BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Alih fungsi lahan atau konversi lahan dapat diartikan sebagai suatu
perubahan fungsi kawasan lahan dari fungsinya semula, menjadi fungsi lain yang dapat menimbulkan dampak atau masalah terhadap lingkungan dan potensi lahan (Utomo, 1992). Dalam kajian penelitian alih fungsi lahan yang dimaksud dikhususkan kepada alih fungsi lahan pertanian menjadi penggunaan lahan non pertanian ataupun sebaliknya. Berdasarkan analisis beberapa data BPS, selama periode 2004 hingga 2013 alih fungsi lahan pertanian sawah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terjadi sebesar 1.511 hektar. Angka ini merupakan angka yang cukup besar, dimana wilayah DIY merupakan wilayah yang berpotensi bila dikembangkan sebagai kawasan pertanian. DIY memiliki keadaan tanah yang cukup subur, karena pengaruh dari aktivitas Gunung Merapi. Perlu adanya upaya pengendalian dalam hal ini, agar keberadaan lahan sawah tetap terjaga sehingga kapasitas produksi pangan daerah tetap mampu terpenuhi. Banyak sekali faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya alih fungsi lahan pertanian, dalam penelitian ini dikaji beberapa faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian. Faktor yang pertama adalah faktor jumlah penduduk. Alih fungsi lahan dapat terjadi karena dipengaruhi oleh pertambahan jumlah penduduk yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Malthus (1888) dalam (Mubyarto, 1981) menyatakan bahwa jumlah penduduk akan bertambah lebih cepat daripada pertambahan produksi bahan pangan. Manusia dan segala aktivitasnya membutuhkan ruang untuk tumbuh dan berkembang. Manusia memiliki sifat dinamis yaitu selalu berubah-ubah dan berkembang mengikuti waktu sedangkan lahan bersifat statis tetap dan tidak berkembang. Keadaan ini memicu munculnya ketidakseimbangan antara ketersediaan dengan permintaan lahan. Tingginya permintaan lahan untuk lahan terbangun, biasanya di ambil dari lahan pertanian, karena lahan pertanian adalah salah satu lahan yang mudah untuk terkonversi. Lahan pertanian sawah merupakan lahan yang menjadi incaran
1
karena sebagian besar hamparannya rata dan infrastrukturnya sudah terbentuk. Keadaan ini menjadikan para investor tidak perlu biaya yang besar untuk memanfaatkannya (Siswandi, 2014). Faktor
selanjutnya
adalah
faktor
fasilitas
sosial
dan
ekonomi.
Pembangunan dan perkembangan suatu wilayah selalu diimbangi dengan pembangunan fasilitas sosial dan ekonomi sebagai media penunjang pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Pembangunan tempat permukiman penduduk di suatu wilayah pasti diikuti pula dengan pembangunan prasarana pendukungnya, seperti pembangunan jalan, sekolah, rumah sakit, pertokoan, warung makan, perbankan, perhotelan dan prasarana lainnya, sehingga semakin menarik keinginan para penduduk untuk tinggal di wilayah tersebut. Lokasi lahan yang strategis dan juga fasilitas sosial yang memadai merupakan salah satu faktor penarik para investor untuk datang dan menanamkan modalnya disana. Para investor tersebut tidak canggung lagi untuk memberikan iming-iming kepada para pemilik lahan pertanian dengan harga jual yang cukup tinggi. Lahan-lahan yang telah terbeli tersebut kemudian dimanfaatkan para investor untuk pembangunan tempat usaha ataupun pembangunan permukiman yang dirasakan mampu mendatangkan nilai ekonomi yang lebih tinggi (Pewista, 2013). Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul merupakan dua kabupaten yang ada di wilayah DIY. Perkembangan wilayah Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul terjadi cukup pesat sebagai dampak dari pembangunan Kota Yogyakarta. Hal ini mengakibatkan banyak ditemukan fenomena alih fungsi lahan pertanian di dua kabupaten tersebut. Alih fungsi lahan secara umum bersifat menular, apabila suatu lahan terjadi konversi maka luas lahan terkonversi akan semakin meluas. Salah satu yang menjadikan alih fungsi lahan pertanian semakin meningkat karena harga lahan yang melambung akibat pembangunan mendorong petani untuk menjual lahan pertaniannya (Siregar, 2011). Selain itu alih fungsi lahan pertanian juga terjadi akibat banyaknya petani yang beralih profesi. Hal ini disebabkan karena pemerintah kurang mendukung kegiatan pertanian daerah. Petani diharuskan berusaha sendiri mulai dari pencarian lahan, pupuk, menghadapi
2
kemungkinan gagal panen hingga penjualan hasil panen. Keadaan tersebut membuat petani frustasi dan lebih memilih untuk menjual lahannya (Witoro, 2014). Berdasarkan data BPS menunjukkan telah terjadi alih fungsi lahan sawah sebesar 632 hektar di Kabupaten Sleman dari tahun 2004 hingga tahun 2013. Sebagian besar daerah Kabupaten Sleman yang dahulunya merupakan wilayah sawah pertanian, dalam rentan waktu beberapa tahun telah banyak berubah menjadi lahan terbangun. Kabupaten Sleman merupakan salah satu kabupaten di DIY yang memiliki jumlah wilayah sawah pertanian paling luas. Tidak berbeda jauh dengan Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul juga termasuk salah satu yang mengalami lahan terkonversi di DIY. Berdasarkan data BPS dari tahun 2004 hingga tahun 2013 Kabupaten Bantul mengalami pengurangan lahan pertanian sawah sebesar 608 hektar. Nilai ini menunjukkan bahwa pada tahun tersebut Kabupaten Bantul memiliki areal lahan terkonversi paling luas dibandingkan dengan kabupaten lain di DIY, untuk lebih jelas lihat Tabel 1.1. di bawah. Tabel 1.1. Luas lahan sawah dan bukan sawah menurut Kabupaten/Kota di DIY Tahun 2004 dan 2013 Tahun 2004
Tahun 2013
Luas Lahan Sawah Bukan Sawah (Ha) (Ha)
Luas Lahan Sawah Bukan Sawah (Ha) (Ha)
Kulonprogo
10.867
47.760
10.297
48.330
570
Bantul
16.079
34.606
15.471
35.214
608
Gunungkidul
7.727
140.809
7.865
140.671
-138
Sleman
23.255
34.227
22.623
34.647
632
Kabupaten/Kota
Yogyakarta 122 3.128 71 3.179 Sumber : D.I. Yogyakarta dalam angka 2005 dan 2014 yang telah diolah
Lahan Sawah Terkonversi) (Ha)
51
Alih fungsi lahan pertanian berkaitan erat dengan ketersediaan pangan suatu daerah. Ketersediaan pangan disini difokuskan pada tanaman padi sebagai bahan pangan paling pokok di Indonesia. Lebih dari 90% penduduk di Indonesia memiliki kebutuhan pangan pokok berupa beras (Respati dkk, 2014). Beras sendiri dihasilkan dari produksi padi, hasil dari usaha pertanian. Maraknya
3
fenomena alih fungsi lahan yang terjadi berakibat pada semakin sedikit lahan yang tersedia untuk berproduksi. Keadaan ini juga berdampak pada jumlah rumah tangga dengan usaha pertanian yang terus menurun, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya penurunan ketersediaan pangan hingga mencapai defisit pangan di kemudian hari. Untuk menanggapi kejadian tersebut, dibutuhkan pengetahuan mengenai keterkaitan antara ketersediaan pangan dengan fenomena alih fungsi lahan pertanian yang sedang marak terjadi. Dengan harapan dapat diketahui apakah fenomena alih fungsi lahan pertanian berdampak pada ketersediaan pangan baik di Kabupaten Sleman maupun di Kabupaten Bantul. 1.2.
Rumusan Masalah Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul yang berbatasan langsung
dengan Kota Yogyakarta tentunya akan berdampak pada pembangunan yang semakin pesat. Lahan yang awalnya digunakan sebagai lahan pertanian dialih fungsikan menjadi lahan terbangun yang memberikan nilai ekonomi lebih tinggi, akan tetapi berdampak pada produktivitas pertanian yang semakin menurun. Hasil produksi pertanian merupakan kebutuhan dasar daerah untuk mencukupi sumber pangan penduduk. Alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhinya. Beberapa faktor tersebut adalah faktor jumlah penduduk, dan faktor fasilitas sosial dan ekonomi. Analisis dilakukan pada kedua faktor tersebut untuk dapat mengetahui seberapa besar faktor-faktor tersebut mempengaruhi terjadinya alih fungi lahan pertanian. Kabupaten Sleman dan Bantul yang memiliki luas lahan pertanian yang paling luas di Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan tumpuan penghasil pangan di wilayah DIY sendiri. Permasalahan di kedua kabupaten tersebut muncul apabila jumlah luas lahan pertanian tersebut semakin menyempit sedangkan jumlah penduduk yang ada semakin meningkat, sehingga berpotensi mengurangi ketersediaan pangan daerah. Ketersediaan pangan berpengaruh pada ketercukupan pangan suatu wilayah. Analisis keterkaitan alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian terhadap ketersediaan pangan dianggap penting dilakukan untuk mengetahui sejauh mana alih fungsi lahan yang terjadi mempengaruhi
4
ketersediaan pangan sehingga dapat digunakan sebagai bahan evaluasi berbagai pihak yang membutuhakan, baik untuk tambahan informasi maupun referensi. Berdasarkan penjelasan di atas, maka beberapa permasalahan akan dituangkan dalam pertanyaan penelitian, sebagai berikut : 1. Berapa besar alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian yang terjadi di Kabupaten Sleman dan Bantul dan apa saja faktor yang mempengaruhinya? 2. Bagaimana keadaan ketersediaan pangan di Kabupaten Sleman dan Bantul? 3. Bagaimana pengaruh alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian terhadap ketersediaan pangan di Kabupaten Sleman dan Bantul? 1.2.
Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Mengetahui besar alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian dan faktor yang mempengaruhinya di Kabupaten Sleman dan Bantul. 2. Mengetahui ketersediaan pangan di Kabupaten Sleman dan Bantul. 3. Mengetahui pengaruh alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian terhadap ketersediaan pangan di Kabupaten Sleman dan Bantul.
1.3.
Manfaat Penelitian Adapun beberapa manfaat dari penelitian ini antara lain : 1. Secara praktis penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan informasi untuk pemerintah daerah terutama untuk wilayah Kabupaten Sleman dan Bantul, terutama sebagai bahan pertimbangan pembuatan kebijakan untuk menentukan strategi ketersediaan pangan beras di setiap daerah di Kabupaten Sleman dan juga Bantul. 2. Secara teoritis, dapat memberikan informasi-informasi terkait alih fungsi lahan, faktor-faktor yang mempengaruhinya, dan hubungannya dengan ketersediaan
pangan. Melalui
penelitian ini
nantinya
diharapkan mampu melakukan pengelolaan yang baik terhadap
5
permasalahan alih fungsi lahan khusunya hubungannya dengan ketersediaan pangan daerah. 1.5.
Telaah Pustaka
1.5.1. Konsep Lahan dan Penggunaan Lahan Lahan memiliki ciri-ciri yang unik dibanding dengan sumber daya yang lain. Salah satunya adalah lahan merupakan sumberdaya yang tidak habis, namun jumlahnya tetap dan dengan lokasi yang tidak dapat dipindahkan. Utomo (1992) mengungkapkan bahwa lahan sebagai modal alami utama dan penompang segala kegiatan dan aktivitas manusia memiliki dua fungsi dasar, yaitu : 1. Fungsi kegiatan budidaya, yang berarti suatu kawasan yang dapat dimanfaatkan
untuk
berbagai
penggunaan,
seperti
permukiman,
perkebunan, hutan produksi, dan lain sebagainya. 2. Fungsi lindung, yaitu kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utamanya untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang ada, mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan, nilai sejarah serta budaya bangsa yang bisa menunjang pemanfaatan budidaya. Lahan merupakan salah satu faktor penghambat paling besar untuk mencapai ketersediaan pangan suatu daerah. Berbagai macam permasalahan mengenai lahan muncul sebagai pemicu berkurangnya produktivitas pertanian. Beberapa diantaranya adalah permasalahan mengenai ketersediaan lahan pertanian yang tidak mencukupi, penyusutan lahan pertanian, dan sulitnya pengembangan lahan pertanian baru karena berbagai kendala (Yowono, 2011). Menurut Malingreau dalam (Ritohardoyo, 2002) penggunaan lahan dapat diartikan sebagai berikut : “ Segala macam campur tangan manusia, baik secara menetap ataupun berpindah-pindah terhadap suatu kelompok sumberdaya alam dan sumberdaya buatan, yang secara keseluruhan disebut lahan dengan tujuan untuk menukupi kebutuhan baik material maupun spiritual, ataupun kebutuhan kedua-duanya”.
6
Berdasarkan pengertian diatas, dapat diungkapkan bahwa penggunaan lahan suatu daerah sangat tergantung aktivitas atau kegiatan manusia. Pola penggunaan lahan suatu wilayah mencerminkan segala kegiatan manusia dari lahan yang mendukungnya. Seiring dengan peningkatan kebutuhan manusia yang semakin beragam, seiring dengan itu pula lahan akan mengalami perubahan. Perubahan tersebut terjadi karena penggunaan lahan yang semakin meningkat oleh manusia, seperti untuk tempat tinggal, tempat melakukan usaha, tempat pemenuhan akses umum dan lain sebagainya yang menyebabkan penyempitan lahan (Harini & Pewista, 2013). 1.5.2. Alih Fungsi Lahan Laju alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi sektor pertanian. Alih fungsi lahan terjadi akibat pengaruh dari beberapa faktor yang berkaitan dengan aktivitas manusia. Sebenarnya alih fungsi lahan dilakukan hanya untuk memenuhi segala kebutuhan penduduk yang semakin lama semakin meningkat jumlahnya. Jika dilihat dari sudut pandang ekologi, adanya alih fungsi lahan dapat berdampak pada terganggunya daya dukung lingkungan. Apabila dilakukan secara terus-menerus tanpa adanya upaya pengendalian dan konservasi, hal ini akan berdampak pada terjadinya fenomena degradasi lingkungan seperti banjir, karena kurangnya daerah resapan (Lestari, 2011). Beragam pola alih fungsi lahan dapat terjadi tergantung pada kebutuhan dari usaha konversi lahan itu sendiri. Soemaryanto et al. (2001) dalam (Lestari, 2011) menyatakan jika ditinjau dari beberapa aspek, alih fungsi lahan dapat dibedakan menjadi beberapa pola. Pertama, menurut pelaku konversi yang dibedakan menjadi dua, yakni : 1) Alih fungsi lahan secara langsung oleh pemilik lahan yang bersangkutan dan 2) Alih fungsi lahan yang diawali dengan alih penguasaan. Menurut Hariyanto (2010), dalam penelitiannya menjelaskan bahwa laju perubahan penggunaan lahan cukup mencemaskan terutama untuk luas lahan pertanian yang berkurang dengan pesat, sebaliknya luas lahan untuk permukiman
7
bertambah dengan sangat pesat. Lahan merupakan salah satu faktor produksi pertanian yang selama ini menjadi pembatas tercapainya kedaulatan pangan. Permasalahan lahan pertanian yang tidak mencukupi, penyusutan lahan pertanian yang sudah tersedia, dan kesulitan pengembangan lahan pertanian baru karena berbagai kendala. Sebagai negara agraris Indonesia mampu menghasilkan bahan pangan pokok dalam jumlah besar, namun karena jumlah penduduk Indonesia yang sangat banyak, sebagian besar pangan pokok bagi penduduk Indonesia masih harus diimpor. Berdasarkan fakta terjadinya pergeseran pemanfaatan lahan tersebut, terjadinya impor dan dasar perhitungan maka diasumsikan luas areal lahan yang tersedia belum mencukupi (Indradewa, 2011). Menurut Isa (2004), ada beberapa faktor yang dapat mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian, diantaranya : 1. Faktor pependudukan, jumlah penduduk yang semakin meningkat dari tahun ke tahun memberikan dampak pada kebutuhan lahan yang semakin meningkat. Tekanan penduduk terhadap lahan juga diakibatkan oleh peningkatan taraf hidup penduduk. Peningkatan taraf hidup penduduk akan menambah intensitas kegiatan penduduk, hal ini turut berperan dalam menciptakan tambahan permintaan lahan seperti: lahan untuk lapangan golf, pusat perbelanjaan, jalan tol, tempat rekresai, dan lain sebagainya. 2. Lahan pertanian termasuk sawah adalah lahan yang paling luas terkonversi sebagai kebutuhan lahan untuk kegiatan non pertanian antara lain pembangunan real estate, kawasan industri, kawasan perdagangan, dan jasa-jasa lainnya. Lokasi pinggiran kota yang sebelumnya didominasi oleh penggunaan lahan pertanian, menjadi salah satu sasaran pengembangan kegiatan non pertanian. Hal ini terjadi karena lahan-lahan tersebut cenderung memiliki harga yang relatif murah. Selain itu keberadaan “sawah kejepit” juga menjadi salah satu pendorong lahan dapat terkonversi secara lebih mudah. Sawah kejepit yang dimaksud disini adalah suatu lahan sawah yang tidak terlalu luas yang berada di daerah lahan terbangun. Petani akan merasa untuk meakukan pengolahan sawah
8
karena keterbatasan akses, seperti akses untuk memperoleh air karena tidak tersedianya sarana irigasi, keterbatasan tenaga kerja untuk mengolah sawah, dan lain sebagainya. Beberapa keterbatasan tersebut membuat para petani lebih memilih untuk beralih profesi, karena dianggap akan lebih banyak memberikan keuntungan. 3. Faktor Ekonomi, dapat dilihat dari tingginya harga jual lahan (land rent) yang diperoleh dari aktivitas non pertanian dibanding dengan sektor pertanian. Hal ini mndorong petani untuk lebih memilih menjual lahannya. 4. Faktor Sosial Budaya, kaitannya dengan keberadaan hukum waris yang menyebabkan lahan pertanian menjadi terbagi-bagi dalam luasan yang lebih sempit (terfragmentasi), sehingga tidak memungkinkan lagi untuk diusahankan sebagai kawasan pertanian karena tidak memenuhi batas minimum skala ekonomi usaha yang menguntungkan. 5. Degradasi lingkungan, akibat dari permasalahan lingkungan yang timbul menjadi salah satu pendorong terjadinya konvesi lahan. Salah satunya adalah terjadinya kemarau panjang yang menimbulkan kekurangan air untuk pertanian terutama sawah. 6. Otonomi daerah yang mengutamakan pembangunan pada sektor yang menjanjikan memberikan keuntungan jangka pendek lebih tinggi guna meningkatakan pendapatan asli daerah (PAD) sehingga diangga kurang memperhatikan kepentingan untuk jangka panjang. 7. Lemahnya sistem perundang-undangan dan
penegak hukum (law
enforcement) dari peraturan-peraturan yang ada. Banyaknya hukum yang belum terlaksana salah satunya dapat terjadi karena belum adanya sanksi tegas yang diberikan bagi pelanggar hukum. 1.5.3. Pertumbuhan Penduduk Perkembangan
jumlah
penduduk
dunia
berkaitan
erat
dengan
perkembangan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Menurut Tomlinson (1965) dalam (Mantra, 2012) ada tiga tahapan perkembangan peradaban manusia hingga kini, diantaranya :
9
1. Zaman pertama ketika manusia mulai mempergunakan alat-alat untuk membantu kehidupannya. Hal ini membedakan dengan jelas antara Homo sapiens dengan kera. Zaman ini berlangsung selama beberapa juta tahun, dan dapat lagi dibagi menjadi jaman peralatan batu tua, batu mud dan perunggu. 2. Zaman kedua dimulai ketika manusia mulai mengembangkan usaha pertanian menetap. Zaman ini mengubah kehidupan perburuan menjadi kehidupan pertanian atau kehidupan yang sifatnya nomadis menjadi kehidupan menetap disekitar daerah pertanian. 3. Zaman ketiga adalah zaman dimulainya era industrilisasi, yaitu sekitar pertengahan abad ke-17 sesudah Masehi. Zaman ini ditandai dengan tumbuhya pusat-pusat industri, dan semakin brkembangnya kota-kota sebagai tempat permukiman manusia. Ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi dalam mengelola sumberdaya alam akan meningkat seiring dengan perkembangan jaman. Hal ini akan membuat tingkat kehidupan manusia semakin membaik. Sehingga sangat berpengaruh pada penurunan tingkat mortalitas penduduk. Pertumbuhan penduduk dalam (Statistik Indonesia, 2014) didefinisikan sebagai perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan waktu sebelumnya. Indikator pertumbuhan penduduk berguna untuk memprediksi jumlah penduduk disuatu wilayah. Dengan mengetahui jumlah penduduk di suatu wilayah pada waktu yang akan datang, kebutuhan dasar penduduk seperti kebutuhan pangan dapat diketahui, yaitu dengan melakukan proyeksi. Jumlah penduduk di masa yang akan datang akan semakin meningkat, keadaan ini akan menjadi semakin parah apabila jumlah penduduk tidak dikendalikan. Dampak dari pertumbuhan penduduk dapat dirasakan dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan akan lahan dan pangan. Peningkatan produksi pangan tidak secepat pertumbuhan penduduk, bahkan cenderung lebih menurun. Jumlah penduduk yang semakin meningkat berakibat
10
pada bertambahnya kebutuhan akan lahan, sehingga alih fungsi lahan tidak dapat dihindari lagi (Cicih, 2008). 1.5.4. Fasilitas Sosial dan Ekonomi Menurut Harsono (1992) peningkatan kebutuhan lahan suatu wilayah dapat terjadi karena adanya peningkatan keperluan untuk membangun permukiman dan industri serta pebangunan jaringan prasaranan dan berbagai fasilitas umum. Keberhasilan pembangunan fasilitas sosial dan fasilitas ekonomi mengakibatkan terjadinya peningkatan pertumbuhan penduduk di suatu wilayah. Perkembangan fasilitas banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya: geografis wilayah, sumberdaya atau potensi alam, kebijakan pemerintah, invenstasi lokal maupun asinh, komunikasi, transportasi, dan juga perkembangan sarana dan prasarana (Suparno dalam Zahra (2013)). Semakin berkembang dan bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan akan jasa pelayanan masyarakat akan juga semakin meningkat. Manusia dengan rasa puas yang tidak terbatas akan membutuhkan kenyamanan dan kemudahan dalam aktifitasnya sehari-hari. Keberadaan fasilitas sosial maupun ekonomi sebagai sarana penyedia jasa dapat bergerak di berbagai macam bidang. Seperti fasilitas pelayanan sosial yang mencakup pendidikan (TK, SD, SMP, dan SMA); kesehatan (Rumah sakit, Puskesmas, Poliklinik/Pustu, Posyandu, Polindes, Apotek); air bersih (PAM, air, sumur, sungai/danau, membeli air minum); perumahan (perumahan permanen, semi permanen, tidak permanen, dan bukan tempat tinggal), rumah ibadah (masjid, mushala, pura, gereja, wihara) dan fasilitas pelayanan ekonomi yang mencakup: bank, pasar, koperasi, pertokoan, dan kedai (Rahardjo dalam Zahra (2013)). 1.5.5. Kebutuhan Pangan Kebutuhan pangan adalah salah satu kebutuhan asasi manusia. Pada awalnya manusia melakukan budidaya pertanian hanya untuk mencukupi kebutuhan dirinya sendiri. Berkembangnya pengetahuan dan kebutuhan terhadap barang-barang lain yang tidak dapat dipenuhinya sendiri mencipatakan perkembangan sistem baru yaitu barter yang kemudian berkembnag menjadi
11
sistem perdagangan hingga saat ini. Oleh karena itulah, budidaya pertanian untuk menghasilkan pangan akhirnya tidak hanya ditujukan untuk mencukupi kebutuhan sendiri, melainkan juga untuk kegiatan perdagangan (Yuwono, 2011). Pangan merupakan kebutuhan pokok disamping kebutuhan sandang dan papan di dalam kehidupan manusia. Sejak awal keberadaan manusia di muka bumi, pagan menjadi tujuan utama untuk memperolehnya (Atmosudiro, 2010). Kebutuhan pangan akan selalu meningkat selaras dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Pemerintah bersama masyarakat perlu menentukan kebijakan pangannya secara mandiri dan berkelanjutan. Secara prinsip hal ini dapat dilakukan dengan adanya kemampuan pemenuhan kebutuhan pangan tanpa tergantung pada pihak luar atau berbasis sumberdaya lokal (Darwanto, 2010). Manusia membutuhkan pangan untuk dapat hidup, tumbuh, dan berkembang. Kebutuhan pangan akan tercapai apabila ada ketersediaan pangan yang melimpah. Kebutuhan dan ketersediaan pangan menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan apabila kita membicarakan tentang ketercukupan pangan. Makanan dan kandungannya yang dimakan dan dibutuhkan manusia dalam jumlah tertentu untuk melangsungkan kehidupan agar mampu berkembang dan beraktivitas disebut sebagai kebutuhan pangan (Prasetiyani & Widiyanto, 2013). Beras merupakan bahan pemenuh kebutuhan pangan yang paling pokok lebih dari setengah penduduk dunia. Konsumsi beras dapat menyumbang asupan kalori lebih dari 20 %. Beras juga merupakan kebutuhan pangan pokok bagi lebih dari 90% penduduk di Indonesia. Berdasarkan data hasil Susenas-BPS konsumsi beras perkapita cenderung menurun (lihat Tabel 1.2.).
12
Tabel 1.2. Perkembangan Konsumsi Bahan Makanan yang Mengandung Beras di Rumah Tangga Menurut Hasil Susenas, 2002-2013 serta Prediksi 2014-2016 Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Rata-rata 2014*) 2015*) 2016*)
Konsumsi (kg/kapita/minggu) (kg/kapita/tahun) 2,0656 107,7057 2,0789 108,4018 2,052 106,9991 2,019 105,277 1,9945 103,998 1,9188 100,0507 2,0116 104,8909 1,9603 102,2146 1,9321 100,7453 1,9728 102,8661 1,8727 97,6455 1,868 97,4045 1,9789 103,1833 1,8732 97,6715 1,862 97,0881 1,8512 96,5259
Pertumbuhan (%) 0,65 -1,29 -1,61 -1,21 -3,8 4,84 -2,55 -1,44 2,11 -5,08 -0,25 -0,88 0,27 -0,6 -0,58
Sumber : Buletin Konsumsi Pangan tahun 2014
Selama sepuluh tahun terakhir terjadi penurunan konsumsi beras dari sebesar 107,71 kg/kapita/tahun pada tahun 2002 menjadi sebesar 97,65 kg/kapita/tahun pada tahun 2012. Produksi beras dalam negeri dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, di sisi lain pertumbuhan penduduk Indonesia melaju dengan cepat,yakni sebesar 1,49 % pertahun (periode tahun 1990-2000). Dengan keadaan ini maka total konsumsi domestik beras Indonesia akan terus mengalami peningkatan walaupun per kapitanya menunjukkan penurunan (Respati E, dkk. 2014). Perkembangan konsumsi bahan makanan yang mengandung beras di rumah tangga menurut hasil Susenas dapat dilihat pada Tabel 1.2. 1.5.6. Ketersediaan Pangan Masalah pangan merupakan salah satu aspek penting bagi setiap negara di seluruh dunia. Teori klasik yang dicetuskan Malthus dalam (Mulyo & Sugiyarto, 2010) menyatakan bahwa akan sulit untuk mempridiksi kebutuhan pangan di masa depan. Penyediaan kebutuhan pangan akan sulit dicapai melihat
13
perkembangan jumlah penduduk yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Secara singkatnya kecukupan pangan suatu daerah berkaitan erat dengan aspek produksi atau ketersediaan pangan dengan jumlah penduduk. Ketersediaan pangan merupakan salah satu faktor yang menjadi barometer penting untuk melihat ketahanan pangan suatu wilayah. Ketahanan pangan yang berkelanjutan merupakan salah aspek yang perlu dipertahankan dalam suatu wilayah. Ketahanan pangan dalam arti sempit merupakan jumlah makanan yang cukup tersedia, dari tingkat global, nasional, masyarakat, hingga rumah tangga. Awalnya istilah ketahanan pangan didefinisikan dalam International Confrence in Nutrition (FA/WHO Tahun 1992) adalah untuk menggambarkan akses pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan. Hingga diperluas definisinya dengan ditambahkan persyaratan penerimaan pangan sesuai dengan nilai dan budaya setempat. Definisi ini disepakati pada World Food Summit Tahun 1996 (Per & Andersen, 2009) Ketersediaan pangan salah satunya dapat dilihat dari produksi lokal yang dihasilkan pada suatu wilayah, yakni pada komoditas pangan utama yaitu padi. Ketersediaan pangan nantinya dapat menjadi kunci utama dalam penetuan masa depan ketahanan pangan di Indonesia (Prasetiyani & Widiyanto, 2013). Ketersediaan bahan pangan yang semakin tergantung pada impor kenyataannya menurunkan motivasi petani untuk meningkatkan produksi bahan pangan karena harga produk yang semakin rendah (Darwanto, 2010). Ketersediaan pangan perkapita merupakan rasio dari jumlah beras yang tersedia dan siap dikonsumsi sebagai bahan makanan dengan jumlah penduduk (Respati E, dkk. 2014). Beras sebagai makanan pokok masyarakat Indonesia, memegang peranan yang sangat besar terhadap ketersediaan pangan nasional. 1.6.
Penelitian Sebelumnya Penelitian sebelumnya merupakan kumpulan dari penelitian yang sudah
dilakukan yang berkaitan dengan fenomena alih fungsi lahan dan ketersediaan pangan.
Permasalahan
mengenai
ketersediaan
pangan
sedang
memjadi
pembicaraan yang hangat saat ini, tidak heran jika banyak penelitian tentang topik
14
ini yang dilakukan oleh para peneliti sebelumnya. Penelitian mengenai alih fungsi lahan dan ketersediaan pangan telah sering dilakukan secara mendalam hingga menganalisis pada faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan. Metodenya pun bervariatif, ada yang menggunakan data sekunder ataupun data primer melalui wawancara di lapangan. Pada peneitian terdahulu, banyak menggunakan variabel independen seperti jumlah penduduk, karakteristik sosialekonomi, jumlah fasilitas umum, PDRB dan PDRB non pertanian, harga lahan, dan lain sebagainya. Penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan dan mengangkat tema alih fungsi lahan dan ketersediaan pangan adalah Pengaruh Konversi Lahan Pertanian Terhadap Produksi Padi Di Kabupaten Asahan (Addhitama A, 2009). Perbedaan penelitian ini terletak pada lokasi, variabel, dan metode yang berbeda. Penelitian sebelumnya mencari hubungan antara pengaruh alih fungsi lahan dengan produksi padi, dan tidak menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya. Perbedaan yang lainnya adalah penelitian sebelumnya menganalisis trend menggunakan proyeksi, sedangkan penelitian ini tidak. Penelitian sebelumnya dengan tema dampak kejadian konversi lahan pertanian terhadap produksi padi dan land rent juga telah dilakukan oleh Maulana (2009). Perbedaan antara penelitian sebelumnya dengan penelitian ini adalah, selain menggunakan data sekunder penelitian ini juga menggunakan data primer. Pengambilan data primer dilakukan dengan wawancara (purposive sampling). Perbedaan yang lain adalah perbedaan mengenai variabel yang digunakan. Perbedaan yang paling mendasar adalah lokasi kajian yang digunakan. Penelitian sebelumnya lokasi kajiannya di Kota Bogor, sedangkan penelitian ini menggunakan lokasi kajian di Kabupaten Sleman dan Bantul. Penelitian sebelumnya juga telah dilakukan oleh Afrianto D (2010). Penelitian sebelumnya ini bertemakan mengenai analisis pengaruh stok beras, luas panen, rata-rata produksi, harga beras, dan jumlah konsumsi beras terhadap ketahanan pangan di Jawa Tengah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode regresi data panel. Data yang digunakan data sekunder. Perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini adalah dalam
15
penelitian ini tidak mencari hubungan antara alih fungsi lahan pertanian dengan ketersediaan pangan. Penelitian sebelumnya hanya menganalisis tentang menganalisis pengaruh stok beras, luas panen, rata-rata produksi, harga beras, dan jumlah konsumsi beras terhadap ketahanan pangan di Provinsi Jawa Tengah. Nugraheni (2010) melakukan penelitian yang serupa tentang alih fungsi lahan pertanian. Penelitiannya berjudul “Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian di Desa Ngestiharjo, Kecamatan Kasihan, Bantul”. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder, dengan metode yang digunakan adalah metode crosstab. Perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini adalah penelitian sebelumnya tidak mencari keterkaitan antara alih fungsi lahan pertanian dengan ketersediaan pangan, melainkan dengan keberlangsungan usaha tani disana. Lokasi penelitian juga jelas berbeda, lokasi penelitian sebelumnya hanya pada skala desa, yaitu di Desa Ngestiharjo, Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul. Astuti (2011) juga melakukan penelitian yang hampir sama mengenai alih fungsi lahan pertanian. Perbedaan antara penelitian sebelumnya dengan penelitian ini terletak pada perbedaan variabel yang digunakan. Penelitian sebelumnya mencari keterkaitan antara aih fungsi lahan pertanian dengan harga lahan. Lokasi penelitian yang digunakan juga berbeda. Penelitian sebelumnya berada di Desa Tugu Utara dan Kelurahan Cisarua, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Perbedaan metode juga jelas terlihat, penelitian sebelumnya menggunakan metode parsial dan kontinum,korelasi pearson dan regresi linear berganda, dengan data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Berikut merupakan kumpulan penelitian terdahulu yang berkaitan dengan alih fungsi lahan dan ketersediaan pangan.
16
Tabel 1.3. Perbandingan Penelitian Terdahulu dengan Penelitian Sekarang Peneliti (tahun) Akbar Addhitama (2009)
Judul Pengaruh Konversi Lahan Pertanian Terhadap Produksi Padi Di Kabupaten Asahan
Lokasi penelitian Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara
Tujuan
Metode
Hasil penelitian
1.Menganalisis pemanfaatan lahan di Kabupaten Asahan 2. Menganalisis trend luas lahan pertanian pada tahun 2020 di Kabupaten Asahan 3. Menganalisis trend produksi padi pada tahun 2020 di Kabupaten Asahan 4. Menganalisis pengauh konversi lahan sawah terhadap produksi padi di Kabupaten Asahan
Kuantitatif, analisis deskriptif, ramalan (forecasting) dengan menggunakan analisa regresi linear sederhana
1. Pemanfaatan lahan di Kabupaten Asahan dibagi menjadi 4 jenis, yaitu: Tanah kering (328.314,07 ha); bangunan besar (51.795,96)ha; tanah sawah (45.870,81) ha; dan lain-lain (36.878,16) ha. 2.Luas lahan pertanian pada tahun 2020 diramalkan sebesar 334.351,64 ha. 3.Produksi padi pada tahun 2020 diramalkan sebesar 149.989 ton. 4. Konversi lahan sawah berpengaruh nyata terhadap produksi padi di Kabupaten Asahan.
17
Irvan Maulana Analisis Dampak Sadikin Konversi Lahan (2009) Pertanian terhadap prpduksi padi dan Land rent (Kasus Perumahan Pakuan Regency, Bogor Barat, Kota bogor)
Perumahan Pakuan Regency, Bogor Barat, Kota Bogor
1. Menjelaskan faktor-faktor yang mendorong Pemerintahan Kota Bogor Mengkonversi laan pertanian menjadi lahan permukiman. 2.Menjelaskan dan menghitung dampak pembangunan perumahan Pakuan Regency terhadap hilangnya produksi padi dan pemasukan petani dari usaha tani. 3.Menjelaskan dan menghitung perbandingan nilai land rent sebelum dan sesudah dibangunnya perumahan Pakuan Regency. 4.Menjelaskan pengaruh faktor-faktor land rent terhadap (land rent) pada lahan pertanian dan lahan permukiman Pakuan Regency.
18
Data primer dan data sekunder, wawancara (purposive sampling)
1. Faktor-faktor pendorong Pemerintah Kota Bogor mengeluarkan izin pembangunan permukiman: meningkatkan kualitas permukiman, pemenuhan kebutuhan perumahan, visi Kota Bogor sebagai kota permukiman, dan kontribusi terhadap PDRB 2. Dampak yang timbul akibat pembangunan perumahan Pakuan Regency adalah jumlah pendapatan hilang sebesar Rp. 1.141.760.000,00 per tahun. 3. Berdasarkan nilai rill, land rent permukiman lebih besar 71,68 kali dibandingkan dengan land rent pertanian. 4. Luas lahan dan biaya operasional berpengaruh negatif terhadap land rent pertanian dan variabel penerimaan berpengaruh positif. Sedangkan land rent pemukiman dipengaruhi secara negatif oleh variabel luas lahan, biaya operasional dan pajak, sedangkan variabel luas bangunan dan total penerimaan berpengaruh positif.
Denny Afrianto (2010)
Analisis Pengaruh Stok Beras, Luas Panen, Rata-rata Produksi, Harga Beras, dan Jumlah Konsumsi Beras Terhadap Ketahanan Pangan di Jawa Tengah
Provinsi Jawa Tengah
1. Mengaukur dan menganalisis pengaruh stok beras, luas panen, rata-rata produksi, harga beras, dan jumlah konsumsi beras terhadap ketahanan pangan di Provinsi Jawa Tengah.
Data sekunder, kuantitatif, metode regresi data panel.
Herawati Nugraheni (2010)
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Pertanian di Desa Ngestiharjo, Kecamatan Kasihan, Bantul
Desa Ngatiharjo, Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta
1. Mengetahui karakteristik sosial, ekonomi, dan demografi yang melakukan alih fungsi lahan di Desa Ngestiharjo 2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi penggunaan lahan pertanian di Desa Ngestiharjo 3. Mengetahui hubungan antara luas lahan pertanian yang dimiliki petani dengan keberlangsungan usaha tani.
Data primer dan data sekunder; wawancara terstruktur; Tabel silang
19
1.Hasil regresi diketahui bahwa stok berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap rasio ketersediaan beras, luas panen dan rata-rata produksi berpengaruh positif dan signifikan terhadap rasio ketersediaan beras, harga beras berpengaruh negatif tap tidak signifikan terhadap rasio ketersediaan beras, dan jumlah konsumsi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap rasio ketersediaan beras 1. Karakteristik eknomi yaitu pedapatan pokok per bulan berhubungan dengan keinginan petani menglih fungsikan lahan pertanian. Makin tinggi pendapatan pokok perbulan makin rendah keinginan petani mengalih fungsikan lahan pertanian kembali dalam waktu dekat. 2. Lokasi pertanian yang sebagian berada di pinggir jalan yang dapat dilalui roda empat, aksesibilitas yang mudah harga jual lahan pertanian yang tinggi, dan kebijakan alih fungsi lahan yang tidak diketahui sebagian besar petani merupakan berbagai faktor yang menyebabkan tinginya alih ungsi lahan pertanian di Desa Ngestiharjo. 3. Luas lahan pertanian berbanding lurus terhadap keberlangsungan usaha
pertanian, makin luas lahan pertanian makin rendah keinginan petani untuk mengalih fungsikan lahan pertanian yang artinya keberlangsungan usaha tani akan makin tinggi. Desi Irnalia Astuti (2011)
Keterkaitan Harga Lahan Terhadap Laju Konversi Lahan Pertanian di Hulu Sungai Ciliwung Kabupaten Bogor
Desa Tugu Utara dan Kelurahan Cisarua, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.
1.Mengidentifikasi laju konversi lahan di Kecamatan Cisarua 2.Menganalisis harga lahan terhadap laju konversi lahan pertanian di Kecamatan Cisarua 3. Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi penduduk dalam mengkonversi lahan di hulu sungai
20
Sumber data : data primer dan data sekunder; wawancara; stratified random sampling; metode parsial dan kontinum; korelasi pearson; regresi linear berganda.
1. Tren laju konversi lahan di Kecamatan Cisarua tahun 2001-2010 terus mengalami peningkatan. 2. Harga lahan di tingkat Kecamatan Cisarua pada tahun 2001-2010 berhubungan positif terhadap konversi lahan. Laju konversi semakin tinggi karena kenaikan harga lahan lebih murah dibandingkan dengan daerah asal mayoritas pembeli yaitu Jakarta. 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penduduk pada tingkat rumah tangga dalam mengkonversi lahan adalah harga lahan, jumlah tanggungan, pendapatan dan luas lahan yang dimiliki saat menjual.
Happy Rizkiani (2014)
Hubungan Alih Fungsi Lahan Pertanian Sawah dengan Ketersediaan Pangan di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul DIY
Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul
1.Mengetahui besar perubahan alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian yang terjadi di Kabupaten Sleman dan Bantul dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. 2.Mengetahui ketersediaan bahan baku pangan di Kabupaten Sleman dan Bantul. 3.Mengetahui pengaruh alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian terhadap ketersediaan bahan pangan di Kabupaten Sleman dan Bantul.
21
Data Sekuder; Analisis menggunakan: persamaan laju konversi lahan, dan tabel silang (crosstab)
1. Kabupaten Sleman dan Bantul selama sepuluh tahun (2004-2013) mengalami alih fungsi lahan pertanian sawah sebesar 632 hektar dan 608 hektar. 2. Kabupaten Sleman dan Bantul memiliki ketersediaan pangan surplus di sepanjang tahun (20042013) 3. Berdasarkan uji Korelasi Product Moment didapatkan bahwa tidak ada hubungan signifikan antara alih fungsi lahan pertanian sawah dengan ketersediaan pangan di Kabupaten Sleman dan Bantul. Baik Kabupaten Sleman maupun Bantul memiliki produktivitas pertanian yang meningkat, meskipun telah telah terjadi penurunan luas lahan pertanian. Hasil ini bisa terjadi karena adanya intensifikasi pertanian yang baik melalui peningkatan frekuensi panen.
1.7.
Kerangka Pemikiran Pemanfaatan lahan secara umum dibagi menjadi dua yaitu, lahan pertanian
dan lahan non pertanian. Terjadinya alih fungsi lahan pertanian salah satunya dipengaruhi oleh peningkatan jumlah penduduk yang kemudian diimbangi dengan peningkatan kebutuhan lahan untuk berbagai fasilitas sosial dan ekonomi. Berdasarkan keadaan tersebut, ada 2 faktor pengaruh alih fungsi lahan pertanian yang dirumuskan dalam penelitian ini. Beberapa faktor tersebut adalah faktor jumlah penduduk, dan faktor fasilitas sosial dan ekonomi. Faktor jumlah penduduk di dapatkan dari banyak penduduk yang yang tinggal dan menetap di suatu daerah. Faktor fasilitas sosial dan ekonomi
merupakan segala fasilitas
pelayanan yang dibutuhkan masyarakat dalam lingkungan hidup tempat mereka tinggal. Faktor jumlah penduduk, faktor fasilitas sosial dan ekonomi sebenarnya saling berhubungan.
Faktor fasilitas sosial dan ekonomi dianggap mampu
mempengaruhi terjadinya penurunan luas lahan pertanian, karena semakin banyak fasilitas pelayanan yang tersedia pada suatu wilayah akan mendorong sejumlah penduduk untuk tinggal dan menetap disana. Penduduk yang tinggal jelas membutuhkan lahan untuk tempat hidup mereka, salah satunya lahan untuk pembangunan permukiman. Kombinasi kedua faktor tersebut saling berkaitan sehingga membuat lahan yang semula dipergunakan sebagai kawasan pertanian berangsur mulai berubah banyak ke pemanfaatan lainnya atau mengalami konversi lahan. Konversi lahan pertanian mengakibatkan penurunan luas lahan pertanian dan penambahan luas lahan non pertanian. Penurunan luas lahan pertanian berakibat pada ketersediaan lahan pertanian yang ada. Ketersediaan lahan pertanian jelas mempengaruhi produksi pangan yang dihasilkan. Kebutuhan pangan dapat dilihat dari kebutuhan kalori yang harus dipenuhi oleh setiap penduduk. Untuk pengukuran kebutuhan pangan daerah dibutuhkan variabel jumlah penduduk. Selisih antara produksi pangan dengan kebutuhan pangan nantinya akan mengahsilkan nilai ketersediaan pangan. Penelitian ini mencari keterkaitan antara besar laju konversi lahan dengan ketersediaan pangan di Kabupaten Sleman dan juga Kabupaten Bantul. Ilustrasi kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.1. 22
LAHAN
Lahan Pertanian
Lahan Non Pertanian
Faktor Penentu Alih Fungsi Lahan Pertanian : Jumlah Penduduk Ketersediaan fasilitas sosial dan ekonomi
Penurunan Luas Lahan Pertanian
Konversi Lahan
Hubungan alih fungsi lahan dengan ketersediaan pangan
Ketersediaan Lahan Pertanian
Jumlah Penduduk
Produksi Bahan Pangan
Kebutuhan Pangan
Ketersediaan Pangan
= Hubungan = Dampak Gambar 1.1. Skema Kerangka Penelitian 23
1.8.
Batasan Operasional Batasan operasional dibuat untuk menghindari adanya bermacam-macam
tafsir ketika penelitian dilakukan. Batasan operasional yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Alih fungsi lahan merupakan suatu perubahan fungsi lahan pertanian ke lahan non pertanian. Dalam penelitian ini lahan pertanian yang dimaksud berupa lahan sawah yang memproduksi padi, sedangkan lahan non pertanian juga mencakup lahan bukan sawah di dalamnya. 2. Fasilitas sosial dan ekonomi merupakan fasilitas pelayanan yang dibutuhkan masyarakat di lingkungan tempat tinggal mereka. Dalam penelitian ini faktor fasilitas sosial dan ekonomi didapatkan dari beberapa data fasilitas pelayanan, yaitu: fasilitas di bidang kesehatan, perdagangan, perhotelan, dan perbankan. Semakin tinggi jumlah fasilitas sosial dan ekonomi di suatu wilayah, akan menarik minat penduduk untuk datang mendekat dan mendirikan tempat tinggal di wilayah tersebut. 3. Jumlah penduduk adalah semua orang yang berdomisili di suatu wilayah atau mereka yang telah tinggal dan berniat untuk menetap. Jumlah penduduk merupakan gabungan antara jumlah penduduk lakilaki dan perempuan. Satuan yang digunakan adalah (jiwa). Semakin tinggi jumlah penduduk suatu wilayah, semakin banyak juga lahan yang dibutuhkan untuk mendirikan tempat tinggal mereka. 4. Ketersediaan pangan merupakan selisih antara persediaan beras dengan kebutuhan beras di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul. Ketersediaan pangan bisa digolongkan menjadi dua nilai, yaitu surplus dan defisit. Surplus terjadi ketika persediaan beras lebih besar daripada kebutuhan beras, sedangkan defisit terjadi ketika nilai kebutuhan beras lebih besar daripada persediaan beras maka ketersediaan beras dinyatakan defisit (kurang). 5. Persediaan pangan merupakan produksi beras secara bersih. Satuan yang digunakan adalah (ton).
24
6. Kebutuhan pangan merupakan jumlah kebutuhan pangan rata-rata beras penduduk Kabupaten Sleman dan Bantul. Nilai kebutuhan beras didapatkan dari perkalian antara jumlah penduduk dengan jumlah konsumsi pangan beras rata-rata penduduk.
25