BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sel surya tersensitasi zat warna (Dye Sensitized Solar Cells, DSSC) merupakan suatu sistem fotovoltaik sel surya yang komponen utamanya disusun oleh sistem sandwich fotoanoda semikonduktor celah pita lebar seperti TiO2 dan zat warna senyawa kompleks ruthenium sebagai sensitiser serta fotokatoda kaca konduktif berlapis platina menggunakan elektrolit redoks iodida-triiodida (Gratzel dan O’Regan, 1991). Secara umum penggunaan senyawa kompleks ruthenium sebagai sensitiser melibatkan preparasi senyawa yang relatif tidak sederhana dan membutuhkan kemurnian tinggi. Di sisi lain, logam ruthenium bersifat toksik sehingga penggunaan jenis sensitiser tersebut tidak ramah lingkungan (Hao et al., 2006). Oleh karena itu, banyak peneliti melakukan kajian penggunaan sensitiser yang bersifat ramah lingkungan (Yamazaki et al., 2007; Teresita et al., 2010; Zhao et al., 2011). Satu di antaranya adalah penggunaan zat warna alam (nDSSC, natural-Dye Sensitised Solar Cell). Zat warna alam sebagian besar tersusun oleh zat warna senyawa organik yang memiliki karakter koefisien ekstingsi yang tinggi sehingga dapat digunakan dalam jumlah sedikit. Nilai koefisien ekstingsi yang tinggi menunjukkan kemampuan untuk menyerap energi matahari pada daerah UV -Vis dengan intensitas yang tinggi. Selain itu zat warna alam memiliki sifat tidak beracun, ramah terhadap lingkungan dan ketersediaannya melimpah di alam. Umumnya zat warna bersumber dari ekstrak bunga, daun, buah dan sayuran. Penggunaan zat warna dari ekstrak buah dan sayuran akan berkompetisi dengan makanan, sedangkan dari ekstrak bunga dan daun memiliki persentase yang kecil sehingga memerlukan sumber dalam jumlah besar (Hao et al., 2006). Oleh karena itu, sumber zat warna alam diarahkan menuju penggunaan tanaman penghasil zat warna yang tidak bersaing dengan makanan dan memiliki persentase kandungan yang besar.
1
2
Beberapa penelitian telah dilakukan terkait penggunaan zat warna alam sebagai fotosensitiser DSSC. Zhou et al. (2011) mengkaji sensitiser zat warna alam seperti klorofil, karotenoid, sianin, antosianin dan tanin. Zat warna karotenoid dari ekstrak Rhododendron memberikan efisiensi 0,57 %, sedangkan zat warna turunan klorofil dari ekstrak China redbud hanya memberikan efisiensi berkisar 0,1–0,2%. Di antara kelima jenis zat warna alam tersebut, kelompok karotenoid memberikan efisiensi lebih tinggi dibandingkan kelompok yang lain. Salah satu tanaman penghasil zat warna alam kelompok karotenoid yang tidak bersaing dengan tanaman pangan adalah kesumba (Bixa orellana L.). Kesumba merupakan salah satu tanaman penghasil zat warna alam yang berasal dari Amerika dan dikenal dengan nama Annatto atau Achiote. Selaput biji kesumba mengandung zat warna utama yang termasuk dalam golongan karotenoid yaitu bixin dan norbixin (Mercadante et al., 1997; Rios et al., 2007). Kandungan bixin dalam ekstrak kesumba mencapai 97%, sedangkan sisanya adalah norbixin (Smith, 2006). Seperti zat warna pada umumnya, bixin dan norbixin juga memiliki kemampuan serapan energi pada daerah UV-Vis disebabkan oleh adanya gugus kromofor dalam sistem terkonjugasi dan gugus karbonil (Rios et al., 2007). Selain itu, sumber zat warna dari biji kesumba memiliki ketersedian yang melimpah serta tidak bersaing secara konsumtif dan estetik dengan beberapa jenis buah, sayuran dan buah yang juga merupakan sumber zat warna. Penggunaan zat warna bixin dan norbixin dari biji kesumba sebagai fotosensitiser DSSC telah dilakukan oleh Gomez et al. (2009). Fotosensitiser bixin memberikan efisiensi sebesar 0,37%, sedangkan norbixin menghasilkan efisiensi 0,13% pada uji sel surya menggunakan paparan sinar sebesar 51 mW/cm2 dan daerah aktif sel 0,5 cm2. Efisiensi sel surya yang relatif rendah tersebut diperkirakan karena sifat zat warna alam yang memiliki stabilitas rendah terhadap radiasi cahaya (mudah terdegradasi).
3
Salah satu upaya meningkatkan fotostabilitas zat warna alam dapat dilakukan melalui interaksi dengan logam membentuk senyawa kompleks. Inspirasi tersebut diperoleh dari penggunaan mordan oleh para pengrajin batik di Indonesia untuk meningkatkan kecerahan dan ketahanan warna batik yang menggunakan pewarna alam. Beberapa jenis mordan yang digunakan meliputi garam, kapur, tawas (Al2(SO4)3) dan tunjung (FeSO4). Batik dengan pewarnaan mordan memberikan warna yang lebih cerah dan tahan terhadap air serta panas (Mahmudah dan Achir, 2013). Peningkatan kecerahan dan ketahanan warna tersebut diperkirakan karena terbentuknya senyawa kompleks antara mordan dan zat warna alam. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dikaji penambahan besi(III) nitrat pada zat warna ekstrak biji kesumba. Selain untuk meningkatkan stabilitas zat warna alam terhadap radiasi cahaya, penambahan besi(III) diharapkan dapat memperlebar daerah serapan cahaya zat warna alam menuju ke daerah spektrum dekat inframerah yang merupakan komponen terbesar spektrum cahaya matahari. Refat (2013) melakukan karakterisasi pembentukan kompleks kurkumin dengan Fe(III) untuk meningkatkan fotostabilitas dan fungsi antioksidan kurkumin. Kurkumin berinteraksi dengan Fe(III) melalui gugus karbonil dan memberikan fotostabilitas antioksidan yang lebih baik. Zhao et al. (2010) dan Refat (2013) melaporkan interaksi yang terjadi dalam molekul kompleks ditandai dengan adanya pergeseran panjang gelombang batokromik yang berasal dari transisi elektronik π→π* dan n→π*. Bixin juga memiliki gugus karbonil sehingga dapat diperkirakan akan memiliki interaksi yang serupa dengan kurkumin ketika berikatan dengan besi. Komponen
lain
yang
berpengaruh
terhadap
kinerja
DSSC
adalah
semikonduktor celah lebar (wide band gap semiconductor) yang digunakan sebagai fotoanoda. Semikonduktor celah pita lebar yang banyak digunakan adalah TiO2. TiO2 merupakan material kristalin yang mempunyai energi celah pita (Egap) pada rentang 3,0 – 3,2 eV. Fasa kristalin TiO2 yang ditemukan di alam meliputi anatas, rutil, brukit dan TiO2-B. Di antara semua fasa kritalin TiO2, anatas merupakan fasa kristalin yang
4
mempunyai fotoaktivitas tinggi. Energi celah pita TiO2 anatas sebesar 3,2 eV, lebih tinggi dibandingkan rutil (3,0 eV). Lebarnya celah pita TiO2 memberikan sifat fotostabilitas terhadap kemungkinan terjadinya rekombinasi elektron. Kemampuan TiO2 sebagai fotoanoda juga dipengaruhi oleh morfologi TiO2. Morfologi dalam dimensi nano yang menghasilkan luas permukaan besar dapat mengoptimalkan transpor elektron (Bijarbooneh et al., 2013). Berbagai penelitian telah dikembangkan mengenai jenis nanostruktur TiO2 satu dimensi (1-D) dengan orientasi vertikal terhadap substrat dan efisiensi energi listrik yang dihasilkan. Wang et al. (2012) melaporkan fotoanoda TiO2 nanorod memberikan nilai Voc ~0.802V, Isc ~7.01 mA dan efisiensi 2,9 %, sedangkan dengan TiO2 nanowire menghasilkan Voc ~0.752V, Isc ~3.73 mA dan efisiensi sebesar 1,81 % (Wei et al., 2011). Fotoanoda TiO2 nanotube memberikan karakteristik nilai Voc ~0.846V, Isc~9.63 mA dan efisiensi 4,03% (Freitas et al., 2013). Bijarbooneh et al. (2013) menggunakan fotoanoda mesopori TiO2 nanofibers dan memperoleh hasil Voc ~0.76V dan Isc ~15.23 mA serta mampu meningkatkan efisiensi energi dari 7,28% menjadi 8,14%. Berdasarkan penelitianpenelitian tersebut diperoleh hasil bahwa penggunaan semikonduktor dengan morfologi serat nano (nanofiber) memberikan efisiensi sel surya yang lebih tinggi. Hal ini karena fotoanoda serat nano TiO2 memiliki luas permukaan yang lebih besar sehingga mampu untuk mengadsorpsi zat warna lebih banyak. Semakin banyak zat warna yang dapat teradsorpsi akan meningkatkan serapan energi sehingga memungkinkan semakin banyak foton yang dapat dikonversi menjadi arus. Penggunaan fotoanoda serat nano TiO2 juga dapat meminimalkan terjadinya rekombinasi elektron sehingga transfer elektron berjalan efektif (Bijarbooneh et al., 2013). Keunggulan fotoanoda serat nano TiO2 dibandingkan morfologi lainnya dapat dimanfaatkan untuk mendukung peningkatkan efisiensi nDSSC. Oleh karena itu, selain peningkatan kemampuan serapan dan fotostabilitas sensitiser zat warna alam, pada penelitian ini dilakukan preparasi serat nano TiO2 menggunakan metode
5
electrospinning untuk digunakan sebagai fotoanoda dalam upaya meningkatkan performa nDSSC. Fotoanoda serat nano TiO2 disintesis melalui metode electrospinning dengan proses yang sederhana dan berskala pabrik sehingga unggul dalam aplikasi sel surya (Park et al., 2010). Electrospinning adalah metode untuk membuat serat (fibers) dengan diameter nano melalui medan listrik yang diberikan pada larutan polimer (Sautter, 2005). Sintesis TiO2 nanofibers dilakukan menggunakan pengarah struktur berupa larutan polimer dan prekursor TiO2. Selain komposisi larutan polimer, proses electrospinning dipengaruhi oleh besarnya tegangan, laju alir dan jarak antara ujung jarum ke kolektor. Nair et al. (2011) melakukan sintesis serat nano TiO2 menggunakan polimer polivinil pirollidon (PVP, Mw=1,3x106) dan prekursor titanium (IV) isoproksida pada tegangan 30 kV dengan laju aliran 1 mL/jam dan jarak jarum ke kolektor sebesar 10 cm. Serat nano TiO2 dihasilkan melalui proses kalsinasi pada suhu 5000C dan menghasilkan efisiensi listrik ~4,2% dengan sensitiser zat warna ruthenium. Krysova et al. (2013) mensintensis TiO2 nanofibers dengan komposisi yang sama dan menghasilkan 100% struktur anatas dengan diameter 250-280 nm serta luas permukaan 63-105 m2/g. Dengan demikian, sintesis serat nano TiO2 melalui electrospinning dapat menghasilkan struktur anatas yang memiliki luas permukaan besar sehingga mampu mengadsorpsi zat warna yang tinggi dan meningkatkan efisiensi listrik. Pada penelitian ini dilakukan sintesis serat nano TiO2 dengan larutan polimer PVP (Mw~25.000) untuk mengkaji pengaruh berat molekul polimer yang lebih rendah dibandingkan penelitian sebelumnya. Prekursor TiO2 yang digunakan berupa titanium tetraisoproksida (TTIP) dalam pelarut etanol dan asam asetat. Karakteristik struktur serat nano TiO2 dianalisis berdasarkan difraktogram sinar-X dan data TEM. Morfologi, diameter dan luas permuakaan serat nano TiO2 dianalisis dengan SEM dan gas sorption analyzer (GSA). Fotoanoda serat nano TiO2 selanjutnya disensitasi dengan ekstrak zat warna dari biji kesumba dan Fe(III)-ekstrak zat warna sebagai fotosensitiser melalui perendaman selama 24 jam. Uji karakteristik fotovoltaik sistem nDSSC dilakukan
6
berdasarkan hubungan arus dan tegangan yang dihasilkan berdasarkan pengukuran menggunakan solar simulator dan penentuan kurva IPCE (incident photon to current efficiency). 1.2 Tujuan Penelitian Berdasarkan paparan di atas, maka tujuan penelitian ini sebagai berikut : 1. Melakukan ekstraksi zat warna dari biji kesumba dan penambahan besi(III) pada ekstrak tersebut serta mengkaji karakteristik keduanya sebagai fotosensitiser. 2. Melakukan sintesis serat nano TiO2 dengan metode electrospinning dan kajian karakteristiknya sebagai fotoanoda. 3. Melakukan sensitasi fotoanoda serat nano TiO2 pada fotosensitiser berbasis ekstrak zat warna dari biji kesumba dan Fe(III)-ekstrak zat warna serta mengkaji karakteristik fotovoltaik dari sistem DSSC tersebut. 1.3 Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian adalah memberikan informasi ilmiah mengenai penggunaan fotosensitiser zat warna alam dari biji kesumba dan Fe(III)-ekstrak zat warna pada fotoanoda serat nano TiO2 yang disintesis melalui metode electrospinning dan karakteristik fotovoltaiknya. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah kekayaan khasanah keilmuan terhadap pengembangan nanostruktur TiO2 dan optimalisasi sistem sel surya tersensitasi zat warna alam.