BAB I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan komoditas penentu kelangsungan
perekonomian suatu negara. Hal ini disebabkan oleh berbagai sektor dan kegiatan ekonomi di Indonesia mengandalkan BBM sebagai sumber energi dalam beraktivitas. Setiap aktivitas yang dilakukan oleh entitas ekonomi tidak lepas dari penggunaan BBM, mulai dari kegiatan yang dilakukan oleh rumah tangga hingga perusahaan yang memproduksi barang dan jasa. Ditinjau dari segi transportasi, keberadaan BBM sangat penting adanya karena kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh kemudahan dan akses transportasi yang baik. Oleh karena itu, BBM berkaitan erat dengan sistem transportasi sebagai sumber tenaga penggerak. Sejak tahun 2002, Indonesia telah melakukan impor minyak mentah terkait dengan penurunan produksi minyak dalam negeri. Di samping itu, Indonesia juga menerapkan kebijakan subsidi BBM untuk menekan beban masyarakat akan tingginya harga minyak dunia. Besarnya jumlah pemberian subsidi ini akan mengalami fluktuasi selaras dengan perubahan harga minyak dunia. Secara tentatif dan tertuang dalam Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025, Indonesia memberikan subsidi BBM dalam beberapa jenis, yakni subsidi untuk minyak tanah, premium dan solar. Subsidi yang paling besar memakan dana adalah subsidi BBM jenis premium.1 Subsidi BBM jenis premium diberikan pada angkutan pribadi, angkutan umum, angkutan khusus, TNI/Polri. Hingga kini pemerintah masih mempelajari dan mempertimbangkan dampak kebijakan harga BBM terutama terhadap kelompok masyarakat menengah ke bawah. Hal ini memperlihatkan bahwa kebijakan di sektor energi masih sangat responsif. Suparmoko (2002) menjelaskan bahwa rendahnya harga BBM merupakan salah satu sumber defisit APBN yang sangat dominan. Ia mengemukakan bahwa hal ini memaksa pemerintah menaikkan harga BBM dengan rata-rata 30 persen pada tahun 2001. Jika pemerintah tidak menaikkan harga BBM sebesar 30 persen, subsidi BBM akan melonjak menjadi Rp 66 triliun pada tahun tersebut. BBM merupakan bahan dasar untuk melakukan kegiatan di segala sektor dan
1
Blueprint BPH Migas 2005-2025, Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia, 2005
2
kehidupan, maka kenaikan harga BBM yang sangat drastis akan menaikkan harga barang dan jasa termasuk harga kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat walaupun pada kenyataannya biaya BBM hanya mencakup sekitar 6 persen dari rata-rata biaya produksi industri pengolahan. Sementara itu bagi rumah tangga, pengeluaran untuk BBM hanya meliputi sekitar 1,07 persen untuk kelompok miskin dan 0,15 persen untuk rumah tangga kelompok tidak miskin, atau total 0,21 persen dari anggaran belanja keluarga. Namun untuk pengeluaran transportasi rata-rata rumah tangga miskin dan tidak miskin mengeluarkan sekitar 2,60 persen dari seluruh anggaran belanja rumah tangga. Oleh karena itu, kelompok rumah tangga miskinlah yang paling terbebani oleh kenaikan harga BBM, karena di samping kebutuhan bahan bakar dan transportasi, kebutuhankebutuhan lainnya pasti naik juga harganya, sedangkan penghasilan mereka relatif kecil. Tabel 1. Produksi, Konsumsi dan Impor BBM di Indonesia Tahun 2005-2010 (Ribu Barel) Tahun Produksi BBM Konsumsi BBM Impor BBM Rasio Impor/Produksi (%) 2005 268.529 397.802 164.842 61 2006 257.821 374.691 131.765 51 2007 244.396 383.453 149.479 61 2008 251.531 388.107 153.105 61 2009 246.289 379.142 137.817 56 2010 241.156 388.241 146.997 61 Sumber: BPS (2010), diolah
Dari data pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa produksi BBM Indonesia berada di bawah jumlah kebutuhan untuk konsumsi nasional. Hal ini menyebabkan pemerintah harus mengimpor BBM dari luar negeri untuk menutupi defisit kebutuhan nasional tersebut. Produksi BBM dalam negeri menurun dari tahun ke tahun, pada tahun 2005 Indonesia memproduksi 268.529.000 barel BBM dan menurun hingga 241.156.000 barel BBM pada tahun 2010. Dilihat dari rasio antara jumlah impor BBM dengan produksi nasional, jumlah impor BBM selalu di atas 50 persen. Berarti Indonesia tidak dapat mencukupi setengah dari kebutuhan BBM nasional. Impor BBM yang semakin banyak dengan harga minyak dunia yang berfluktuatif menyebabkan ketidakpastian dalam jumlah subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah.
3
Seiring dengan pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk yang mengiringi pertumbuhan ekonomi, eksploitasi sumber energi fosil akan terjadi, terutama eksploitasi minyak. Hal ini merupakan lampu kuning bagi Indonesia yang diprediksi akan menjadi negeri pengimpor minyak secara menyeluruh pada tahun 2030, di mana akan terjadi defisit hingga 650 juta barel (Kementerian Komunikasi dan informasi Republik Indonesia, 2011). Hal ini membuat pemerintah harus lebih menggalakkan program-program penghematan BBM di dalam negeri agar Indonesia tidak semakin terpuruk dalam konsumsi BBM berlebih. Tabel 2.
Pengeluaran dan Subsidi Pemerintah di Indonesia Tahun 2005-2011 (Triliun Rupiah)
Sektor 2005 2006 2007 2008 Pengeluaran Total 361 440 505 693 Total Subsidi 121 108 150 275 Subsidi Bahan bakar 96 64 84 139 Subsidi Listrik 9 31 33 84 Penanaman Modal 33 55 64 73 Pertahanan 22 24 31 9 Pendidikan 29 45 51 55 Kesehatan 6 12 16 14 Jaminan Sosial 2 2 3 3 Sumber: Kementerian Keuangan Republik Indonesia (2012)
2009 629 138 45 50 76 13 85 16 3
2010 782 201 89 55 95 21 97 20 4
2011 837 188 96 41 136 47 92 14 5
Dari data pada Tabel 2, dapat dilihat bahwa subsidi bahan bakar berfluktuatif dari tahun ke tahun. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, terutama oleh harga minyak dunia. Subsidi paling tinggi terjadi pada tahun 2008, sebesar Rp 139 triliun. Pada tahun 2011 subsidi untuk bahan bakar dalam APBN sebesar Rp 96 triliun. Pada tahun 2012, APBN yang dianggarkan pemerintah untuk membiayai subsidi BBM sebesar Rp 137,4 triliun. Tetapi seiring dengan peningkatan konsumsi BBM di Indonesia, diperkirakan anggaran tersebut akan melonjak hingga Rp 234,2 triliun. Jika subsidi terhadap bahan bakar dapat ditekan maka anggaran pemerintah dapat dialokasikan untuk subsidi di bidang lain seperti pendidikan, pertahanan, kesehatan dan untuk jaminan sosial. Menurut Kementerian Keuangan Republik Indonesia, eksplorasi minyak mentah di Indonesia merupakan kerjasama antara pemerintah dengan kontraktor asing. Jumlah minyak mentah yang merupakan hak pemerintah adalah 80 persen dan 20 persen untuk kontraktor asing. Pemakai terbesar BBM nasional adalah
4
sektor transportasi. Bagi sektor transportasi sendiri, BBM adalah bahan bakar utama (nyaris 100 persen) yang sulit digantikan dengan bahan bakar lain. Penggunaan BBM yang tidak efisien dapat kita lihat akibatnya pada kemacetan, terutama di kota-kota besar. Mobil-mobil tua dengan mesin yang boros penggunaan BBM kerap ditemukan di jalan raya. Laju pertumbuhan kendaraan yang sangat cepat belum didukung oleh pertambahan infrastrukturnya. Tabel 3. Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis Kendaraan di Indonesia Tahun 2008-2010 (Unit) 2008 2009 2010 Unit % Unit % Unit % Mobil Penumpang 7.695.500 12,39 8.111.508 12,04 8.828.114 11.45 Bus 2.138.439 3,44 2.238.790 3,32 2.351.297 3.05 Truk 4.569.519 7,36 4.610.400 6,84 4.818.280 6.25 Sepeda Motor 47.683.681 76,80 57.433.132 77,80 61.133.032 79.26 Total 62.087.139 100,00 67.393.139 100,00 77.130.723 100,00 Sumber: Statistik Indonesia (BPS, 2011), diolah Jenis Kendaraan
Dari data pada Tabel 3, mobil penumpang yang di dalamnya termasuk mobil pribadi dari tiga tahun terakhir menempati posisi kedua yang mendominasi keberadaan kendaraan bermotor di Indonesia. Jumlah kendaraan mobil penumpang selalu memiliki penambahan jumlah dari tahun ke tahun walaupun persentasenya menurun sedikit demi sedikit. Dari data pada Tabel 3 juga dapat dilihat bahwa sepeda motor memiliki persentase terbesar dari jumlah kendaraan bermotor di Indonesia. Dengan mobil penumpang di urutan kedua, diprediksi bahwa pengguna BBM jenis premium mayoritas adalah masyarakat menengah ke atas yang memiliki kendaraankendaraan tersebut. Menurut data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, sektor transportasi menguras dana yang cukup banyak, yakni Rp 113 triliun rupiah dari anggaran total APBN 2005. Perubahan jumlah kendaraan pribadi yang meningkat drastis tidak lepas dari akibat kebijakan pemerintah yang tidak memprioritaskan pengembangan angkutan umum massal, padahal kendaraan pribadi yang menyumbang 88 persen dari total populasi kendaraan hanya menyumbang 44 persen pengguna jalan sementara 53 persen sisanya diangkut oleh kendaraan umum yang hanya menyumbang 4,5 persen dari
5
populasi kendaraan. Hal ini menunjukkan secara langsung bahwa subsidi BBM justru dinikmati oleh pengendara privat baik mobil maupun motor pribadi dan bukan angkutan umum. Kebijakan subsidi BBM yang diberlakukan oleh pemerintah ini menjadi tidak tepat sasaran. Berdasarkan kajian Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas, ketidaktepatan sasaran dari subsidi BBM dikarenakan oleh ketiadaan pengawasan dalam pendistribusian, baik BBM bersubsidi maupun BBM tidak bersubsidi. Lemahnya pengawasan ini terjadi karena tidak adanya koordinasi lintas sektoral antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kurang efektifnya komunikasi ini menyebabkan kelangkaan BBM dan penyalahgunaan BBM bersubsidi. Jika masalah ini terus berlanjut maka masalah-masalah di sektor BBM dapat menghambat pertumbuhan ekonomi lintas sektoral. Peranan pemerintah dalam bidang alokasi adalah untuk menjamin tercapainya penggunaan sumber ekonomi yang efisien, yang tidak dapat dicapai melalui mekanisme pasar bebas. Ekonom membedakan efisiensi menjadi dua, yaitu efisiensi alokasi dan x-efficiency. Efisiensi alokasi adalah alokasi sumbersumber ekonomi sesuai dengan kendala anggaran konsumen barang dan jasa. Xefficiency menunjukkan kondisi pada sisi penawaran, yaitu apakah penyediaan suatu barang dan jasa sudah dilaksanakan dengan biaya minimum. Selain berperan dalam bidang alokasi sumber daya, pemerintah juga berperan dalam distribusi. Pemerintah dapat memengaruhi distribusi pendapatan secara tidak langsung dengan kebijaksanaan pengeluaran pemerintah misalnya dengan subsidi BBM jenis premium (Mangkoesoebroto, 2000). Besarnya subsidi BBM yang dikeluarkan oleh pemerintah bergantung pada harga minyak dunia yang sering tidak stabil. Semakin tinggi harga minyak dunia maka pemerintah akan menganggarkan dana yang makin banyak untuk dana subsidi. Alternatif untuk menekan pengeluaran pemerintah adalah dengan menaikkan harga BBM, khususnya jenis premium yang merupakan konsumsi energi tertinggi. Jika pemerintah menaikkan harga dasar BBM jenis premium, hal ini akan berimbas pada konsumen, yakni masyarakat Indonesia. Menurut Walter Nicholson (1995), akan terjadi dua perubahan jika terjadi kenaikan harga BBM
6
jenis premium. Perubahan pertama terjadi pada efek substitusi, meskipun konsumen mempertahankan tingkat kepuasan yang sama, pola konsumsi akan dialokasikan ulang untuk menyamakan MRS dengan rasio harga yang baru. Pengaruh yang kedua adalah efek pendapatan yang timbul karena perubahan harga pasti mengubah pendapatan “riil” seseorang. Secara implisit dapat ditarik kesimpulan bahwa kenaikan harga (pengurangan subsidi) BBM akan berdampak negatif terhadap tingkat kesejahteraan pengendara mobil. Dalam penelitian ini, akan dilihat bagaimana respon pengendara mobil pribadi jika terjadi kenaikan harga BBM jenis premium dan kesediaan membayar mereka terhadap satu liter BBM jenis premium. Penting juga untuk dikemukakan bahwa konsumsi BBM dapat dipengaruhi oleh beberapa variabel seperti jenis kelamin, usia, jumlah tanggungan, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan responden, tingkat pendapatan anggota keluarga lainnya, kesediaan membayar terhadap satu liter BBM jenis premium, perilaku menghemat jika terjadi kenaikan harga BBM jenis premium, CC mobil dan tingkat konsumsi BBM jenis premium per bulan.
1.2
Permasalahan Dapat diprediksi bahwa sektor transportasi akan mendapatkan pengaruh
yang nyata jika terjadi kenaikan harga BBM jenis premium. Tetapi, tidak hanya sektor transportasi yang akan berdampak. Peraturan Presiden No. 15 Tahun 2012 tentang Harga Jual Eceran dari Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar Tertentu menyebutkan bahwa ada beberapa kategori pengguna BBM bersubsidi selain untuk sektor transportasi, antara lain: usaha perikanan yang terdiri dari nelayan dan pembudi daya ikan skala kecil; usaha pertanian kecil dengan luas maksimal dua hektar; usaha mikro; dan berbagai pelayanan umum lainnya. Semua pihak yang berada dalam sektor tersebut akan terkena dampak dari kenaikan harga BBM jenis premium. Untuk mengendalikan konsumsi BBM, pemerintah memaparkan dan mencanangkan lima program. Program-program tersebut adalah konversi BBM ke bahan bakar gas; melarang kendaraan pelat merah, pertambangan dan perkebunan menggunakan BBM bersubsidi; melarang Perusahaan Listrik Negara
7
(PLN) membangun pembangkit listrik berbahan bakar BBM; melakukan penghematan di semua kantor pemerintah dan badan usaha milik negara.
Tabel 4. Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis Kendaraan di Jawa Barat Tahun 2006-2010 (Unit) Tahun Mobil Penumpang Bus 2006 466.117 129.547 2007 495.295 150.242 2008 507.552 162.705 2009 526.508 171.000 2010 548.641 177.578 Sumber: Statistik Indonesia (BPS, 2011)
Truk 373.703 451.372 451.495 451.987 451.372
Sepeda Motor 1.481.789 1.991.862 2.126.612 2.378.188 2.615.527
Total 2.451.156 3.088.771 3.248.364 3.248.364 3.811.158
Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa dari tahun 2006 sampai tahun 2010 jumlah mobil penumpang di Jawa Barat memiliki tren yang selalu meningkat. Peningkatan jumlah mobil penumpang di Jawa Barat berimplikasi kepada peningkatan volume konsumsi BBM jenis premium di Indonesia. Tingginya jumlah kendaraan di Jawa Barat menyebabkan kepadatan jalan yang jika tidak diantisipasi oleh pemerintah dapat mengakibatkan kemacetan dan masalah lainnya di masa yang akan datang. Tabel 5. Jumlah Tanda No. Kendaraan Bermotor yang Dikeluarkan SAMSAT Polres Kota Bogor Tahun 2004, 2005 dan 2010 (Unit) Tahun Mobil Penumpang Mobil Barang 2004 195.657 113.969 2005 200.218 123.352 2010 12.957 2.283 Sumber: Kota Bogor dalam Angka (BPS, 2011)
Bus 188.790 212.500 158
Motor 719.276 970.572 53.113
Total 1.217.692 1.506.642 68.511
Data pada Tabel 5 menunjukkan data tahun 2004, 2005 dan 2010 mengenaik jumlah tanda nomor kendaraan yang dikeluarkan aparat negara yang berwenang. Volume kendaraan di atas menunjukkan bahwa setiap tahun Polres Kota Bogor mengeluarkan surat kendaraan bermotor yang berarti penambahan jumlah kendaraan bermotor secara agregat di Kota Bogor. Jumlah kendaraan bermotor yang diurus tanda nomor kendaraannya oleh Polres Kota Bogor memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini
8
dapat terjadi mungkin karena kuantitas dan kualitas jalan yang sudah cukup padat dan tidak memadai jika terjadi penambahan kendaraan yang lebih tinggi. Tabel 6. Konsumsi BBM Jenis Premium di Indonesia Tahun 2005-2010 (Barel/Orang) Tahun
Jumlah Konsumsi BBM Jenis Premium (Ribu Barel)
2005 344.780 2006 323.526 2007 333.060 2008 336.780 2009 330.721 2010 341.337 Sumber: Kementerian ESDM (2011), diolah
Jumlah Penduduk (Orang) 227.303.175 229.918.547 232.461.746 234.951.154 237.414.495 239.870.937
BBM Jenis Premium per Orang (Barel/Orang) 1.52 1.41 1.43 1.43 1.39 1.42
Dari data pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa masing-masing orang mengkonsumsi lebih dari satu barel BBM jenis premium per tahunnya. Tingginya konsumsi ini mengindikasikan tingginya mobilitas masyarakat Indonesia yang berhubungan dengan produktivitas masyarakat Indonesia. Berdasarkan latar belakang tersebut, perumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah: 1. Berapakah nilai willingness to pay (kesediaan membayar) pengendara mobil pribadi terhadap BBM jenis premium per liter? 2. Faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi respon masyarakat terutama pengendara mobil pribadi di Bogor terhadap rencana kenaikan harga BBM jenis premium ?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan pada perumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah:
1.
Menghitung nilai willingness to pay (kesediaan membayar) pengguna mobil pribadi terhadap BBM jenis premium per liter.
2.
Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi respon masyarakat terutama pengendara mobil pribadi di Bogor terhadap rencana kenaikan harga BBM jenis premium.
9
1.4 1.
Manfaat Penelitian Bagi akademisi dan peneliti khususnya di dalam pengembangan Model Regresi Logistik dan Crosstabs dengan SPSS yang terkait dengan respon masyarakat.
2.
Bagi pemerintah, agar turut memperhatikan respon masyarakat tentang harga BBM jenis premium dan sebagai bahan pertimbangan kebijakan untuk menentukan harga BBM jenis premium yang sampai saat ini masih disubsidi oleh pemerintah.
1.5
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah: (1) Wilayah penelitian dibatasi pada
daerah Bogor; (2) Objek penelitian adalah pengendara mobil pribadi yang tinggal di sekitar wilayah penelitian sebagai responden; (3) Responden adalah mereka yang memiliki dan menggunakan mobil pribadi dengan BBM jenis premium sebagai bahan bakarnya.