BAB I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Karbon merupakan unsur kunci dari kehidupan. Siklus karbon penting untuk
memahami biosfer dan mekanisme dasarnya. Ketersediaan karbon berupa karbondioksida di atmosfer, karbonat di lempeng bumi, ion karbonat di laut, dan beberapa campuran organik di biota, tanah dan di laut pada dasarnya tergantung pada gas yang mengandung karbon, terutama metan dan karbodioksida yang terlepas dari interior bumi dalam kurun waktu geologi (Bolin et al., 1977; Martin and Probst, 1991). Biosfer seperti yang ada saat ini, telah berubah melalui proses yang kompleks antara karbon dan beberapa elemen lainnya, khususnya hidrogen, oksigen, elemen dasar hara seperti nitrogen, fosfor, sulfur dan beberapa logam dalam jumlah yang kecil yang merupakan dasar untuk membangun kehidupan. Atas hal tersebut, maka siklus karbon tidak dapat ditelaah secara terpisah dari siklusnya dengan elemen-elemen lainnya dalam sistem biogeokimia (Degen, 1982; Field and Raupach, 2004). Dalam perkembangannya, khususnya setelah era industrialisasi, neraca karbon telah mengalami ketidakseimbangan. Bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya aktivitas pembangunan telah menyebabkan karbon di atmosfer semakin meningkat. Saat ini diperkirakan gas karbon di atmosfer kurang lebih 4,1 ± 0,1 GtC/tahun (4,1 ± 0,1 x 10 15 gC/tahun) (IPCC, 2007a). Fluks karbon di atmosfer tersebut merupakan jumlah dari emisi karbon yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil dan semen sebesar 7,2 ± 0,3 GtC/tahun ditambah dengan fluks karbon di lautan-atmosfer -2,2 ± 0,5 GtC/tahun dan fluks karbon di daratan-atmosfer -0,9 ± 0,5 GtC/tahun. Adanya kelebihan karbon di atmosfer tersebut menyebabkan terjadinya pemanasan global (Field and Raupach, 2004), yang pada akhirnya berpengaruh terhadap perubahan iklim global. Perubahan iklim global telah menjadi isu dunia karena merupakan suatu ancaman serius bagi kelangsungan mekanisme biosfer. Dalam siklus karbon, sungai memegang peranan penting karena berfungsi sebagai media pemindah atau penghantar lateral karbon dari daratan menuju lautan (Hedges, 1992). Transpor karbon melalui sungai ke laut merupakan
1
keterkaitan dalam siklus biogeokimia karbon antara daratan dan lautan. Kualitas karbon yang ditranspor oleh sungai merupakan komponen penting dalam siklus karbon global (Meybeck, 1982; Ittekkot, 1988; Ludwig et al., 1996; Meybeck and Ragu, 1996; Sempere et al., 2000, Dagg et al., 2004; Wu et al., 2007). Oleh karena itu, saat ini terjadi peningkatan riset untuk menghitung transpor karbon dari sungai ke laut (Ludwig dan Probst, 1998; Coynel et al., 2005). Sumber karbon di sungai, baik organik maupun inorganik dalam bentuk terlarut dan partikulat karbon, berasal dari alam dan pengaruh antropogenik. Sumber-sumber alam dapat berasal dari tanah, vegetasi, serasah, pelapukan batuan, organisme, sedangkan dari antropogenik berasal dari pertanian, industri, permukiman, sampah, limbah cair dan aktivitas manusia lainnya (Bolin et al., 1977). Secara umum karbon di sungai dikenal dalam enam bentuk yaitu total karbon organik (TOC), total karbon inorganik (TIC), karbon organik terlarut (DOC), karbon inorganik terlarut, (DIC), karbon organik partikulat (POC), dan karbon inorganik partikulat (PIC). Fluks karbon sungai menyediakan informasi yang penting dari prosesproses biogeokimia dalam DAS (Wu et al., 2007), seperti sifat-sifat tanah, iklim ekstrim, erosi batuan dan kejadian hidrologi yang menimbulkan laju perubahan yang cepat dalam transpor massa dari sungai
(Spitzy and Ittekkot, 1991).
Pengaruh antropogenik, seperti perubahan penggunaan lahan dapat juga mempengaruhi input karbon dari sungai (Kao and Liu, 1996). Adanya keterbatasan data dan kesulitan memprediksi fluks karbon menyebabkan perkiraan fluks karbon dari sungai ke laut di dunia selalu berubahubah (McKee, 2003). Demikian pula halnya dengan masalah-masalah yang mendasar yang mengatur fluks karbon melalui sungai dan estuari-estuari besar di daerah tropis di Asia belum dipahami dengan baik (Dehairs et al., 2000, TalaueMcManus et al., 2001). Secara global, fluks karbon dari sungai di dunia berkisar antara 0,8 – 1,1 GtC/tahun. Beberapa penelitian menghasilkan fluks karbon sungai global yang berbeda-beda, seperti Meybeck (1993) memperkirakan 1 GtC/tahun; Probst et al., (1999) kurang lebih 0,9 GtC/tahun; Field & Raupach (2004), Sabine et al. (2004), dan Raupach (2005) kurang lebih 1,1 GtC/tahun; serta IPCC (2007) menyebutkan
2
0,8 GtC/tahun. Dari total fluks karbon sungai dunia tersebut kontribusi karbon organik terlarut (DOC) diperkirakan kurang lebih 40% (Meybeck, 1993; Probst et al., 1999). Namun menurut Ludwig et al., (1996) kontribusi DOC di sungai kurang lebih 55%, sedangkan menurut Chen (2004) berkisar antara 22,7 – 36,4%. Dalam siklus karbon global, sungai-sungai di tropis memiliki peran yang penting dalam memasok karbon ke lautan. Sebab sungai-sungai di tropis menyumbang kurang lebih 60% terhadap air, sedimen dan karbon organik ke lautan (Ludwig et al., 1996; Gillardet et al., 1999; Syvitski et al., 2005; Alkhatib et al., 2007). Meskipun sungai-sungai tersebut tergolong dalam klasifikasi sungaisungai kecil (Walling and Fang, 2003), namun sungai-sungai tersebut berperan penting dalam memasok DOC ke laut (Baum et al., 2007) dan daerah pesisir (Smith and Hollubough, 1992 dalam Wu et al., 2007; Opsahl and Benner, 1997). Sungaisungai kecil di pegunungan, khususnya di daerah tropis merupakan sumber utama penting karbon organik ke lautan daripada perkiraan sebelumnya karena kondisi biogeofisik DAS dan iklim berperan dalam proses pelapukan batuan dan erosi tanah (Kao & Liu, 1996,1997; Lyons et al., 2002; Blair et al., 2003; Gomez et al., 2003; Komada et al., 2004). Diperkirakan sungai-sungai di Indonesia memasok DOC ke laut kurang lebih 21 TgC/tahun (21 x 1012 gC/tahun) atau 10% dari total pasokan sungai-sungai di dunia (Baum et al., 2007). Selain itu, sungai-sungai di Indonesia menyumbang kurang lebih 11% atau 4,26 x 1012 m3/tahun aliran air tawar global ke laut (Syvitski et al., 2005). Perkiraan tersebut merupakan hasil ekstrapolasi perhitungan model dari data yang dikumpulkan pada sungai-sungai besar di dunia (Cauwet, 2002; Harrison et al., 2005). Terbatasnya data dan informasi mengenai sungai-sungai di Indonesia dan belum adanya penelitian dalam studi lapangan lebih mendalam (Baum et al., 2007) menyebabkan perkiraan fluks karbon sungai-sungai di Indonesia didasarkan pada bangkitan model dari sungai-sungai besar di sunia. Oleh karena itu, penelitian mengenai karakteristik fluks karbon dari sungaisungai di Indonesia menjadi salah satu hal yang penting dalam ilmu pengetahuan biogeokimia global. Demikian pula halnya dengan sungai-sungai di Jawa. Saat ini kondisi DAS di Jawa sebagian besar sudah kritis. Faktor-faktor penyebab kerusakan DAS meningkat dari tahun ke tahun, meskipun upaya pengelolaan
3
DAS telah dilakukan sehingga menimbulkan berbagai masalah lingkungan. Adanya pengaruh perubahan iklim global bersamaan dengan adanya perubahan penggunaan lahan dalam tiga dasawarsa terakhir ini telah memberi dampak berupa peningkatan frekuensi, debit, dan volume banjir dari sungai-sungai yang ada (Pawitan, 2004). Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.18 Tahun 2005 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan, disebutkan bahwa luas Pulau Jawa dan Madura 129.306,48 km2 atau seluas 6,95% dari luas Indonesia yang mencapai 1.860.359,67 km2 (BPS, 2005). Sensus Penduduk tahun 2000 menunjukkan bahwa jumlah penduduk di Pulau Jawa kurang lebih 121,29 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, 18% lebih penduduk tinggal di Provinsi Jawa Barat, 15% di Jawa Tengah, dan 17% di Jawa Timur. Jumlah penduduk, gabungan antara Maluku, Maluku Utara dan Papua yang memiliki luas kurang lebih 24% dari luas total Indonesia hanya dihuni kurang lebih 2%. Besarnya jumlah penduduk di Pulau Jawa tersebut menyebabkan kepadatan penduduk menjadi lebih tinggi yaitu 938 jiwa/km2 pada tahun 2000 dan 996 jiwa/km2 tahun 2004 (BPS, 2005). Jumlah penduduk yang besar tersebut jelas memerlukan lahan untuk menopang kehidupannya. Hal ini banyak dilakukan dengan mengkonversi lahan hutan dan lahan pertanian yang ada. Perubahan penggunaan lahan di Jawa bukan hanya karena pengaruh dari tekanan penduduk, namun juga dari kebijakan pemerintahan yang dominan pada masa sebelumnya. Dari tahun 1600 - 1990, luas lahan pertanian dan permukiman berkembang pesat sejak tahun 1870-an (Smith, 1990 dalam Lavigne and Gunnel, 2007; KKP, 2006). Perkembangan tersebut terjadi dengan mengonversi lahan hutan dataran rendah menjadi pertanian dan permukiman. Jika pada tahun 1800-an, luas hutan alam mencapai 10 juta ha, namun tahun 1989 tinggal 1 juta ha. Bahkan tahun 2005 tinggal tersisa 0,4 juta ha (Baplan Dephut, 2005; KKP, 2006). Sedangkan untuk lahan pertanian, dalam tiga dekade terakhir, konversi lahan pertanian sawah menjadi permukiman dan industri semakin tidak terkendali. Data laju perubahan penggunaan lahan di Jawa cukup bervariasi. Berdasarkan penelitian Sudaryanto (2002), konversi lahan sawah di Jawa dari tahun 1981-1999 mencapai 1.002.055 ha atau 50.103 ha/tahun. Terjadinya perubahan lingkungan di DAS tersebut telah menyebabkan daya
4
dukung lingkungan Pulau Jawa terlampaui (KKP, 2006) dan berimplikasi terhadap perubahan aliran sungai-sungai di Jawa. Perubahan iklim global juga mempengaruhi perubahan pola aliran yang ada, seperti terjadinya penurunan kecenderungan (trend) curah hujan tahunan (Aldrian, 2008). Dengan turunnya hujan, maka aliran juga akan berpengaruh. Hubungan hujan-aliran sudah banyak diteliti oleh pakar. Tanda-tanda perubahan iklim dikaitkan dengan meningkatnya debit dan aliran pemukaan dari abad sebelumnya telah diamati di berbagai wilayah (IPCC, 2007a). Hal ini juga ditunjukkan Pawitan (2004), bahwa gejala penurunan curah hujan Pulau Jawa nampak dari rataan curah hujan tahunan periode 1931-1960 dan 1968-1998 di banyak stasiun yang meliputi sepanjang Jawa bagian selatan yang mencapai selisih 1.000 mm antara dua periode pengamatan tersebut. Penelitian di DAS Citarum menunjukkan bahwa trend penurunan curah hujan dengan laju 10 mm/tahun dan diikuti oleh penurunan debit limpasan sebesar 3 mm/tahun untuk periode 1896-1994. Perubahan debit sungai yang ekstrim mengindikasikan bahwa kondisi hidrologi menjadi lebih mengkhawatirkan (IPCC, 2007b). Demikian pula halnya dengan berubahnya watak hidrologi sungai-sungai di Jawa (Nugroho, 2006). Kondisi hidrologi di
Jawa, umumnya saat ini dicirikan oleh meningkatnya
kejadian ekstrim, seperti banjir dan kekeringan. Pada saat musim penghujan, debit sungai cukup besar hingga menimbulkan banjir, namun pada saat kemarau debit sungai cukup kecil bahkan di beberapa hulu dan hilir sungai kering sehingga tidak ada aliran sama sekali. Karakteristik banjir puncak untuk sungai-sungai di Jawa juga telah mengalami perubahan atau tepatnya secara statistik mengalami pergeseran distribusi peluang (Putuhena et al., 2004). Adanya peningkatan jumlah penduduk dan makin terlampauinya daya dukung lingkungan tersebut di atas akan berpengaruh terhadap siklus karbon di daratan, khususnya fluks karbon di sungai. Hal tersebut disebabkan seluruh aktivitas penduduk tidak akan terlepas dari konsumsi dan produksi karbon. Meningkatnya degradasi daerah aliran sungai akan mengakibatkan, siklus karbon juga akan berubah. Demikian pula dengan berubahnya watak hidrologi tersebut, akan mempengaruhi siklus karbon yang ada. Ketika debit aliran kering atau tidak
5
ada aliran pada musim kemarau, maka tidak ada pula fluks karbon dari daratan ke lautan. Salah satu pengaruh antropogenik yang berpengaruh terhadap penurunan fluks karbon di sungai adalah pembangunan bendungan (Turner et al., 1998; Ittekkot, 2000; Nixon, 2003; Chen, 2002, 2004). Bendungan dan irigasi di satu sisi bermanfaat menambah cadangan air, ternyata juga banyak menimbulkan masalah lain, seperti: a) menurunnya pasokan sedimen ke pantai di seluruh dunia (Milliman, 1997); b) meningkatnya intrusi air laut (Crossland et al., 2005); c) menurunkan pola produktivitas, keanekaragaman dan sifat-sifat ekosistem di estuari (Baird and Heymans, 1996); dan d) menurunkan kandungan silika ke perairan pesisir (Conley et al., 1993). Pasokan air, kandungan hara, karbon, sedimen dan material lain yang terlarut dalam air tertahan oleh bendungan dan mengendap di dasar bendungan, sehingga daerah hilir lebih sedikit pasokannya jika dibandingkan dengan sebelumnya ketika belum dibangun bendungan tersebut. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka penelitian mengenai karakteristik fluks karbon dan kesehatan DAS dari aliran sungai-sungai utama di Jawa perlu dilakukan lebih mendalam. Keterkaitan antara fluks karbon, tingkat kesehatan DAS dan perubahan aliran sungai merupakan hubungan yang saling mengkait dalam siklus karbon di daratan. Terlebih lagi penelitian hal tersebut belum pernah dilakukan, sehingga diharapkan dapat menjawab kekosongan informasi fluks karbon di Indonesia yang hingga saat ini masih terbatas.
1.2.
Kerangka Pemikiran Semua zat, bahan, senyawa atau unsur seperti nitrogen, karbon, fosfor, air
dan sebagainya akan mengalami perubahan dari satu bentuk ke bentuk lainnya dan akhirnya kembali ke bentuk semula. Inilah yang disebut dengan siklus unsur yang terus menerus berjalan tanpa henti (Jackson and Jackson, 1998). Demikian pula halnya dengan siklus karbon. Senyawa karbon dibutuhkan oleh makhluk hidup sebagai salah satu unsur pembangun biomassa dalam tubuh dan sebagai sumber energi yang proses produksinya dilakukan oleh organisme yang mempunyai klorofil. Manusia juga menggunakan banyak sekali senyawa karbon yang berasal
6
dari biomassa untuk berbagai keperluan seperti kayu, pakaian, kendaraan, kertas, minyak bumi, batubara dan sebagainya. Pada siklus karbon, sungai merupakan komponen penting karena berfungsi sebagai pemindah lateral karbon organik dan inorganik dari daratan menuju lautan, baik dalam bentuk terlarut maupun partikulat. Sumber-sumber karbon di daratan, baik yang berasal dari alam maupun hasil antropogenik dapat tererosi oleh aliran permukaan kemudian mengalir ke sungai hingga ke lautan. Dalam proses perpindahan tersebut faktor biogeofisik DAS dan penduduk cukup berperan dalam menentukan besaran fluks karbon sungai. Kompleksnya masalah yang saling berkaitan dalam fluks karbon sungai menyebabkan perkiraan fluks karbon sungai global berbeda-beda. Dalam perkiraan fluks karbon global, sungai-sungai di Indonesia diperkirakan memasok karbon organik terlarut (DOC) kurang lebih 21 TgC/tahun atau 10% dari total pasokan sungai-sungai di dunia (Baum et al., 2007). Perkiraan ini merupakan hasil ekstrapolasi perhitungan model dari data yang dikumpulkan pada sungai-sungai besar di dunia. Tentunya perkiraan tersebut masih bersifat umum karena kondisi biogeofisik DAS dan lingkungan alam di Indonesia berbeda dengan sungai-sungai besar yang berada di daerah kontinen yang dijadikan rujukan dalam model tersebut. Perkiraan tersebut dilakukan karena terbatasnya penelitian fluks karbon dari sungai-sungai di Indonesia. Demikian pula halnya dengan karakteristik fluks karbon sungai di Jawa masih cukup terbatas penelitiannya. Kondisi sungai-sungai di Jawa berbeda dengan pulau lainnya karena Jawa memiliki karakteristik yang lebih kompleks. Pulau Jawa dan Madura terbagi dalam 15 wilayah sungai yang didalamnya terdapat kurang lebih 160 DAS. Dari 160 DAS tersebut terdapat kurang lebih 8 DAS besar yaitu Ciujung, Cisadane, Citarum, Cimanuk, Citanduy, Serayu, Bengawan Solo dan Brantas yang memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga menjadi dasar pertimbangan penelitian dilakukan di 8 DAS tersebut, seperti: 1) Sungai-sungai tersebut tergolong mempunyai luas DAS yang cukup besar. Luas daerah penelitian secara keseluruhan kurang lebih 38% dari luas daratan Pulau Jawa.
7
2) Sungai-sungai tersebut mencakup sungai strategis di Jawa dan di dalam kawasan DAS tersebut telah berkembang pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dengan jumlah penduduk yang lebih besar dibandingkan dengan dengan DAS lainnya. Penduduk di DAS Citarum kurang lebih 11 juta jiwa, di DAS Bengawan Solo yang merupakan DAS terbesar di Pulau Jawa berpenduduk kurang lebih 17,5 juta jiwa, dan DAS Brantas terbesar kedua berpenduduk kurang lebih 16 juta jiwa. 3) Memiliki karakteristik hidrologi yang berbeda-beda setiap sungainya (Tabel 1). Tabel 1. Karakteristik hidrologi sungai-sungai di daerah penelitian No
Sungai - Stasiun
Luas DAS (km2) 1.857 820 5.970 2.515 3.003 2.631 14.247 5.106
Q1) (m3/s)
Qmax 2) (m3/s) 1200 438,4 1.250 987 2.020 254 2.207 676,7
Qmax3) (m3/s) 700,0 305,6 851,0 710,6 1.497 111,7 1.731 403,4
Qmin4) (m3/s) 20,00 19,95 15,74 16,27 58,80 61,04 26,20 85,25
1 Ciujung-Kragilan 99,7 2 Cisadane-Batubeulah 134,7 3 Citarum-Tanjungpura 171,0 4 Citanduy 204,0 5 Cimanuk-Rentang 273,4 6 Serayu-Rawalo 95,1 7 B.Solo-Babat 404,3 8 Brantas - Kertosono 196,3 Sumber: Katalog Sungai, 2002 Keterangan: 1) Debit tahunan rata-rata; 2) Debit maksimum bulanan; 3) Debit maksimum bulanan rata-rata; 4) Debit minimum bulanan rata-rata
4) Adanya perbedaan dalam pengelolaan sungai di daerah penelitian, misalnya Sungai Citarum dikelola oleh Perum Jasa Tirta (PJT) II dan Sungai Brantas dan Sungai Bengawan Solo oleh PJT I. Selain itu dalam institusi pengelolaan sungai di masing-masing wilayah sungai juga terdapat Balai PSDA, PIPWS dan dinas pemerintah daerah. 5) Adanya waduk-waduk besar di beberapa sungai seperti Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur di Sungai Citarum; Waduk Wonogiri di Sungai Bengawan Solo; Waduk Mrica di Sungai Serayu; dan waduk kaskade di Sungai Brantas yang meliputi Karangkates, Wlingi, Selorejo, Lahor dan Sengguruh. 6) Adanya perbedaan intensitas pemanfataan lahan, dimana kawasan di utara Jawa mempunyai kepadatan penduduk dan industri yang lebih banyak jika dibandingkan dengan kawasan di selatan. Hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap sistem penyediaan air dan pencemaran dari limbah domestik, perkotaan dan industri.
8
7) Adanya perbedaaan arah aliran dari masing-masing sungai. Sungai Ciujung, Cisadane, Citarum, dan Cimanuk bermuara ke Laut Jawa. Sungai Citanduy dan Serayu bermuara ke Samudera Hindia, sedangkan sungai Bengawan Solo dan Brantas bermuara di sekitar Selat Madura. 8) Seluruh DAS tersebut tergolong sebagai DAS kritis dan super prioritas dalam pengelolaan DAS sejak tahun 1984 hingga 2003 (Tabel 2), karena: a) Daerah yang hidroorologisnya kritis, ditandai oleh besarnya angka perbandingan antara debit maksimum (musim hujan) dan debit minimum (musim kemarau) serta kandungan lumpur (sediment load) yang berlebihan; b) Daerah yang telah, sedang, atau akan dibangun bangunan vital dengan investasi besar, antara lain waduk, bendung, dan bangunan pengairan lainnya; c) Daerah yang rawan terhadap banjir dan kekeringan; dan d) Daerah dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Tabel 2. Daftar sungai-sungai kritis di Jawa No 1984
Penetapan DAS Kritis (Super Prioritas) 1994 2000
2003
1 2
DAS Brantas DAS Brantas Brantas Brantas DAS Bengawan DAS Bengawan Bengawan Solo Bengawan Solo Solo Solo 3 DAS Serayu-Luk DAS Serayu-Luk Serayu Serayu Ulo (Kedu Ulo (Kedu Selatan-Serayu) Selatan-Serayu) 4 DAS Cimanuk DAS Cimanuk Cimanuk Cimanuk 5 DAS Citarum DAS Citarum Citarum Citarum 6 DAS Citanduy- DAS Citanduy- Citanduy Citanduy Cisanggarung Cisanggarung 7 DAS Ciliwung- DAS Ciliwung- Cisadane Cisadane Cisadane Cisadane 8 DAS Ciujung- DAS Ciujung- Ciujung Ciujung Teluk Lada Teluk Lada Sumber : Departemen Kehutanan, 1984; Suwarjo et al., 1994; Suripin, 2002; Departemen Kehutanan, 2003 Keterangan: 1984 : DAS Super prioritas 1994 : DAS kritis 2000 : DAS Super prioritas 2003 : DAS Prioritas I
Kondisi karakteristik DAS yang demikian tentu cukup berpengaruh terhadap fluks karbon sungai. Perbedaan-perbedaan karakteristik DAS akan memberikan pengaruh terhadap karakteristik fluks karbon sungainya. Dalam
9
siklus biogeokimia, karbon tersebut cukup penting sebagai sumber energi bagi kehidupan di perairan dan pesisir untuk proses fotosintesis. Pengelolaan DAS yang baik umumnya akan memberikan respon terhadap hidrologi yang baik, seperti kecilnya koefisien rejim sungai, koefisien varian, erosi, membaiknya kualitas air dan sebagainya. Hubungan antara kondisi DAS dan karbon sungai belum banyak dilakukan penelitian. Karbon sebagai salah satu indikator dari kualitas lingkungan merupakan salah satu kajian yang belum banyak dilakukan. Demikian pula halnya dengan perubahan dari hidrologi yang ada. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa semakin meningkatnya degradasi lingkungan, kondisi debit sungai-sungai di Jawa cenderung memiliki koefisien rejim sungai yang besar. Artinya perbedaan antara debit maksimum dan minimum cukup besar, bahkan saat musim kemarau aliran dasar (base flow) sudah tidak ada sehingga tidak ada aliran sama sekali. Perubahan pola aliran sungai tersebut cukup berpengaruh pada siklus karbon, khususnya fluks karbon dari sungai. Pada penelitian fluks karbon di Jawa, hal yang penting dikaji lebih mendalam adalah menghitung besarnya ekspor karbon sungai ke laut. Karakteristik fluks karbon perlu dikenali, baik berdasarkan musiman, distribusi sungai, maupun pengaruh antropogenik yang ada. Perbedaan antara ke utara dan selatan Pulau Jawa, sudah pasti ada karena sistem sungai dan karakteristik DASnya berbeda. Selain itu fluktuasi musim, klasifikasinya berkaitan dengan sistem sungai yang ada dan analisis jebakan karbon sungai, merupakan kajian yang perlu diteliti lebih mendalam. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka karakteristik fluks karbon dan kesehatan DAS dari aliran sungai-sungai utama di Pulau Jawa merupakan suatu kajian yang penting guna memahami siklus karbon lebih lanjut. Untuk lebih jelasnya kerangka pemikiran penelitian hal ini disajikan pada Gambar 1.
10
Perubahan Hujan
Aktivitas Manusia (pembakaran BBF, pembangkit listrik, industri, dan transportasi
Perubahan Iklim Global
Trend aliran sungai: Tahunan Musiman
Perubahan Aliran
Siklus Karbon
Sungai di tropis
Riverine Carbon Fluxes
Peran penting wilayah Indonesia sebagai pemasok fluks karbon dan aliran sungai di lautan
Terbatasnya riset, data, informasi dan publikasi mengenai fluks karbon dan aliran sungai ke lautan di Indonesia
Peristiwa alam (letusan gunung berapi, lahan basah (wetland), kebakaran hutan, peternakan dll.
Sungai Utama di Jawa (8 DAS)
Kesenjangan/ Gap
Manajemen Lingkungan
Pola Aliran Sungai
Pertimbangan: Berpenduduk >> Luas DAS Ekonomi Hidrologi Pengelolaan sungai Bendungan Arah aliran sungai (muara sungai) Penggunaan lahan DAS kritis
Positioning Fluks karbon Sungai
Fluks karbon
Kesehatan DAS
Karakteristik DAS: Penduduk Erosi/sedimentasi Kualitas Air Tutupan lahan Hidrologi
Karakteristik Fluks karbon: Fluks tahunan Korelasi antar variabel (penduduk, luas DAS, debit) Musiman Jebakan karbon Perbandingan karbon sungai-sungai dunia Korelasi dengan indeks kesehatan DAS pCO2
Gambar 1. Kerangka pemikiran
11
1.3. Perumusan Masalah Meningkatnya intensitas penggunaan lahan pada suatu DAS telah menyebabkan terlampauinya daya dukung lingkungan, sehingga menimbulkan permasalahan lingkungan. DAS besar yang terdapat di Jawa sebagian besar telah dikategorikan kritis atau sudah tidak sehat kondisinya karena rusaknya hidroorologis. Pada musim hujan debit sungai cukup besar dan menimbulkan banjir, namun pada musim kemarau debit sungai cukup kecil, bahkan di beberapa sungai mengalami kekeringan. Demikian pula halnya dengan masalah kualitas air yang telah menyebabkan tercemarnya air sungai. Terlebih lagi pada musim kemarau dimana pasokan air dari air hujan tidak ada dan aliran dasar sungai cukup kecil, sehingga tidak ada pengenceran. Dalam siklus karbon, sungai berperan dalam memasok karbon dari daratan ke lautan melalui debit sungai yang ada. Karbon terlarut dalam perairan sungai berkaitan dengan jumlah dan sebaran penduduk, penggunaan lahan, industri, permukiman, pertanian dan sebagainya. Hal ini disebabkan segala aktivitas kehidupan manusia di permukaan bumi memerlukan senyawa karbon, baik untuk proses produksinya maupun konsumsi. Seluruh aktivitas manusia di daratan pada dasarnya akan menghasilkan karbon. Karbon yang tidak teremisikan dan berada di permukaan bumi akan tererosi dan terlarut oleh aliran permukaan yang selanjutnya dialirkan ke lautan oleh sungai tersebut. Erosi karbon dari lahan dan dilarutkan oleh sungai ke laut merupakan satu bagian dari siklus karbon global. Perubahan pola hujan di berbagai tempat di Pulau Jawa yang bersamaan dengan proses terjadinya perubahan penggunaan lahan, telah menyebabkan watak sungai berubah (Nugroho, 2006). Perubahan aliran sungai ini berpengaruh terhadap fluks karbon yaitu karbon yang berasal dari daratan terlarut ke dalam aliran sungai dan terendapkan sampai pada suatu tempat (Coynel et al., 2005). Meskipun telah diketahui bahwa sungai-sungai di Jawa memainkan peran yang penting dalam siklus biogeokimia, termasuk diantaranya siklus karbon, namun penelitian mengenai hal tersebut belum banyak dilakukan. Penelitian tentang fluks karbon dari sungai-sungai di dunia, khususnya sungai di daratan kontinen sudah cukup banyak dilakukan penelitian, namun untuk sungai-sungai di tropis dengan bentuk kepulauan dan memiliki topografi pegunungan masih
12
terbatas. Terlebih kondisi DAS yang memiliki perbedaan karakteristik seperti jumlah penduduk yang besar, penggunaan lahan, industri, geologi, pembangunan sungai dan pengelolaan sungai akan berpengaruh terhadap karakteristik fluks karbon sungai. Karbon sebagai salah satu indikator dari kesehatan suatu DAS belum banyak dilakukan kajian, padahal seluruh kehidupan makhluk hidup di bumi semuanya berkaitan dengan karbon. Bertitik tolak dari fenomena tersebut maka pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut : a) Bagaimana karakteristik fluks karbon dari delapan sungai utama di Jawa? b) Bagaimana trend aliran sungai saat ini? c) Indikator apakah yang paling berperan dalam menentukan kesehatan DAS? d) Apakah karakteristik fluks karbon sungai dapat dijadikan sebagai indikator degradasi lingkungan?
1.4.
Tujuan Penelitian
Beberapa tujuan dari penelitian ini adalah: a) Mengkaji karakteristik fluks karbon dari sungai-sungai di Jawa. b) Mengidentifikasi pola kecenderungan dan watak hidrologi. c) Menemukan indikator kesehatan DAS.
13
BAHASAN UMUM PULAU JAWA
Pola Aliran Sungai (8 Sungai)
Fluks karbon (8 Sungai)
Trend dan Watak Hidrologi
Karakteristik DAS
Analisis TOC-TIC, DOCDIC, POC-PIC Debit
` Penduduk
Kepadatan Penduduk
Erosi
Indeks Erosi
Sedimentasi
Laju Sedimen
Kualitas air
Tutupan Lahan
Hidrologi
Data debit sungai
Fisik, Kimia, Bio
Tutupan Lahan Permanen
Debit Sungai
Uji Statistik Mann-Kendall
Fluks Karbon Tahunan
Pola musiman
Pola Kecenderungan Debit
Teknik Skoring/ Pembobotan
Hub. Parameter karbon dan Debit
Korelasi antar parameter karbon Hub. DOC-DIC vs luas DAS Jebakan karbon dan pCO2
Analisis Komparatif
Watak Aliran
Hub. DOC dan penduduk
BAHASAN ALIRAN SUNGAI Tingkat Kesehatan DAS Analisis Komparatif Dan Positioning
BAHASAN KESEHATAN DAN KARAKTERISTIK DAS Manajemen Lingkungan
Fluks karbon Sungai di Jawa
BAHASAN KARAKTERISTIK FLUKS KARBON
Gambar 2. Perumusan masalah dan keterkaitan antar bahasan
14
1.5. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: •
Memberikan
kontribusi
dalam
pemahaman
terhadap
penelitian
karakteristik fluks karbon, khususnya fluks karbon dari sungai-sungai kecil dengan topografi pegunungan dengan jumlah penduduk yang besar seperti di Jawa, mengingat penelitian mengenai hal tersebut masih terbatas. •
Membantu para pihak yang terlibat untuk lebih memahami pentingnya fluks karbon sungai dalam konteks neraca karbon.
•
Memberikan pengetahuan mengenai karakteristik dan perubahan watak hidrologi dari sungai-sungai di Jawa sehingga dapat digunakan untuk penyusunan kebijakan pengelolaan DAS dan lingkungan hidup.
1.6. Kebaruan/Novelty Dalam penelitian ini yang menjadi novelty-nya, adalah : 1.6.1. Kebaruan dari aspek pengungkapan fakta karakteristik fluk karbon sungaisungai di Jawa yang diyakini sebagai sebagai salah satu kontributor fluks karbon sungai di daerah tropis. Sungai-sungai yang berada di daerah tropis, kepulauan dengan topografi bergunung-gunung serta memiliki jumlah penduduk yang besar diyakini memberikan kontribusi fluks karbon organik dari daratan ke lautan yang lebih besar daripada sungai-sungai di kontinen dalam siklus biogeokimia karbon dunia. 1.6.2. Kebaruan dalam mengenali perubahan trend dan watak hidrologi dari delapan sungai utama di Jawa akibat pengaruh perubahan iklim global dan antropogenik. Perubahan trend dan watak hidrologi akan berpengaruh terhadap fluks karbon sungai dari daratan ke lautan. Selain itu juga berpengaruh terhadap pasokan air untuk memenuhi berbagai kebutuhan air mengingat ketersediaan air di Jawa sudah kritis sehingga potensi konflik penggunaan air akan semakin lebih berat di masa mendatang. 1.6.3. Pembaruan dalam metode penentuan kesehatan DAS dengan mengkaitkan indikator karbon sungai. Mengingat semua aktivitas penduduk, baik produksi, konsumsi dan distribusi selalu berkaitan dengan karbon maka
15
diperkirakan fluks karbon memiliki hubungan yang kuat dengan tingkat kesehatan DAS. Terdapat dugaan bahwa semakin besar fluks karbon maka semakin besar pula tingkat kerusakan DAS atau memiliki kesehatan DAS yang rendah.
16