BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan usaha bersama oleh seluruh komponen bangsa dalam rangka mewujudkan tujuan bernegara, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial (UndangUndang No. 25 Tahun 2004). Pembangunan Indonesia pada era reformasi ini dilaksanakan secara otonom yang ditandai dengan adanya pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurus wilayahnya seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 mengenai pemerintahan daerah. Konsep desentralisasi yang dianut oleh Indonesia ini dituangkan dalam bentuk kebijakan otonomi daerah (Nadir, 2015). UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan adanya otonomi daerah ini, daerah memiliki kebebasan dalam mengatur daerahnya sesuai dengan kondisi daerah dan aspirasi masyarakatnya. Menurut Nadir (2015), anggapan tersebut muncul karena secara logis Pemerintah Daerah lebih dekat dengan masyarakat dan lebih mengenal daerahnya sehingga akan lebih memahami kondisi daerahnya beserta keinginan masyarakatnya. Keberadaan UU No. 32 Tahun 2004 yang telah diperbaruhi dengan UndangUndang No. 23 Tahun 2014 ini semakin membuka pelaksanaan demokrasi di Indonesia. UU ini memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk melakukan pemberdayaan dan ikut serta dalam pembangunan di daerahnya, termasuk pada lingkup desa. UU mengenai pemerintahan daerah tersebut melahirkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang desa yang kemudian diperbaruhi dengan adanya Undang-Undang
No. 6 Tahun 2014. Keberadaan kedua peraturan 1
perundang-undangan
ini
menunjukkan
adanya
tekad
pemerintah
untuk
melaksanakan pembangunan secara mandiri sampai di tingkat bawah (desa). Berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014, pembangunan desa merupakan upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa dengan mengedepankan kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan
demi
mencapai
kesejahteraan
masyarakat
serta
penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Pelaksanaan pembangunan desa terdiri dari skala lokal desa (dari desa sendiri) dan pembangunan sektoral yang masuk ke desa (Kessa, 2015). Kegiatan pembangunan desa di skala lokal desa ditentukan oleh desa sendiri melalui kegiatan perencanaan pembangunan desa. Menurut UU No. 6 tahun 2014 dan PP No. 72 Tahun 2005, tahapan yang perlu dilalui dalam pembangunan desa adalah tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Dengan adanya kedua peraturan perundang-undangan tersebut, pemerintah desa bersama masyarakat dan lembaga yang ada di desa dituntut untuk bersama-sama melaksanakan pembangunan di desanya., mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai pada tahap pengawasan. Dijelaskan dalam UU No. 6 tahun 2014 bahwa perencanaan pembangunan desa berpedoman pada perencanaan pembangunan di tingkat kabupaten/kota. Dalam implementasinya, perencanaan pembangunan desa diwujudkan dalam penyusunan RPJMDes (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa) dan RKPDes (Rencana Kerja Pemerintah Desa). RPJM Desa merupakan dokumen perencanaan untuk periode 6 (enam) tahun yang memuat visi dan misi kepala desa; arah kebijakan desa, serta rencana kegiatan yang meliputi bidang penyelenggaraan pemerintah desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa (Permendagri No. 114 Tahun 2014). Dalam Permendagri tersebut dijelaskan bahwa pembangunan desa dilakukan dengan melibatkan masyarakat desa. Di mana dalam SE Mendagri No. 414.2/1408/PMD tahun 2010 juga telah
2
dijelaskan bahwa terdapat 5 prinsip yang perlu diterapkan dalam penyusunan rencana pembangunan desa, salah satunya adalah prinsip partisipatif. Di dalamnya harus terdapat peran serta masyarakat agar tercapai suatu rumusan program yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa. Untuk mewujudkan pembangunan desa yang terencana, maka pemerintah desa dan seluruh elemen masyarakat harus terlibat dalam proses perencanaan pembangunan (Sumpeno, 2011). Tidak dapat dihindari bahwa partisipasi masyarakat sangat berperan dalam pembangunan, baik dalam skala nasional maupun di tingkat desa. Tjokroamidjoyo (1979) mengungkapkan bahwa terdapat tiga pengertian terkait makna partisipasi dalam pembangunan, salah satunya adalah keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan untuk menenentukan arah, strategi, dan kebijakan, termasuk
penyusunan
RPJMDes.
Menurut
Satries
(2010),
pelaksanaan
Musrenbang di tingkat desa/kelurahan merupakan kesempatan emas bagi masyarakat untuk dapat terlibat dalam perencanaan pembangunan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat belum sepenuhnya berperan dalam menyusun rencana pembangunan di daerahnya. Penelitian yang dilakukan oleh Hidayah, dkk (2013) di Desa Graden, Kecamatan Jember menunjukkan bahwa peran masyarakat dalam hal perumusan kebijakan untuk menuju pembangunan desa melalui Musrenbangdes masih lemah. Demikian pula penelitian oleh Purnamasari (2008) yang menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan di Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi masih lemah karena beberapa tahapan proses perencanaan pembangunan di masing-masing desa belum dilaksanakan dan keterlibatan masyarakat dalam penentuan prioritas program di tingkat kecamatan belum terwujud. Sementara itu, Rahman (2012) dalam penelitiannya mengenai proses penyusunan RPJMDes di Desa Triharjo, Kabupaten Sleman menyatakan bahwa adanya partisipasi masyarakat dalam penyusunan RPJMDes berdampak pada tingginya partisipasi masyarakat pada tahap pelaksanaan pembangunan karena prioritas rencana pembangunan yang dipilih dan dilaksanakan sesuai dengan usulan yang disampaikan masyarakat saat musyawarah penyusunan RPJMDes.
3
Penelitian Rahman (2012) tersebut menunjukkan bahwa adanya partisipasi masyarakat dalam musyawarah perencanaan desa semakin membuka peluang tersusunnya rencana pembangunan desa yang sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat. Terkait dengan penyusunan RPJMDes, penelitian Septiana (2015) di Desa Pandowoharjo, Sleman menunjukkan bahwa dalam penyusunan RPJMDes, Desa Pandowoharjo telah melibatkan masyarakat dalam ruang demokrasi berupa forum musyawarah pembangunan di lingkup dusun dan desa. Desa Pandowoharjo merupakan salah satu desa di Kabupaten Sleman yang pembangunannya dapat dikatakan berhasil. Hal tersebut ditunjukkan dari prestasi yang telah di raihnya dalam hal penanggulangan kemiskinan dan pengembangan desa wisata. Pada tahun 2013, Tim Penanggulangan Kemiskinan (TPK) Desa Pandowoharjo berhasil meraih peringkat pertama dalam penanggulangan kemiskinan yang ditinjau dari sisi kelembagaan, aksi penanggulangan kemiskinan, dan
administrasinya
(slemankab.go.id,
2013).
Sedangkan
keberhasilan
pengembangan desa wisata di Pandowoharjo ditunjukkan dari peran Padukuhan Brayut sebagai desa wisata budaya dan pertanian yang meraih Juara I Festival Desa Wisata se-Kabupaten Sleman di tahun 2011 (ajuarnink.blogspot.co.id, 2013). Selain itu, pada tahun 2012 dan 2014 Desa Wisata Brayut juga dipercaya untuk menjadi tuan rumah Festival Ngayogjazz (antaranews.com, 2014). Pencapaian keberhasilan pembangunan suatu desa tentunya tidak terlepas dari perencanaan yang baik dan melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Menurut Slamet (1985, dalam Mardikanto, 1994), terdapat 3 unsur yang dapat menentukan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yaitu adanya kemauan, kemampuan, dan kesempatan. Kemauan berkaitan dengan motif/keinginan masyarakat untuk berpartisipasi,
kemampuan
berkaitan
dengan
kepemilikan
modal
untuk
berpartisipasi, dan kesempatan berkaitan dengan akses yang diberikan untuk berpartisipasi. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini difokuskan untuk mengkaji pelaksanaan prinsip partisipatif, mendeskripsikan faktor-faktor yang mendorong pelaksanaan prinsip partisipatif dan kedudukan usulan masyarakat sebagai produk partisipasi masyarakat dalam penyusunan RPJMDes di Desa Pandowoharjo, Kecamatan Sleman, Kabupaten Sleman periode 2015-2020.
4
1.2. Rumusan Masalah Pembangunan desa pada hakekatnya adalah dari masyarakat, oleh masyarakat,
dan
untuk
masyarakat.
Seperti
yang
diungkapkan
oleh
Tjokroamidjoyo (1979) bahwa dalam pembangunan desa, masyarakat perlu terlibat dalam penentuan arah, strategi, dan kebijakan yang salah satu bentuknya adalah keikutsertaan dan keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan RPJMDes. Penyusunan RPJMDes yang baik adalah yang sesuai dengan instruksi yang disampaikan dalam
peraturan perundang-undangan terkait penyusunan
RPJMDes, salah satunya adalah prinsip partisipatif. Masyarakat perlu ikut serta untuk merumuskan rencana apa yang akan diambil dalam melakukan pembangunan di desanya agar alternatif rencana yang diambil benar-benar menyesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat serta kondisi desanya. Dinata (2013) dalam penelitiannya mengenai partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan di Kota Binjai menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam forum Musrenbang berada pada derajat tokenisme. Menurut Arnstein (1969), derajat tokenisme ini menunjukkan partisipasi masyarakat yang masih terbatas dan hanya sebagai formalitas untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Berdasarkan penelitian Fahrudin (2009), adanya kesempatan yang disediakan pemerintah turut mempengaruhi sejauh mana keterlibatan masyarakat karena dengan memberi kesempatan kepada masyarakat, maka menunjukkan bahwa pemerintah mengizinkan masyarakat untuk terlibat sampai pada level tertentu. Adanya partisipasi masyarakat dalam penyusunan RPJMDes memungkinkan tersusunnya rencana pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga menimbulkan keterlibatan aktif dari masyarakat pada tahap pelaksanaan pembangunan (Rahman, 2012). Rumusan masalah tersebut dapat dijabarkan menjadi beberapa butir pertanyaan, yaitu: 1.
seperti apa partisipasi masyarakat Desa Pandowoharjo dalam proses penyusunan RPJMDes tahun 2015-2020?
5
2.
faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi partisipasi masyarakat Desa Pandowoharjo dalam penyusunan RPJMDes tahun 2015-2020?
3.
bagaimana penyerapan usulan program dari masyarakat ke dalam rencana pembangunan Desa Pandowoharjo tahun 2015-2020?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang teridentifikasi, penelitian ini bertujuan untuk: 1.
mendeskripsikan partisipasi masyarakat Desa Pandowoharjo dalam proses penyusunan RPJMDes tahun 2015-2020;
2.
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat Desa Pandowoharjo dalam penyusunan RPJMDes tahun 2015-2020;
3.
mengetahui penyerapan usulan program dari masyarakat ke dalam rencana pembangunan Desa Pandowoharjo tahun 2015-2020;
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai berikut: 1.
secara akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan desa sehingga mampu memberi gambaran untuk penelitian-penelitian dengan fokus yang sama;
2.
secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat: -
menjadi masukan bagi pemerintah desa setempat terkait penyusunan RPJMDes yang sesuai dengan peraturan perundangan;
-
memberi pemahaman kepada masyarakat Desa Pandowoharjo bahwa keikutsertaan dan partisipasi aktifnya dalam musyawarah perencanaan turut menentukan keberhasilan pembangunan di desanya.
6
1.5. Tinjauan Pustaka 1.5.1. Pendekatan Geografi Menurut Bintarto (1984), geografi merupakan ilmu pengetahuan yang menjelaskan mengenai sifat bumi, menganalisis gejala alam, penduduk, dan corak khas dalam kehidupan serta mencari fungsi dan unsur bumi dalam ruang dan waktu. Yunus (2010) menjelaskan adanya tiga pendekatan dalam geografi untuk menyelesaikan suatu masalah, yaitu: -
Pendekatan keruangan (spatial approach) Pendekatan keruangan merupakan suatu metode analisis yang menekankan pada eksistensi ruang sebagai wadah untuk menampung kegiatan manusia dalam menjelaskan fenomena geosfer.
-
Pendekatan ekologikal (ecological approach) Pendekatan ekologikal ini mempelajari tentang keterkaitan dan interaksi organisme dengan lingkungannya; professional ecology; kebijakan publik dan selalu dikaitkan dengan norma di masyarakat.
-
Pendekatan kompleks wilayah (regional complex approach) Pendekatan ini tidak hanya kombinasi antara pendekatan keruangan dan pendekatan ekologis namun merupakan integrasi dari pendekatan keruangan dengan pendekatan ekologis.
1.5.2. Geografi Perdesaan Geografi perdesaan merupakan salah satu cabang dalam ilmu geografi dan termasuk dalam kelompok studi geografi manusia yang mempelajari fenomena sosial ekonomi dan kultural serta perubahan-perubahannya di wilayah perdesaan dalam keterkaitannya dengan berbagai faktor penentunya di tingkat lokal, regional rnaupun global (Suhardjo,1988). Bintarto (1984) mengemukakan bahwa desa merupakan lingkungan tempat tinggal penduduk yang mata pencaharian utamanya di bidang pertanian. Dilihat dari perspektif hukum (adat) dan administratif, menurut pendapat Sutardjo Kartohadikoesumo dalam Bintarto (1984), desa merupakan kesatuan hukum di mana bertempat tinggal masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan
7
sendiri. Pengertian tersebut sejalan dengan UU Nomor 6 Tahun 2014 bahwa desa merupakan masyarakat hukum yang setingkat langsung di bawah kecamatan dan berhak menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Karakteristik atau ciri-ciri desa dapat dianalisa dari unsur-unsur desa itu sendiri. Ciri-ciri desa menurut Bintarto (1984) diantaranya adalah: a.
Desa dan masyarakat sangat erat kaitannya dengan alam.
b.
Bentang buatan di desa yang mencakup prasarana dan sarana sosial ekonomi serta pemukiman penduduk yang sederhana dan tidak padat.
c.
Kepadatan penduduk tidak padat sampai cukup padat, aktifitas ekonominya bersifat primer, dan interaksi sosial bersifat kekeluargaan.
d.
Tatanan kehidupan masyarakat desa lebih mengutamakan sistem nilai dan adat istiadat setempat untuk mengatur tata kehidupannya. Pacione (1984) menyatakan bahwa konteks kajian dalam geografi pedesaan
juga termasuk geografi perencanaan di dalamnya, meskipun perencanaan yang dimaksud
lebih banyak mengarah pada
perencanaan permukiman dan
persebarannya. Namun, menurut Pacione, geografi politik yang banyak membahas mengenai pengambilan kebijakan di level desa juga merupakan kajian dari geografi pedesaan, seperti halnya penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa yang menghasilkan kebijakan desa dalam bentuk peraturan desa.
1.5.3. Pembangunan Desa Undang–Undang No 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintah Daerah menyatakan
bahwa
Indonesia
menganut
prinsip
desentralisasi
dalam
pembangunan yang diwujudkan dalam otonomi daerah. Daerah berwenang untuk menyelenggarakan pemerintahan di bidang tertentu yang diperlukan serta berhak untuk tumbuh, hidup dan berkembang di daerah, termasuk pemerintahan di tingkat desa. Dalam peraturan perundangan ini, desa diartikan sebagai daerah yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Terkait dengan desa, terdapat PP No. 72 Tahun 2005 yang mengatur tentang desa dan seiring pergantian pemerintahan serta kebijakan, PP tersebut diperbaruhi dengan adanya UU No. 6 Tahun 2014. Dengan
8
diterbitkannya kedua peraturan perundangan
tersebut semakin menunjukkan
bahwa desa memiliki kewenangan lebih khusus untuk mengatur urusan pemerintahannya, sesuai kondisi desanya. Dalam peraturan perundangan tersebut mengulas secara lebih rinci mengenai pembangunan di tingkat desa. Pembangunan desa adalah bagian dari pembangunan nasional yang mencakup pembangunan di segala bidang, baik fisik material maupun mental spiritual dalam satu integritas usaha yang menyeluruh, terpadu, dan terkoordinir untuk memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia (Muta’ali, 2013). Menurut UU No. 6 Tahun 2014, pembangunan desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. UU No. 6 Tahun 2014 menyatakan bahwa dalam pembangunan desa terdapat tiga tahap yang perlu dilalui, yaitu tahap perencanaan pembangunan, pelaksanaan pembangunan, dan pengawasan pembangunan.
1.5.4. Perencanaan Pembangunan Desa Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 114 tahun 2014, tentang Pedoman Pembangunan Desa menjelaskan bahwa perencanaan pembangunan desa sebagai proses tahapan kegiatan yang diselenggarakan oleh pemerintah Desa dengan melibatkan Badan Permusyawaratan Desa dan unsur masyarakat secara partisipatif guna memanfaatkan dan mengalokasikan sumber daya desa dalam rangka mencapai tujuan pembangunan desa. Sedangkan menurut Surat Edaran Mendagri 414.2/1408/PMD Tahun 2010, perencanaan pembangunan desa adalah suatu proses penyusunan tahapan-tahapan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur pemangku kepentingan di desa guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya desa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dalam suatu desa dalam jangka waktu tertentu. Berdasarkan Permendagri No. 66 tahun 2007, pemerintah desa menyusun perencanaan pembangunan desa sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu
9
atau
menyelaraskan
dengan
perencanaan
pembangunan
kabupaten/kota.
Perencanaan desa ini merupakan wujud dari sistem perencanaan pembangunan nasional di tingkat bawah. Perencanaan dan pembangunan desa dilaksanakan oleh desa dengan melibatkan seluruh masyarakat desa. Berdasarkan PP No. 72 Tahun 2005, perencanaan pembangunan desa disusun secara berjangka yang meliputi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dan Rencana Pembangunan Tahunan Desa (RKP Desa) yang merupakan penjabaran dari RPJM Desa.
1.5.5. RPJMDes (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa) RPJM Desa merupakan dokumen perencanaan untuk periode 6 (enam) tahun yang memuat visi dan misi kepala desa; arah kebijakan desa, serta rencana kegiatan yang meliputi bidang penyelenggaraan pemerintah desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa (Permendagri No. 114 Tahun 2014). Penyusunan RPJMDes perlu dilakukan dengan menerapkan prinsip lengkap, cermat, sistematis, partisipatif, dan keterbukaan. RPJMDes merupakan wujud dari proses pemikiran strategis karena berkaitan dengan arah dan tujuan pembangunan desa yang akan dicapai dengan langkah dan cara tertentu. Dengan adanya proses pemikiran yang strategis tersebut diharapkan akan terumuskan: a.
Tujuan dan sasaran pembangunan desa yang konsisten dengan visi misi kepala desa terpilih, sesuai dengan kaidah penyusunan dan sesuai dengan kemampuan desa.
b.
Arah pembangunan desa yang mudah dipahami masyarakat
c.
Kebijakan penggunaan sumberdaya secara efisien
d.
Cara dan langkah yang jelas untuk mencapai tujuan
e.
Alat ukur untuk menilai pencapaian tujuan pembangunan desa
(SE Mendagri 414.2/1408/PMD Tahun 2010) Penyusunan RPJMDes diprakarsai oleh pemerintah desa dengan membentuk tim teknis penyusun RPJMDes. Tim penyusun tersebut secara umum bertugas untuk melaksanakan penyusunan RPJMDes. Tim penyusun tersebut sekurang-
10
kurangnya berjumlah 11 orang yang terdiri dari kepala desa, sekretaris desa, 2 orang pengurus LPMD, 2 orang KPMD, yang salah satunya perempuan, 2 orang kepala dusun, dan 3 orang wakil masyarakat. Pembentukan tim ini dimulai dari proses sosialisasi, pendaftaran peserta, dan pemilihan calon tim penyusun melalui rapat. (SE Mendagri 414.2/1408/PMD Tahun 2010) Berdasarkan Permendagri No. 66 Tahun 2007, penyusunan RPJMDes dilakukan
melalui
(Musrenbangdes), pelembagaan.
yang
musyawarah terdiri
Musrenbangdes
perencanaan
dari adalah
tahap
pembangunan
persiapan,
pelaksanaan,
forum musyawarah tahunan
desa dan yang
dilaksanakan secara partisipatif oleh para pemangku kepentingan desa (pihak yang berkepentingan untuk mengatasi permasalahan desa dan pihak yang akan terkena dampak hasil musyawarah) guna membahas rencana kegiatan desa 6 (enam) dan 1 (satu) tahunan. Permendagri No. 66 tahun 2007 menjelaskan alur penyusunan RPJMDes seperti yang ditunjukkan pada gambar 1.1. Penyusunan RPJMDes tersebut diawali dari kajian mengenai kondisi keadaan desa/ padukuhan/ RW/ RT. Kajian tersebut dilakukan menggunakan media sketsa desa, kalender musim, dan bagan kelembagaan. Hasil dari proses tersebut berupa potensi dan masalah di lingkungannya dan menjadi input untuk menyusun rencana pembangunan. Rumusan masalah tersebut selanjutnya dikelompokkan, diperingkat, dan dikaji tindakan pemecahan masalahnya yang kemudian tindakan pemecahan masalah tersebut juga diperingkatkan. Hasil dari adanya proses tersebut adalah rencana program pembangunan selama 6 tahun dalam dokumen RPJMDes. Selain itu, terdapat berita acara Musrenbangdes dan rencana pembangunan yang telah dikelompokkan berdasarkan pembiayaannya. Dokumen RPJMDes kemudian melahirkan peraturan desa mengenai rencana 6 tahunan dan menjadi daftar usulan yang akan dijabarkan setiap tahunnya dalam dokumen RKP. Menurut SE Mendagri 414.2/1408/PMD Tahun 2010, tahapan penyusunan dokumen RPJMDes meliputi: -
Tahap persiapan yang meliputi penetapan jadwal dan agenda kegiatan; persiapan LPMD; serta menyediakan sarana dan prasarana pendukung
11
kegiatan penyusunan RPJMDes. Tahap persiapan ini dilakukan oleh tim penyusun pasca terbentuk. -
Pengkajian keadaan desa oleh masyarakat dan difasilitasi oleh tim penyusun melalui musyawarah di tingkat dusun dan di lingkup kelembagaan desa. Tahapan ini dilakukan untuk mengidentifikasi masalah, dan potensi; memprioritaskan masalah; mengidentifikasi dan memperioritaskan tindakan untuk mengatasi masalah.
-
Penyusunan rancangan awal RPJMDes oleh tim penyusun. Kegiatan yang ada di dalamnya adalah perumusan rencana kegiatan pembangunan yang akan dilaksanakan selama lima tahun dengan memperhatikan setiap urusan dan mempertimbangkan usulan masyarakat.
-
Pembahasan rancangan awal RPJMDes dengan masyarakat lewat forum Musrenbangdes. Pada tahap ini, perwakilan tim penyusun atau pemerintah desa menyampaikan rancangan awal RPJMDes kepada masyarakat yang hadir. Kemudian pembahasan rancangan RPJMDes tersebut dilakukan melalui diskusi kelompok.
-
Penetapan rancangan akhir RPJMDes menjadi peraturan desa dalam forum terbuka BPD. Dalam forum ini disampaikan rancangan akhir RPJMDes oleh kepala desa/lurah yang kemudian disusul oleh penyampaian tanggapan oleh BPD atau peserta yang ada.
Setiap forum musyawarah dalam tahapan penyusunan RPJMDes harus dihadiri oleh pelaku pembangunan desa sesuai dengan ketentuan dalam Petunjuk Teknis Perencanaan Pembangunan Desa.
12
HASIL
PROSES Penentuan Peringkat Tindakan Lamp I.C/4
MASUKAN Pengkajian Keadaan (Desa,Dusun/Lingkungan,RT/RW ) Potret Desa
Daftar Masalah Dan Potensi Lampiran I.B/1
P e
Profil Desa
PengkajianTi ndakan Pemecahan MasalahLa mp I.C.3
m i Kalender Musim
Daftar Masalah Dan Potensi Lampiran I.B/2
l i
Bagan Kelembagaan
Daftar Masalah Dan Potensi Lampiran I.B//3
n
Perenc. Pemb. Desa yang ada dananya Lampiran I.D/2 Agenda paduan keg. swadaya dan dana yang sudah ada (TP) Lampiran I.D/3 RPJM-Desa (5 thnan) Lampiran I.D/4
Penentuan Peringkat Masalah Lamp I.C/2
h a
Perencanaan Pembangunan Desa Yang Dibiayai Swadaya Masyarakat dan Pihak Ketiga (Lamp. I.D/1)
Pengelompokan Masalah LampI.C/1
Sumber: Permendagri No. 66 Tahun 2007
Indikasi program Lampiran I.D/5 pembangunan Desa Lampiran I.D/6
T Berita Acara Musrenbang RPJM-Desa dan RKP-Desa Lampiran I.D/8
i n d a
13
Peraturan desa tentang RPJM-Desa Lampiran I.E/1
Daftar Usulan Rencana Kegiatan Pembangunan Di Desa (DURKP-Desa) Lampiran I.E/2
Pemeringkatan usulan kegiatan pembangunan
RKP-Desa (1Tahunan) Lampiran I.D/7
Gambar 1.1. Alur Penyusunan RPJMDes
DAMPAK
Keputusan Kepala Desa tentang RKP-Desa
Lampiran I.E/3 & 3.a
1.5.6. Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan Desa Partisipasi masyarakat menurut Sumarto (2003) adalah proses ketika warga, sebagai individu maupun kelompok sosial dan organisasi, mengambil peran serta ikut mempengaruhi proses perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan kebijakankebijakan yang langsung mempengaruhi kehidupan mereka. Menurut Muluk (2007), dalam citizen-centered governance, partisipasi publik merupakan alat untuk mewujudkan goodgovernance. Sejalan dengan hal tersebut, Griesgraber & Gunter (dalam Muluk, 2007) menyatakan bahwa partisipasi sebagai suatu mekanisme yang melibatkan masyarakat dalam suatu program mulai dari tahap identifikasi sampai implementasi dan evaluasi. Dengan demikian, konsep partisipasi menjadi luas, mulai dari aspek perencanaan pembangunan, implementasi, evaluasi, sampai penerimaan
manfaat.
Penerapan
perencanaan
partisipatif
dalam
rangka
perencanaan pembangunan menjadi hal yang penting untuk dipertimbangkan, termasuk dalam hal penyusunan RPJMDes. Hal ini sesuai dengan salah satu prinsip dalam penyusunan RPJMDes, yaitu partisipatif, yang artinya melibatkan semua pihak/ pemangku secara aktif dalam proses pembahasan dan pengambilan keputusan. Menurut Abe (2005), perencanaan partisipatif adalah perencanaan yang dalam tujuannya melibatkan kepentingan masyarakat, dan dalam prosesnya melibatkan masyarakat (baik secara langsung maupun tidak langsung). Tujuan dan tata cara perencanaan perlu dipandang sebagai suatu kesatuan untuk kepentingan rakyat sehingga rumusannya akan berpihak kepada rakyat. Murtiono dan Wulandari (2014) mengungkapkan bahwa masyarakat adalah pihak yang lebih memahami kebutuhan, kondisi, permasalahan, dan potensi desa. Mereka juga yang merasakan manfaat dari pembangunan dan menilai dampak yang dirasakan dari hasil pembangunan. Oleh karenanya, keberadaan partisipasi masyarakat ini diperlukan dalam perencanaan pembangunan. Pengertian perencanaan partisipatif secara lebih nyata dinyatakan oleh Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (1996), di mana perencanaan partisipatif merupakan proses perencanaan yang diwujudkan dalam musyawarah yang
14
membahas rancangan rencana dan dikembangkan bersama oleh semua pelaku pembangunan (stakeholders). Dalam implementasinya, perencanaan partisipatif di lingkup desa melibatkan seluruh elemen pembangunan di tingkat desa. Pelaku pembangunan di tingkat desa ini terdiri dari pelaksana pemerintahan yang dibantu perangkat desadan masyarakat (UU No. 6 Tahun 2014). Perencanaan partisipatif dalam perencanaan pembangunan desa ini sangat ditekankan dalam tahap penyusunan RPJMDes. Secara tersurat, Surat Edaran Mendagri No. 414.2/1408/PMD Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Perencanaan
Pembangunan
Desa
menyatakan
bahwa
dalam
melakukan
pengkajian keadaan desa, metode yang digunakan adalah P3MD (Perencanaan Partisipatif Pembangunan Desa) dengan mengadakan diskusi terarah bersama kelompok
masyarakat
menggunakan
bantuan
kalender
musim,
bagan
kelembagaan, dan sketsa desa. Menurut Conyers (1991), penerapan partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan penting karena: -
partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat. Tanpa kehadiran masyarakat, program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal;
-
masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk-beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut;
-
partisipasi merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri.
Terkait hal tersebut, Abe (2005) juga menyatakan bahwa dengan melibatkan masyarakat dalam perencanaan akan menghindarkan dari peluang terjadinya manipulasi, memberi nilai tambah pada legitimasi rumusan perencanaan, dan meningkatkan kesadaran serta keterampilan politik masyarakat. Namun demikian, pelaksanaan partisipasi dalam perencanaan pembangunan masih belum sepenuhnya sesuai dengan harapan tokoh-tokoh di atas. Slamet
15
(1985 dalam Mardikanto 1994) menyatakan bahwa terdapat 3 unsur yang menentukan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, termasuk pada tahapan perencanaan, yaitu: 1.
kemauan, yang berkaitan dengan motif masyarakat berpartisipasi serta penghargaan yang diperoleh masyarakat dengan mereka berpartisipasi
2.
kemampuan, bekaitan dengan kapasitas masyarakat untuk ikut berpartisipasi yang dapat dilihat dari pengetahuannya dan kesanggupan untuk berpartisipasi
3.
kesempatan, berkaitan dengan peluang yang diciptakan pihak di luar masyarakat, penyediaan sarana dan prasarana, juga kemauan politik.
Sedangkan menurut Angell (Ross, 1955), adanya perbedaan usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan, serta lamanya tinggal mampu mempengaruhi partisipasi masyarakat. Terkait dengan hal tersebut, Slamet (1992) juga menyampaikan beberapa faktor yang mampu mempengaruhi partisipasi masyarakat, meliputi: usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, pekerjaan, dan jenis kelamin. Faktor-faktor tersebut diungkapkannya dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat secara internal atau dari dalam diri mereka sendiri. Adanya faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat tersebut kemudian mengakibatkan implementasi partisipasi masyarakat yang berbeda-beda pada setiap kegiatan atau wilayah. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan desa berkaitan dengan tingkat kekuasaan yang diberikan kepada masyarakat sehingga memberikan tipologi partisipasi yang beragam. Arnstein (1969) menjelaskan bahwa terdapat 8 tingkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan yang dapat dimodifikasi ke dalam perencanaan pembangunan dengan mempertimbangkan substansi setiap tingkatan. Setiap tingkatan dalam teori Arnstein (1969) menunjukkan adanya perbedaan campur tangan masyarakat dalam pembangunan. Tabel 1.1., menunjukkan tangga partisipasi yang di kemukakan Arnstein (1969).
16
Tabel 1.1. Derajat Partisipasi Masyarakat Menurut Arnstein Derajat Partisipasi Pengawasan Masyarakat (Citizen Control)
Pendelegasian Kekuasaan (Delegated Power)
Kemitraan (Partnership)
Penentraman (Placation)
Konsultasi (Consultation)
Pemberian Informasi (Informing)
Terapi (Therapy)
Manipulasi (Manipulation)
Penjelasaan Pada tingkat ini, partisipasi masyarakat berada pada level tertinggi. Masyarakat bertanggungjawab penuh dan melakukan pengendalian kebijakan manajerial, serta melakukan kerjasama mengenai program yang sedang dilaksanakan di wilayahnya. Pemerintah memberikan wewenang kepada masyarakat untuk melaksanakan suatu program atau kegiatan. Namun demikian, masih terdapat peran pemerintah dalam mengawasi, memantau, mengarahkan, dan memberi persetujuan terhadap kegiatan atau program-program tersebut. Pada tingkatan ini, masyarakat memiliki kekuatan untuk bernegosiasi dengan pemegang kekuasaan untuk menentukan arah pembangunan di daerahnya. Keduanya bekerjasama secara sinergi Pada tingkat penentraman ini pemerintah menempatkan sangat sedikit masyarakat pada badan-badan urusan masyarakat atau pemerintah. Pemerintah membiarkan masyarakat untuk memberikan saran-saran atau rencana tambahan, tetapi pemegang kekuasaan tetap berhak untuk menentukan fisibilitas dari saran-saran tersebut. Pada tahap ini terdapat komunikasi dua arah lewat survei mengenai perilaku, pertemuan antar tetangga, dan dengar pendapat yang sifatnya buatan (artificial). Hal ini karena tidak ada jaminan bahwa aspirasi dan ide masyarakat akan dijadikan bahan pertimbangan. Pada tingkat ini terdapat pemberian informasi mengenai hak-hak, tanggung jawab, dan pilihan-pilihan masyarakat yang terjadi hanya satu arah dari aparat pemerintah kepada masyarakat lewat media massa, pamflet, poster, dan respon untuk bertanya. Namun, setelah pemberitahuan tersebut tidak ada umpan balik (feedback) dari masyarakat. Tingkat partisipasi masyarakat di tingkat ini ditandai dari adanya program dari pemerintah dengan kedok mengatasi atau memperbaiki permasalahan masyarakat dan untuk itu pemerintah memerlukan partisipasi masyarakat. Keikutsertaan masyarakat pada program tersebut justru menimbulkan kekecewaan dari masyarakat karena tidak sesuai dengan hasil yang diarapkan. Manipulasi merupakan tangga terendah dari partisipasi masyarakat. Pada level ini, masyarakat tidak berdaya dan pemegang kekuasaan memanipulasi partisipasi masyarakat dengan menunjukbeberapa wakil masyarakat dan merekayasa dukungan masyarakat yang sebenarnya.
Keterangan
Kekuatan Masyarakat
Tokenisme
S e m a k i n t i n g g i
Nonpartisipasi
Sumber: Arnstein (1969)
Teori lain mengenai partisipasi masyarakat dalam pembangunan juga disampaikan oleh Hobley (1996 dalam Awang, 1999), di mana terdapat tujuh tipologi partisipasi masyarakat yang disampaikan, antara lain: 1.
Partisipasi Manipulasi (Manipulative Participation) Karakteristik dari model partisipasi ini adalah keanggotaan masyarakat yang bersifat keterwakilan pada suatu komisi kerja, organisasi kerja, atau
17
kelompok-kelompok, tidak berbasis pada individu. Adanya keterwakilan tersebut hanya merupakan formalitas dan belum mencerminkan bahwa mereka benar-benar mewakili masyarakat yang ada. 2.
Partisipasi Pasif (Passive Participation) Partisipasi masyarakat terlihat dari adanya pemberitahuan pemerintah kepada masyarakat mengenai program yang telah diputuskan atau program yang telah terjadi. Dalam hal ini, pemerintah hanya memberikan informasi mengenai hasil akhir dari program yang akan dilakukan atau telah dilakukan tanpa mau mendengar respon dari masyarakat tentang keputusan atau informasi tersebut. Informasi yang disampaikan hanya informasi umum dan terbatas, tidak seluruhnya disampaikan.
3.
Partisipasi Melalui Konsultasi (Participation by Consultation) Masyarakat berpartisipasi dengan berkonsultasi atau menjawab pertanyaan. Dalam proses konsultasi tersebut tidak ada peran masyarakat dalam proese pengambilan
keputusan.
Dalam
konteks
ini,
pandangan-pandangan
masyarakat tidak dipertimbangkan oleh pemerintah. 4.
Partisipasi untuk Insentif (Participation for Material Incentives) Partisipasi masyarakat ditunjukkan melalui pemberian dukungan berupa material, misalnya tenaga kerja, dukungan pangan, atau insentif lainnya. Kelemahan dari model partisipasi ini adalah apabila insentif habis maka teknologi yang digunakan dalam pelaksanaan program juga tidak akan berlanjut.
5.
Partisipasi Fungsional (Functional Participation) Partisipasi fungsional ini ditunjukkan dari adanya kerjasama antara lembaga eksternal dengan masyarakat. Lembaga eksternal berperan dalam mencapai target proyek, khususnya ikut membantu mengurangi biaya pelaksanaan program. Sedangkan masyarakat berpartisipasi dengan membentuk kelompok untuk menentukan tujuan yang terkait dengan proyek.
6.
Partisipasi interaktif (Interactive Participation) Partisipasi ini ditunjukkan dari adanya analisis bersama mengenai pengembangan perencanaan pelaksanaan dan pembentukan atau penekanan
18
lembaga lokal. Di sini, partisipasi dipandang sebagai suatu hak, tidak hanya satu cara untuk mencapai target proyek saja, namun melibatkan multi-disiplin metodologi
dan
ada
proses
belajar
yang
terstruktur.
Pengambilan
keputusannya bersifat lokal oleh kelompok dan kelompok menentukan bagaimana ketersediaan sumber daya yang digunakan, sehingga kelompok tersebut memiliki kekuasaan untuk menjaga potensi yang ada di lingkungannya. 7.
Partisipasi inisiatif (Self-Mobilisation) Partisipasi masyarakat ditunjukkan melalui pengambilan inisiatif secara indenpenden
untuk
melakukan
perubahan
sistem.
Masyarakat
mengembangkan hubungan dengan lembaga eksternal untuk mendapat masukan mengenai pengelolaan sumber daya dan teknik yang mereka perlukan. Hal ini dapat dikembangkan apabila pemerintah dan LSM memberi peluang kepada masyarakat untuk mengelola sumberdayanya. Selain tercermin dari tipologinya, adanya partisipasi masyarakat dapat dilihat dari bentuknya. Slamet (1992) menyatakan bahwa terdapat perbedaan bentuk partisipasi yang diberikan masyarakat dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, dan dalam tahap pemanfaatan. Secara lebih konkrit, Pasaribu dan Simandjuntak (1986) menyatakan bahwa terdapat beberapa bentuk partisipasi masyarakat yang dapat diberikan masyarakat dalam pembangunan, meliputi: 1.
Partisipasi uang (bentuk partisipasi untuk memperlancar usaha-usaha bagi pencapaian kebutuhan masyarakat yang memerlukan bantuan)
2.
Partisipasi harta benda (partisipasi dalam bentuk menyumbang harta benda, biasanya berupa alat-alat kerja atau perkakas)
3.
Partisipasi tenaga (partisipasi yang diberikan dalam bentuk tenaga untuk pelaksanaan usaha-usaha yang dapat menunjang keberhasilan suatu program)
4.
Partisipasi keterampilan (partisipasi dengan memberikan dorongan melalui keterampilan yang dimilikinya kepada anggota masyarakat lain yang membutuhkannya dengan maksud agar orang tersebut dapat melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan sosialnya)
19
5.
Partisipasi buah pikiran (partisipasi berupa sumbangan berupa ide, pendapat atau buah pikiran konstruktif, baik untuk menyusun program maupun untuk memperlancar pelaksanaan program dan juga untuk mewujudkannya dengan memberikan pengalaman dan pengetahuan guna mengembangkan kegiatan yang diikutinya)
6.
Partisipasi sosial (bentuk partisipasi ini diberikan oleh partisipan sebagai tanda paguyuban, seperti misalnya arisan, menghadiri kematian, dan lainnya dan dapat juga sumbangan perhatian atau tanda kedekatan dalam rangka memotivasi orang lain untuk berpartisipasi)
1.6. Keaslian Penelitian Penelitian terkait partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan telah banyak dilakukan seperti yang tertera dalam tabel 1.5. Hal tersebut sejalan dengan semakin dituntutnya partisipasi masyarakat dalam setiap perencanaan pembangunan. Penelitian mengenai partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan desa, seperti yang diungkapkan oleh Hidayah (2013) dan penelitian mengenai perencanaan pembangunan di tingkat kota/kabupaten seperti yang diungkapkan oleh Dinata (2013) masih mengkaji pada satu forum musyawarah saja, yaitu Musrenbangdes. Keduanya memfokuskan pada tingkat partisipasi masyarakatnya. Sedangkan kajian partisipasi dalam penelitian ini difokuskan pada musyawarah yang ada untuk penyusunan RPJMDes. Selain itu, kajian partisipasi tidak hanya difokuskan pada aspek tingkat partisipasi, namun juga mengkaji bentuk, pelaku (elemen masyarakat) yang terlibat dalam setiap forum, serta fenomena partisipasi lainnya yang muncul selama proses penyusunan. Perbedaan juga tampak pada teknik pengambilan data dan pengolahan datanya. Sama halnya dengan penelitian ini, Rahman (2012) telah melakukan penelitian mengenai RPJMDes yang ada di Desa Triharjo, Kecamatan Sleman, Kabupaten Sleman. Namun, penelitian Rahman (2012) masih sebatas pada kajian terhadap kesesuaian antara pelaksanaan proses penyusunan RPJMDes di Desa Triharjo dengan PP No. 72 Tahun 2005 dan belum mengkaji lebih dalam mengenai partisipasi masyarakat dalam setiap proses. Penelitian ini mengkaji
20
mengenai faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan desa yang juga dikaji oleh Fahrudin (2009). Perbedaan keduanya adalah pada indikator yang digunakan dan cakupan wilayah penelitian. Dalam menganalisis faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat, Fahrudin (2009) mendasarkan pada kemauan, kemampuan, kesempatan, dan kepentingan. Sementara itu, untuk mengkaji faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat, penelitian ini mengkaji dari aspek kemauan, kemampuan, dan kesempatan seperti yang diungkapkan oleh Slamet (1985 dalam Mardikanto, 1994). Alasan dari tidak digunakannya kepentingan sebagai indikator adalah karena faktor kepentingan pemerintah sudah terwakilkan dalam faktor kesempatan yang tercermin dari motif pemerintah untuk melibatkan masyarakat. Cakupan wilayah kajian dalam penelitian Fahrudin adalah kabupaten, sedangkan pada penelitian ini adalah desa. Kajian partisipasi masyarakat dalam penyusunan RPJMDes ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi kesesuaian antara usulan yang diberikan masyarakat dengan program yang dirumuskan dalam RPJMDes. Dinata (2013) juga melakukan kajian sejenis mengenai hal tersebut. Yang membedakan kedua penelitian ini adalah pada objek kajiannya. Dinata mengkaji mengenai kedudukan daftar usulan masyarakat dalam RKP Kota Binjai. Sedangkan penelitian ini mengkaji mengenai kedudukan usulan masyarakat dalam RPJMDes yang dilihat dari penyerapan usulan program dari masyarakat dalam rencana program pembangunan dalam dokumen RPJMDes. Penelitian mengenai partisipasi masyarakat dalam perencanaan desa juga dilakukan oleh Septiana (2015). Persamaan penelitian Septiana dengan penelitian ini adalah pada lokasi kajiannya, yaitu di Desa Pandowoharjo, Kecamatan Sleman, Kabupaten Sleman. Penelitian Septiana (2015) lebih mengarah pada penelitian sosial mengenai deliberative democracy yang diwujudkan dalam setiap level musyawarah, baik di level RT/RW, padukuhan, maupun desa. Sedangkan penelitian ini mengkaji mengenai musyawarah pada penyusunan RPJMDes. Selain itu, penelitian ini juga meneliti mengenai faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dan kedudukan usulan masyarakat yang tidak dikaji dalam penelitian Septiana (2015).
21
Tabel 1.2. Matriks Penelitian Terdahulu No. 1.
2.
3.
Judul
Jenis
Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan Desa (Studi dalam Penyelenggaraan Musrenbangdes di Desa Grenden Kecamatan Puger Kabupaten Jember) Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa pada Proses Penyusunan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) di Desa Triharjo, Kecamatan Sleman, Kabupaten Sleman Partisipasi masyarakat dalam musyawarah perencanaan pembangunan Kota Binjai tahun 2013
Artikel Ilmiah Hasil Penelitian
Peneliti (Tahun) Arina Hidayah, Dra. Inti Wasiati, M.M, Dina Suryawati, S. Sos, M.AP (2013)
Tujuan Mengetahui dan mendeskripsikan derajat partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Musrenbangdes dalam rangka menyusun RKPDes
Skripsi
Danny Rahman (2012)
1. Untuk mengetahui mengenai pelaksanaan proses Penyusunan RPJMDes di Desa Triharjo Kecamatan Sleman Kabupaten Sleman 2. Untuk mengetahui hambatanhambatan dalam pelaksanaan penyusunan RPJMDes di Desa Triharjo Kecamatan Sleman Kabupaten Sleman
Tesis
Arvintona Iskandar Dinata (2013)
1. Mengetahui derajat partisipasi masyarakat dalam musyawarah perencanaan pembangunan Kota Binjai. 2. Mengetahui kedudukan usulan masyarakat dalam penyusunan rencana kerja pembangunan daerah Kota Binjai.
22
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
Jenis penelitiankualitatif deskriprif Teknik pengambilan datawawancara, observasi, studi pustaka, dan dokumentasi Teknik pengambilan informanpurposive Teknik analisis data kualitatif deskriptif menurut Miles & Huberman Jenis penelitian penelitian hokum empiris dengan pendekatan kualitatif Teknik pengumpulan data studi dokumen atau bahan pustaka, dan wawancara atau interview Teknik Analisis data reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan
1. Pelaksanaan Musrenbangdesa tidak sepenuhnya berdasarkan juknis yang ditentukan 2. Derajat partisipasi masyarakat dibahas dalam 2 tahap, yaitu: Tahap persiapankonsultasi Tahap pelaksanaan Musrenbangdes konsultasi penyelenggaraan 3. Partisipasi masyarakat pada kategori sedang
Jenis penelitian kuantitatif, kualitatif Teknik pengambilan sampel dan informanpurposive sampel Teknik pengumpulan data wawancara/interview, sebar kuesioner, studi dokumen Teknik Analisis datadeskriptif kuantitatif dan deskriptif kualitatif
1. Derajat partisipasi masyarakat di Kota Binjai masih pada derajat tokenisme (pertanda) 2. Kedudukan usulan masyarakat dalam penyusunan RKPD Kota Binjai dinilai masih lemah. Banyaknya usulan masyarakat yang disampaikan hanya tertuju pada satu SKPD, SKPD jugamemiliki keterbatasan anggaran, pelaksanaan musrenbang kelurahan dan kecamatan dilaksanakan dengan singkat, sehingga penyampaian aspirasi masyarakat hanya berdasar pada kepentingan pribadi, bukan kebutuhan
1. Proses penyusunan RPJM Desa Triharjo menggunakan pedoman Permendagri No. 66 Tahun 2007. Penysunan RPJM Desa Triharjo telah bekerja sama dengan seluruh masyarakat dan menampung aspirasi dari seluruh penduduk sesuai dengan Pasal 63 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005. 2. Hambatan yang terjadi dalam proses Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Triharjo adalah ketidakaktifan dari sebagian kelompok perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user masyarakat minoritas dalam Musrenbang Desa Triharjo
No.
4.
Judul
Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan Desa di Kabupaten Tanjung Jabung Timur
Jenis
Tesis
Peneliti (Tahun)
Tujuan
Metode Penelitian
Ali Fahrudin (2009)
8. Menemukan, mengembangkan, membuktikan, pengetahuan tentang partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan desa 9. Menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan desa
5.
Deliberative Democracy dalam Masyarakat Desa (Studi Implementasi Musyawarah Rencana Pembangunan sebagai Instrumen Deliberative Democracy di Desa Pandowoharjo, Padukuhan TlacapGrojogan, Kecamatan Sleman, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta)
Skripsi
Risa Septiana (2015)
1. mengidentifikasi inisiasi proses penyelenggaraan Musrenbang, baik musyawarah pembangunan ditingkat desa hingga musyawarah Padukuhan/ dusun ditingkat lokal. 2. Menganalisa implementasi terhadap konsepsi demokrasi deliberatif dalam penyelenggaraan musyawarah rencana pembangunan (Musrenbang) di Desa Pandowoharjo. 3. Menyimpulkan strategi penyelenggaraan demokrasi lokal berdasarkan penerapan konsep demokrasi deliberatif dalam penyelenggaraan Perencanaan Pembangunan di Pandowoharjo.
Sumber: Penelusuran Peneliti, 2015
23
Jenis penelitian Menurut pendekatan: kualitatif Teknik pengumpulan dataobservasi, in depth interview, teknik dokumentasi, dan telaah pustaka Teknik pengambilan sampelmengambil responden kunci Teknik analisis datadeskriptif kualitatif
Jenis penelitian Menurut pendekatan: kualitatif Keterkaitan dengan populasi: studi kasus Teknik pengumpulan dataobservasi, FGD, teknik wawancara, dan telaah pustaka Teknik analisis dataresearch question
Hasil Penelitian masyarakat luas. 1. Adanya keterlibatan amsyarakat hanya karena rasa segan dan patuh atas undangan dari desa 2. Kebebasan menyuarakan pendapat amsih rendah, danya keterbatasan kemampuan pada elemen masyarakat tertentu 3. Kemauan masyarakat untuk berpartisipasi beragam, masyarakat dengan latar belakang beda, memiliki motif berbeda, penghargaan yang diberikan dijadikan alat politik 4. Pendidikan rata-rata yang terlibat dalam Musrenbangdes adalah SD dan masyarakat dengan ekonomi mapan belum tentu aktif 5. Sudah ada sarana dan prasarana berpartisipasi,tapi belum optimal, musyawarah desa hanya normative 1. Musrenbang Desa minim partisipatif dan ruang publik sehingga menjadi agenda formalitas dalam pemerintahan lokal. Prosedur deliberasi demokrasi pasca otonomi desa dapat diperankan dan membuka ruang publik partisipasi ditengah masyarakat lokal. 2. Musyawarah Rencana Pembangunan di Padukuhan dan Musayawarah Dusun telah berhasil mengelaborasi konsepsi ruang publik yang terealisasi dalam tatanan masyarakat lokal 3. Strategi demokrasi yang terbentuk melalui diskusi informal antar pemerintah desa, BPD, LPMD serta pemerintah desa menjadi strategi yang efektif dalam proses penetapan kemufakatan, evaluasi hingga proses realisasi pengajuan program pembangunan desa oleh masyarakat. 4. Musrenbang Pandowoharjo diperkuat oleh peranperan aktor perangkat desa dan dalam organisasi. Musyawarah Rencana Pembangunan Desa misalnya memiliki derajat partisipasi masyarakat yang berbeda dengan kondisi partisipasi dalam agenda musduk
1.7. Kerangka Pemikiran Penyusunan RPJMDes di Desa Pandowoharjo didasarkan atas beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyusunan RPJMDes, di antaranya terdapat 6 peraturan yang berkaitan secara lagsung. Keenamnya meliputi Permendagri No. 66 Tahun 2007, Undang-undang No. 6 Tahun 2014, PP No. 43 Tahun 2014, Permendagri No.12 Tahun 2007, Permendagri No. 66 Tahun 2007, dan Perbup Sleman No. 2 Tahun 2014. Berdasarkan beberapa peraturan tersebut, kemudian disusunlah RPJMDes Pandowoharjo yang diawali dari tahap persiapan sampai pada penetapan RPJMDes menjadi peraturan desa. Dalam penyusunan RPJMDes tersebut, diterapkan prinsip partisipatif sesuai yang tercantum dalam Permendagri No. 66 Tahun 2007. Partisipasi masyarakat tersebut dilibatkan pada tahap sosialisasi, musyawarah dusun, dan musyawarah rencana pembangunan desa. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini mengkaji mengenai karakteristik partisipasi pada beberapa tahapan tersebut. Adanya partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan RPJMDes Pandowoharjo kemudian membawa peneliti untuk mengidentifikasi faktor-faktor apa yang mendorong keterlibatan masyarakat pada penyusunan RPJMDes Pandowoharjo sehingga diperoleh karakteristik partisipasi masyarakat di Desa Pandowoharjo, baik dalam bentuk, tingkat partisipasi, elemen masyarakat yang terlibat di dalamnya, dan hal-hal lainnya. Partisipasi masyarakat pada penyusunan RPJMDes tersebut menghasilkan produk berupa usulan masyarakat yang semestinya digunakan tim penyusun sebagai pertimbangan dalam menyusun rancangan RPJMDes dan memperbaiki rancangan RPJMDes. Dengan demikian, maka dapat diperoleh rumusan rencana pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Isu
tersebut kemudian membawa peneliti untuk
mengidentifikasi seberapa besar usulan masyarakat yang dapat diterima dalam RPJMDes.
24
Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat
Prinsip Partisipatif 1. Permendagri No. 66 Tahun 2007 2. Undang-undang No. 6 Tahun 2014 3. PP No. 43 Tahun 2014 4. Permendagri No.12 Tahun 2007 5. Permendagri No. 67 Tahun 2007 6. Perbup Sleman No. 2 Tahun 2014
Keterangan: Penyusunan RPJMDes Pandowoharjo Input Proses
Persiapan
Sosialisasi dan Kajian keadaan desa dalam forum musduk
Penyusunan rancangan RPJMDes
Usulan Program
Pembahasan rancangan RPJMDes dalam forum Musrenbangdes s Usulan Program
Partisipasi Masyarakat dalam penyusunan RPJMDes
Penetapan RPJMDes
RPJMDes Pandowoharjo Tahun 2015-2020 Rencana Program Pembangunan Desa Pandowoharjo
Alur penyusunan RPJMDes Penyerapan usulan program dari masyarakat dalam rencana program pembangunan Desa Pandowoharjo tahun 2015-2020
Alur kajian Tujuan utama
Gambar 1.2. Kerangka Pemikiran
Output
Sumber:Konstruksi Penulis, 2015
25
1.8. Batasan Operasional Berikut adalah batasan ruang lingkup dari penelitian ini: 1.
Pembangunan desa adalah pemanfaatan sumber daya yang dimiliki untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat yang nyata dengan melalui tahap perencanaan,
pelaksanaan,
dan
evaluasi
(Surat
Edaran
Mendagri
414.2/1408/PMD Tahun 2010 dan UU No. 6 Tahun 2014) 2.
Perencanaan Pembangunan Desa adalah proses penyusunan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur pemangku kepentingan di desa guna pemanfaatan sumber daya desa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dalam suatu desa dalam jangka waktu tertentu. (Surat Edaran Mendagri 414.2/1408/PMD Tahun 2010).
3.
RPJM Desa merupakan dokumen perencanaan untuk periode 6 (enam) tahun yang memuat visi dan misi kepala desa; arah kebijakan desa, serta rencana kegiatan
yang
meliputi
bidang
penyelenggaraan
pemerintah
desa,
pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa (Permendagri No. 114 Tahun 2014). 4.
Partisipasi masyarakat adalah proses ketika warga atau kelompok sosial dan organisasi mengambil peran dan ikut mempengaruhi proses perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan kebijakan yang mempengaruhi kehidupan mereka. (Sumarto, 2003)
5.
Tahapan perencanaan pembangunan desa diawali dari persiapan, pengkajian kadaan desa, penyusunan rancangan awal RPJMDes, pembahasan rancangan awal RPJMDes, dan penetapan rancangan akhir RPJMDes menjadi peraturan desa. (Surat Edaran Mendagri 414.2/1408/PMD Tahun 2010)
6.
Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat diantaranya adalah kemauan, kemampuan, dan kesempatan. (Slamet, 1985 dalam Mardikanto, 1994)
7.
Rencana
pembangunan
adalah
rumusan
rencana
program/kegiatan
pembangunan selama 6 tahun dalam RPJMDes yang terdiri dari berbagai urusan
dan
dikelompokkan
menurut
26
bidangnya,
yaitu
bidang
penyelenggaraan
pemerintahan,
bidang
pembangunan
desa,
bidang
pembinaan masyarakat, dan bidang pemberdayaan masyarakat. 8.
Usulan masyarakat adalah masukan masyarakat terkait potensi, masalah, program/kegiatan pembangunan dalam forum pengkajian keadaan desa dan masukan masyarakat dalam forum pembahasan rancangan RPJMDes.
9.
Bentuk partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan adalah wujud partisipasi yang diberikan masyarakat.
10. Derajat partisipasi masyarakat adalah tingkat partisipasi masyarakat yang berkaitan dengan tingkat kekuasaan yang diberikan kepada masyarakat dan terdiri dari delapan tingkatan, meliputi: manipulasi, terapi, pemberian informasi, konsultasi, penentraman , kemitraan, pendelegasian, pengawasan. (Arnstein, 1969) 11. Musyawarah penyusunan RPJMDes terdiri dari musyawarah di tingkat padukuhan dan Musrenbangdes di tingkat desa. 12. Musyawarah dusun/ padukuhan adalah musyawarah di tingkat dusun/ padukuhan untuk melakukan pengkajian keadaan desa. 13. Musrenbangdes adalah forum musyawarah di level desa dalam 6 tahun untuk membahas rancangan (Awal) RPJM-Desa.
27