BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Topik mengenai peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer hingga saat ini terus menjadi perbincangan yang esensial dalam skala multinasional,
terlebih
lagi
dengan
diberlakukanya
SDGs
(Sustainable
Development Goals) yang menggantikan MDGs (Millenium Dvelopment Goals) pada tahun mendatang. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer erat kaitanya dengan penyebab terjadinya global warming dan perubahan iklim. Sejumlah bukti yang dikemukakan oleh Shakun et al (2012) memperlihatkan bahwa masalah pemanasan global yang disebabkan oleh peningkatan gas rumah kaca pada 50 tahun terakhir merupakan akibat dari aktivitas manusia. Dalam tulisannya, Shakun et al (2012) menyebutkan bahwasanya pembakaran energi fosil karbon dan konversi hutan hujan tropis menjadi penyebab utama pelepasan gas rumah kaca (radiatively active gases) seperti CO2, CH4, dan N2O yang merupakan penyebab utama naiknya rata-rata suhu global 0.3º C setiap kurun waktu 10 tahun. Karbon dioksida merupakan salah satu gas yang memiliki efek rumah kaca (green house effect) yaitu gas yang menyerap panas yang dilepaskan oleh bumi. Oleh karena itu, peningkatan kadar karbon dioksida berkorelasi secara positif dengan peningkatan suhu bumi (Hansen et al,1981). International
Energy
Agency
(2012)
menyebutkan
bahwasanya
pembakaran dari bahan bakar fosil yang dilakukan dalam kegiatan industri saat ini telah melepas sekitar 30.276 juta ton per tahun CO2 (karbondioksida) ke dalam atmosfer pada tahun 2010. Hal ini disebabkan oleh tekanan penduduk di permukaan bumi dengan segala aktivitas antropogenik guna pemenuhan kebutuhannya akan energi dan makanan, sehingga eksploitasi sumberdaya alam berimplikasi terhadap peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.
1
Hingga saat ini, potensi carbon reservoir atau penyimpan karbon terbesar di alam merupakan batuan karbonat. Batuan karbonat merupakan batuan penyusun utama dari bentuklahan karst (solutional). Hasil penelitian sebelumnya Houghton & Woodwell, (1989), batuan karbonat memiliki potensi untuk mentyimpan 6.1x107 milyar ton karbon, dimana nilai tersebut merupakan 1694 kali lebih besar daripada kemampuan lautan dan 1.1x105 lebih besar daripada kemampuan vegetasi yang menutupi permukaan. Proses pembentukan bentuklahan karst ini didominasi oleh proses pelarutan atau yang sering disebut karstifikasi. Proses inilah yang berfungsi dalam penyerapan karbon di atmosfer maupun tanah. Proses pelarutan atau karstifikasi secara ringkas dirumuskan sebagai berikut (Liu dan Zhao, 2000; Grove, 2001; Daoxian , 2002) CaCO3 + H2O + CO2 Ca2+ + 2 HCO32-…………….(1) Dilihat dari reaksi diatas, keberadaan karbondioksida CO2 memiliki peranan penting dalam proses pelarutan atau karstifikasi. CO 2 dan air (H2O) berperan sebagai reaktan untuk membentuk ion H- yang kemudian melarutkan batuan karbonat. Hal ini menyebabkan besarnya konsentrasi CO2 akan mempengaruhi daya larut batuan karbonat (Haryono dan Adji, 2004). Berdasarkan hal tersebut, maka semakin tinggi laju pelarutan pada batuan karbonat maka semakin tinggi pula karbondioksida yang terserap. Kawasan karst dipermukaan bumi mencakup 22 milyar kilometer persegi (Daoxian, 1997). Indonesia sendiri diperkirakan memiliki wilayah karst kurang lebih seluas 14.000.000 km2. Dalam tulisanya, Haryono (2011) menyebutkan melalui proses denudasi (pelarutan) pada kawasan karst di Indonesia jumlah karbondioksida yang dapat terserap dari proses tersebut mencapai 13,482 Gg CO2/tahun. Dimana dalam tulisanya, Haryono (2011) menggunakan asumsi kehilangan 1 ton CaCO3 pada batuan karbonat akan menyerap 120 kg karbondioksida. Sementara pada tulisannya yang lain, Haryono dkk (2009) secara khusus menyebutkan bahwasanya potensi penyerapan karbon pada Karst Gunungsewu mencapai 72.804,16 ton CO2/tahun dengan menggunakan metode yang sama. Melihat hasil penelitian tersebut maka dapat dikatakan kawasan Karst
2
Gunung Sewu memiliki peran yang penting dalam proses penyerapan karbon di atmosfer. Berbagai metode perhitungan penyerapan karbon dalam proses karstifikasi telah berkembang hingga saat ini. Selain Haryono (2009; 2011), metode penentuan penyerapan karbon sebelumnya pernah dilakukan oleh Daoxian (2002) dan Zhongceng (1999) dengan menggunakan pendekatan Karst Dynamic System (KDS). Metode tersebut dinamakan Standar Limestone Tablets dan Hidrokimia. Berbeda dengan asumsi yang digunakan oleh Haryono (2009; 2011), metode ini menggunakan pengukuran laju pelarutan langsung pada model batuan karbonat yang memiliki standar terukur dan kandungan alkalinitas pada mataair. Aplikasi dari kedua metode ini secara khusus memungkinkan dapat dilakukan analisis kuantitatif mengenai hubungan antara proses karstifikasi dan penyerapan karbondioksida di atmosfer dalam suatu Daerah Tangkapan Air (DTA) kawasan karst. Oleh karena kedua metode ini dapat menjelaskan lebih detil mengenai proses KDS, maka kedua metode tersebut digunakan dalam penelitian ini dalam menghitung penyerapan karbondioksida pada kawasan karst. Kawasan Karst Gunungsewu merupakan salah satu kawasan karst yang terbesar di Indonesia. Keberadaan mataair yang merupakan penciri khas hidrologi pada Kawasan Karst Gunungsewu merupakan salah satu sumber penting dalam ketersediaan air yang banyak dimanfaatkan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya. Selain memiliki nilai ekonomis, mataair karst juga memiliki nilai keilmuan yang sangat menarik untuk dikaji. Kecamatan Purwosari dan sekitarnya memiliki beberapa mataair karst yang digunakan untuk pemenuhan kebutuhan domestik salah satunya adalah Mataair Ngeleng. Mataair Ngeleng dirasa cocok dijadikan sebagai lokasi kajian dikarenakan mataair tersebut merupakan mataair parenial dan juga terdapat berbagai variasi kondisi lahan pada DTA mataair. Selain itu, keberadaan data penunjang dalam perhitungan penyerapan karbondioksida dan minimnya
riset
penyerapan
karbon
di
Kawasan
Karst
Gunungsewu
melatarbelakangi dilakukannya penelitian mengenai laju pelarutan dan potensi penyerapan karbon pada DTA Mataair Ngeleng.
3
1.2.Rumusan Masalah Pemanasan global adalah proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer dan permukaan air laut. Secara sederhana dapat dipahami bahwa pemanasan global adalah akibat dari meningkatnya konsentrasi gas –gas radiatif salah satunya adalah karbondioksida. Karbondioksida memiliki peran dalam menjebak gelombang panjang panas matahari yang dipantulkan bumi ke angkasa luar. Kondisi tersebut meningkatkan suhu di permukaan bumi sehingga menimbulkan berbagai dampak di permukaan bumi. Penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya, wilayah karst juga memiliki kemampuan sebagai penyerap gas rumah kaca sehingga kawasan ini perlu dijaga kelestariannya. Pembentukan bentuklahan karst sangat erat kaitannya dengan siklus karbon. Proses pelarutan ini memanfaatkan gas CO2 dalam reaksinya sehingga bentuklahan karst memiliki andil besar dalam pengurangan gas CO 2 yang berada di alam. Dengan menganalisis pelarutan Limestone Tablets yang merupakan model pelarutan batuan karbonat dan juga analisa alkalinitas perairan di Mataair Karst Ngeleng maka dapat diketahui potensi penyerapan karbon pada daerah kajian. Berdasarkan pemikiran tersebut maka dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana variasi laju pelarutan batuan gamping pada berbagai kondisi lahan di daerah tangkapan air Mataair Ngeleng? 2. Berapa jumlah karbon yang terserap pada proses pelarutan batuan karbonat di daerah peneltian dengan menggunakan metode Limestone Tablets dan metode Hidrokimia?
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang sudah disampaikan tersebut maka penelitian yang akan dilakukan ini berjudul “ TINGKAT LAJU PELARUTAN DAN PENYERAPAN KARBON DI KAWASAN KARST GUNUNG SEWU MENGGUNAKAN STANDARD LIMESTONE TABLETS DAN HIDROKIMIA STUDI DTA MATA AIR NGELENG, GIRITIRTO, PURWOSARI, GUNUNG KIDUL”.
4
1.3.Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Menganalisis laju pelarutan batuan gamping pada variasi kondisi lahan di daerah tangkapan air Mataair Ngeleng. 2. Menghitung jumlah potensi serapan karbon pada proses pelarutan batuan karbonat di daerah penelitian menggunakan metode Standard Limestone Tablets dan metode Hidrokimia
1.4. Manfaat Penelitian Manfaat utama dari penelitian ini adalah mengetahui potensi penyerapan karbondioksida pada Mataair Karst Gunungsewu. Hasil dari komparasi dua metode yang digunakan diharapkan memberikan gambaran mengenai metode penyerapan karbon yang efektif pada Kawasan Karst terutama Kawasan Karst Gunungsewu. Selain itu, metode penelitian yang digunakan belum pernah digunakan pada penelitian dengan tema serupa sehingga diharapkan melalui penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan bidang ilmu pengetahuan geografi maupun bidang lain. Oleh karena itu, secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi salah satu referensi terkait dengan penelitian mengenai penyerapan karbondioksida dikawasan karst. Kajian mengenai ini diharapkan juga dapat menjadi salah satu acuan dalam pengelolaan mataair kawasan karst secara berkelanjutan. Publikasi mengenai hasil penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pentingnya konservasi kawasan karst, terutama terkait dalam hal fungsinya sebagai penyerap karbon.
1.5.Telaah Pustaka 1.5.1. Bentuklahan Karst Kawasan karst identik dengan kondisi lingkungan yang kering. Karst adalah sebuah istilah dalam Bahasa Jerman yang diturunkan dari Bahasa Slovenia yang berarti lahan gersang berbatu (Adji, 2006). Istilah tersebut sebenarnya menggambarkan kondisi yang sering ditemui di banyak daerah yang berbatuan karbonat atau batuan lain yang memiliki sifat mudah larut. Definisi yang lebih 5
spesifik diungkapkan oleh Ford dan Williams (1992) yang mendefinisikan karst sebagai medan dengan karakteristik hidrologi dan bentuklahan yang diakibatkan oleh kombinasi batuan yang mudah larut dan mempunyai porositas sekunder yang berkembang dengan baik. Saat ini, istilah ini sudah jamak digunakan untuk menyebutkan bentuklahan yang secara dominan terbentuk akibat pelarutan batuan (Veni dan DuChene, 2001). Karst di wilayah Gunungkidul pertama kali diperkenalkan oleh Danes (1910) dan Lehmann (1936) dan lebih dikenal di dunia dengan nama karst Gunungsewu. Karst ini dicirikan oleh perkembangan kubah karst (kegelkarst), salah satu bentuklahan positif yang lebih dikenal dengan kubah sinusoidal. Pembentukan model sistem karst (gambar 1.1.) diistilahkan sebagai proses karstifikasi. Karstifikasi terjadi akibat proses pelarutan pada batuan soluble. Sebagian besar batuan penyusun bentuklahan karst di Indonesia adalah batuan karbonat. Haryono dan Adji (2004) menyebutkan bahwa terdapat 2 faktor utama yang berpengaruh terhadap proses karstifikasi yaitu faktor pengontrol dan faktor pendorong. Faktor pengontrol adalah faktor yang menentukan keberlangsungan terjadinya karstifikasi, sedangkan faktor pendorong berperan dalam kecepatan dan kesempurnaan karstifikasi.
Gambar 1.1. Model Sistem Bentanglahan Karst ( Sumber : Bakalowicz, 2005 )
6
1.5.1.1. Pelarutan Dalam Proses Karstifikasi Lebih jauh dijelaskan dalam Haryono dan Adji (2004) bahwa faktor pengontrol terdiri dari tingkat kelarutan batuan, kekompakan, ketebalan, dan perkembangan rekahan batuan. Besarnya curah hujan (>2500 mm/tahun), serta ketinggian batuan terekspos yang memungkinkan dapat terjadinya perkembangan drainase vertikal juga menjadi salah satu faktor pengotrol. Faktor pendorong terdiri dari temperatur dan tutupan hutan. Kedua faktor tersebut akan sangat menentukan dalam perkembangan bentuklahan karst. Fakor pengontrol karstifikasi dapat dilihat pada gambar 1.2. Proses pelarutan pada batuan karbonat dijelaskan pada reaksi berikut CO2 + H2O H2CO3 .......................................................................... (2) Selanjutnya larutan asam akan terurai menjadi ion – ion untuk mencapai kestabilan (3) dengan reaksi kimia sebagai berikut
Gambar 1.2 Faktor Karstifikasi Pengaruhnya dalam Proses Pelarutan (Sumber : Trudgil, 1985 dalam Haryono dan Adji ,2004)
7
H2CO3 H+ + HCO3- ...................... .................................................. (3) Batugamping (CaCO3) akan mengalami penguraian menjadi ion – ion (5) yang nantinya akan berinteraksi dengan ion H+ (5) dengan reaksi kimia sebagai berikut. CaCO3 Ca2+ + CO32- ....................................................................... (5) CO32- + H+ HCO3- .......................................................................... (6) Reaksi ion – ion yang berasal dari dissosiasi CaCO3 dan H+ yang berasal dari dissosiasi CO2 akan menghasilkan ketidakseimbangan antara pCO2 dalam air. Hal ini akan menyebabkan lebih besar terdifusi dari udara ke dalam air dan selanjutnya akan terjadi reaksi kimia sebagai berikut. CaCO3 + H2O + CO2 Ca2+ + 2HCO3- ............................................. (1) Kesemua reaksi pelarutan di atas secara sederhana dapat dilihat pada gambar sebagai berikut. CO2(gas)
Gas Cair
CO2(aq) H2O
Ca2+
H2CO3 H+
HCO32HCO32-
Padat CaCO3
Gambar 1.3 Skema proses pelarutan batugamping (Sumber : Trudgil, 1985 dalam Haryono dan Adji (2004))
Dilihat dari proses kimianya, keberadaan karbondioksida (CO2) memiliki peranan penting dalam proses pelarutan atau karstifikasi. Karbondioksida (CO 2) dan air (H2O) berperan sebagai reaktan untuk membentuk ion H- yang akan
8
melarutkan batuan karbonat. Hal ini menyebabkan besarnya konsentrasi karbondioksida (CO2) akan mempengaruhi terhadap daya larut batuan karbonat (Haryono dan Adji, 2004). Semakin tinggi konsentrasi karbondioksida (CO 2) dalam proses pelarutan atau karstifikasi maka semakin tinggi pula daya larut batuan karbonat. Hubungan antara konsentrasi karbondioksida (CO2) dengan daya larut batuan karbonat ditunjukkan oleh gambar berikut.
Gambar 1.4. Grafik Hubungan Konsentrasi CO2 dengan Daya Larut Batuan Karbonat dalam Perairan (Sumber : Haryono dan Adji, 2004)
1.5.2. Karst Dynamic System Pembentukan rongga-rongga dan saluran bawah permukaan yang dikontrol oleh porositas sekunder menyebabkan bentuklahan karst memiliki respon hidrologis yang dinamis. Karakter aliran yang didukung oleh keberadaan air pada musim yang berbeda akan memberikan respon aliran yang berbeda. Perbedaan respon terhadap hujan akan menyebabkan hidrograf dengan karakter yang khas dan atau hidrograf yang dinamis. Proses karstifikasi merupakan salah satu proses yang termasuk dalam siklus karbon global. Transfer karbon melalui fase padat, cair, dan gas terjadi pada saat pelarutan batuan karbonat. Air berperan besar dalam melarutkan karbon atmosfer sehingga terjadi kontak dengan batuan karbonat sehingga terjadi penyerapan karbon. Karbon atmosfer terserap dalam bentuk karbondioksida (CO2). Karbondioksida memiliki peranan cukup penting dalam proses karstifikasi. Melalui persamaan (1) ditunjukkan bahwa karbondioksida berperan besar dalam
9
pelarutan batuan karbonat. Siklus karbon pada proses karstifikasi terkait dengan Karst Dynamic System (KDS) atau Sistem Dinamis Karst. Daoxian
(2002)
menyebutkan bahwa KDS meliputi transfer energi dan materi yang berisi siklus karbon, air serta kalsium / magnesium. Berikut gambar mengenai serapan karbon saat pelarutan batuan karbonat (gambar 1.5) :
Gambar 1.5. Penyerapan karbon saat pelarutan batuan karbonat (Dreybroadt, 2004 dalam Haryono, 2011) Lebih jauh dijelaskan bahwa siklus karbon pada KDS meliputi fase padat, cair, dan gas yang terjadi pada litosfer, hidrosfer, biosfer dan atmosfer yang mengontrol pembentukan bentuklahan karst (gambar 2.2.). Proses pelarutan batuan karbonat merupakan salah satu proses penyerapan karbondioksida dari atmosfer. Pada jenis gamping, setiap 1 mol CaCO3 yang terkorosi atau produksi 2 mol HCO3maka proses karstifikasi akan mengambil 2 mol CO2 yang berada di atmosfer atau tanah., sedangkan untuk dolomit 1 mol CaMg(CO3)2 yang terkorosi maka proses membutuhkan 2 mol CO2 untuk diserap dalam proses. Haryono, dkk (2009) menjelaskan setiap pelarutan 1 ton CaCO3 akan diikuti oleh pelepasan 120 Kg karbon Fase padat dalam KDS didominasi oleh berbagai tipe batuan karbonat dengan jaringan kompleks rekahan dan lipatan. Fase cair terdiri atas air yang mengandung Ca2+, Mg2-, HCO3-, CO32-, H+ dan CO2 terlarut dalam air. Fase gas terdiri dari CO2 atau karbondioksida sebagai sebuah gas. KDS adalah sebuah sistem terbuka dan
10
tidak hanya dipengaruhi oleh pembentukan bentuklahan karst tetapi juga terhubung dengan litosfer, hidrosfer, atmosfer, dan biosfer. Sistem Karst Dinamis dan keberlangsungannya dapat diidentifikasi melalui 4 parameter yaitu suhu, pH, HCO3-, dan CO2..
1.5.3. Siklus Karbon Karbondioksida (CO2) merupakan salah satu gas penyusun atmosfer yang memiliki presentase sekitar 0,033% dari seluruh gas penyusun atmosfer (Effendi,2003). Karbondioksida tersusun atas sebuah atom karbon yang berikatan kovalen dengan Oksigen. Karbondioksida merupakan salah satu gas yang menyerap panas sehingga memiliki kontribusi dalam meningkatkan suhu bumi atau dalam proses global warming. Karbon yang terdapat di dalam bumi ini mengalami siklus pertukaran yang sering dikenal dengan siklus karbon. Siklus karbon adalah siklus biogeokimia dimana karbon dipertukarkan antara biosfer, geosfer, hidrosfer, dan atmosfer. Dalam siklus ini terdapat empat reservoir karbon utama yang dihubungkan oleh jalur pertukaran. Reservoir reservoir tersebut adalah atmosfer, biosfer teresterial (biasanya termasuk pula sistem air tawar dan material non-hayati organik seperti karbon tanah (soil carbon), lautan (termasuk karbon inorganik terlarut dan biota laut hayati dan nonhayati), dan sedimen (termasuk bahan bakar fosil). Pergerakan karbon, pertukaran karbon antar reservoir, terjadi karena proses-proses kimia, fisika, geologi, dan biologi yang bermacam-macam (Begon et al, 1990). Karbondioksida (CO2) di atmosfer diserap oleh tumbuhan dan organisme berklorofil untuk melakukan proses fotosintesis. Karbondioksida (CO2) saat proses fotosintesis diubah menjadi karbohidrat, protein, dan lemak yang membentuk biomasa tumbuhan. Proses penimbunan karbon (C) atau biomasa tumbuhan ini dinamakan proses penyerapan karbon (C-sequestration). Biomasa tumbuhan ini kemudian dialirkan ke organisme lainnya melalui proses rantai makanan. Karbon dalam biomasa tumbuhan dapat langsung kembali ke atmosfer melalui proses respirasi. Sementara saat proses dekomposisi berlangsung karbon akan terakumulasi di dalam tanah. Karbon di dalam tanah dan atmosfer dapat terlarut
11
oleh air hujan dan terbawa ke perairan dalam bentuk karbon organik terlarut atau partikel karbon organik (Ulumuddin dan Kiswara, 2010). Adapun secara sederhana siklus karbon tergambar dalam gambar 1.4.
Gambar 1.6. Siklus Karbon di Permukaan Bumi Sumber : Effendi, 2003 Daur karbon terdiri dari dua komponen utama: biomassa di atas tanah dan bahan organik di dalam tanah. Di dalam suatu ekosistem yang tidak terganggu, jumlah dan proporsi kedua komponen relatif konstan, dan bahan organik yang dihasilkan oleh vegetasi berangsur-angsur dikembalikan ke dalam tanah. Kejadiankejadian alami seperti kebakaran, pohon tumbang dan tanah longsor menyebabkan perubahan lokal, tetapi penebangan hutan atau tanaman tahunan menyebabkan perubahan yang cukup besar (Whitten et al., 1999). Dari siklus karbon tersebut terbentuk kesetimbangan pertukaran karbon (antara yang masuk dan keluar) antar reservoir karbon atau antara satu putaran (loop) spesifik siklus karbon (misalnya atmosfer - biosfer). Analisis neraca karbon dari sebuah kolam atau reservoir dapat memberikan informasi tentang apakah kolam atau reservoir berfungsi sebagai sumber (source) atau penyerapan (sink) karbondioksida. Bentuk lain deposit karbon di Bumi tersimpan dalam bentuk karbon anorganik, misalnya batuan karbonat dan dalam bentuk karbon organik. Pelapukan, pelarutan batuan karbonat, dan aktivitas vulkanik juga akan berperan dalam
12
mengembalikan
karbon
dalam
bentuk
karbondioksida.
(Effendi,
2003).
Meningkatnya aktifitas antropogenik akan meningkatkan kadar karbon di atmosfer. Pembakaran bahan bakar fosil akan melepas karbondioksida ke atmosfer yang menghasilkan gas rumah kaca, sehingga meningkatkan temperatur, melelehkan es di kutub dan menaikkan muka air laut di bumi ( Clark, 1982).
1.5.4. Metode Standard Limestone Tablets dan Hidrokimia 1.5.4.1. Metode Standard Limestone Tablets Proses karstifikasi terdiri dari proses pelarutan dan deposisi dari batuan karbonat. Pelarutan dari batuan karbonat merupakan proses dari pengambilan CO 2 di udara dan pengkonsumsianya, dimana proses tersebut dapat dijelaskan sebagaimana reaksi kimia no. 5. Pada kondisi terbuka, batuan karbonat secara langsung tertutup oleh vegetasi dan tanah maka karbondioksida lebih banyak diambil dari proses pembentukan tanah. Melalui teori tersebut Daoxian (1988) pertama
kali
mengenalkan
metode
standard
limestone
tablets
dan
diimplementasikan secara luas pada IGCP 299 Project “Geology,climate, hydrology and karst formation (1990-1994) yang bertujuan untuk mengetahui korelasi dari intensitas proses karstifikasi pada perbedaan latarbelakang geologi, iklim dan hidrologi. Pengukuran dan perhitungan mengenai laju pelarutan batuan karbonat telah banyak dilakukan yakni Hidrokimia-runoff (Ellway et al.1990), formula corbel (Corbel,1959), DBL chemcial-dynamic (Dreybroadt,1991), micro-erosion meter (Trudgill et al , 1981) dan cosmogenic chlorine-36 (Bogli,1961). Metode-metode tersebut merupakan metode yang membutuhkan jangka panjang dalam pengambilan data parameter. Selain itu, metode tersebut memerlukan biaya yang tidak sedikit karena selain pengambilan data yang cukup lama juga diperlukan analisis lab pada unsur-unsur kimia parameter. Standard Limestone Tablets tidak membutuhkan waktu jangka panjang dalam monitoring dan pengambilan data serta dimensi tablet dan litologi mudah untuk disiapkan.
13
1.5.4.2. Metode Hidrokimia Karstifikasi pada batuan karbonat terutama batugamping (CaCO3) terbentuk karena reaksi dengan air dan karbondioksida ( CO2). Karbondioksida akan larut dalam air membentuk anion bikarbonat. Anion bikarbonat merepresentasikan alkalinitas dalam air. Alkalinitas adalah kemampuan anion dalam air dalam menetralkan kation hidrogen. Alkalinitas menggambarkan kemampuan air dalam menetralkan asam. Alkalinitas juga dikatakan sebagai kapasitas penyangga tehadap perubahan pH dalam air. Salah satu anion penyusun alkalinitas adalah bikarbonat (HC3-). Bikarbonat dalam air menunjukkan tingkat kejenuhan terhadap kalsium karbonat (Daoxian, 2002; Liu ,2000) Pengukuran alkalinitas terutama anion bikarbonat dapat digunakan untuk prediksi potensi jumlah serapan karbon atmosfer. Debit juga sangat berpengaruh terhadap jumlah serapan karbondioksida dan kandungan bikarbonat. Semakin besar debit maka kandungan ion bikarbonat akan menurun karena konsentrasinya dalam air menurun. Melalui data debit dan kandungan bikarbonat akan dihitung potensi serapan karbon atmosfer. Penggunaan kedua metode Standard Limestone Tablets dan Hidrokimia pertama kali digunakan oleh Zhongcheng (1999) untuk penyerepan karbon kawasan karst di China.
1.6.
Penelitian Sebelumnya Penelitian karst di Indonesia masih tergolong baru dan dalam proses
perkembangan menuju kemajuan. Penelitian sejenis pernah dilakukan Haryono (2009;2011) mengenai serapan karbon pada saat proses karstifikasi. Penelitian ini menghitung potensi serapan karbon atmosfer pada proses denudasi karst
di
Indonesia dan secara spesifik di karst Gunungsewu. Penelitian ini menggunakan metode corbel dalam menghitung laju pelarutanya. Penelitian ini menghasilkan nilai laju pelarutan sebesar 82.9 m3/km2/tahun di Indonesia dan 50.91 m3/km2/tahun di Karst Gunungsewu. Karbondioksida yang terserap di Indonesia sebesar 13,482 Gg/tahun di Indonesia dan 72.804.16 ton/tahun di Karst Gunungsewu. Penelitian
14
ini juga membandingkan jumlah serapan karbon dan jumlah emisi karbon dari kegiatan industri, pembakaran bahan bakar fosil, dan yang lainnya. Penelitian lain juga pernah dilakukan oleh oleh Zhongcheng (2009) mengenai penyerapan dan pelepasan karbondioksida melalui proses karstifikasi. Penelitian ini menghitung potensi serapan karbon atmosfer menggunakan metode limestone tablet dan Hidrokimia pada keseluruhan wilayah karst di China. Hasil dari penelitian ini menunjukan adanya kemiripan hasil yang diperoleh dari kedua metode tersebut dalam hal perhitungan penyerapan karbon. Penyerapan karbon yang dilakukan dalam proses karstifikasi memiliki nilai yang lebih besar daripada nilai yang dihasilkan saat pelepasan karbon. Lebih lanjut Penyerapan CO2 oleh karst memiliki hubungan dengan gas rumah kaca, dimana saat terjadi proses pengendapan penyerapan karbon akan terjadi . Penelitian mengenai laju pelarutan menggunakan metode limestone tablets secara spesifik dilakukan oleh Plan (2005), Cheng (2011) dan Urushibara (1997). Plan (2005) melakukan penelitian menggunakan metode di lokasi pengunungan Alps utara Austria. Hasil yang ditemukan oleh Plan (2005) menunjukan Faktor litologi, morfologi, bentuk permukaan, ketinggian dan iklim mempengaruhi laju pelarutan, sementara vegetasi kurang mempengaruhi laju pelarutan. Berbeda dengan Plan (2005), Cheng (2011) secara khusus mengukur laju pelarutan pada perbedaan penggunaan lahan. Hasil penelitian yang didapatkan menunjukan penggunanlahan secara kuat mempengaruhi laju pelarutan batuan karbonat. Selain itu, perbedaan rata-rata hujan wilayah merupakan faktor pengontrol yang dominan dibandingkan dengan perbedaan suhu. Urushibara (1997) juga secara spesifik mengukur pelarutan batuan karbonat menggunakan limestone tablets di area karst Jepang. Hasil yang diperoleh adalah laju pelarutan pada horizon B memiliki koefisien hubungan tinggi dengan hujan, sedangkan laju pelarutan tablet yang berada dipermukaan memiliki nilai hubungan yang tinggi terhadap (Water SurplusWater Deficit) Thornwite. Tingginya laju pelarutan yang berada di udara dan didalam tanah merupakan representasi dari kondisi basah/lembab yang dimiliki oleh Jepang.
15
Tabel 1.1. Perbandingan Penelitian Sebelumnya dengan Penelitian yang Dilakukan No
1
2
3
Peneliti
Lukas Plan
Jiang Zhongcheng & Yuan daoxian
Eko Haryono
Lokasi, Tahun
Northern Austrian ALps,2005
Daratan China, 1999
Indonesia,2011
Judul Penelitian Factor Controlling Carbonate Dissolution Rates Quantified in Austrian Alps
CO2 Source-sink in Karst Processes in karst areas of China
Atmospheric carbon dioxide sequesration trough karst denudation processes (Estimated from Indonesia Karst Region)
Tujuan Mengetahui faktor yang memperngaruhi pelarutan batuan karbonat
Metode
Hasil
Menggunakan metode limestone tablets dan kalkulasi mass balance
Faktor litologi, bentuk permukaan,ketinggian dan iklim mempengaruhi laju pelarutan
Mengetahui penyerapan karbondioksida melalui proses karstifikasi
Menggunakan metode limestone tablets
Mengetahui potensi serapan karndioksida pada proses denudasi karst
Perhitungan jumlah emisi karbon dan potensi jumlah serapan karbondioksida saat proses denudasi karst menggunakan formula corbel.
Penyerapan CO2 oleh karst memiliki hubungan dengan gas rumah kaca, dimana saat terjadi proses pengendapan penyerapan karbon akan terjadi
Estimasi jumlah serapan karbon dioksida pada proses denudasi karst di wilayah karst Indonesia.
16
4
5
6
Eko Haryono
Zhang Cheng
Urushibara
Karst gunungsewu, 2009
Atmospheric Carbon Dioxide Sequestration Trough Karst Denudation Process Preliminary Estimation From Gunung Sewu Karst
Dataran Cina,2011
Carbonate Rock Dissolutional Rates In Different Landuses And Their Carbon Sink Effect
Mengetahui Laju Pelarutan di perbedaan penggunaan lahan dan nilai penyerapan karbon
Dataran Jepang, 1997
The Solution Rate of Limestone Tablets And Co2 Measurement in Limestone Area of Japan
Menghitung laju pelarutan limestone tablets dan pengukuran CO2 di jepang
Mengetahui potensi serapan karndioksida pada proses denudasi karst diKkarst Gunungsewu
Perhitungan jumlah emisi karbon dan potensi jumlah serapan karbondioksida saat proses denudasi karst menggunakan formula corbel.
Estimasi jumlah serapan karbon dioksida pada proses denudasi karst di wilayah karst gunungsewu
Metode Limestone Tablets
Penggunanlahan secara kuat mempengarhui laju pelarutan batuan karbonagt
Metode Limestone Tablets
Laju pelarutan pada horizon B memiliki koefisien hubungan tinggi dengan hujan
Pengukuran langsung menggunakan limestone tablet dan alkalinitas mata air dilapangan
Penggunaan lahan dan nilai absolut karbondioksida mempengaruhi laju pelarutan. Nilai penyerapan karbon memiliki variasi yang tinggi pada setiap metode
Menghitung jumlah potensi
7
Ghufran Zulqisthi
Mataair Ngeleng, Giritirto, Purwosari, gunungkidul,2013
Tingkat Laju Pelarutan Dan Penyerapan Karbon Di Kawasan Karst Gunung Sewu Menggunakan Standard Limestone Tablets Dan Hidrokimia Studi Dta Mata Air Ngeleng, Giritirto, Purwosari, Gunung Kidul
serapan karbon pada proses pelarutan batuan karbonat di daerah penelitian menggunakan metode Limestone Tablets dan metode Hidrokimia
Sumber: Hasil Telaah Pustaka, 2013
17
1.7.
Kerangka Pemikiran Bentuklahan karst merupakan bentuklahan yang banyak berkembang pada
batuan karbonat. Bentuklahan ini dicirikan oleh keberadaan porositas sekunder yang menyebabkan sistem hidrologis bawah tanah lebih berkembang. Bentuklahan karst terbentuk akibat proses pelarutan yang dikontrol oleh batuan yang mudah larut, curah
hujan,
dan
ketinggian
terekspos
sehingga
memungkinkan
berkembangnya sistem bawah permukaan. Karstifikasi pada batuan karbonat terutama batugamping (CaCO3) terbentuk karena reaksi dengan air dan karbondioksida ( CO2). Karbondioksida akan larut dalam air membentuk anion bikarbonat. Anion bikarbonat merepresentasikan alkalinitas dalam air. Alkalinitas adalah kemampuan anion dalam air dalam menetralkan kation hidrogen. Alkalinitas menggambarkan kemampuan air dalam menetralkan asam. Alkalinitas juga dikatakan sebagai kapasitas penyangga tehadap perubahan pH dalam air. Salah satu anion penyusun alkalinitas adalah bikarbonat (HCO 3-). Bikarbonat dalam air menunjukkan tingkat kejenuhan terhadap kalsium karbonat (CaCO3). Pada proses pelarutan batuan karbonat, air akan yang kontak dengan batuan karbonat mengikat karbondioksida dari udara. Hasil reaksi dari air, karbondioksida, dan kalsium karbonat akan menghasilkan kation kalsium dan anion bikarbonat, sebagaimana reaksi berikut: CaCO3 + H2O + CO2
Ca2+ + 2 HCO3- ………(1)
Proses karstifikasi atau pelarutan batuan karbonat akan diikuti oleh penyerapan karbon atmosfer. Karbondioksida merupakan salah satu gas penyusun efek rumah kaca. Gas rumah kaca akan memberi pengaruh terhadap pemanasan global. Menigkatnya jumlah emisi karbon dari kegiatan manusia akan berdampak pada kenaikan suhu bumi, melelehnya es di kutub, meningkatkan muka air laut, dan berbagai masalah pemanasan global yang lain. Proses karstifikasi memiliki peranan penting dalam mereduksi jumlah gas rumah kaca karena menyerap karbon atmosfer saat pelarutan batuan karbonat. Proses karstifikasi juga terkait dengan siklus karbon global. Pengaruh karstifikasi dalam siklus karbon dijelaskan dalam kajian Karst Dynamic System
18
(KDS). KDS menjelaskan bahwa proses karstifikasi diikuti oleh transfer karbon pada 3 fase, yaitu padat, cair dan gas seperti yang terdapat dalam gambar 1.5. Fase padat didominasi oleh batuan karbonat, fase cair terdiri dari kandungan ion seperti asam karbonat dan bikarbonat, serta fase gas tersusun atas karbondioksida. Salah satu indikator kandungan karbon dalam air adalah anion bikarbonat. Kandungan bikarbonat menyatakan kejenuhan air terhadap kalsium karbonat. Pengukuran alkalinitas terutama anion bikarbonat dapat digunakan untuk prediksi potensi jumlah serapan karbon atmosfer. Debit juga sangat berpengaruh terhadap jumlah serapan karbondioksida dan kandungan ion bikarbonat. Semakin besar debit maka kandungan ion bikarbonat akan menurun karena konsentrasinya dalam air menurun. Melalui data debit dan kandungan bikarbonat akan dihitung potensi serapan karbon atmosfer. Selain menggunakan kandungan ion bikarbonat, laju pelarutan batuan karbonat juga dapat digunakan dalam perhitungan penyerapan karbon. Dimana korosi dari 1 mol CaCO3 atau produksi dari 2 mol 2 HCO3membutuhkan konsumsi 1 mol CO2 dari atmosfer. Oleh karena itu, metode ini dapat digunakan untuk menghitung flux penyerapan karbon. Konsep perhitungan penyerapan karbon secara sederhana dapat dilihat dari bagan dibawah (Gambar 1.7)
Gambar 1.7. Bagan Konsep Perhitungan Potensi Penyerapan Karbon (Sumber: Hasil Telaah Pustaka, 2013)
19
1.8. Batasan Operasional
Karst adalah medan dengan kondisi hidrologi yang khas dan berkembang pada batuan yang mudah larut dengan porositas sekunder yang berkembang baik (Ford dan Williams, 2007). Siklus karbon merupakan proses transfer karbon antara atmosfer, hidrosfer, litosfer, dan biosfer (Daoxian, 2002). Karstifikasi adalah pembentukan bentuklahan karst yang didominasi oleh proses pelarutan (Haryono dan Adji, 2004). Alkalinitas adalah kuantitas anion dalam air untuk menetralkan kation hidrogen (Effendi, 2003). Karst Dynamic System (KDS) adalah sistem karst dengan respon aliran yang dinamis dan melewati fase padat, cair, dan gas (Daoxian,2002). Sekuestrasi karbon, adalah proses penyimpanan karbon dari atmosfer ke dalam tampungan karbon dalam waktu yang lama dan dapat dikembalikan lagi ke atmosfer (Lal, 2007). Karbondioksida adalah senyawa kimia yang terdiri dari atom oksigen yang terikat kovalen dengan sebuah atom karbon berbentuk gas dengan ciri tidak berwarna dan tidak berbau. (Kirschbaum,2001) Mataair, pemusatan dari pelepasan airtanah menunju ke permukaan tanah menjadi aliran permukaan (Todd, 1980) Variasi Kondisi Lahan, istilah ini hanya merujuk pada variasi penggunaan lahan yakni tegalan dan hutan serta variasi topografi yakni lembah dan lereng bukit.
20