BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara yang memiliki komposisi penduduk yang sangat pluralistik, dimana terdapat banyak suku, ras, agama maupun kelompok masyarakat dengan keanekaragaman adat istiadat, budaya maupun keyakinan. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjadi dasar negara telah memberikan payung hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Founding fathers republik ini yang pernah merasakan ketidakadilan ketika masa penjajahan, tidak menginginkan anakcucunya kembali merasakan ketidakadilan yang sama dari pihak-pihak yang berkuasa. Niat tulus tersebut kemudian dituangkan ke dalam sila kelima Pancasila yang berbunyi: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Harapannya pemerintah mampu mewujudkan sila kelima tersebut dalam kegiatan berbangsa dan bernegara, agar masyarakat diperlakukan sama tanpa memandang suku, ras, agama, dan keadaan sosialnya. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan tujuan didirikannya negara Republik Indonesia, antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Amanat tersebut mengandung makna negara berkewajiban memenuhi kebutuhan setiap warga negara melalui sebuah sistem pemerintahan yang mendukung terciptanya penyelenggaraan pelayanan publik yang prima dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar dan hak-hak hidup setiap warga negara atas barang, publik, jasa publik, dan pelayanan administratif. Dewasa ini penyelenggaraan pelayanan publik masih dihadapkan pada kondisi yang belum sesuai dengan kebutuhan dan perubahan di berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Persoalan ini bisa disebabkan oleh ketidakpastian untuk menanggapi terjadinya transformasi nilai
yang
berdimensi luas serta dampak berbagai permasalahan pembangunan yang
1
kompleks. Hal tersebut ditegaskan pada penjelasan umum Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Undang-Undang Dasar 1945 dengan tegas mengatur tentang kesetaraan dan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat baik di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan hukum. Sangat penting bagi aparatur pemerintah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya menjadikan UndangUndang Dasar 1945 sebagai acuan, sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 dan Pasal 28. Dalam menjalankan penyelenggaraan pelayanan publik, setiap aparatur pemerintah harus memiliki kesadaran dan komitmen untuk tidak melakukan tindakan diskriminasi pada setiap warga negaranya di berbagai macam bidang kehidupan. Di negara modern, pelayanan publik menjadi lembaga dan profesi yang semakin penting. Sebagai lembaga, pelayanan publik menjamin keberlangsungan administrasi negara yang melibatkan pengembangan kebijakan pelayanan dan pengelolaan sumberdaya yang berasal dari dan untuk kepentingan publik (Suharto, 2008, dalam Nursalim, 2013). Pelayanan publik semakin penting seiring tingkat peradaban manusia yang semakin tinggi. Interaksi antar manusia berada di berbagai kondisi dan profesi yang membentuk sistem sosial yang kompleks. Dalam kehidupan sosial yang demikian itu, pelayanan publik merupakan kebutuhan masyarakat di negara modern. Kebutuhan terhadap pelayanan publik yang baik akan melibatkan dua aktor, yaitu aparatur negara yang menyediakan pelayanan publik dan individu warga negara yang menikmati pelayanan publik. Oleh karena itu, pelayanan publik akan mencerminkan hubungan antara negara dengan warga negaranya. Aparat birokrasi yang berada di garis depan juga merupakan representasi dan simbol dari birokrasi pelayanan, apa yang mereka lakukan ketika berinteraksi dengan warga menentukan persepsi dan penilaian warga terhadap
kualitas
birokrasi
pelayanan.
Aparatur
pemerintah
dalam
penyelenggaraan pelayanan publik harus dapat menjunjung tinggi asas kedudukan yang sama bagi setiap warga negara tanpa adanya pembedaan baik dari warna kulit, golongan, suku, etnis, agama, dan jenis kelamin. Walaupun
2
peraturan perundang-undangan yang dibuat telah dipersiapkan dengan baik, namun manusia yang berada di belakang peraturan tersebut sangat menentukan pelaksanaannya sebagai aparatur pemerintah yang melakukan penyelangaraan publik. Pada praktiknya, perlakuan diskriminasi yang dialami oleh warga negara akan berujung pada praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal tersebut terjadi karena aparatur pemerintah sebagai penyelenggaraan pelayanan publik cenderung dipandang lebih tinggi dari masyarakat yang membutuhkan pelayanan publik (Dwiyanto, 2005). Setiap manusia membutuhkan pelayanan, bahkan secara implisit dapat dikatakan bahwa pelayanan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. Masyarakat setiap waktu selalu menuntut pelayanan yang berkualitas dari birokrat, meskipun tuntutan tersebut sering tidak sesuai dengan harapan karena secara empiris pelayanan publik yang terjadi selama ini masih terkesan berbelit-belit, lambat, mahal, dan melelahkan. Kecenderungan seperti ini terjadi karena masyarakat masih diposisikan sebagai pihak yang “melayani”, bukan sebagai pihak yang “dilayani” (Sinambela, 2008, dalam Aksa, 2014). Osborne dan Plastrik dalam Sinambela (2008) dalam Aksa (2014) mencirikan pemerintahan
pemerintah milik
(birokrat)
masyarakat,
sebagaimana yakni
diharapkan
pemerintahan
birokrat
adalah yang
mengalihkan wewenang kontrol yang dimilikinya kepada masyarakat. Masyarakat diberdayakan sehingga mampu mengontrol pelayanan yang diberikan oleh birokrasi. Adanya kontrol dari masyarakat tersebut membuat pelayanan publik akan lebih baik karena mereka selalu merasa diawasi sehingga akan melahirkan komitmen yang lebih baik, lebih peduli, dan lebih kreatif dalam segala hal. Masyarakat cenderung memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap pemerintah ketika mereka menilai pemerintah mampu mencukupi kebutuhan barang dan jasanya (Dwiyanto, 2005, dalam Aksa, 2014). Zeithaml (2002) dalam Dwiyanto (2005) menyatakan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik tidak dilihat lagi sebagai upaya untuk melayani kebutuhan masyarakat, tetapi justru sebagai kepentingan pemerintah
3
untuk mengontrol perilaku warganya. Hal ini sesuai dengan dasar pembuatan sistem pelayanan di Indonesia yang tidak didasari oleh rasa percaya dan bertujuan untuk mencegah terjadinya degradasi moral dalam warganya. Pelayanan yang diberikan oleh pemerintah bersifat sangat hirarkis dengan dasar ketidakpercayaan untuk mencegah terjadinya degradasi moral di dalam masyarakat. Menurut Frederickson dalam Sinambela (2008), dalam Aksa (2014), dalam pelayanan publik, efektivitas dan efisiensi saja tidak dapat dijadikan sebagai patokan. Diperlukan ukuran lainnya yakni keadilan, sebab tanpa adanya ukuran ini ketimpangan pelayanan tidak dapat dihindari. Pentingnya ukuran ini juga memperhatikan bahwa birokrasi publik cenderung menetapkan target dan dalam pencapaian target, mereka cenderung menghindari kelompok marginal (miskin, rentan, dan terpencil). Sementara itu telah umum diketahui bahwa efisiensi dan efektivitas merupakan big trade off. Ketika pemerintah memacu efisiensi, pelayanan publik untuk kaum marginal biasanya akan diabaikan. Pelayanan publik di Indonesia masih sangat jauh dari harapan, hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Pramusinto dan Erwan (2009), dalam Aksa (2014), yang menyatakan bahwa pelayanan publik di Indonesia perlu untuk diperbaiki. Pertama, aksesibilitas warga miskin terhadap pelayanan publik dasar seperti pangan, pendidikan, dan kesehatan masih sangat rendah. Kedua, sikap dan perilaku pejabat pelayanan publik cenderung menonjolkan sifat dan perilaku yang jauh dari nilai-nilai profesionalitas sebagai pemberi layanan publik. Ketiga, hak dan kewajiban antara warga negara dan pemberi layanan masih timpang sehingga warga berada dalam posisi yang selalu dirugikan. Keempat, otonomi daerah yang seharusya memberikan jawaban terhadap berbagai persoalan ternyata justru melahirkan banyak masalah baru, seperti: kesenjangan pelayanan publik, alokasi anggaran yang banyak diserap untuk kepentingan birokrasi (elite capture) dan semakin maraknya praktik korupsi di tingkat pemerintah daerah.
4
Paradigma baru penyelenggaraan pemerintahan daerah ditandai dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah beserta peraturan deriviasinya telah membawa konsekuensi yang luas bagi lembaga pemerintah di tingkat daerah. Dalam rangka mewujudkan tujuan otonomi daerah yaitu mempercepat tercapainya kesejahteraan rakyat melalui peningkatan pelayanan publik di daerah, maka lembaga pemerintah di tingkat daerah dituntut untuk mampu memberikan pelayanan publik yang efisien dan efektif serta tidak diskriminatif. Buruknya penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia telah lama dikeluhkan oleh masyarakat. Pemberian pelayanan yang berbelit-belit, birokratis, sulit terjangkau, serta perilaku petugas pelayanan yang buruk kinerjanya meruapakan realitas penyelenggaraan pelayanan publik. Bahkan hingga memasuki era reformasi yang menandai adanya perbaikan dan perubahan kinerja pemerintah, ternyata penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia belum juga menunjukkan adanya perbaikan kualitas. Pramusinto dan Purwanto Edi (2009), dalam Aksa (2014), menyatakan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik pada era otonomi daerah ternyata mengalami penurunan kualitas. Penurunan kualitas tersebut ternyata disebabkan oleh beberapa faktor, yakni sulitnya masyarakat miskin mengakses pelayanan, perilaku petugas pelayanan yang masih menunjukkan sebagai penguasa dan bukan sebagai pelayan masyarakat serta masih timpangnya antara pelaksanaan hak dan kewajiban masyarakat dan petugas dalam transaksional pelayanan. Jika faktor-faktor tersebut dapat diselesaikan dengan baik, maka akan dapat melahirkan semangat kebangsaan atau nasionalisme bagi seluruh warga negara yang tetap utuh dan tegak dalam keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Pelayanan publik dapat dikatakan sebagai sarana sekaligus juga tujuan dari hubungan antara negara dan warga negaranya dalam rangka mencapai kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang.
5
1.2 Rumusan Masalah Penyelenggaraan pelayanan administrasi kependudukan di Indonesia dewasa ini kerap menjadi perbincangan di media massa dan media elektronik. Hal tersebut terjadi karena dalam pelaksanaan pelayanan administrasi kependudukan di Indonesia, pemerintah tengah giat melakukan beberapa langkah-langkah perubahan. Perubahan-perubahan tersebut berkaitan dengan adanya penggunaan teknologi informatika dalam pemberian pelayanan administrasi kependudukan di Indonesia. Wujud dari penggunaan teknologi informatika ini adalah adanya penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai identitas penduduk. Penggunaan NIK sebagai identitas penduduk ini dilanjutkan dengan mulai diberlakukannya pencatuman NIK pada setiap dokumen kependudukan. Sebagai langkah awal, proses pencantuman NIK pada dokumen administrasi kependudukan mulai diterapkan pada dokumen Kartu Keluarga (KK) dan dokumen Kartu Tanda Penduduk (KTP). Khusus untuk pencantuman NIK pada KTP, karena pelaksanaannya masih tersendat-sendat maka pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2009 guna mempercepat proses pelaksanaan penerapan KTP berbasis NIK. Meskipun pemerintah telah mengambil langkah-langkah percepatan pelaksanaan pembuatan KTP berbasis NIK, namun pada kenyataannya terdapat beberapa daerah yang belum juga menunjukkan adanya perbaikan yang signifikan. Salah satu daerah yang belum selesai penerapan KTP berbasis NIK tersebut adalah Kelurahan Rawa Badak Selatan, Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Kelurahan Rawa Badak Selatan merupakan salah satu wilayah administratif yang terletak di daerah yang bernama Tanah Merah, Plumpang, Jakarta Utara. Daerah ini merupakan satu dari beberapa daerah di Indonesia yang memiliki permasalahan kepemilikan lahan antara warga yang menempatinya dan pihak yang mengklaim memiliki lahan tersebut. Pada kasus ini, pihak lain yang mengaku memiliki lahan tersebut adalah Pertamina. Akibat dari adanya permasalahan lahan yang belum jelas kepemilikannya
6
tersebut, maka warga yang bertempat tinggal di wilayah itu tidak mendapatkan pengakuan kepemilikan resmi dari pemerintah. Perlu diketahui, terdapat sekitar 35.000 jiwa warga yang bermukim di Tanah Merah. Karena itulah maka masih banyak warga yang tidak bisa memiliki dokumen administrasi kependudukan berupa KTP, Kartu Keluarga, Akte Kelahiran, dan dokumen administrasi kependudukan lainnya yang sesuai dengan domisili tempat tinggalnya. Akibatnya warga sering mendapatkan kesulitan jika berurusan dengan persoalan-persoalan yang berhadapan dengan kartu identitas atau dokumen administrasi kependudukan. Untuk urusan sekolah misalnya, anak-anak yang berdomisili di daerah tersebut selalu mendapat kesulitan karena mereka tidak punya Kartu Keluarga dan Akta Kelahiran. Orang tua mereka juga acap kali menemui kesulitan dalam mencari pekerjaan untuk menghidupi keluarganya karena mereka tidak memiliki KTP. Begitu pula untuk urusan kesehatan, kepemilikan lahan dan tempat tinggal, serta masih banyak lagi hal yang lainnya. Banyak anak terpaksa putus sekolah karena persoalan identitas. Sebagian besar warga juga kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan. Sebab untuk melamar pekerjaan, seseorang perlu melampirkan identitas resmi berupa dokumen administrasi kependudukan, sedangkan mereka tidak memiliki dokumen administrasi kependudukan yang dimaksud. Nasib yang dialami oleh sebagian warga Kelurahan Rawa Badak Selatan tersebut adalah contoh dari bentuk pelaksanaan pembuatan dokumen administrasi kependudukan yang masih belum maksimal. Menyalahi cita-cita bangsa Indonesia yang telah dituangkan pada Pembukaan UUD 1945 di alinea keempat yang berbunyi “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…”. Padahal mereka juga merupakan bagian dari Warga Negara Indonesia yang lahir, tumbuh, dan besar di Indonesia. Hal ini juga tidak sesuai dengan cita-cita para founding fathers republik ini yang termaktub dalam sila kelima dari Pancasila.
7
Sudah selayaknya seluruh Warga Negara Indonesia memperoleh kesempatan yang sama untuk mendapatkan hak-hak dasarnya tanpa terkecuali. Termasuk memperoleh hak untuk mendapatkan dokumen administrasi kependudukan, salah satunya adalah KTP. Seluruh Warga Negara Indonesia memiliki hak yang sama yang tidak dibeda-bedakan menurut kategori atau berdasarkan status sosial apapun, seperti kemampuan ekonomi atau tingkat pendidikannya, sehingga cita-cita bangsa Indonesia dapat tercapai dan dirasakan oleh seluruh Warga Negara Indonesia. Hal ini ditegaskan lagi dalam UUD 1945 Pasal 26 Ayat 1 tentang Kependudukan disebutkan bahwa “Yang menjadi warga Negara ialah orangorang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara”. Kemudian di pasal yang sama Ayat 2, juga disebutkan bahwa “Penduduk ialah warga Negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia”. Sudah menjadi tugas dan kewajiban negara juga pemerintah untuk menjamin pemenuhan seluruh hak dasar warga negaranya sendiri. Berdasarkan uraian di atas, maka penyelenggaraan pelayanan publik yang sesuai dengan pancasila dan UUD 1945 menjadi sangat penting karena dalam berlangsungnya proses penyelenggaraan pelayanan publik, masyarakat adalah objek utama dalam pelaksanaannya. Dimana masyarakat telah menaruh harapan yang tinggi terhadap kualitas pelayanan publik yang tidak melakukan tindakanan diskriminasi dalam penyelenggaraannya. Oleh karena itu, menyadari betapa pentingnya kesamaan dalam penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan adanya upaya kajian dan analisis terkait dengan tindakan diskriminasi pelayanan publik beserta berbagai faktor yang menyebabkan diskriminasi pelayanan publik. Administrasi kependudukan dan pencatatatn sipil dibutuhkan oleh pemerintah untuk berbagai macam kebijakan dan kegiataan yang akan dibuat, sedangkan masyarakat juga membutuhkannya sebagai syarat berbagai macam kegiatan sebagai identitas diri sehingga dibutuhkan pelayanan yang baik, ramah, dan tidak diskriminatif oleh pemerintah. Maka dari itu, penulis tertarik
8
untuk melakukan penelitian tentang permasalahan tersebut dan memberikan judul penelitian ini “Optimalisasi Pelayanan Dokumen Kependudukan di Kawasan
Grey
Area
Demi
Terciptanya
Tertib
Administrasi
Kependudukan (Kasus: Kelurahan Rawa Badak Selatan, Koja, Jakarta Utara)”. Dimana kondisi sebagian warga di lokasi penelitian status kepemilikan lahannya yang masih belum jelas, serta keheterogenitasan penduduk yang cukup tinggi yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, tingkat pendidikan, dan tingkat ekonomi yang berbeda-beda. Warga Kelurahan Rawa Badak Selatan tidak hanya merupakan penduduk asli tetapi juga banyak terdapat penduduk yang berasal dari daerah lainnya. Pertanyaan penelitian yang kemudian dapat dikaji adalah: 1. Bagaimana kualitas pelayanan publik dalam pelaksanaan pembuatan dokumen kependudukan (KTP) di kawasan grey area? 2. Upaya apa saja yang telah dilakukan warga untuk bisa mendapatkan dokumen kependudukan (KTP)? 3. Kendala-kendala apa yang dihadapi warga dalam pembuatan dokumen kependudukan (KTP)?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian yang berjudul Optimalisasi Pelayanan Kependudukan di Kawasan Grey Area dalam Rangka Upaya Pemenuhan Hak Dasar Manusia ini memiliki beberapa tujuan penelitian, diantaranya adalah: 1. Mengetahui sejauh mana kualitas pelayanan publik dalam pelaksanaan pembuatan dokumen kependudukan (KTP) di kawasan Grey Area. 2. Mengetahui upaya apa saja yang telah dilakukan warga untuk bisa mendapatkan dokumen kependudukan (KTP). 3. Menganalisis kendala apa yang dihadapi warga dalam pembuatan dokumen kependudukan (KTP).
9
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini terbagi menjadi dua jenis, yakni: 1.4.1
Manfaat Teoritis Penelitian ini dapat menambah wawasan dan literatur mendalam mengenai isu-isu kependudukan, serta membantu untuk lebih memahami konsep yang dipergunakan dalam penelitian.
1.4.2
Manfaat Praktis Penelitian ini dapat dijadikan sebagai rujukan pengambilan keputusan selanjutnya dalam penanganan untuk kasus serupa. Penelitian ini juga merupakan bukti bahwa masih ada wilayah di Indonesia yang memiliki permasalahan legalitas lahan yang ternyata berpengaruh pada pemenuhan hak dasar warganya sehingga diperlukan follow up lebih lanjut
dalam
menangani
kasus
ini
terutama
dalam
mengimplementasikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
10
1.5 Keaslian Penelitian Peneliti (Tahun) Fahrudin Jaya (2011)
Rizky Nugraha (2009)
Judul Analisis Kesiapan Pemerintah Kota Palopo dalam Penyelenggaraan EGovernment di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
Perancangan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) sebagai Pengembangan EGovernment menuju Good Government
Lokasi Penelitian Kota Palopo
Bandung
Tujuan
Metode
1. Mengetahui dasar kebijakan penyelenggaraan EGovernment di Kota Palopo 2. Mengetahui kesiapan perangkat penyelenggaraan EGovernment Dinas Kependudukan dan Catatan sipil
Wawancara mendalam, kombinasi analisis kualitatif dan kuantitatif
1. Mendeskripsikan perwujudan pelayanan administrasi kependudukan dan catatan sipil yang berorientasi kepada kepuasan dan kemitraan masyarakat menuju terciptanya data dan informasi kependudukan yang akurat 2. Mendeskriptifkan kemudahan pelayanan dari suatu instansi untuk melakukan proses yang berhubungan dengan masalah
Pengumpulan data yang berkaitan dengan sistem, analisis kualitatif, dan kuantitafi
11
Hasil Penelitian 1. Pemerintah Kota Palopo belum memiliki Rencana Induk Pengembangan E-Government Lembaga dan Perda yang mengatur tentang penyelenggaraan dan pelaksanaan E-Government 2. Perangkat E-Government di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Palopo sudah sangat memadai dalam penyelenggaraan E-Government 1. Pengembangan SIAK untuk mendukung Good Governance menjadi keharusan terutama untuk mendukung proses kependudukan di Indonesia 2. Manfaat yang didapat dari SIAK untuk mewujudkan pelayanan administrasi kependudukan dan catatan sipil yang berorientasi kepada kepuasan dan kemitraan masyarakat menuju terciptanya
Irdam Ahmad (2011)
Persebaran Penduduk yang Tidak Memiliki Dokumen Kependudukan di Indonesia
Jakarta
1.
2.
3.
Dinda Nur Annisa Ayura (2009)
Perspektif Masyarakat Mengenai Hak Atas Pendidikan (Studi Kasus: Warga Tanah Merah, Rawa Badak Selatan, Jakarta Utara)
Tanah Merah, Rawa Badak Selatan, Koja, Jakarta Utara
1.
2.
3.
kependudukan dan memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk melakukan proses pendaftaran Mengetahui presentase penduduk yang tidak memiliki dokumen kependudukan di setiap daerah di Indonesia Mengetahui penyebaran penduduk yang tidak memiliki dokumen di setiap daerah di Indonesia Menganalisa faktor penyebab alasan penduduk tidak memiliki dokumen kependudukan Menganalisis konsep mengenai hak atas pendidikan yang diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia Memperoleh pemahaman mengenai perspektif penyelenggaraan pendidikan mengenai hak atas pendidikan Memperoleh pemahaman perspektif warga komunitas masyarakat miskin kota Tanah
12
data dan informasi kependudukan yang akurat
Perpaduan data sekunder dan data primer, analisis deskriptif dan spasial, analisis model regresi logistik
1. Presentase terbesar penduduk yang tidak memiliki dokumen kependudukan terdapat di wilayah timur Indonesia 2. Dari 6 variabel bebas yang digunakan, ada 5 variabel yang berpengaruh signifikan terhadap kepemilikan akte kelahiran, yaitu variable jarak dari tempat tinggal ke kantor desa dan 4 variabel interaksi
Metode analisis, diolah secara kualitatif
1. Pendidikan keguruan yang ada memasukkan perspektif tentang tanggungjawab pendanaan dan penyelenggaraan pendidikan oleh pemerintah 2. Masyarakat setempat perlu diberikan sosialisasi oleh pemerintah mengenai hak atas pendidikan, dan aturan-aturan yang menjamin hak-hak tersebut
Merah, Rawa Badak Selatan mengenai hak atas pendidikan 1. Mengetahui kondisi kualitas pelayanan publik dalam pelaksanaan e-KTP di Kelurahan Ciaruten 2. Mengidentifikasi kendalakendala yang dihadapi pelayanan publik dalam pelaksanaan e-KTP di Kelurahan Ciaruten 3. Memformulasikan strategi optimalisasi pelayanan publik dalam pelaksanaan e-KTP di Kelurahan Ciaruten dan implikasinya terhadap ketahanan wilayah
Muhtarhadi Nursalim (2014)
Optimalisasi Pelayanan Publik dalam Pelaksanaan e-KTP Guna Memperoleh Ketahanan Wilayah (Studi kasus: Kelurahan Ciaruten – Depok)
Kelurahan Ciaruten, Depok, Jawa Barat
Imelda Beatrix Imbab (2011)
Persepsi Masyarakat Terhadap Kualitas Pelayanan e-KTP di Kecamatan Gondokusuman, Kota Yogyakarta
Kecamatan 1. Mengetahui persepsi Gondokusuman, masyarakat mengenai kualitas Kota pelayanan e-KTP di Yogyakarta, DI Kecamatan Gondokusuman, Yogyakarta Kota Yogyakarta.
13
Metode 1. Pelayanan publik di daerah deskriptif kajian berjalan dengan baik, dengan terdapat 90,2% e-KTP yang penjelasan selesai direkam. Namun tetap secara kualitatif. perlu dilakukan optimalisasi Pemilihan lokasi pelayanan publik dalam e-KTP dilakukan karena perangkatnya terbilang dengan cara minim, hanya ada 1 set saja. purposive. 2. Kendala-kendala yang ditemui di daerah kajian dalam pelayanan publik pembuatan eKTP adalah masalah koordinasi, kurang optimalnya produktivitas sumberdaya aparatur, dan kurang optimalnya penggunaan sarana dan prasarana yang ada. Metode 1. Persepsi masyarakat terhadap deskriptif secara kualitas pelayanan e-KTP di kualitatif, lokasi penelitian secara umum wawancara belum memuaskan. Masih mendalam, banyak kekurangan disana-sini angket / yang dilakukan oleh aparatur kuesioner teknik pelayanan. purpose 2. Beberapa faktor yang dijadikan sampling. sebagai patokan kepuasan
dalam pelayanan sudah cukup baik, yakni: waktu pelayanan, akurasi pelayanan, kesopanan dan keramahan petugas, tanggung jawab petugas, kelengkapan sarana pendukung, serta perspektif atribut pendukung pelayanan e-KTP Muhammad Zain Wicaksono (2014)
Optimalisasi Pelayanan Dokumen Kependudukan di Kawasan Grey Area Demi Terciptanya Tertib Administrasi Kependudukan (Kasus: Kelurahan Rawa Badak Selatan, Koja, Jakarta Utara)
Kelurahan Rawa Badak Selatan, Koja, Jakarta Utara
1. Mengetahui sejauh mana kualitas pelayanan publik dalam pelaksanaan pembuatan KTP di kawasan grey area 2. Menganalisis kendala apa yang dihadapi warga dalam pembuatan KTP 3. Mengetahui secara langsung apa saja upaya yang telah dilakukan warga untuk bisa mendapatkan KTP
14
Metode kualitaitf, wawancara mendalam, analisis deskriptif kualitatif
1. Kualitas pelayanan publik
yang diberikan secara keseluruhan dapat dikatakan cukup memuaskan Namun demikian, ternyata tetap terjadi perbedaan waktu pelayanan yang diberikan oleh warga Tanah Merah dengan warga biasa. 2. Upaya yang telah dilakukan warga Tanah Merah agar bisa mendapatkan KTP diantaranya: melalui jalur hukum, mengirimkan surat pengaduan terhadap instansi terkait, mengirimkan perwakilan untuk audiensi/diskusi,
mengundang media untuk meliput kondisi di Tanah Merah, melakukan aksi turun ke jalan dengan memobilisasi massa untuk berunjuk rasa. 3. Kendala yang dihadapi warga Tanah Merah dalam proses perjuangan untuk mendapatkan KTP diantaranya: selalu dikaitkaitkannya permasalahan kepemilikan lahan dengan pengajuan untuk mendapatkan dokumen kependudukan, tidak adanya bantuan yang diberikan oleh pemerintah untuk membangun fasilitas, sarana, dan prasarana umum serta adanya praktik pungli yang diakomodir oleh oknumoknum kelurahan.
15