumlah 179,3 juta jiwa, pada tahun 2000 meningkat menjadi 206,2 juta jiwa dan pada tahun 2010 sudah mencapai 237,6 juta jiwa. Pertumbuhan penduduk sudah cukup mengkhawatirkan, menurut Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Surya Chandra Surapaty menjelaskan bahwa, laju pertumbuhan penduduk saat ini mencapai 1,49% per tahun dari jumlah penduduk Indonesia (Kompas, 2015). Salah satu pulau yang menjadi daerah terpadat di Indonesia adalah Pulau Jawa. Perkembangan penduduk akibat besarnya urbanisasi yang terjadi menyebabkan daerah tesebut berkembang pesat pada awal abad ke-20 (Tohjiwa dkk., 2010). Keberadaan Kota Bogor sebagai kota satelit Jakarta merupakan dampak dari perkembangan Kota Jakarta yang cukup pesat. Berdasarkan Instruksi Presiden No. 13 tahun 1976 tentang Jabotabek (Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi) yang kini istilahnya berubah menjadi Jabodetabek, wilayah Kota Bogor ditetapkan sebagai salah satu kota penyangga ibukota (Tohjiwa dkk., 2010). Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2011-2031 Kota Bogor direncanakan sebagai daerah permukiman dengan kepadatan rendah hingga tinggi, salah satunya di Kecamatan Bogor Barat. Lokasi kota yang strategis dengan potensi perkembangan permukiman, transportasi, komunikasi, dan pariwisata menjadi daya tarik bagi pendatang untuk memperoleh sumber mata pencaharian dan bertempat tinggal di sana. Perkembangan jumlah penduduk berakibat pada peningkatan kebutuhan lahan menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan. Jumlah penduduk yang semakin meningkat akan berbanding lurus dengan kebutuhan lahan serta kebutuhan tempat hunian (Jauhari & Ritohardoyo, 2013). Berdasarkan monitoring Citra Landsat tahun 1994 sampai 2005 (Gambar 1.1) terjadi perubahan penggunaan lahan terbangun sekitar 25,99% atau sekitar 30,8 km2 (Azzam, 2005).
1
Hal ini disebabkan karena Kota Bogor berperan sebagai sub-urban dari Jakarta sehingga banyak menarik pendatang untuk dipilih menjadi tempat tinggal di dalamnya (dormitory town) (Tohjiwa dkk., 2010).
2.
Gambar 1.1 Perubahan Lahan Kota Bogor Tahun 1994 sampai 2005 Sumber: Azzam, 2005; hal.5
Perubahan penggunaan lahan yang terjadi menjadi salah satu indikator terjadinya dinamika harga lahan. Lahan yang secara kuantitas terbatas serta persediaannya tidak dapat ditingkatkan dapat mempengaruhi nilai lahan yang ada (Raeka & Sulistyarso, 2012). Ketersediaan lahan yang terbatas di daerah perkotaan akan menimbulkan permasalahan kota, yaitu permintaan yang selalu tinggi menjadikan nilai lahan meningkat, konsekuensinya terjadilah peningkatan harga lahan (Ando & Uchida, 2004). Nilai lahan dan harga lahan mempunyai arti yang berbeda, tetapi keduanya mempunyai kaitan yang erat. Nilai lahan atau land value, merupakan pengukuran lahan yang didasarkan kepada kemampuan lahan secara ekonomis dalam hubungannya dengan produktivitas dan strategi ekonomis, sedangkan harga lahan merupakan penilaian atas lahan yang diukur berdasarkan harga nominal dalam satuan uang untuk satu satuan luas tertentu pada pasaran lahan (Yunus, 2000). Potensi strategis dalam perkembangan pertumbuhan ekonomi yang didukung oleh lokasi berdekatan dengan ibukota dan aksesibilitas yang semakin
2
baik menyebabkan Kecamatan Bogor Barat menjadi salah satu daerah yang berkembang. Pembangunan Jalan Tol Lingkar Luar Bogor atau Bogor Outer Ring Road (BORR) yang menjangkau Kecamatan Bogor Barat semakin mempercepat perubahan penggunaan lahan terutama untuk kegiatan permukiman dan mempengaruhi harga lahan di sekitarnya. Perubahan lahan permukiman terjadi akibat adanya BORR, seperti yang berada di Taman Yasmin, Bukit Cimanggu City dan Green Land Residence. Dampak pembangunan BORR mendongkrak harga lahan yang ada di sekitarnya, berdasarkan berita yang dilansir Kompas.com (2015) sebelum ada pembangunan BORR, lahan yang berada di pinggir jalan masih berkisar Rp 500.000 per m² dan pada tahun 2014 meningkat Rp 5.000.000 per m², sementara di tahun 2015, harga tersebut sudah naik menjadi 100% ke angka Rp 10.000.000 per m². Perubahan harga lahan permukiman yang terjadi setiap tahun perlu dilakukan monitoring untuk melihat pola perubahannya dan dapat disajikan secara spasial (Sari dkk., 2010). Kegiatan monitoring dapat mengetahui distribusi lokasi mana saja yang memiliki harga lahan tinggi dan menganalisis faktor yang menyebabkan terjadinya laju perubahan harga lahan tersebut. Pemantauan perubahan harga lahan dengan menggunakan data penginderaan jauh memiliki keunggulan dalam aspek temporal (Suwargana, 2013). Selain itu, data penginderaan jauh juga dapat menyajikan data yang up to date serta tidak mengeluarkan banyak biaya dibandingkan survei lapangan (Sutanto, 2013). Citra penginderaan jauh merupakan salah satu teknologi yang dapat memperlihatkan distribusi perubahan yang terjadi secara spasial dengan cepat. Terutama untuk saat ini, sudah banyak citra yang tersedia dan mudah didapatkan, khususnya citra resolusi tinggi seperti citra Ikonos, Quickbird dan Worldview. Menurut Danoedoro (2003), citra dengan resolusi spasial tinggi dapat digunakan untuk mendukung aplikasi perkotaan yang dicirikan oleh pengenalan pola permukiman serta perluasan dan perkembangan wilayah terbangun. Citra penginderaan jauh yang terintegrasi dengan sistem informasi geografis merupakan salah satu solusi untuk memberikan visualisasi distribusi objek di permukaan bumi, salah satunya untuk mendapatkan informasi spasial
3
dari parameter penyebab perubahan harga lahan. Penelitian terkait visualisasi spasial harga lahan belum banyak dilakukan terutama yang menggunakan citra penginderaan jauh dan metode Analitycal Hierarchy Process (AHP). Metode AHP akan memodelkan harga lahan di suatu daerah dengan pertimbangan para pakar sehingga dapat diketahui secara pasti faktor yang mempengaruhi dan seberapa besar pengaruhnya. Perubahan harga lahan permukiman yang akan dimodelkan dalam penelitian ini diidentifikasi berdasarkan parameter yang mempengaruhi harga lahan yang dapat disadap dari citra. Penyajian harga lahan permukiman secara spasial dapat dilakukan dalam bentuk dua dimensi maupun tiga dimensi. Penyajian secara dua dimensi dalam bentuk peta bertujuan untuk memahami pola dan hubungan geospasial dari objek yang dipetakan, dalam hal ini perubahan harga lahan. Sedangkan, gambaran tiga dimensi merupakan model data yang digunakan untuk membantu memberikan visualisasi dari data dua dimensi sehingga lebih dramatik dan mudah diingat karena memunculkan gambaran yang bagus dari trend umum data (Kraak & Ormeling, 2007). Hal ini sebabkan penyajian secara tiga dimensi memiliki kesan ketinggian, dalam penelitian kesan ketinggian yang digambarkan adalah harga lahan permukiman.
1.2 Rumusan Masalah Perkembangan kota dapat menjadikan lokasi dari suatu daerah lebih strategis dan menarik perhatian pendatang untuk bisa tinggal di daerah tersebut. Perkembangan kota juga terkadang sejalan dengan ketersediaan fasilitas umum yang ada. Kota yang menjadi tujuan para pendatang akan mengalami peningkatan jumlah penduduk yang signifikan setiap tahunnya karena daya tarik kota tersebut. Peningkatan jumlah penduduk yang pesat menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan terjadi karena permintaan lahan yang semakin meningkat, terutama permintaan lahan hunian. Ketersediaan lahan yang tetap dengan permintaan akan lahan yang tinggi menyebabkan terjadinya peningkatan harga lahan di suatu daerah.
4
Kecamatan Bogor Barat merupakan salah satu daerah di Kota Bogor yang mengalami perkembangan. Hal ini terlihat dari pembangunan yang sedang dilakukan, terutama pembangunan fasilitas umum yang menunjang aktivitas perkotaan seperti jalan tol lingkar luar. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi di daerah ini diprediksi mempengaruhi harga lahan yang ada. Harga lahan yang selalu berubah-ubah setiap tahunnya perlu diketahui distribusinya dengan membuat pemodelan harga lahan terutama harga lahan pada kawasan permukiman. Pemodelan harga lahan di suatu daerah harus sesuai dengan kondisi di lapangan sehingga dapat diketahui distribusi perubahannya. Citra penginderaan jauh yang terintegrasi dengan sistem informasi geografi dapat menjadi salah satu solusi untuk memperoleh model harga lahan. Citra penginderaan jauh saat ini sudah banyak yang memiliki resolusi spasial tinggi dan dapat dimanfaatkan untuk kajian perkotaan karena dapat menghasilkan informasi dalam skala detail, salah satunya untuk identifikasi parameter dari harga lahan. Citra Ikonos dan foto udara merupakan salah satu citra resolusi tinggi yang digunakan dalam penelitian ini. Teknologi penginderaan jauh yang teritegrasi dengan sistem informasi geografi dapat membantu dalam kegiatan survei pemetaan, khususnya untuk studi perkotaan yang bersifat dinamis karena pembangunan yang secara fisik mengalami perkembangan. Pemanfaatan penginderaan jauh dalam pemodelan harga lahan meliputi pemanfatan citra resolusi tinggi dan interpretasi visual terhadap hasil fusi citra. Kegiatan interpretasi visual bertujuan mengenali objek yang terekam untuk menyadap informasi parameter yang dapat mempengaruhi harga lahan. Parameter tersebut digunakan dalam membangun model harga lahan. Metode AHP dapat menghasilkan pemodelan yang mendekati kondisi di lapangan (Saaty, 2008; Saaty & Vargas, 2012) serta belum banyak pemodelan harga lahan yang menggunakan pendekatan penginderaan jauh dengan metode ini. Monitoring harga lahan permukiman di Kecamatan Bogor Barat perlu dilakukan untuk mengetahui besarnya perubahan yang terjadi secara spasial sehigga dapat memberikan informasi lokasi terjadinya perubahan harga lahan secara drastis dan faktor penyebabnya. Visualisasi dari harga lahan yang disajikan
5
secara spasial dapat disajikan dalam bentuk dua maupun tiga dimensi yang akan lebih mudah dipahami oleh masyarakat dibandingkan dengan penyajian dalam bentuk data-data statistik. Penyajian secara tiga dimensi akan lebih informatif karena perbedaan harga lahan yang tinggi dan rendah akan secara otomatis terlihat perbedaannya (Kraak & Ormeling, 2007). Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Sejauh mana Citra Quickbird, Citra Worldview-2 dan foto udara dapat menyediakan data spasial yang digunakan dalam pemodelan harga lahan permukiman? 2. Bagaimana pemodelan harga lahan permukiman dengan metode AHP tahun 2007, 2011 dan 2014 dalam rangka mengetahui perubahan yang terjadi?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Mengetahui ketelitian Citra Quickbird, Citra Worldview-2 dan foto udara dalam menyediakan data spasial untuk pemodelan harga lahan permukiman. 2. Membuat model harga lahan permukiman dengan metode AHP tahun 2007, 2011 dan 2014 untuk mengetahui perubahan harga lahan yang terjadi.
1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk: 1. Bagi Praktisi Mengetahui perubahan harga lahan permukiman yang terjadi dan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan; dan 2. Bagi Akademisi Penerapan perkembangan sistem informasi geografi dalam pemodelan harga lahan serta sebagai dokumen ilmiah yang dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.
6