BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pada akhir tahun 2013 hingga awal tahun 2014 Indonesia dilanda berbagai
bencana alam meliputi banjir, tanah longsor, amblesan tanah, erupsi gunung api, dan gempa bumi dimana bencana banjir banyak terjadi di Pulau Jawa. Secara khusus Pulau Jawa termasuk wilayah yang rawan akan kejadian alam hidrometerologi seperti banjir, kekeringan, dan tanah longsor dimana kejadian ini nyaris menjadi sebuah kewajaran bagi Pulau Jawa (Kementerian Kehutanan, 2012). Kejadian banjir ditinjau dari faktor alam erat kaitannya dengan curah hujan tinggi dan kondisi DAS (Daerah Aliran Sungai) di suatu wilayah (Asdak, 1995). Kondisi DAS sangat menentukan proses hidrologi yang terjadi. DAS yang tidak dikelola dengan baik utamanya pada bagian hulu akan menyebabkan berbagai permasalahan hidrologi seperti banjir. DAS Bogowonto merupakan salah satu DAS yang sering terjadi banjir. DAS Bogowonto mencakup sebagian dari empat daerah administrasi kabupaten yaitu Magelang, Kulon Progo, Purworejo, dan Wonosobo. Menurut Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak, tercatat kejadian banjir di DAS Bogowonto pada bulan November 2008, Januari 2009, serta Februari, April, dan November 2011. Adapun kejadian banjir di DAS Bogowonto juga terjadi pada tanggal 1 Januari 2012 (beritasatu.com) dan 20 Desember 2013 (tribunjogja.com). Keseluruhan kejadian banjir tersebut disebabkan oleh meluapnya Sungai Bogowonto yang dipicu oleh hujan deras. Daerah yang terendam banjir mencakup beberapa desa di Kecamatan Purworejo, Purwodadi dan Bagelen. Kejadian banjir yang terjadi di DAS Bogowonto tidak hanya pada tahun 2008-2013, tetapi pada akhir abad ke 19 DAS Bogowonto juga telah sering dilanda banjir. Jika ditinjau dari morfometrinya, DAS Bogowonto memiliki bentuk DAS yang memanjang. Bentuk DAS memanjang dan sempit seharusnya menjadi daerah tangkapan hujan yang baik karena waktu pembentukan debit
1
puncak yang lebih lambat dan volume yang lebih kecil dibandingkan bentuk DAS melebar. Hal ini dikarenakan pada bentuk DAS memanjang diperlukan waktu yang lebih lama bagi air hujan hingga mencapai titik outlet (Asdak, 2010). Namun, pada kenyataannya DAS Bogowonto justru sering dilanda banjir karena cepatnya pembentukan debit banjir. Menurut data permasalahan-permasalahan di DAS Bogowonto oleh Balai Pengelolaan DAS Serayu Opak Progo (2013), permasalahan utama DAS Bogowonto yaitu adanya kerusakan lingkungan, berkurangnya tutupan vegetasi dan daerah resapan air hujan sehingga diperkirakan limpasan dan debit puncak dalam DAS meningkat dan berakibat terjadinya banjir di bagian hilir DAS. Akibatnya, terjadi kerugian yang cukup besar bagi masyarakat maupun pemerintah. Dampak langsung yang dapat dirasakan yaitu pergerakan dan aktivitas masyarakat menjadi terhambat karena jaringan jalan terendam aliran banjir dan tentunya hal ini mengakibatkan kerusakan infrastruktur jalan pula. Disamping itu, daerah dalam DAS Bogowonto juga menjadi penghubung transportasi darat antarprovinsi sehingga jika jaringan jalan provinsi terhambat maka hubungan antarprovinsi akan terganggu. Kondisi tersebut perlu diatasi agar tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Bambang Triatmodjo pada tahun 1998 bahwa DAS Bogowonto termasuk dalam prioritas pengelolaan DAS ke dua. Sejak tahun 1998 DAS Bogowonto sudah dikategorikan dalam urutan ke dua prioritas pengelolaan DAS sehingga mengindikasikan bahwa DAS tersebut tidak sehat. Kemudian pada tahun 2005 berdasarkan SK Menhut No : 346/Menhut-V/2005 DAS Bogowonto ditetapkan sebagai prioritas pertama. Empat tahun berikutnya DAS Bogowonto tetap termasuk dalam prioritas pertama berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 328/Menhut-II/2009. Dengan demikian dalam kurun waktu 11 tahun tersebut kondisi DAS Bogowonto justru semakin buruk. Adapun kejadian banjir terakhir yang terjadi dalam waktu terdekat ini yaitu pada bulan 20 Desember 2013 dan awal Januari 2014. Seluruh kejadian banjir tersebut tidak terlepas dari peran setiap sub DAS di DAS Bogowonto dalam merespons curah hujan mengingat setiap sub DAS memiliki karakteristik fisik lahan yang berbeda.
2
Pada sistem DAS yang terdiri atas sub-sub DAS tentu dibutuhkan pengelolaan DAS yang terpadu yang dimulai dari sistem DAS itu sendiri. Oleh karenanya, pemetaan koefisien limpasan pada sub-sub DAS Bogowonto dan estimasi debit puncak DAS Bogowonto pada 20 Desember 2013 merupakan salah satu bentuk upaya kontribusi dalam pengelolaan DAS khususnya untuk mengetahui sub DAS yang paling berkontribusi terhadap kejadian banjir di DAS Bogowonto akhir tahun 2013. Atas ketersediaan data penginderaan jauh yang melimpah dan keterbatasan ketersediaan data koefisien limpasan dan debit puncak maka aplikasi penginderaan jauh dan SIG (Sistem Informasi Geografis) merupakan solusi tepat untuk perolehan data-data koefisien limpasan per sub DAS dan debit puncak DAS Bogowonto secara lebih efisien dan efektif dibandingkan dengan pengukuran di lapangan. Pengukuran di lapangan maupun hasil pencatatan alat hanya menghasilkan data debit saja, sedangkan perolehan debit puncak dengan mengaplikasikan penginderaan jauh dan SIG diketahui pula kondisi fisik lahan DAS yang meliputi koefisien limpasan, intensitas hujan, dan luas DAS/sub DAS. Kelebihan lain yang unggul dari penginderaan jauh yaitu dapat menyediakan data rekaman permukaan bumi secara temporal sehingga dapat diterapkan untuk analisis kejadian pada waktu yang telah lalu atau untuk prediksi kejadian di masa mendatang. Di sisi lain, SIG berperan dalam manajemen data, manipulasi data, dan analisis data utamanya analisis tumpangsusun untuk menghasilkan peta koefisien limpasan secara khusus dan dalam proses pengolahan keseluruhan peta secara umum. Citra Landsat 8 merupakan salah satu produk penginderaan jauh yang dapat dimanfaatkan untuk analisis hidrologi. Pemanfaatan citra Landsat 8 ini bertujuan untuk dapat melihat sudut pandang keruangan yang lebih luas. Citra Landsat 8 menggunakan 11 saluran dalam proses perekamannya dan memiliki keunggulan pada keaktualan data dimana landsat 8 diluncurkan pada 11 Februari 2013 sehingga cukup sesuai digunakan untuk perolehan data penutup lahan/penggunan lahan aktual. Adapun keunggulan lain yang dimiliki yaitu adanya peningkatan sensitifitas dari yang semula setiap piksel memiliki kuantifikasi 8 bit pada versi Landsat sebelumnya menjadi 12 bit pada Landsat 8
3
membuat tampilan citra Landsat 8 lebih representatif dalam menampilkan perbedaan antarobyek di permukaan bumi (landsat.gsfc.nasa.gov). Oleh karenanya, citra ini juga dimanfaatkan untuk perolehan batas DAS dan Sub-Sub DAS Bogowonto. Kejadian banjir dalam DAS Bogowonto tidak terlepas dari kontribusi subsub DAS di dalamnya dimana setiap sub DAS memiliki kualitas yang berbedabeda utamanya dalam menyuplai limpasan permukaan ke badan sungai sehingga berpengaruh terhadap nilai debit puncak. Debit puncak memegang peranan yang sangat penting dalam analisis banjir sehingga estimasi debit puncak per sub DAS perlu diketahui. Metode yang digunakan untuk estimasi debit puncak adalah metode rasional. Metode rasional relatif mudah digunakan, tetapi penggunaannya lebih diperuntukan pada DAS dengan ukuran kurang dari 10.000 ha. Metode ini telah banyak diterapkan untuk estimasi debit puncak, seperti pada penelitian Sudaryatno yang dimuat dalam Majalah Geografi Indonesia (2002), kemudian Ramadhani (2013), Zakarya (2012), dan Mardiyanto (2009) dalam tesisnya. Seluruh penelitian tersebut menggunakan data penginderaan jauh sebagai sumber data untuk ekstraksi parameter-parameter fisik dalam DAS dimana sebagian besar menggunakan citra Landsat karena kemudahan perolehan data dan kemampuan mutliresolusinya. Metode rasional mengasumsikan bahwa hujan jatuh merata di seluruh DAS dengan waktu banjir sama dengan waktu konsentrasi. Adapun variabel-variabel yang dipertimbangkan dalam perolehan nilai debit puncak yaitu koefisien limpasan, intensitas hujan, dan luas DAS. Nilai koefisien limpasan diperoleh menggunakan Metode Cook, intensitas hujan menggunakan rumus Mononobe, dan batas DAS/sub DAS untuk perhitungan luas diperoleh dari integrasi analisis interpretasi visual citra Landsat dengan jaringan sungai. Metode Cook merupakan salah satu metode perhitungan nilai koefisien limpasan permukaan yang melibatkan variabel kemiringan lereng, kerapatan vegetasi, kerapatan alur, dan laju infiltrasi. Variabel-variabel yang dapat diidentifikasi dari citra Landsat 8 yaitu kerapatan vegetasi yang diperoleh dari pendekatan penutup lahan dan batas DAS/sub DAS. Pengaruh dari setiap variabel
4
tersebut berbeda-beda sehingga setiap variabel memiliki skor yang berbeda sesuai dengan tingkat pengaruhnya terhadap koefisien limpasan. Sedangkan variabel intensitas hujan yang dipertimbangkan dalam perolehan nilai debit puncak terkait erat dengan jumlah hujan yang turun beserta distribusinya dan waktu konsentrasi yang mengindikasikan waktu perjalanan air hingga mencapai outlet. Variabel intensitas hujan untuk analisis hujan rata-rata kawasan secara khusus menggunakan Metode Isohyet. Metode tersebut sesuai digunakan untuk daerah yang
memiliki
relief
beragam
dan
cenderung
didominasi
oleh
perbukitan/pegunungan seperti DAS Bogowonto. Dengan demikian aplikasi penginderaan jauh dan SIG untuk estimasi debit puncak tersebut diharapkan mampu melengkapi kekurangan data-data hidrologi secara lebih cepat, efisien, dan akurat yang bermanfaat sebagai masukan untuk pengelolaan DAS utamanya untuk mengatasi permasalahan banjir di DAS Bogowonto.
1.2
Perumusan Masalah Kemajuan teknologi penginderaan jauh dan SIG memberi kontribusi besar
terhadap perkembangan analisis spasial secara lebih efektif dan efisien. Kemampuan data penginderaan jauh dalam merekam kenampakan muka bumi dengan konsep multiresolusi menjadi keunggulan tersendiri untuk memberikan sudut pandang yang lebih luas mengenai kenampakan muka bumi dan ekstraksi berbagai objek di muka bumi sehingga dapat mendukung berbagai analisis spasial utamanya
analisis
hidrologi.
Adapun
SIG
unggul
dalam
manajemen,
penyimpanan, analisis, dan manipulasi data keruangan. Melalui integrasi data penginderaan jauh dan SIG maka analisis hidrologi yang mencakup pemetaan nilai koefisien limpasan di sub-sub DAS Bogowonto dan estimasi debit puncak DAS Bogowonto diharapkan dapat menghasilkan luaran yang optimal. Dalam hal ini, citra Landsat 8 digunakan untuk ekstraksi penutup lahan sebagai pendekatan untuk perolehan kerapatan vegetasi. Selain itu, citra Landsat juga digunakan untuk penentuan batas DAS dan sub-sub DAS. Kemudian SIG berperan penting dalam analisis tumpangsusun untuk pembuatan peta koefisien limpasan, analisis intensitas hujan serta penyajian peta secara keseluruhan. Namun, kemampuan
5
citra Landsat 8 dan SIG tersebut perlu diketahui tingkat ketelitiannya yang dapat mencerminkan kualitas dan kredibilitas dari luaran penelitian ini. Koefisien limpasan dan debit puncak dapat menjadi tolak ukur atas rusaknya sebuah sub DAS/DAS dimana hal ini terkait erat dalam menentukan kejadian banjir di bagian hilir DAS. Secara lebih khusus, analisis ini dilakukan untuk mengetahui sub DAS yang paling berkontribusi dalam menyuplai air terhadap kejadian banjir di DAS Bogowonto pada akhir tahun 2013. Luaran yang dihasilkan dari integrasi citra Landsat 8 tahun 2013 dan SIG ini divisualisasikan ke dalam bentuk peta sebagai upaya untuk memberikan sudut pandang keruangan yang lebih luas dan dapat memberikan kemudahan dalam analisis distribusi koefisien limpasan di setiap sub DAS dan nilai debit puncak DAS Bogowonto kaitannya dengan kejadian banjir akhir tahun 2013. Atas penjelasan tersebut maka diperoleh rangkuman perumusan masalah yang disajikan dalam tiga pertanyaan penelitian, yaitu : 1. Bagaimanakah kemampuan penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis untuk estimasi debit puncak DAS Bogowonto? 2. Bagaimanakah distribusi spasial koefisien limpasan setiap sub DAS dan nilai debit puncak DAS Bogowonto saat kejadian banjir akhir tahun 2013? 3. Sub DAS manakah yang paling berkontribusi terhadap kejadian banjir di DAS Bogowonto pada akhir tahun 2013?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini yaitu : 1.
Mengetahui kemampuan penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis untuk estimasi debit puncak DAS Bogowonto.
2.
Mengetahui distribusi spasial koefisien limpasan setiap sub DAS dan nilai debit puncak DAS Bogowonto saat kejadian banjir akhir tahun 2013.
3.
Mengetahui sub DAS yang paling berkontribusi dalam kejadian banjir di DAS Bogowonto pada akhir tahun 2013.
6
1.4 Kegunaan Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan : 1. Memberikan kontribusi dalam ilmu penginderaan jauh dan sistem informasi geografis dengan menerapkan data penginderaan jauh dan analisis sistem informasi geografis. 2. Memberikan masukan kepada pemerintah daerah setempat mengenai kontribusi penginderaan jauh dan sistem infromasi geografis untuk menghasilkan data hidrologi dalam DAS sebagai bahan pertimbangan dalam cara perolehan data, pengelolaan DAS, dan mitigasi bencana. 3. Dapat digunakan untuk pengembangan penelitian selanjutnya yang lebih baik mengenai debit puncak banjir di sebuah DAS. 4. Memberikan
masukan
kepada
pembaca
untuk
turut
serta
dalam
mengaplikasikan teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis sebagai salah satu alternatif tepat untuk analisis hidrologi secara efisien dan efektif.
7