1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Setiap perusahaan dalam menjalankan bisnisnya menginginkan untuk memiliki keunggulan-keunggulan kompetitif dengan memaksimalkan semua modal yang dimiliki, seperti diantaranya modal finansial, modal teknologi, sumber daya alam, dan sumber daya manusia yang ada di perusahaan. Namun demikian, ada satu bentuk modal yang sekarang ini mulai mendapat perhatian lebih dari para praktisi manajemen dan perusahaan-perusahaan, terutama perusahaan yang menginginkan untuk meningkatkan kinerja dan efisiensinya yaitu modal sosial. Yang membuat modal sosial ini berbeda dengan bentukbentuk modal yang lain adalah selain berperan sebagai aset dalam suatu perusahaan, modal sosial juga berperan sebagai instrumen sekaligus tujuan dalam pengembangan perusahaan dengan memaksimalkan bentuk-bentuk modal lain yang dimiliki perusahaan. Modal sosial itu sendiri terbentuk dari adanya pola interaksi timbal balik yang terjadi antara para pegawai dengan manajemen perusahaan dan antar sesama keduanya yang didasarkan pada adanya rasa saling percaya antar sesama yang telah mengakar pada suatu budaya organisasi dan etika sosial (Cox, 1997). Yang membuat modal sosial kini mendapat perhatian lebih dan terus dikembangkan dalam suatu perusahaan adalah dengan adanya modal sosial yang melekat pada setiap individu pegawai akan mampu memberikan keunggulan tertentu baik pada individu pegawai yang bersangkutan maupun pada perusahaan secara umum yaitu mampu meningkatkan kinerja pegawai yang merupakan basis dari kinerja perusahaan secara umum (Adler dan Kwon, 2002). Selain itu dengan pengelolaan yang baik dari modal sosial yang kuat yang dimiliki suatu perusahaan, akan membuat perusahaan tersebut memiliki keunggulan kompetitif yang sulit ditiru oleh perusahaan lain. Karena itulah, sangat mungkin suatu perusahaan akan memiliki modal sosial yang berbeda dengan perusahaan yang lain. Menurut Fox (1974), berbicara tentang modal sosial dalam konteks organisasi atau perusahaan, akan memiliki keterikatan sangat erat dengan adanya
2
tingkat kepercayaan organisasional (trust) yang dimiliki setiap pegawai di dalamnya. Dimana modal sosial dengan adanya dukungan kepercayaan pada diri setiap individu pegawai akan membuat mereka lebih mudah berinteraksi dan bekerjasama dengan rekan kerjanya maupun dengan pihak perusahaan, sehingga tidak mustahil akan mampu mendorong mereka berkinerja lebih baik lagi salah satunya
ditunjukkan
dengan
kesediaannya
melaksanakan
Organizational
Citizenship Behavior (OCB) dalam bekerja (Quinhong Fu, 2004). Sebaliknya, modal sosial tanpa adanya dukungan dari kepercayaan akan membuat modal sosial menjadi lemah dan tidak bisa dikembangkan untuk memberikan pengaruh positif dalam perusahaan termasuk dalam mendorong pegawai meningkatkan kinerjanya. Bahkan ketiadaan dari kepercayaan akan membuat munculnya berbagai masalah sosial dalam perusahaan seperti perselisihan antar pegawai, sikap individualis dan runtuhnya nilai-nilai kebersamaan yang bisa sangat membahayakan bagi stabilitas perusahaan. OCB merupakan istilah yang digunakan untuk mengidentifikasi perilaku pegawai sehingga dia dapat disebut sebagai “anggota yang baik” (Sloat, 1999). Perilaku ini cenderung melihat seseorang (individu pegawai) sebagai mahkluk sosial (menjadi anggota organisasi), dibandingkan sebagi mahkluk individual yang mementingkan diri sendiri. Sebagai mahkluk sosial, manusia memiliki empati kepada orang lain dan lingkungannya dan menyelaraskan nilai-nilai yang dianutnya dengan nilai-nilai yang dimiliki lingkungannya untuk menjaga dan meningkatkan interaksi sosial yang lebih baik. Jika pegawai dalam organisasi memiliki OCB, maka usaha untuk mengendalikan dan mengontrol pegawai akan menurun, karena pegawai dapat mengendalikan perilakunya sendiri atau mampu memilih perilaku terbaik untuk kepentingan organisasinya. Borman dan Motowidlo (1997) mengatakan bahwa OCB dapat meningkatkan kinerja organisasi (organizational performance) karena perilaku ini merupakan “pelumas” dari mesin sosial dalam organisasi, dengan kata lain, dengan adanya perilaku ini maka interaksi sosial pada anggota-anggota organisasi menjadi lancar, mengurangi terjadinya perselisihan, dan meningkatkan efisiensi perusahaan. Jadi bisa dikatakan bahwa untuk perusahaan-perusahaan yang memiliki keinginan untuk terus berkembang dengan meningkatkan efisiensi dan
3
kinerjanya, ketiga konstruk baik itu modal sosial, kepercayaan dan OCB merupakan konstruk yang pantas untuk diperhatikan dan terus dikembangkan dalam
suatu
perusahaan.
Permasalahan
selanjutnya
adalah
bagaimana
memodelkan ketiga konstruk tersebut dalam suatu model yang paling sesuai, sehingga akan lebih mudah diimplementasikan dalam kebijakan-kebijakan perusahaan. Penelitian-penelitian tentang modal sosial yang telah banyak dilakukan sebelumnya termasuk di Indonesia, lebih sering menyoroti modal sosial dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dimana modal sosial memiliki peran penting dalam pembangunan sosial dan ekonomi. Belum banyak penelitian yang dilakukan untuk melihat peran modal sosial sebagai konstruk yang penting dalam konteks organisasi atau perusahaan. Penelitian ini akan mengisi kekosongan tersebut, dengan meneliti modal sosial dalam konteks perusahaan. Perusahaan yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah perusahaan atau badan usaha milik pemerintah. Karena yang terjadi di perusahaan-perusahaan atau badan usaha milik pemerintah cenderung memiliki tingkat turn over pegawai yang rendah, sehingga para pegawai yang ada di dalam perusahaan tidak banyak mengalami perubahan personil dan bisa saling berinteraksi dalam jangka waktu yang lama. Kondisi tersebut sangat memungkinkan setiap individu pegawai yang ada di perusahaan memiliki modal sosial yang kuat. Hal lain yang terjadi di perusahaan-perusahaan atau badan usaha milik pemerintah justru memperlihatkan para pegawai yang cenderung menunjukkan kinerja yang kurang maksimal. Mereka hanya melakukan kerja sebagai rutinitas. Banyak cara yang sudah dilakukan untuk meningkatakan kinerja para pegawai. Penelitian ini akan mencoba memberikan alternatif yang bisa digunakan untuk meningkatkan kinerja pegawai salah satunya dengan mendorong mereka bersedia menunjukkan OCB dalam bekerja dengan memanfaatkan modal sosial yang diduga kuat dimiliki setiap individu pegawai di perusahaan-perusahaan atau badan usaha milik pemerintah. PDAM Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor merupakan salah satu Badan Usaha Milik Pemerintah Daerah (BUMD), yang mengelola sumber daya air untuk didistribusikan kepada masyarakat di wilayah pelayanannya yaitu wilayah Bogor
4
Timur, Bogor Tengah, Bogor Barat dan
wilayah Depok. Terhitung sampai
dengan September 2010 jumlah pelanggan PDAM Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor mencapai sebanyak 120.730 pelanggan yang tersebar di 22 Kecamatan di Kabupaten Bogor. Cakupan wilayah pelayanan yang sangat luas dan jumlah pelanggan yang semakin bertambah ini menjadi tantangan bagi PDAM Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor untuk tetap bisa memberikan pelayanan yang memuaskan, profesional dan berkelanjutan bagi semua masyarakat. Karena itulah PDAM Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor menetapkan target untuk bisa memaksimalkan kinerja dari setiap individu pegawai yang ada di perusahaan, salah satunya dengan mendorong mereka untuk bersedia menunjukkan OCB dalam bekerja. Dengan pola interaksi yang terjadi antara 225 orang pegawai yang dimiliki dengan pihak manajemen perusahaan ataupun antara sesamanya selama ini berjalan dengan baik yang diindikasikan salah satunya dengan minimnya (hampir tidak ada) konflik manajemen yang terjadi di perusahaan, membuat PDAM Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor diasumsikan memiliki modal sosial dan tingkat kepercayaan organisasional yang kuat yang mempunyai potensi positif untuk terus dikembangkan dan diharapkan akan mampu mendorong pegawainya untuk menunjukkan OCB dalam bekerja. Karena itulah, penelitian ini akan memodelkan hubungan antara modal sosial, OCB, dan kepercayaan yang ada di PDAM Tirta Kahuripan
Kabupaten
Bogor,
untuk
mempermudah
perusahaan
dalam
mengimplementasikan ketiga konstruk tersebut ke dalam kebijakan-kebijakan perusahaan dalam rangka menjawab tantangan perusahaan yaitu memaksimalkan kinerja pegawai melalui kesediaannya menunjukkan OCB dalam bekerja.
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas, masalah utama penelitian ini adalah mengenai model hubungan modal sosial, Organizational Citizenship Behavior (OCB), dan kepercayaan yang ada di PDAM Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor. Berdasarkan hal tersebut, maka pertanyaan penelitian dapat dituliskan sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaruh modal sosial terhadap pelaksanaan OCB di PDAM Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor ?
5
2. Bagaimana pengaruh peran pemoderasian kepercayaan di dalam hubungan antara modal sosial dengan pelaksanaan OCB di PDAM Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah: 1. Untuk megetahui pengaruh modal sosial terhadap pelaksanaan OCB di PDAM Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor. 2. Untuk mengetahui peran pemoderasian kepercayaan di dalam hubungan antara modal sosial dengan pelaksanaan OCB di PDAM Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor. 1.4 Batasan Masalah Dalam penelitian ini permasalahan dibatasi pada dimensi-dimensi modal sosial menurut
definisi Nahapiet dan Ghoshal (1998) karena sesuai dengan
tingkat analisis individual yang menjadi fokus tulisan ini, dengan membagi modal sosial ke dalam tiga dimensi yaitu dimensi struktural, dimensi relasional, dan dimensi kognitif.
Kerangka kerja tiga dimensional tersebut dilakukan untuk
menguji hubungan antara modal sosial dan fenomena-fenomena intraorganisasional yang difokuskan pada OCB. Dalam penelitian ini OCB juga dibedakan dalam lima dimensi (Organ, 1988) yaitu: altruism, conscientiousness, sportsmanship, civic virtue, dan
courtesy. Pengelompokan dimensi OCB ini
dimaksudkan untuk memperjelas pengaruh dari ketiga dimensi modal sosial, pada kelima dimensi dari OCB. Konstruk kepercayaan yang merupakan faktor yang sangat mempengaruhi modal sosial agar bisa berkembang dan dimanfaatkan dalam suatu organisasi digunakan sebagai variabel pemoderasi dalam hubungan modal sosial dan OCB. Tanpa adanya kepercayaan, maka modal sosial tidak akan bisa dikembangkan dan tentu saja tidak akan bisa memberikan pengaruh pada fenomena-fenomena intraorganisasi seperti pelaksanaan OCB. Pada tingkat analisa individual kepercayaan juga dibagi kedalam tiga dimensinya, yaitu : harmony, reliability, dan concern.
6
1.5 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan bisa diberikan dari hasil penelitian ini adalah : 1. Memberikan pemahaman empiris tentang model hubungan modal sosial dan OCB dengan faktor kepercayaan sebagai peran pemoderasi secara teoritis. 2. Memberikan pemahaman terutama kepada para praktisi Manajemen bahwa modal sosial, kepercayaan dan OCB merupakan konstruk sosial yang mampu memberikan manfaat bagi efektifitas organisasi dan seharusnya terus dikembangkan.