BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Terungkapnya penyadapan melalui jaringan telepon yang dilakukan Australia
terhadap beberapa pejabat tinggi Indonesia ke publik membuat hubungan bilateral kedua negara terganggu. Gangguan tersebut dapat dilihat dari adanya pernyataan Menteri Luar Negeri Indonesia kepada media bahwa hubungan Indonesia- Australia seperti keran yang ditutup perlahan.1 Indonesia menarik Duta Besar Nadjib Riphat Kesoema dari Canberra terkait kejadian ini. Australia melalui Perdana Menterinya Tony Abbott juga menyatakan bahwa pihaknya menolak mengeluarkan permintaan maaf resmi kepada Indonesia dengan alasan bahwa kegiatan penyadapan yang merupakan bagian dari kegiatan mata- mata sudah umum dilakukan oleh berbagai negara yang ada di seluruh dunia.2 Pernyataan Perdana Menteri Tony Abbott direspon Presiden Indonesia dengan menyatakan bahwa beliau merasa dikhianati karena selama ini Tony Abbott dianggap sebagai sahabat baik.3 Melalui akun Twitternya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan harapannya agar Australia mau menyampaikan alasan menyadap telepon seluler jajaran pejabat tinggi di Indonesia. Australian Spying Scandal, sebagaimana kejadian ini disebut di media internasional, telah menghasilkan argumentasi perihal masa depan hubungan bilateral Indonesia- Australia. Salah satu argumentasi ditulis oleh Dave McRae, seorang peneliti dari Lowy Institute for International Policy. Pada bagian kesimpulan dari tulisannya, Dave McRae menyatakan bahwa Tony Abbott telah gagal memanfaatkan momentum memperbaiki hubungan bilateral Indonesia- Australia dengan pernyataan keengganannya menolak mengeluarkan permintaan maaf. Menurut McRae, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak memiliki pilihan lain selain menunjukkan ketegasannya sebagai seorang presiden. Ulasan McRae menjadi salah satu kemungkinan yang mungkin terjadi terkait masa depan hubungan bilateral Indonesia- Australia apabila Australia tidak mengubah sikapnya Liputan 6, Menlu RI: Keran Diplomasi Indonesia-Australia Ditutup Perlahan (daring), 20 November 2013,
, diakses 20 Februari 2014. 2 Liputan 6, Menlu RI: Keran Diplomasi Indonesia-Australia Ditutup Perlahan (daring), 20 November 2013,, diakses 20 Februari 2014. 3 Tempo, SBY Merasa Dikhianati Tony Abbott Soal Penyadapan (daring), 19 Januari 2014, , diakses 22 Maret 2014. 1
1
kepada Indonesia. Dari pihak Indonesia, di bulan November 2013 lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengemukakan 6 Corrective Steps dalam rangka normalisasi hubungan bilateral dengan Australia. Adapun 6 Corrective Steps yang dikemukakan Presiden Indonesia adalah sebagai berikut4: 1) The first roadmap step to be taken is to commission the Minister of Foreign Affairs or a special envoy to discuss at length sensitive issues related to the Indonesia-Australia relations post-withdrawal. 2) Second, after a Memorandum of Understanding is drawn up and a consensus from both sides is reached, a thorough discussion of the protocol and Code of Conduct is expected to follow. 3) Third, President Yudhoyono will examine the draft protocol and code of ethics to ensure that the code is good enough and adequately responds to Indonesia’s concerns in the aftermath of the wiretapping case. 4) Fourth, once the protocol and the code are prepared, they can be authenticated in the presence of government leaders, with President Yudhoyono and Australian Prime Minister Tony Abbot in attendance. 5) Fifth, the two countries will prove that the protocol and the code have met the requirements and been implemented. 6) Sixth, after the two countries, particularly Indonesia, have restored trust and the protocol as well as the Code of Conduct have actually been implemented, the bilateral cooperation that brings mutual benefits, including military and police cooperation between the two countries, can be extended.
Sebagai tindak lanjut dari 6 Corrective Steps yang telah dikemukakan Presiden Indonesia, Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop tiba di Jakarta bulan Desember lalu untuk bertemu dengan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Marty Natalegawa dengan tujuan membahas normalisasi hubungan bilateral.5 Kedatangan Julie Bishop ini merupakan langkah pertama yang menunjukkan normalisasi hubungan bilateral dengan Australia sudah
Antara News, Six corrective steps on wire-tapping case in progress: Minister (daring), 4 Desember 2013,, diakses 8 Maret 2014. 5 Jakarta Globe, Step One on Roadmap to Reconciliation for Australia and Indonesia (daring), 5 Desember 2013,, diakses 15 Februari 2014. 4
2
berjalan.6 Pernyataan Indonesia untuk menawarkan normalisasi hubungan bilateral dengan Australia melalui 6 Corrective Steps mendorong penulis untuk melakukan analisa lebih lanjut untuk mengetahui apa alasan Indonesia menawarkan langkah normalisasi hubungan terlebih dulu, di mana hal ini tidak dilakukan Australia. Australia yang tidak seaktif Indonesia dalam melakukan normalisasi hubungan memberi kesan bahwa Australia tidak menempatkan hubungan bilateral dengan Indonesia sebagai prioritas utama. Pengamatan terhadap dinamika kerjasama Indonesia- Australia yang terkena dampak dari terungkapnya kasus ini dapat membantu melihat implikasi beberapa aspek (misal dalam aspek politik- keamanan, ekonomi, dan sosial- budaya) yang mendasari pertimbangan rasional. Di samping itu kasus penyadapan ditanggapi secara berbeda di Indonesia dan Australia. Hal ini dilihat dari bagaimana sikap dan tindakan yang dilakukan oleh Indonesia dan Australia itu sendiri. Dari pihak Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengungkapkan kekecewaannya terhadap pemerintah Australia dibawah pimpinan Tony Abbott. Indonesia juga memanggil kembali Duta Besarnya untuk Australia Nadjib Riphat Kesoema kembali ke Jakarta dan menghentikan kerjasama bilateral yang dilakukan kedua negara. Beberapa unjuk rasa juga dilakukan oleh sekelompok masyarakat Indonesia karena tindakan Australia dianggap sebagai wujud ketidakpercayaannya terhadap Indonesia. Di sisi lain, Australia seolah tidak khawatir terhadap apa yang dilakukan Presiden RI Yudhoyono dan demonstrasi yang terjadi di Indonesia. Hal ini penulis amati dari sikap Tony Abbott sebagai Perdana Menteri Australia yang mengungkapkan bahwa pihaknya menolak memberikan permintaan maaf resmi kepada Indonesia. Hal kedua adalah tidak adanya unjuk rasa serupa sebagai respon atas terungkapnya spying scandal ini yang dilakukan oleh publik Australia. Julie Bishop memang pada akhirnya datang sebagai tindak lanjut dari 6 Corrective Steps yang diajukan pemerintah Indonesia; tetapi hal penting dari langkah Australia adalah tidak adanya inisiatif untuk mengembalikan hubungan bilateral seperti di saat sebelum kasus penyadapan ini terungkap ke publik di tahun 2013 yang lalu. Perbedaan sikap dan tindakan kedua negara ini mendorong penulis melakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana skandal penyadapan dikonstruksikan oleh masing- masing negara sehingga berpengaruh terhadap pemenuhan kepentingannya dalam upaya normalisasi hubungan bilateral.
6
Antara News, Six corrective steps on wire-tapping case in progress: Minister (daring), 4 Desember 2013,, diakses 8 Maret 2014.
3
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang terdapat rumusan- rumusan masalah yang diajukan penulis: 1. Mengapa Indonesia menawarkan mekanisme normalisasi hubungan terlebih dahulu dibandingkan Australia setelah terungkapnya kasus penyadapan tahun 2013, meski Indonesia merasa sebagai pihak yang dirugikan? 2. Apakah hal yang membuat Indonesia dan Australia bersepakat menandatangani Code of Conduct meskipun ada kasus penyadapan yang dianggap merugikan oleh Indonesia?
1.3
Landasan Konseptual
1.3.1 Teori Rational Choice Teori Rational Choice merupakan salah satu teori dalam Ilmu Hubungan Internasional yang penerapannya didasari pertimbangan untung- rugi dari seorang aktor HI. Teori ini bersumber dari salah satu karya klasik Thomas Hobbes berjudul Leviathan yang berisi fungsi dasar sebuah institusi politik yang bersumber dari pilihan- pilihan individual.7 Istilah ‘rasio’ sendiri merujuk pada terdapatnya potensi untung atau rugi yang dapat dihitung oleh seorang aktor. Pernyataan tersebut relevan dengan kutipan yang sebagai berikut8: “These sociologists and political scientists have tried to build theories around the idea that all action is fundamentally 'rational' in character and that people calculate the likely costs and benefits of any action before deciding what to do. This approach to theory is known as rational choice theory,.......” Teori ini menyediakan cara bepikir berdasar kepentingan aktor negara (dalam hal ini Indonesia dan Australia) sehingga memenuhi syarat untuk analisa di level antar- negara yang menjadi kajian penulis. Berikut ini beberapa asumsi rational choice menurut Oppenheimer yang relevan9: i. Rational choice theory adopts a methodological individualist position and attempts to explain all social phenomena in terms of the rational calculations made by self-interested individuals. ii. Rational choice theory sees social interaction as social exchange modelled on economic action. People are motivated by the rewards and costs of actions and by the profits that they can make. iii. Some rational choice theorists have seen rationality as a result of psychological 7 8 9
J.A. Oppenheimer, Rational Choice Theory, Sage Encyclopedia, 25 November 2008, p. 2. J. Scott, Rational Choice (daring), 1 Maret , diakses 4 April 2014. J.A. Oppenheimer, Rational Choice Theory, Sage Encyclopedia, 25 November 2008, p. 11.
4
2007,
conditioning. Others have adopted the position that it is simply necessary to assume that individuals act as if they were completely rational. Dalam hal kaitannya dengan topik bahasan, rational choice sejalan dengan konsep liberalisme karena liberalisme berbicara tentang bahasa rasionalitas, otonomi moral, hak asasi manusia, demokrasi, kesempatan, dan pilihan serta dibangun berdasarkan komitmen kepada prinsip- prinsip kebebasan dan persamaan, diperjuangkan atas nama individualitas dan rasionalitas.10 Terdapat sebuah kutipan yang menjelaskannya:11 “The liberal emphasis upon the determining power of factors at the state level – such as the spread of liberal democratic regimes – and the ability of states to refashion their national interests through the development of commerce.” Konseptual rational choice digunakan untuk menelaah keuntungan dan kerugian bagi Indonesia dan Australia. Dengan memilih strategi mana yang dapat memaksimalkan keuntungan, maka pilihan dimaksud adalah yang dianggap rasional. Untuk menghitungnya digunakan model GOO (Goals, Options, and Outcomes) dalam konteks rational choice. Model GOO dalam teori rational choice mengklasifikasikan apa saja tujuan, pilihan, dan hasil dalam sebuah pembuatan keputusan dalam bentuk tabel. Berikut ini merupakan contoh yang menunjukkan bagaimana cara kerja GOO dalam bentuk tabel:
Tabel 1. Perhitungan Rasional dengan Model Goals, Options, dan Outcomes
10
11
J. Steans & L. Pettiford, International Relations: Perspectives and Themes, edisi Bahasa Indonesia Hubungan Internasional: Perspektif dan Tema, diterjemahkan oleh Deasy Silvya Sari, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, p. 100. Materi kuliah Teori Hubungan Internasional B tahun 2012, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada.
5
Sumber: Brown, (2005, p. 40) Dalam contoh tabel GOO terdapat 2 Goals (Economic dan Noneconomic), Options (Business dan Academia), serta 4 Outcomes (terdapat di dalam tabel). Goals dan Options dapat lebih banyak jumlahnya yang kemudian menghasilkan lebih banyak Outcomes.
1.3.2 Determinan Politik Luar Negeri Politik luar negeri yang bersifat dinamis dari waktu ke waktu terjadi tanpa indikasi yang jelas. Begitu pula dengan hubungan bilateral Indonesia- Australia, setiap episode dalam sejarah hubungan memiliki berbagai perubahan di mana relasi kedua negara yang terjadi merupakan cerminan dari pelaksanaan politik luar negeri. Meski demikian, untuk memahami politik luar negeri terdapat beberapa determinan menurut William D. Coplin:12 a)
Konteks internasional. Arti determinan ini ialah situasi politik internasional pada waktu tertentu yang mempengaruhi bagaimana suatu negara berperilaku. Menurut Coplin, terdapat 3 elemen penting di dalam membahas dampak konteks internasional terhadap politik luar negeri, yaitu: geografis, ekonomis, dan politis.
b)
Perilaku para pengambil keputusan. Para pengambil keputusan yang dimaksud mencakup pihak eksekutif, kementerian dan lembaga negara di suatu pemerintahan.
c)
Kondisi ekonomi dan militer. Kemampuan ekonomi dan militer suatu negara dapat mempengaruhi suatu negara dalam interaksinya dengan negara lain.
d)
Politik dalam negeri. Determinan ini melihat sistem pemerintahan atau birokrasi yang dibangun dalam suatu pemerintahan serta bagaimana pengaruhnya terhadap perpolitikan nasional. Situasi politik dalam negeri berpengaruh terhadap perumusan serta pelaksanaan politik luar negeri. Sehubungan dengan ini, Bantarto Bandoro mengelompokkan determinan politik dalam negeri sebanyak 3 macam berdasar pada kecepatan dari perubahan yang terjadi (pace of change). Ketiga determinan politik dalam negeri adalah sebagai berikut:13 1)
Determinan yang kestabilannya tinggi (highly stable determinants). Perubahan dalam determinan ini biasanya berjalan sangat lambat dan ada kemungkinan berubah secara mendadak. Contoh: lokasi dan ukuran geografi, sumber daya, dan
12
13
W.D. Coplin, Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis, Sinar Baru, Bandung, 1992, p. 165, sebagaimana dikutip dalam G. Wuryandari (ed.), Politik Luar Negeri Indonesia: Di Tengah Pusaran Politik Domestik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008, pp. 17-18. W.D. Coplin, Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis, Sinar Baru, Bandung, 1992, p. 165, sebagaimana dikutip dalam G. Wuryandari (ed.), Politik Luar Negeri Indonesia: Di Tengah Pusaran Politik Domestik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008, p. 19.
6
populasi. 2)
Determinan yang kestabilannya moderat (moderately stable determinants). Perubahan dalam determinan ini lebih lamban daripada determinan yang kestabilannya tinggi. Beberapa contoh determinan ini misalnya: budaya politik, gaya politik, kepemimpinan politik, dan proses politik.
3)
Determinan yang sifatnya tidak stabil (unstable determinants). Determinan ini paling cepat mengalami perubahan. Beberapa contohnya ialah persepsi, sikap, dan faktor- faktor yang muncul secara kebetulan saja. Sikap publik bisa berubah dengan cepat dan dapat dipengaruhi oleh berbagai macam alat yang digunakan dalam menjalankan politik luar negeri.
1.3.3 Establishing Credible Commitment (Menciptakan Komitmen Kredibel) Konseptual ini bersumber dari tulisan Bargaining and Dynamic Commitment karya Branislav L. Slantchev. Inti dari konseptual ini adalah bagaimana cara mempersiapkan credible commitments dalam sebuah proses tawar- menawar (bargaining) atau dalam sebuah negosiasi. Komitmen yang kredibel dipandang Slantchev sebagai kemampuan (atau ketidakmampuan) untuk membuat threats dan promises secara kredibel. Penulis memandang normalisasi hubungan bilateral Australia- Indonesia sebagai sebuah negosiasi karena terdapat aksi- reaksi kedua negara sebagai pernyataan terselubung yang menggambarkan sikapnya terhadap kasus yang terungkap, penghentian kerjasama yang berdampak pada pencapaian kepentingan nasional, serta adanya upaya normalisasi hubungan bilateral yang ditawarkan Indonesia. Konseptual ini digunakan penulis untuk membantu menelaah komitmenkomitmen yang sudah diaspirasikan kedua negara melalui sikap, tindakan, dan pernyataannya. Terdapat beberapa langkah yang dilakukan oleh aktor dalam proses bargaining:14 1.
Mengidentifikasi aktor- aktor yang relevan. Dalam studi kasus normalisasi hubungan ini, aktornya adalah Indonesia dan Australia dalam skema bilateral karena spying scandal ini menyebabkan hubungan diplomatik kedua negara sempat renggang dan tidak ada keikutsertaan pihak ketiga dalam upaya normalisasi hubungan.
2.
Mengidentifikasi preferensi aktor- aktor yang terlibat. Misalnya struktur ekonomi negara, struktur pemerintahan, dan lain- lain (country profile negara). Kombinasi
14
B.L. Slantchev, Introduction to International Relations Lecture 4: Bargaining and Dynamic Commitment, lecture presented in University of San Diego, 2005, pp. 3-4.
7
elemen- elemen ini membentuk sebuah preferensi negara yang tergambarkan melalui pernyataan dan sikap/ tindakan yang merepresentasikan kepentingan dalam bidang tertentu. 3.
Mengidentifikasi kemungkinan (possibilities). Beberapa kemungkinan yang ada misalnya pilihan apa yang tersedia bagi kedua belah pihak, berapa besar biayanya, apakah harapan keuntungan pihak lawan (expected benefits), dan lain- lain. Kemungkinan ini dapat diperoleh dengan publikasi resmi yang diterbitkan pemerintah kedua negara, pernyataan dan sikap negara, dan lain- lain.
Setelah memahami proses di atas, selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah beberapa asumsi (beliefs) yang menurut pendapat Branislav Slantchev umum dijumpai dalam sebuah proses negosiasi. Asumsi- asumsi tersebut akan dijelasikan sebagai berikut:15 1.
Sebuah ancaman yang efektif adalah ancaman yang lebih menyakitkan pihak lawan dibandingkan diri sendiri. Logika dari asumsi ini adalah apabila ancaman yang dikeluarkan lebih menyakitkan pihak yang mengeluarkannya, maka pihak lain akan dengan mudah tidak mempercayai ancaman itu.
2.
Memiliki lebih banyak pilihan lebih baik ketika membuat keputusan. Banyak orang mempercayai bahwa suatu pihak harus memiliki pilihan cukup dalam berbagai situasi karena itu akan membuat suatu pihak mampu menciptakan pilihan- pilihan terbaik yang mungkin (best possible choices) sesuai persyaratan dari situasi yang dihadapi.
3.
Lebih baik untuk mengambil inisiatif dan tidak membiarkan pihak lawan menentukan
waktu,
tempat
dan
persyaratan
dari
sebuah
kesepakatan
(agreement). Pendapat ini sejalan dengan anggapan bahwa lebih baik suatu pihak menciptakan ‘rules of engagement’ daripada membiarkan pihak lain yang melakukannya. Hal ini berakar dari pemikiran dalam militer yang menganggap bahwa ‘berada dalam pihak defensif seringkali memiliki kekurangan (disadvantages)’.
Menurut Branislav L. Slantchev, terdapat beberapa taktik yang dapat dipilih untuk menciptakan komitmen yang kredibel:16 1. 15 16
Reducing your own freedom of action by eliminating options or delegating choices to B.L. Slantchev, Introduction to International Relations Lecture 4: Bargaining and Dynamic Commitment, lecture presented in University of San Diego, 2005, pp. 9- 13. B.L. Slantchev, Introduction to International Relations Lecture 4: Bargaining and Dynamic Commitment, lecture presented in University of San Diego, 2005, pp. 9- 13.
8
someone else. Dengan membatasi pilihan- pilihan yang dapat diambil dengan jalan yang mampu diamati (observable way), kemungkinan lain yang tidak terbatas dan tidak realistis dapat dihindari agar sebuah pihak tidak melupakan komitmen awalnya dalam mencapai tujuan dalam proses negosiasi. 2.
Relinquishing initiative to the opponent. Melepaskan inisiatif kepada pihak lawan dalam sebuah negosiasi bertujuan agar pihak lawan membuat pilihan akhir yang sulit yang dapat mengakibatkan kehancuran bagi kedua belah pihak. Jika pihak lawan memiliki opsi selain ini, dia akan mengambilnya (possibility of backing down). Yang perlu diingat adalah agar tidak membuat manuver yang membuat pihak lain berada dalam posisi tidak dapat mundur (position that makes the opponents unable to retreat).
3.
Manipulate Payoffs. Memanipulasi hasil berarti meningkatkan ekspektasi kegunaan ancaman (threat), atau mengurangi ekspektasi kegunaan ancaman dari kegagalan, atau keduanya. Apabila hasil dari melakukan sebuah ancaman lebih besar dibandingkan tidak melakukannya, maka dia dianggap telah mempu membuat komitmen yang kredibel.
1.4
Metode Penelitian
Penulis menggunakan metode studi literatur dalam penelitiannya dari buku- buku tentang teori ilmu Hubungan Internasional, teori rational choice, dan politik luar negeri. Sesuai dengan penelitian yang membahas kasus penyadapan Australia terhadap Indonesia, penulis melakukan riset secara online dengan mengumpulkan data- data dari jurnal, artikel, dan koran digital.
1.5
Hipotesis
Kepentingan politik- keamanan dan sosio- kultural menjadi alasan yang mendorong Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan upaya normalisasi hubungan bilateral kepada Australia melalui 6 tahapan mekanisme korektif. Kepentingan politik-keamanan terlihat dari peran serta Australia yang mendukung Indonesia dalam forum- forum internasional; kepentingan sosio- kultural terlihat dari program pembangunan masyarakat dalam negeri Indonesia yang didanai pemerintah Australia dalam jumlah besar melalui AustralianAID. Kepentingan dalam aspek inilah yang mendorong tercapainya Code of Conduct pada 28 Agustus 2014. Perilaku para pengambil keputusan serta kondisi politik domestik di masingmasing negara menjadi determinan yang utama dalam kasus penyadapan IndonesiaAustralia. 9
1.6
Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan tugas akhir adalah sebagai berikut: Bab 1: Berisi latar belakang, rumusan masalah, landasan konseptual, serta argumentasi awal penulis. Bab 2: Berisi pembahasan tentang sekilas hubungan bilateral Indonesia- Australia. Bab 3: Berisi analisa mekanisme korektif dalam normalisasi hubungan bilateral IndonesiaAustralia. Bab 4: Berisi analisa Code of Conduct sebagai bentuk penyelesaian kasus penyadapan yang dilakukan Australia terhadap Indonesia. Bab 5: Berisi kesimpulan dan jawaban penulis untuk kedua rumusan masalah dari analisa di bab- bab sebelumnya.
10