BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Kerang darah (Anadara granosa) merupakan salah satu jenis kerang dari
kelas Bivalvia yang berpotensi dan memiliki nilai ekonomis untuk dikembangkan sebagai sumber protein dan mineral untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Kerang darah biasanya dijadikan makanan dan diproduksi dalam bentuk segar, hidup, kupas rebus, dan sate. Kerang darah banyak dimanfaatkan masyarakat sebagai bahan makanan. Secara umum kerang dikenal sebagai sumber pangan protein berkualitas tinggi. Berdasarkan Trilaksani dan Nurjanah (2004) dalam Wahyuningtias (2010) menyebutkan bahwa dalam 100 gram daging kerang darah terkandung kurang lebih 300 kalori. Namun, kerang darah dikenal sebagai organisme filter feeder. Organisme ini mengambil makanan melalui penyaringan zat-zat tersuspensi yang ada dalam perairan (Heddy 1994). Penyaringan zat-zat tersebut terjadi dengan kurun waktu yang cukup lama, sehingga kerang darah berpotensi mengakumulasi bahan pencemar seperti logam berat dalam kurun waktu tersebut. Hutagalung (1990) menyatakan bahwa logam berat timbal (Pb) merupakan logam ketiga paling toksik setelah merkuri (Hg) dan Kadmium (Cd). Akan tetapi menurut (Arifin 2008), konsentrasi logam Pb di perairan Teluk Jakarta cenderung semakin meningkat dari tahun ke tahun dibandingkan konsentrasi Hg, Cd dan Cu. Peningkatan tersebut diakibatkan karena semakin banyaknya industri yang menggunakan logam Pb, seperti : industri cat, baterai, industri elektronik, dan percetakan. Kerang darah menurut Irianto et al. 2009 memiliki sifat cepat mengalami kemunduran mutu. Hal tersebut disebabkan terdapat banyak mikroorganisme pada saluran pencernaan kerang darah yang mengakibatkan kerang darah lebih cepat laju kemunduran mutunya. Guna memberikan nilai tambah terhadap kerang darah diperlukan upaya alternatif, yaitu dengan mengolahnya menjadi lumatan daging yang merupakan bahan setengah jadi dan kemudian dapat diolah menjadi produk 1
2
diversifikasi. Dari pemanfaatan produk diversifikasi ini kemudian diolah sebagai makanan yang sering dijumpai serta digemari oleh masyarakat seperti bakso. Surimi dapat diolah menjadi bakso karena memiliki sifat pembentukan gel yang dapat membuat produk menjadi elastis dan kenyal. Surimi merupakan salah satu produk teknologi yang berasal dari Jepang. Teknologi ini bersifat sederhana yaitu dengan cara melumatkan daging ikan yang telah dicuci 2-3 kali dengan air (1-5°C) dan selanjutnya diperas sehingga sebagian besar bau, darah, pigmen dan lemak hilang serta dapat dilanjutkan dengan pengepakan dan pembekuan (Peranginangin et al. 1999) Bakso merupakan campuran homogen daging, pati, dan bumbu yang telah mengalami proses ekstraksi dan pemanasan (Tarwiyah dan Kemal, 2001). Bahan utama yang digunakan pada proses pembuatan bakso adalah daging. Pada umumnya bahan baku pembuatan bakso ikan adalah ikan tenggiri, tetapi ikan tenggiri memiliki harga yang relatif tinggi. Bakso memiliki tekstur yang elastis (lentur) dan kenyal. Elastisitas bakso dipengaruhi beberapa faktor, antara lain jenis ikan, tingkat kesegaran ikan, pH dan kadar air daging ikan, pencucian, umur ikan, suhu pemanasan serta jenis dan konsentrasi zat tambahan (Irianto 1990). Pembentukan gel elastis bakso dapat terganggu oleh protein yang larut air (sarkoplasma). Oleh karena itu pada pembuatan bakso terlebih dahulu dilakukan pencucian daging ikan. Pencucian ini tidak hanya untuk membilas darah dan senyawa lain yang mengakibatkan bau dan warna yang tidak baik, tetapi juga untuk menghilangkan protein sarkoplasma (Suzuki 1981). Selain itu pencucian dapat meningkatkan kemampuan daging membentuk gel karena meningkatnya aktifitas myofibril sebagai pembentukan gel. Faktor pencucian yang berpengaruh dalam pembentukan gel, diantaranya perbandingan antara daging dengan jumlah air, frekuensi pencucian dan suhu air (Lee 1994). Kegunaan pencucian daging lumat adalah untuk meningkatkan kemampuan membentuk gel karena meningkatnya konsentrasi aktomiosin serta berkurangnya protein sarkoplasma yang menghambat pembentukan gel. Daging lumat mempunyai kemampuan untuk
3
mengikat bahan dengan baik karena mampu menghasilkan gel sehingga dapat dicampur dengan bahan-bahan lain tanpa merubah tekstur (Lee 1994). 1.2
Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut dapat diidentifikasikan sampai sejauh
mana pengaruh jumlah pencucian daging kerang darah lumat terhadap tingkat kesukaan bakso. 1.3
Tujuan Penelitan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jumlah pencucian daging
kerang darah lumat terhadap bakso yang paling disukai. 1.4
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi kepada
masyarakat mengenai jumlah pencucian daging kerang darah lumat terhadap tingkat kesukaan panelis. 1.5
Kerangka Pemikiran Bakso adalah suatu produk hasil olahan berbentuk gel protein yang
homogen, bersifat kenyal dan elastis. Tujuan proses pencucian daging kerang darah adalah memisahkan kotoran, lemak, darah, lendir, protein sarkoplasma, dan komponen flavor. Selain itu pencucian daging kerang darah juga berguna untuk meningkatkan kemampuan daging membentuk gel dan memperbaiki tekstur karena meningkatnya aktifitas protein myofibril (Suzuki 1981). Menurut Schwarz dan Lee (1981) dengan pencucian sebanyak 2 kali dapat meningkatkan kekuatan gel ikan yaitu dengan meningkatnya kandungan protein myofibril dan menurunkan kandungan protein sarkoplasma. Selain itu, dapat menghilangkan bau ikan dan warna abu-abu pada ikan red hake. Menurut Chaidir (2001) pencucian sebanyak 2 kali pada pencucian surimi (minced fish) ikan sapusapu menghasilkan nilai organoleptik empek-empek terbaik yang dihasilkan mempunyai kenampakan yang halus dan cemerlang (tidak kusam). Jumlah pencucian surimi ikan Jangilus mempengaruhi derajat kecerahan, tekstur dan kadar protein pada bakso. Semakin banyak jumlah pencucian surimi maka
4
semakin tinggi derajat kecerahan bakso ikan jangilus yaitu sekitar 85,71-86,31%. Peningkatan derajat kecerahan ini disebabkan karena larutnya pembentuk warna daging yaitu hemepigmen yang berwarna merah (Uju 1999). Pencucian sebanyak 4 kali cenderung menurunkan kadar protein, lemak, abu sebaliknya meningkatkan nilai organoleptik sosis ikan pari. Penurunan kadar protein disebabkan karena selama pencucian surimi protein sarkoplasma, myofibril, senyawa-senyawa nitrogen (urea) dan beberapa garam mineral ikan terbuang pada proses pembuangan air. Pencucian 4 kali akan menghasilkan daging lumat yang bersih dan tidak berbau (Fawzya dan Nasron. 1993). Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut maka akan dilakukan penelitian tentang jumlah pencucian daging kerang darah yaitu tanpa pencucian (kontrol),1,2 dan 3 kali pencucian terhadap tingkat kesukaan bakso kerang darah. 1.6
Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, dapat diambil hipotesis bahwa
daging lumat dengan pencucian 2 kali akan menghasilkan bakso kerang darah yang paling disukai.
1