BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Rumah sakit merupakan salah satu industri yang bergerak dalam
pelayanan jasa kesehatan. Menurut Djuhaeni (2014), rumah sakit merupakan salah satu sistem pelayanan kesehatan yang kompleks. Pelayanan rumah sakit bersifat “mixed output” yang akan menghasilkan apabila terdapat kerjasama tim dengan berbagai sumberdaya (mixed input). Seperti pada ruang operasi di rumah sakit dimana ahli bedah, anestesis, suster dan lainnya bekerja sama untuk melakukan pembedahan pada pasien. Seiring dengan perkembangannya, rumah sakit dituntut untuk meningkatkan mutu pelayanan guna meningkatkan kesejahteraan dan kepuasan pasien. Dalam usaha meningkatkan pelayanan rumah sakit, telah banyak penelitian yang dilakukan pada sektor – sektor yang ada pada rumah sakit. Salah satu hal yang sangat berpengaruh terhadap performansi pelayanan rumah sakit adalah manajemen ruang operasi.
Menurut Magerlain dan
Martin (1978) terdapat dua alasan yang saling berkaitan manajemen ruang operasi berpotensi besar terhadap biaya rumah sakit. Pertama, ruang operasi umumnya memiliki biaya tinggi dan utilitas personil dan fasilitas yang rendah. Kedua, permintaan pasien untuk dilayani yang tinggi. Di Indonesia, dimana persebaran kesejahteraan dan layanan kesehatan yang masih belum merata menyebabkan penumpukan permintaan pasien untuk pelayanan terpusat. Hal tersebut menyebabkan adanya tingkat permintaan pasien yang tinggi hanya di beberapa tempat. Penumpukan permintaan ini bisa menyebabkan terjadinya proses pelayanan yang lama pada rumah sakit karena tenaga kerja yang terbatas. Hal ini akan berimbas pada biaya yang harus dikeluarkan rumah sakit. Dalam sebagian besar rumah sakit, manajemen ruang operasi merupakan bottleneck utama dan merupakan departemen yang membutuhkan sebagian besar biaya dari total biaya rumah sakit. Penjadwalan ruang operasi menjadi salah satu
1
2
permasalahan yang terus terjadi pada rumah sakit. Penelitian penjadwalan ruang operasi terus menerus dilakukan untuk meningkatkan performansi rumah sakit. Menurut Santibanez et al (2007), penjadwalan ruang operasi merupakan hal yang sangat kompleks, terlebih karena rumah sakit harus memperhitungkan berbagai macam spesialis bedah yang terlibat, prioritas pelayanan, kapasitas ruang pemulihan dan kombinasi dari pasien nondarurat (elective) dan darurat (emergency). Biasanya rumah sakit mengkategorikan
pasien
menjadi
tiga
jenis
yaitu
pasien
darurat
(emergency), pasien rawat inap (inpatient), dan pasien rawat jalan (outpatient). Ruang operasi dapat dipertimbangkan menjadi dua kebutuhan yaitu untuk darurat (emergency) dan non-darurat (elective). Usaha untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi dalam penggunaan ruang operasi menjadi hal yang penting untuk rumah sakit. Manajemen operasi terkait ruang operasi yang baik untuk memaksimalkan utilitas dan alokasi ruang operasi diperlukan untuk menghadapi tantangan yang ada di ruang operasi. Terdapat berbagai macam alternatif pada penjadwalan ruang operasi, pilihan penjadwalan tersebut bersama sumber daya yang tersedia akan berdampak langsung pada jumlah pasien yang bisa ditangani oleh masing-masing spesialis, utilitas sumber daya, waktu tunggu dan kinerja keseluruhan dari sistem. Oleh karena itu, perbaikan dalam penjadwalan ruang operasi diperlukan sehingga utilitas serta alokasi ruang operasi dapat digunakan secara maksimal. Menurut Randolph et al (2012), terdapat 4 level dalam pemodelan block scheduling yaitu Strategic Planning, Tactical Planning, Operational Planning (Offline) dan Operational Planning (Online). Pada Strategic Planning, sumberdaya yang tersedia seperti jumlah dokter spesialis, jumlah tim operasi, jumlah ruang operasi yang tersedia dihitung untuk mendapatkan case mix planning. Jangka waktu perencanaan pada level ini long-term (tahunan). Pada level Tactical Planning, block waktu dikembangkan untuk mengklusterkan spesialis bedah yang akan menggunakan ruang operasi. Pada level ini didapatkan Master Surgical Schedule (MSS) dengan jangka waktu perencanaan bulan. Pada level Operational Planning (Offline), kasus
3
pasien dijadwalkan pada spesialisnya pada ruangan yang telah ditentukan dengan basis mingguan. Pada level ini juga dilakukan pengurutan operasi kasus pasien dengan basis harian. Pada level terakhir, Operational Planning (Online), dilakukan monitoring dan kontrol terhadap jalannya operasi yang dilakukan di ruang operasi. Level ini lebih berfokus pada aktivitas day-today pada ruang operasi. Pada negara-negara maju, penjadwalan operasi pada rumah sakit sudah sampai pada level Operational Planning. Tidak seperti negara-negara maju dengan standar kesehatan tinggi, di Indonesia belum banyak dilakukan penelitian tentang penjadwalan ruang operasi untuk menyelesaikan masalah yang ada pada rumah sakit. Penelitian yang dilakukan di Indonesia masih pada tahap awal. Kurniawati (2013) dalam penelitiannya, menjadwalkan ruang operasi dengan menggunakan metode algoritma genetika. Penelitian ini berfokus pada penjadwalan untuk mengurangi nilai waiting time dan overtime. Pada kenyataannya sebagian besar rumah sakit di Indonesia saat ini masih menggunakan sistem penjadwalan terbuka (open scheduling) dimana penjadwalan ruang operasi yang ada masih memakai sistem First Come First Serve (FCFS). Dengan begitu, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan level perencanaan dan penjadwalan ruang operasi di Indonesia ke tahap selanjutnya. Rumah Sakit Bethesda merupakan satu rumah sakit yang tersebar di Yogyakarta. Rumah Sakit Bethesda merupakan rumah sakit swasta pertama yang berdiri di Yogyakarta. Sebagai salah satu rumah sakit besar di Yogyakarta, banyak orang setiap harinya berkunjung untuk mendapatkan pelayanan kesehatan baik itu dalam skala kecil maupun skala besar seperti operasi bedah. Rumah Sakit Betheda memiliki beberapa fasilitas layanan antara lain ICU, ICCU, NICU, PSA, IMC, instalasi gawat darurat (IGD), instalasi rawat inap, instalasi rawat jalan dan instalasi bedah sentral. Instalasi Bedah Sentral (IBS) milik Rumah Sakit Bethesda mempunyai 4 ruang operasi yang digunakan untuk 12 jenis spesialis bedah yaitu: Bedah
4
Umum, Anak, Plasty, Obsygn, THT, Mata, Syaraf, Urologi, Orthopedi, Mulut, Digestive dan Bedah Toraks and Kardiovaskuler (BTKV). 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Week 1Week 2Week 3Week 4Week 5Week 6Week 7Week 8Week 9
Gambar 1.1 Utilitas Ruang Operasi IBS RS Bethesda Gambar 1.1 merupakan grafik utilitas ruang operasi IBS RS Bethesda selama 2 bulan (1 September – 31 Oktober 2014). Tingkat utilitas ruang operasi pada IBS RS Bethesda terbilang cukup rendah, rata-rata persen utilitas ruang operasi hanya sebesar 32%. Sistem penjadwalan yang digunakan IBS RS Bethesda saat ini menggunakan sistem first come first serve (FCFS) atau open scheduling. Dengan sistem ini, kemungkinan terjadinya bottleneck pada ruang operasi sangatlah besar karena bagian IBS melayani pasien yang datang paling awal. Dengan hanya mempunyai 4 ruang operasi (OT) sementara harus digunakan oleh lebih dari 12 spesialis bedah, Rumah Sakit Bethesda memerlukan metode penjadwalan ruang operasi guna meningkatkan utilitas, efisiensi dan juga alokasi ruang operasi. Berdasarkan latar belakang diatas, penjadwalan ruang operasi di Rumah Sakit Bethesda dirasa perlu dilakukan guna mengoptimasi sistem penjadwalan ruang operasi yang sudah diterapkan di rumah sakit.
5
1.2
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diungkapkan tersebut,
masalah yang dapat dirumuskan pada penelitian ini adalah “Bagaimana mendapatkan penjadwalan ruang operasi secara block, sehingga dapat mengurangi waiting time pasien dan meningkatkan utilitas ruang operasi pada instalasi bedah sentral sehingga didapatkan model penjadwalan yang optimal dengan mempertimbangkan keterbatasan sumber daya yang ada”.
1.3
Asumsi dan Batasan Masalah Dalam penelitian ini terdapat beberapa asumsi dan batasan, antara lain:
1. Penelitian hanya dilakukan pada lingkungan kerja di RS Bethesda Yogyakarta 2. Penelitian hanya mencakup masalah terkait sistem penjadwalan ruang operasi (operating theatre) di Instalasi Bedah Sentral (IBS) RS Bethesda 3. Data yang digunakan untuk pemodelan block scheduling merupakan data sampel performansi ruang operasi IBS RS Bethesda selama 2 bulan (1 September – 31 Oktober 2014) 4. Performansi antara sistem nyata dan model diukur dari utilitas ruang operasi, waiting time pasien dan makespan ruang operasi 5. Pasien rawat inap dan rawat jalan merupakan satu klasifikasi, yaitu pasien elektif (elective) 6. Tidak terjadi perubahan jadwal atau penundaan akibat hal-hal non-teknis maupun pasien emergency 7. Waktu pre-operasi, anestesi, dan waktu recovery merupakan satu kesatuan dalam waktu durasi operasi 8. Waktu pada sistem block merupakan 1 hari 1 ruang operasi (OT) 9. Operasi tidak bisa diinterupsi saat operasi sedang berlangsung 10. Semua sumber daya dan peralatan dalam kegiatan operasi selalu siap ketika dibutuhkan
6
1.4
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengembangkan model block scheduling ruang operasi untuk meminimalkan waiting time dan meningkatkan utilitas ruang operasi 2. Membandingkan model block scheduling yang telah dibuat dengan penjadwalan aktual yang ada di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta
1.5
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, antara lain:
1. Penelitian ini diharapkan mampu menambah literatur di bidang teknik industri khususnya Operation Research. 2. Memberikan rekomendasi sistem penjadwalan ruang operasi pada pihak rumah sakit guna memaksimalkan utilitas ruang operasi.