BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Kawasan
karst
merupakan
bentangalam
khas
dengan
kekayaan
sumberdaya alam tinggi (Raguz, 2008). Karst terbentuk akibat proses pelarutan (solusional) pada batuan mudah larut seperti karbonat, gypsum, dan batu garam (Haryono & Adji, 2004). Pembentukan kawasan karst (karstifikasi) dipengaruhi oleh 2 faktor utama, yaitu faktor pengontrol dan faktor pendorong. Faktor pengontrol merupakan faktor yang menentukan terjadinya proses karstifikasi, yaitu: batuan (tebal, rekahan, kompak, dan kandungan karbonat), curah hujan (>250 mm/tahun), dan topografi. Sedangkan faktor pendorong merupakan faktor yang menentukan kecepatan dan kesempurnaan proses karstifikasi, yaitu: suhu dan vegetasi. Semakin tinggi keberadaan faktor pengontrol dan faktor pendorong di wilayah karst maka semakin intensif pembentukan dan perkembangan kawasan karst. Perkembangan bentangalam karst menentukan karakteristik morfologi dan kondisi hidrologi karst. Bentukan karst akan terus berkembang maupun berubah (hilang) hingga proses solusional pada batuan mudah larut berhenti (Haryono & Adji, 2004). Bentukan di kawasan karst terbagi menjadi bentukan permukaan (surface) dan bentukan bawah permukaan (subsurface) (Worosuprodjo, Haryono, & Ahmad, 2000). Bentukan permukaan karst antara lain berupa dolin (doline), kubah karst (keagle karst), dan mikromorfologi karrent. Sedangkan bentukan karst bawah permukaan karst antara lain berupa goa (cave), stalaktit, dan stalakmit. Karst memiliki kondisi hidrologi yang khas. Bentangalam ini disusun oleh 3 komponen utama sistem hidrologi, yaitu akuifer, sistem hidrologi permukaan dan sistem hidrologi bawah permukaan. Ketiga sistem hidrologi karst tersebut sangat dipengaruhi oleh keberlangsungan proses karstifikasi. Proses solusional yang masih berlangsung akan memengaruhi perkembangan sistem percelahan, porositas dan perkembangan akuifer karst (Haryono & Adji, 2004).
Kawasan karst merupakan sumberdaya alam tidak terbaharukan dengan fungsi dan potensi sumberdaya alam yang tinggi (Beynen & Townsend, 2005). Fungsi dan potensi karst bagi makhluk hidup khususnya manusia dikelompokkan menjadi 3 aspek, yaitu: aspek ekologis, hidrologis, dan sosial budaya (Haryono & Sutikno, 2000). Sebagai aspek ekologis kawasan karst merupakan tempat interaksi antara makhluk hidup dengan lingkungan. Sebagai aspek hidrologis kawasan karst berfungsi sebagai regulator hidrologi dan penyimpan cadangan air bersih terbesar (Brown, 1997). Sedangkan, sebagai aspek sosial budaya kawasan karst merupakan wadah terbentuknya interaksi manusia baik dengan lingkungan maupun antar manusia. Selain itu, bentangalam karst juga memiliki fungsi estetika yaitu sebagai wilayah dengan keindahan bentukan alam diatas permukaan seperti bukit karst, lembah karst dan sinkhole maupun dibawah permukaan seperti goa karst, stalagtit dan stalagmit. Manusia dalam meningkatkan dan mencapai kualitas hidupnya akan berupaya tinggi untuk memanfaatkan dan mengolah sumberdaya alam yang ada (Wardhana, 2001). Peningkatan jumlah penduduk sebanding dengan kebutuhan ekonomi dan ruang tempat tinggal menyebabkan terjadinya kerusakan karst yang menurunkan fungsi dan keberlangsungan kawasan karst (Beynen & Townsend, 2005). Aktivitas-aktivitas manusia dalam memanfaatan kawasan karst seperti pertanian, penambangan, penggundulan hutan, dan pembangunan infrastruktur tanpa upaya rehabilitasi berdampak pada kelestarian dan keberlangsungan sumberdaya hayati kawasan karst. Selain itu, kerusakan karst juga juga akan berpengaruh terhadap keberadaan sumberdaya karst untuk generasi yang akan datang. Kawasan karst di Daerah Tangkapan Air Bribin-Baron merupakan bagian dari Karst Gunung Sewu yang terletak di Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kawasan karst ini membentuk kesatuan daerah tangkapan air yang mengisi Sungai Bawah Tanah Bribin-Baron. Sistem Sungai Bawah Tanah Bribin-Baron merupakan sistem sungai bawah tanah terbesar di Kawasan Karst Gunung Sewu (Adji, 2013) yang menjadi sumber air bersih utama bagi masyarakat yang tinggal disekitarnya. Pola Aliran sungai bawah tanah ini
dihubungkan antar Goa maupun luweng yang kemudian berakhir di Pantai Baron. Perlindungan kawasan karst dari dampak yang dapat ditimbukan dari aktivitas manusia sangat perlu dilakukan. Aktivitas manusia dalam memanfaatkan kawasan karst yang signifikan dipermukaan maupun dibawah permukaan dapat memengaruhi dan mencemari sistem sungai bawah tanah Bribin-Baron. Kawasan karst Daerah Tangkapan Air Bribin-Baron sebagai kawasan karst berair yang memberi masukan air bagi mataair, rembesan air/tetesan air dan sungai bawah permukaannya . Berdasarkan lampiran II/ Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup/ Nomor: Kep-11/MENLH/3/1994 “bahwa kawasan karst termasuk daftar kawasan lindung, yaitu termasuk pada kawasan cagar budaya dan Ilmu Pengetahuan (termasuk daerah karst berair, daerah dengan budaya istimewa, daerah situs purbakala atau peninggalan sejarah yang bernilai tinggi)”. Oleh karena itu kawasan karst ini termasuk dalam kawasan lindung yang perlu dijaga kelestarian fungsinya. Pendekatan
ekologis
tersistematik
dilakukan
dalam
mengevaluasi
kerusakan dan penurunan fungsi karst di Daerah Tangkapan Air Bribin-Baron, Gunungkidul. Informasi persebaran kerusakan lingkungan melalui berbagai indikator seperti tutupan vegetasi, singkapan batuan, kerusakan telaga dan biodiversitas goa digunakan untuk mengetahui jenis kerusakan dan tingkat kerusakan lingkungan karst yang terjadi di Daerah Tangkapan Air Bribin-Baron, Gunungkidul. Sehingga dapat diketahui pengaruh aktivitas manusia dalam memberikan dampak bagi kerusakan lingkungan karst dan upaya perlindungan yang diperlukan dalam menjaga kelestarian lingkungan karst (Beynen & Townsend, 2005) 1.2
Perumusan Masalah Peningkatan jumlah penduduk yang sebanding dengan peningkatan
kebutuhan hidup menyebabkan pemanfaatan kawasan karst dilakukan secara berlebihan tanpa memperhatikan fungsi dan keberlangsungan sumberdaya karst. Berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2012 menyebutkan bahwa:
“Kawasan bentangalam karst memiliki komponen geologi yang unik serta berfungsi sebagai pengatur alami tata air dan menyimpan nilai ilmiah, sehingga perlu untuk dilestarikan dan dilindungi keberadaannya dalam rangka mencegah kerusakan guna menunjang pembangunan berkelanjutan dan pengembangan ilmu pengetahuan.” Berdasarkan pemikiran tersebut maka dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1.
Apa saja jenis-jenis Kerusakan Lingkungan Karst di Daerah Tangkapan Air Bribin-Baron, Gunungkidul?
2.
Bagaimana persebaran Kerusakan Lingkungan Karst di Daerah Tangkapan Air Bribin-Baron, Gunungkidul?
3.
Bagaimana tingkat Kerusakan Lingkungan Karst di Daerah Tangkapan Air Bribin-Baron, Gunungkidul?
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang sudah disampaikan tersebut maka penelitian yang akan dilakukan ini berjudul Tingkat Kerusakan Lingkungan Karst di Daerah Tangkapan Air Bribin-Baron, Gunungkidul. 1.3
Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1.
Menganalisis jenis persebaran Kerusakan Lingkungan Karst di Daerah Tangkapan Air Bribin-Baron, Gunungkidul
2.
Menganalisis tingkat Kerusakan Lingkungan Karst di Daerah Tangkapan Air Bribin-Baron, Gunungkidul
1.4
Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi:
1.
Pemerintah Sebagai dasar pertimbangan penentuan kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengawasan, pengendalian dan perlindungan kawasan karst yang terdampak akibat aktivitas manusia.
2.
Ilmu Pengetahuan Sebagai bentuk penerapan dan pengembangan studi geografi fisik yang dapat digunakan sebagai referensi dan bahan untuk penelitian sejenis.
1.5
Telaah Pustaka
1.5.1
Pengertian Karst Karst merupakan bentangalam khusus yang tersusun dari bentukan-
bentukan khas yang berkembang pada batuan mudah larut seperti batu gamping, marmer dan gipsum (Ford & Williams, 2007). Karst pada mulanya berasal dari kata Karra/gara yang berarti batu. Di Slovenia, kata Karra tersebut mengalami perubahan tata bahasa dari Kars menjadi Kras yang berarti lahan gersang berbatu. Sedangkan pada Periode Roman kata Carsus dan Carso lebih umum digunakan. Kemudian memasuki masa Kerajaan Austrio-Hungarian, kata Kras, Carsus dan Carso diubah menjadi Karst yang diambil dari bahasa Jerman. Pada abad ke 18 dan ke 19 kata Karst lebih sering digunakan oleh para peneliti dan telah menjadi kata ilmiah internasional. Karst sebagai bentangalam khusus dicirikan dengan batuan penyusun yang mudah larut dan memiliki porositas sekunder berkembang dengan baik. Selain itu bentangalam ini juga dicirikan dengan berkembangnya sistem hidrologi bawah tanah dan terdapatnya bentukan-bentukan di bawah permukaan (Sub Surface) yang khas seperti goa (Ford & Williams, 2007). Menurut (Haryono & Sutikno, 2000) Bentangalam karst dicirikan sebagai berikut: 1.
Disusun oleh bentukan berupa cekungan tertutup dan atau lembah kering dengan berbagai ukuran dan bentuk.
2.
Tidak memiliki drainase permukaan atau sungai permukaan.
3.
Memiliki bentukan khas berupa goa-goa karst dan sistem drainase bawah tanah Bentangalam karst tidak hanya terbentuk pada wilayah yang disusun oleh
batuan karbonat, tetapi juga pada batuan yang mudah larut dan memiliki porositas sekunder seperti batu garam dan batu gipsum (Haryono & Sutikno, 2000). Namun, persebaran karst yang ada di seluruh wilayah lebih didominasi oleh karst
yang disusun oleh batuan karbonat. sehingga karst sangat identik dengan batuan karbonat. Batuan karbonat (CaCO3) merupakan batuan khusus yang terbentuk dari hasil akumulasi aktivitas organik terdahulu. Batuan ini mengandung 75 % karbonat (CO2) dan sangat mudah dipengaruhi atau mudah dikelola dibandingkan batuan sedimen lainnya (Ford & Williams, 2007). 1.5.2
Karstifikasi Proses pembentukan bentangalam karst disebut Karstifikasi. Karstifikasi
didominasi oleh proses pelarutan pada batuan penyusun dan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor pengontrol dan faktor pendorong (Haryono & Adji, 2004). Faktor pengontrol merupakan faktor-faktor yang menentukan terjadinya proses karstifikasi. Faktor ini terdiri dari: 1.
Terdapatnya batuan mudah larut, kompak, tebal, dan mempunyai banyak rekahan
2.
Terdapatnya curah hujan yang cukup (>250 mm/tahun)
3.
Berada pada ketinggian yang memiliki sirkulasi air/drainase vertikal. Batuan mudah larut, kompak, tebal dan rekahan dapat menentukan
berkembangannya bentuklahan karst. Semakin tinggi kandungan CaCO 3 maka tingkat mudah larutnya batuan dan berkembangnya bentuklahan karst akan semakin tinggi. Kekompakkan batuan menentukan kestabilan perkembangan bentukan-bentukan karst. Batuan karst akan terus larut hingga mencapai kestabilannya hingga membentuk bentukan-bentukan yang khas. Ketebalan batuan menetukan sirkulasi vertikal untuk membentuk cekungan-cekungan tertutup. Sedangkan rekahan sangat menentukan berkembangnya sistem hidrologi bawah tanah. Curah hujan sebagai media pelarut dan ketinggian juga sangat menentukan perkembangan karst. Semakin besar curah hujan dan ketinggian maka tingkat pelarutan batuan akan semakin tinggi. Faktor Pendorong merupakan faktor-faktor yang menentukan kecepatan dan kesempurnaan dalam proses karstifikasi. Faktor pendorong terdiri dari: 1.
Suhu
Suhu merupakan faktor yang menentukan pembentukan karst yang berkaitan
dengan
aktivitas
organisme
dalam
menghasilkan
CO2
dan
berlangsungnya proses evaporasi. Organisme dapat tumbuh dan berkembang baik pada suhu hangat. Keberadaan organisme dalam menghasilkan CO2 dalam tanah akan memengaruhi kecepatan reaksi. Semakin besar kandungan CO2 dalam tanah maka proses karstifikasi akan semakin cepat. Proses evaporasi menentukan terjadinya rekristalisasi larutan karbonat. Rekristalisasi akan membuat pengerasan permukaan sehingga bentuklahan yang terbentuk tidak terpengaruh dari prosesproses yang lain (erosi dan gerak masa). Semakin tinggi suhu udara maka proses evaporasi akan semakin besar. 2.
Tutupan Vegetasi keberadaan vegetasi pada kawasan karst dapat memengaruhi tingkat
kandungan CO2 dalam tanah. Keberadaan kandungan CO2 dalam tanah juga berasal dari hasil perombakan sisa-sisa organik oleh mikroorganisme. Kandungan CO2 dalam tanah akan memengaruhi tingkat keasamaan tanah sehingga dapat menyebabkan terjadinya reaksi kimia didalam tanah. Reaksi kimia tersebut akan menentukan dalam daya pelarutan batuan. Semakin besar kandungan CO2 dalam tanah maka semakin besar daya pelarutan batuannya. Tingkat daya pelarutan batuan secara tidak langsung akan memengaruhi perkembangan kawasan karst. Haryono & Adji, (2004) menjelaskan hubungan masing-masing faktor karstifikasi secara lebih rinci dalam skema berikut. Iklim Temperatur
Hujan-Pengoapan Aliran Efektif
Kelembaban
Permeabilitas tanah dan batuan
CO2 Tanah
Kecepatan Aliran
Keasaman Tanah
Pengangkutan Hasil Pelarutan Tingkat Pelarutan dan Muatan Terlarut
Aktivitas Biologi
Tana Asam Organik
Reaksi Kimia
Mineralogi dan Luas Batuan
Batuan
Gambar 1.1 Diagram Alir Karstifikasi (Haryono & Adji, 2004)
1.5.3
Bentukan Karst Bentukan
karst yang berkembang dimulai dari proses pelarutan yang
terkonsentrasi pada suatu titik atau sepanjang kelurusan-keluruan kekar atau sesar yang membentuk cekungan-cekungan tertutup atau lembah kering. Cekungan dan lembah tersebut kemudian berkembang dan melebar hingga bergabung satu dengan lainnya meninggalkan bukit-bukit karst dengan bentuk yang bervariasi seperti kerucut (Kagelkarst) dan menara (Trumkarst) (Haryono & Sutikno, 2000). Menurut Ford dan Williams (2007) bentukan karst terbagi menjadi Eksokarst, Endokarst dan Kryptokarst. Eksokarst merupakan bentukan karst yang berada di permukaan. Bentukan eksokarst terdiri atas bukit karst dengan bentuk kerucut, membulat, menara, dan/atau bentukan lainnya seperti dolin, telaga, dan mata air (KepMen ESDM No.2641 K/40/MEM/2014). Endokarst merupakan bentukan karst yang berada di bawah permukaan. Bentukan endokarst terdiri atas goa berair dan
Speleothem (Stalagmit dan Stalagtit) (KepMen ESDM No.2641
K/40/MEM/2014). Sedangkan kryptokarst merupakan bentukan karst yang berkembang dibawah lapisan sedimen permeable seperti tanah, sisa tanah liat (Residual Clays), endapan zaman glacial, dll. Beberapa bentukan-bentukan Eksokarst dan Endokarst adalah sebagai berikut: a.
Eksokarst
1)
Bukit Karst Bukit karst yang terbentuk di wilayah tropis merupakan hasil
perkembangan lanjut pelarutan dan erosi dari batu gamping (White, 1988). Bukit-bukit karst kerucut (Kagelkarst) dan menara (Turmkarst) merupakan bukit karst yang berkembang baik di wilayah tropis khususnya Indonesia (Haryono, 2001). 2)
Dolin Dolin merupakan cekungan tertutup berbentuk bulat atau lonjong dengan
ukuran antara 1 m < 1 km dan memiliki kedalamannya beberapa meter hingga ratusan meter (Ritter, 1979). Doline di wilayah iklim tropis seperti Indonesia biasanya memiliki bentukan yang tidak teratur.
3)
Uvala Uvala merupakan ledokan tertutup luas yang merupakan gabungan dari
beberapa doline yang terbentuk pada stadium perkembangan karst agak lanjut (Haryono & Adji, 2004). Menurut Sweeting (1972) uvala memiliki ukuran tidak teratur antara 500-1000 m dengan kedalaman 100-200 m. b.
Eksokarst
1)
Goa Karst Goa merupakan bentukan karst dibawah permukaan yang terjadi akibat
proses pelarutan tingkat lanjut pada batuan karbonat. Goa merupakan tempat terjadinya deposisi lapisan-lapisan karbonat yang stabil dalam bentuk stalaktit, stalagmite dan speleothems. (Nurjani, Haryono, Sudibyakto, Gunawan, & Asmono, 2013) Selain itu, goa karst juga berfungsi sebagai tempat berlangsungnya proses adaptasi dan evolusi berbagai jenis organisme (Rahmadi, 2007) 2)
Speleothems Speleothems merupakan mineral sekunder yang terbentuk akibat proses
pengendapan di goa karst (Self & Hill, 2003). Perkembangan speleothem diawali dari curah hujan yang masuk kedalam bawah permukaan dan melarutkan batuan induk CaCO3. Bentukan Speleothem biasa terdapat pada dinding dan lantai goa. Bentukan ini dibentuk secara bertahap dari bawah hingga lapisan atas dan/atau dapat terbentuk dimulai dari dasar dinding goa (Nurjani, Haryono, Sudibyakto, Gunawan, & Asmono, 2013). 1.5.4
Hidrologi Karst Karst merupakan kawasan dengan karakteristik hidrologi sangat spesifik
(Haryono & Adji, 2004). Karst memiliki kajian hidrologi yang lebih fokus pada sistem hidrologi bawah permukaan. Prinsip Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai unit kajian hidrologi permukaan dan permukaan sulit diterapkan pada wilayah karst karena lebih berkembangnya bawah permukaan. Sistem hidrologi karst memiliki 3 komponen utama, yaitu: akuifer, sistem hidrologi permukaan dan sistem hidrologi bawah permukaan. Akuifer karst bersifat anisotropik, dinasmis
dan heterogen. Bersifat anisotropik yatu konduktivitas hidroliknya tidak seragam ke semua arah. Bersifat heterogen apabila konduktivitas hidroliknya pada tempattempat tertentu di dalam formasi batuannya berbeda dengan tempat lain. Sedangkan bersifat dinamis karena mengalami perubahan secara bertahap akibat pelebaran sistem percelahan-rekahan atau akibat gerakan tektonik. White (1988) mengemukakan bahwa sistem hidrologi karst memiliki dua sistem aliran yang tidak terdapat pada sistem hidrologi lain, yaitu sistem aliran saluran (Conduit Flow) dan sistem aliran rembesan (Diffuse Flow). Sistem aliran rembesan merupakan aliran yang bergerak pada media berpori, media rekahan (fissure) dan bidang perlapisan yang rongganya berukuran millimeter atau lebih kecil. Sedangkan aliran saluran merupakan aliran yang bergerak pada lorong vertikal akibat pelarutan dan bidang perlapisan yang rongganya memiliki diameter dalam centimere hingga meter (Haryono & Adji, 2004). Karakteristik muka airtanah di akuifer karst sangat berbeda dengan akuifer di tempat lain. Faktor yang memengaruhi muka airtanah di akuifer karst yaitu sifat anisotropis pada akuifer karst. Proses pelarutan menyebabkan pembentukan lorong-lorong conduit yang intensif dan sangat tidak beraturan. Perkembangan lorong conduit yang sangat baik menyebabkan muka airtanah karst dapat berada sangat dalam dibawah permukaan tanah. Selain itu, sifat anisotropis pada akuifer karst juga dapat menyebabkan pembentukan cekungan atau lorong yang berisi genangan-genangan diatas muka airtanah. Muka airtanah karst sangat dikontrol oleh muka airtanah dasar (Base Level) baik lokal maupun regional (Haryono & Adji, 2004). Selain sistem akuifer, mataair yang dijumpai di wilayah karst juga memiliki beberapa keunikan, yaitu dapat ditemuinya mataair-mataair yang memiliki kesamaan debit, suhu, dan tingkat kesadahan. Karakteristik mataair karst sangat tergantung dari tingkat karstifikasi suatu wilayah. mataair yang mencapai local base level akan bergabung dengan mataair kecil disekitarnya membentuk mataair dengan debit yang besar (Haryono & Adji, 2004).
Gambar 1.2 Dolin dan Hidrologi Epikarst (Haryono & Adji, 2004) 1.5.5
Tipe Karst Karst Gunungkidul merupakan 65% bagian dari Karst Gunung Sewu yang
umumnya termasuk dalam tipe karst kerucut atau kagel karst (Lehmann (1936) dalam Haryono & Day, 2004). Karst Gunung Sewu tersusun atas batu gamping karang massif dan batu gamping kapur dari Formasi Wonosari pada awal Miosen hingga akhir Pliosen (Bemmelen (1949); Suyono (1994) dalam Haryono, 2000). Perkembangan karst Gunung Sewu dipengaruhi oleh kondisi iklim masa lampau (Paleoclimatic) (Urishibara-Yosihino & Yoshino (1997) dalam Haryono & Day, 2004). Formasi wonosari mengalami pengangkatan pada akhir Pliosen hingga awal Pleistosen. Pembentukan lembah-lembah kering di Karst Gunung Sewu terjadi seiring dengan penurunan muka air laut dan suhu pada akhir jaman glasial. Perkembangan karst kerucut juga mulai meluas selama periode suhu yang lebih hangat dan basah (Haryono & Day, 2004). Walaupun Karst Gunung Sewu secara umum
tesusun
oleh
bentukan
Kagelkarst,
Haryono
&
Day
(2004)
mengklasifikasikan karst Gunungkidul menjadi 3 tipe karst yang memiliki perbedaan jelas dan tersebar secara spasial, yaitu:
A.
Karst Labirin-Kerucut (Labyrinth-Cone Karst) Karst labirin-kerucut merupakan tipe karst yang secara spesifik berbentuk
pola linear, memiliki gabungan lembah yang berkelok-kelok dan dominan dipengaruhi oleh patahan atau sesar utama (Haryono & Day, 2004). Pola linear lembah di Karst Gunungkidul terkombinasi dengan bukit-bukit berbentuk kerucut disekitarnya, sehingga bentukan ini disebut karst labirin-kerucut. Karst labirinkerucut memiliki karakteristik yaitu: umumnya memiliki lereng-lereng bukit sisa yang curam (antara 60 sampai 70 derajat), memiliki bentuk lembah kering yang mendekati vertikal, memiliki zona epikarst yang lebih tebal dibandingkan karst poligonal (Polygonal Karst) dan karst tower-kerucut (Tower-Cone Karst), serta tidak ditemuinya mata air. Tipe karst labirin-kerucut memiliki porositas primer yaitu 13,0-16,6 % dan porositas sekunder yaitu 22-52 % (Haryono, 2000). Air hujan yang jatuh langsung terinfiltrasi menuju sistem sungai bawah tanah atau endokarst. Sebagian air menjadi aliran permukaan melewati lembah menuju ponor atau danau dolin. Tipe karst ini tersusun atas batuan karbonat padat dan keras seperti Floatstone, Packstone dan Rudstone, sehingga faktor litologi sangat memengaruhi kecuraman lereng bukit karst. Karst labirin-kerucut dapat ditemui di Gunungkidul bagian selatan, dimana proses patahan dan sesar terjadi intensif.
Gambar 1.3 Tipe Karst Labirin-Kerucut (Labyrinth-Cone Karst) (Haryono & Day, 2004)
B.
Karst Poligonal (Polygonal Karst) Karst poligonal merupakan tipe karst yang sangat dipengaruhi oleh proses
fluvial dan lereng selatan dataran tinggi (Haryono & Day, 2004). Secara keseluruhan karst poligonal tersusun atas gabungan depresi (cockpits), bukit sisa dan lembah-lembah berkelok (Williams (1971); White (1988) dalam Haryono & Day, 2004). Karst poligonal berkembang sangat baik di Gunungkidul bagian barat, dimana depresi tertutup pada beberapa wilayah memiliki bentukan yang sama dengan depresi (Cockpit) di Jamaica dan Papua New Guinea (William 1971 dalam Haryono & Day 2004). Karst poligonal disusun oleh batuan gamping terumbu yang keras dan dangkal, karren dan rongga pelarutan intensif. Tipe karst ini memiliki zona epikarst yang kurang permiabel dibanding tipe karst lainnya sehingga aliran permukaannya (Surface Run off) tinggi. Porositas primer (batuan) karst poligonal berkisar antara 1.1 hingga 14 % dan porositas sekunder (rongga pelarutan) berkisar antara 22 hingga 52 % (Haryono, 2000). Karst poligonal memiliki sumber mataair yang berlimpah dan sebagai salah satu pemasukan (input) bagi sistem drainase permukaan.
Gambar 1.4 Tipe Karst Poligonal (Polygonal Karst) (Haryono & Day, 2004) C.
Karst Tower-Kerucut (Tower-Cone Karst) Karst tower-kerucut merupakan tipe karst yang ditandai dengan adanya
bukit-bukit karbonat terisolasi yang tersebar disekitar dataran planasi (Haryono & Day, 2004). Tipe karst ini berkembang dan dapat dijumpai di bagian Timur Laut
dan dekat pantai selatan Gunungkidul, dimana dataran terkorosi hampir mencapai muka air laut. Faktor yang memengaruhi perkembangan karst tower-kerucut yaitu litologi dan iklim. Batuan yang menyusun tipe karst ini didominasi oleh Wackstone yaitu batugamping berlapis, lunak dan dalam, serta karren tidak berkembang baik (Haryono, 2000). Karren yang sudah terbentuk pada akhirnya juga akan terdegradasi akibat pelarutan maupun pelapukan fisik. Karst tower-kerucut memiliki zona epikarst paling tipis dibandingkan tipe karst lainnya. Porositas primer (batuan) karst tower-kerucut berkisar antara 23.1 hingga 48.2 % dan porositas sekunder <10 %. Porositas primer yang tinggi menyebabkan wilayah ini memiliki aliran permukaan yang lebih sedikit dibandingkan tipe karst lainnya, serta tidak ditemuinya mataair (Haryono, 2000).
Gambar 1.5 Tipe Karst Tower-Kerucut (TowerCone Karst) (Haryono & Day, 2004) 1.5.6
Biodiversitas Karst Karst merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati
tinggi. Terdapat 2 jenis ekosistem karst, yaitu: ekosistem permukaan (Eksokarst) dan ekosistem bawah permukaan (Endokarst) (Atmaja & Dewisetiyani, 2013). Eksokarst memiliki lingkungan yang kering dan panas sedangkan endokarst memiliki lingkungan yang gelap dan basah. Flora dan fauna yang berada di ekosistem eksokarst pada umumnya memiliki daya tahan yang tinggi terhadap suhu tinggi dan tanah kering. Sedangkan fauna endokarst pada umumnya minim pigmentasi kulit, tanpa mata dan memiliki laju metabolisme yang rendah.
Saat ini biota di Karst Gunung Sewu telah banyak mengalami kepunahan yang disebabkan faktor manusia (Antrhoposentris) dan faktor alam (Ecosentris). Selain punahnya beberapa jenis flora dan fauna, aktivitas manusia yang semakin intensif juga menyebabkan punahnya jenis-jenis penyusun hutan karst tropis di karst Gunung Sewu. Menurut Atmaja & Dewisetiyani (2013) biodiversitas yang terdapat di karst Gunung Sewu adalah sebagai berikut: 87 jenis pohon, 198 jenis burung, 39 jenis mamalia, 18 jenis reptile, 16 jenis amfibi, 22 jenis Mollusca, 221 jenis arthropoda, 18 jenis ikan air tawae, 43 jenis biota laut dan 19 jenis biota goa 1.5.7
Pemanfaatan dan Kerusakan Lingkungan Karst Karst merupakan bentangalam khas yang tersebar di seluruh belahan bumi
dan memiliki nilai fungsional tinggi bagi makhluk hidup. Karst tidak hanya berfungsi sebagai ekosistem yang memiliki keanekaragaman hayati dan kandungan sumberdaya alam tinggi, wilayah ini juga memiliki nilai artistik dan pariwisata dari bentukan-bentukan karst (Beynen, 2011). Bentukan bukit karst yang tersebar di kawasan karst pada dasanya memiliki fungsi ekologis sebagai penyimpan dan sistem regulator hidrologis kawasan karst (Haryono & Sutikno, 2000). Sebagian besar air yang ditampung oleh bukit dan cekungan karst akan masuk kebawah tanah melalui celah-celah batuan menjadi aliran air bawah atau keluar menjadi mata air (Haryono, 2001). Menurut Haryono & Sutikno (2000) manfaat kawasan karst dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu: 1.
Manfaat Ekonomi Kawasan Karst Sumberdaya alam dan keanekaragaman karst yang tinggi dimanfaatkan
makhluk hidup khususnya manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Aktivitas manusia dalam memanfaatkan kawasan karst dapat berupa permukiman, penambangan, pertanian, peternakan, perkebunan, pembangunan kota atau desa, aktivitas militer, pembangunan industri, perikanan dan pariwisata. Dalam melangsungkan aktivitas tersebut manusia memanfaatkan kawasan karst tanpa memperhatikan keberlangsungan ekologi dan fungsi sehingga dapat menimbulkan dampak kerusakan kawasan karst. Akibat dan dampak dari pemanfaatan kawasan
karst dapat dilihat pada Gambar 1.6. Penebangan hutan sebagai pembuka lahan untuk lahan pertanian maupun permukiman dapat menyebabkan penurunan biodiversitas dan degradasi lahan. Pemanfaatan kawasan karst yang paling dominan dan menimbulkan kerusakan adalah penambangan batu gamping. Nilai ekonomis yang dimiliki batu gamping memberikan potensi besar terhadap peningkatan penambangan batu gamping (Ariyanto & Dibyosaputro, 2012). Penambangan batu gamping dengan bahan peledak menyebabkan terganggunya ekosistem makhluk hidup di kawasan karst khususnya kelelawar dan burung wallet. Selain itu penambangan batugamping dapat menyebabkan pencemaran dan penurunan kualitas udara. Aktivitas manusia lainnya seperti permukiman, pertanian, pertenakan, perkebunan juga menyebabkan terganggunya kawasan karst seperti peningkatan erosi, deposisi, dan pencemaran tubuh perairan akibat limbah rumah tangga, pertanian dan peternakan. Selain itu, pemanfaatan karst berupa pariwisata juga menyebabkan kerusakan lingkungan karst berupa ornamen-ornamen khusus dan menimbulkan pencemaran. Pemanfaatan karst dalam bidang pariwisata pada dasarnya memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan dapat menambah pendapatan daerah. Namun, pemanfaatan ini dilakukan dengan hanya memperhatikan dari segi ekonomi saja. Sehingga kerusakan-kerusakan ekologis karst sangat intensif terjadi.
Gambar 1.6 Akibat dan Dampak dari Pemanfaatan Kawasan Karst (Haryono, 2014)
2.
Manfaat Sosial-Budaya Kawasan karst dalam aspek sosial-budaya memiliki nilai sebagai tempat
tinggal, spiritual/religious, estetika, rekreasional dan pendidikan. Banyak tempat di kawasan karst yang dijadikan sebagai tempat untuk kegiatan spiritual/religious. Bentukan dan ornamen karst yang khusus dan unik memberikan karst nilai estetika dan edukasi. 3.
Manfaat Ilmu Pengetahuan Kawasan karst merupakan obek kajian yang menarik bagi ilmu
pengetahuan seperti: geologi, geomorfologi, hidrologi, biologi, arkeologi, dan karstologi. Masing-masing ilmu tersebut memiliki keterkaitan dengan kawasan karst karena fenomena yang terjadi di kawasan karst unik dan tidak terjadi di kawasan lainnya. fenomena tersebut dapat berupa fenomena abiotik dan biotik di bawah permukaan dan di atas permukaan. 1.6
Indikator Kerusakan Lingkungan Karst Menurut Haryono (2014) kerusakan lingkungan karst akibat pemanfaatan
kawasan karst dapat diidentifikasi berdasarkan dua kriteria yaitu kriteria untuk menilai kerusakan lingkungan kawasan karst dan kriteria untuk menilai obyekobyek khusus yang terdapat dalam kawasan karst. Kriteria untuk menilai kerusakan lingkungan kawasan karst didasarkan pada empat indikator, yaitu: luasan
tutupan
hutan/
vegetasi,
luasan
singkapan
batuan
karst
(rock
desertification), kuantitas dan kualitas air. Sedangkan Kriteria untuk menilai kerusakan obyek-obyek khusus yang terdapat dalam kawasan karst didasarkan pada tiga indikator ,yaitu: kerusakan telaga, kerusakan goa dan kerusakan mataair. Masing-masing indikator tersebut saling berpengaruh dan berhubungan satu sama lain. Secara lebih rinci indikator kerusakan lingkungan karst dijelaskan sebagai berikut: 1.6.1
Indikator Kerusakan Lingkungan Kawasan Karst
1.
Luasan Tutupan Hutan/ Vegetasi Tutupan hutan/ vegetasi di kawasan karst secara umum berfungsi sebagai
regulator hidrologi, pengendali erosi dan sebagai tempat tinggal (habitat) makhluk
hidup khususnya fauna lokal. Pemanfaatan kawasan karst yang semakin intensif oleh manusia seperti penebangan hutan menyebabkan tutupan hutan/vegetasi juga semakin berkurang. Indikator luasan tutupan hutan/ vegetasi merupakan indikator awal dari kerusakan ekosistem karst. 2.
Luasan Singkapan Batuan Karst (Rock Desertification) Singkapan batuan karst (Rock Desertification) merupakan dampak lanjut
yang ditimbulkan akibat degradasi lahan dan hilangnya tutupan hutan/vegetasi. Berkurangnya tutupan hutan/vegetasi di kawasan karst menyebabkan degradasi lahan menjadi intensif. Proses erosi dan tersingkapnya batuan di kawasan karst dapat berlangsung sangat cepat mengingat kawasan ini memiliki tanah yang sangat tipis. Singkapan batuan di kawasan karst dapat terjadi akibat adanya aktivitas manusia berupa penambangan batugamping. Penambangan bukit karst dapat membuka lapisan tanah permukaan dan menghilangkan mintakat epikarst. 3.
Kuantitas dan Kualitas Air Penurunan kualitas dan kuantitas mataair maupun sungai bawah tanah di
kawasan karst menunjukkan terjadinya kerusakan lingkungan di suatu kawasan karst. Kawasan karst yang disusun oleh bukit karst yang telah kehilangan mintakat epikarst akan memiliki debit musim penghujan yang lebih besar dan memiliki debit musim kemarau yang sangat kecil. Menurut Haryono (2014) indikator kuantitas dan kualitas air yang digunakan untuk menilai kerusakan kawasan karst merupakan kuantitas dan kualitas mataair epikarst, yaitu mataair yang muncul di kaki bukit karst dengan debit yang kecil (<2 lt/detik). Mataair epikarst digunakan sebagai indikator karena mataair epikarst merupakan salah satu aspek kawasan karst yang sangat peka terhadap perubahan lingkungan dibandingkan sungai bawah tanah. 4.
Keberadaan Kelelawar atau Walet Kawasan Karst yang memiliki fungsi sebagai habitat khususnya goa-goa
karst sangat identik terhadap keberadaan kelelawar. Kelelawar merupakan fauna yang berperan penting dalam regulator siklus kehidupan dalam goa dan luar goa. Kelelawar berfungsi sebagai sumber makanan bagi ikan dan fauna goa lainnya,
sebagai penyeimbang ekosistem didalam maupun luar goa, serta berfungsi sebagai perantara dalam penyerbukan tanaman. 1.6.2
Indikator Kerusakan Obyek-Obyek Khusus dalam Kawasan Karst
1.
Kerusakan Telaga Telaga karst merupakan salah satu sumber kehidupan bagi makhluk hidup
di sekitarnya. Aktivitas manusia dalam memanfaatkan telaga dan kawasan sekitarnya tanpa memperhatikan aspek ekologi menyebabkan terjadinya kerusakan telaga. Kerusakan lingkungan karst dapat diketahui dengan berkurangnya umur telaga dan kekeringan telaga khususnya pada musim kemarau. 2.
Kerusakan Goa Goa merupakan obyek khsusus kawasan karst yang menjadi habitat
makhluk hidup karst seperti kelelawar dan wallet. Interior goa karst dengan stalagmit dan stalagtitnya memiliki keunikan dan nilai estetika yang sangat tinggi. Kerusakan ornament goa akibat aktivitas manusia ditunjukkan dengan berubahnya warna asli menjadi warna kehitaman. Selain itu, ornamen goa seperti stalagmit dan stalagtit yang memiliki nilai ekonomis tinggi dimanfaatkan dan diolah manusia menjadi souvernir dan hiasan. Penggalian pospat dan penggalian untuk membuka akses goa dapat menyebabkan terjadinya kerusakan sedimen goa. Indikator kerusakan goa yang digunakan dalam menilai kerusakan obyek-obyek khusus karst yaitu kondisi interior goa, sedimen goa dan keberadaan kelelawar. 3.
Kerusakan Mataair Mataair karst pada kondisi alamiah memiliki kualitas air kelas I. Aktivitas
manusia yang tinggi disekita mataair dapat menyebabkan tercemarnya mataair sehingga terjadi penurunan kualitas mataair. Selain kualitas, kerusakan mataair juga disebabkan oleh peningkatan fluktuasi mataair, umur fluktuasi yang pendek atau keringnya mataair di musim kemarau.Peningkatan fluktuasi mataair disebabkan oleh berkurangnya simpanan air di mintakan epikarst.
1.7
Penelitian Sebelumnya Kerusakan lingkungan karst merupakan permasalahan yang sangat
signifikan terjadi di era globalisasi ini. Peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan hidup yang terus meningkat, menyebabkan pengelolaan sumberdaya alam di wilayah karst juga meningkat. Penurunan fungsi dan kelestarian karst akan berdampak pada keberlangsungan karst dan mengurangi kualitas hidup manusia. Oleh karena itu penelitian kerusakan lingkungan di kawasan karst telah banyak dilakukan dengan metode dan wilayah kajian yang beragam. Setiawan (2002) telah melakukan penelitian yang berjudul “Zonasi Kerusakan Lahan Akibat Penambangan Bahan Galian Golongan C di Kecamatan Ponjong dan Semin Kabupaten Gunungkidul, DIY”. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah Metode Scoring terhadap faktor-faktor penentu kerusakan lahan akibat penambangan bahan galian golongan C. Faktor penentu kerusakan lahan disesuaikan berdasarkan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 63 Tahun Tahun 2003 Tentang Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Penambangan Bahan Galian Golongan C di Wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasil yang diperoleh berupa Peta sebaran bahan galian, kerusakan, risiko ganggoan dan arahan penambangan, Rekomendasi upaya pengelolaan dan Prioritas reklamasi. Satmoko (2004) telah melakukan penelitian yang berjudul “Kerusakan Lahan Akibat Penambangan Batugamping di Kawasan Karst Desa Bedoyo dan Karang Asem Kecamatan Ponjong Kabupaten Gunungkidul.” Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah Metode Scoring terhadap 15 faktor variabel penentu kerusakan lahan akibat penambangan batugamping. Hasil yang diperoleh berupa Satuan lahan yang rusak, Tingkat kerusakan lahan, Peta kerusakan lahan dan Pengaruh faktor ekonomi pada masyarakat untuk melakukan penambangan. Musawari (2012) telah melakukan penelitian yang berjudul “Evaluasi Kerusakan Kawasan di Karst Kabupaten Muna Studi Kasus Kecamatan Lohia dan Kecamatan Bone”. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah Metode Scoring terhadap 5 (lima) variabel penentu kerusakan karst yaitu tutupan vegetasi, singkapan batuan, kualitas air mataair, kuantitas mataair, dan Biodiversitas. Hasil
yang diperoleh berupa Tipe karst di Kecamatan Bone dan lohia, Tingkat Kerusakan kawasan karst, Peta kerusakan karst, Faktor penyeban kerusakan kawasan karst, Nilai evaluasi kerusakan kawasan karst dan Rekomendasi pengelolaan. Ramarsari (2013) telah melakukan penelitian yang berjudul “Potensi Kerusakan Lahan Karst di Gunung Sadeng Kecamatan Puger Kabupaten Jember”. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah pengklasifikasian kerusakan lahan kedalam 3 (tiga) kelas kerusakan menggunakan 6 indikator penentu kerusakan lahan karst. Hasil yang diperoleh berupa Tingkat kerusakan lahan karst, Peta potensi kerusakan lahan karst, dan Faktor yang memengaruhi kerusakan lahan. Endarto (2014) telah melakukan penelitian yang berjudul “Kajian Kerusakan Ekosistem Karst Sebagai Dasar Pelestarian Sumberdaya Air. Kasus: DAS Bribin Hulu Kabupaten Gunungkidul”. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah overlay dan scoring parameter kerusakan karst yaitu Perubahan morfologi akibat penambangan, Outlet cekungan tertutup, Tutupan vegetasi, Kondisi Mataair, Keberadaan air pada goa dan Bangunan diatas permukaan karst. Hasil yang diperoleh berupa Karakteristik karst DAS Bribin Hulu, Tingkat kerusakan karst DAS Bribin Hulu, Peta Tingkat Kerusakan Karst DAS Bribin Hulu dan Strategi pengelolaan kerusakan lingkungan karst, Persamaan antara penelitian sebelumnya dengan penelitian ini terletak pada metode yang digunakan. Pada penelitian ini digunakan metode Scoring terhadap variabel penentu kerusakan lingkungan karst sehingga diperoleh kelas kerusakan lingkungan karst. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada lokasi penelitian di Daerah Tangkapan Air BribinBaron, Gunungkidul, serta variabel kerusakan karst yang disesuaikan dengan Klasifikasi Kerusakan Lingkungan Karst oleh Haryono (2014). Variabel yang digunakan yaitu yaitu tutupan vegetasi, singkapan batuan, biodiversitas, dan kondisi telaga. Perbandingan penelitian sebelumnya dengan penelitian sekarang ditampilkan pada Tabel 1.1 berikut.
Tabel 1.1 Perbandingan Penelitian Sebelumnya dengan Penelitian Sekarang Nama Setiawan, 2002
Judul
Metode
Hasil
Zonasi Kerusakan Lahan Akibat
Scoring terhadap faktor penentu
1. Peta sebaran bahan galian, kerusakan, risiko
Penambangan Bahan Galian
kerusakan lahan pada sistem
Golongan C di Kecamatan Ponjong
penambangan bahan galian
2. Rekomendasi upaya pengelolaan
dan Semin Kabupaten
golongan C
3. Prioritas reklamasi
Kerusakan Lahan Akibat
Evaluasi krusakan lahan dengan
1. Satuan lahan yang rusak akibat
Penambangan Batugamping di
metode pengharkatan scoring
Kawasan Karst Desa Bedoyo dan
terhadap 15 variabel penentu
Karang Asem Kecamatan Ponjong
kerusakan lahan akibat
Kabupaten Gunungkidul.
penambangan batugamping
ganggoan, dan arahan penambangan
Gunungkidul, DIY Satmoko, 2004
penambangan 2. Tingkat kerusakan lahan akibat penambangan 3. Peta kerusakan lahan 4. Pengaruh faktor ekonomi pada masyarakat untuk melakukan penambangan
Musawari, 2012
Evaluasi Kerusakan Kawasan di
Evaluasi Kerusakan dengan
Karst Kabupaten Muna Studi Kasus
metode scoring terhadap 5
Kecamatan Lohia dan Kecamatan
variabel penentu kerusakan yaitu
2. Tingkat kerusakan kawasan karst
Bone
tutupan vegetasi, singkapan
3. Peta kerusakan kawasan karst
batuan, kualitas air mataair,
4. Faktor penyebab kerusakan
kuantitas mataair, dan
5. Rekomendasi upaya pengelolaan
Biodiversitas
1. Tipe karst di Kecamatan Bone dan Kecamatan Lohia
Indah Ramasari,
Potensi Kerusakan Lahan Karst di
Pengklasifikasian kerusakan
1. Tingkat kerusakan lahan karst
2013
Gunung Sadeng Kecamatan Puger
lahan ke dalam 3 kelas dengan
2. Peta potensi kerusakan lahan karst
Kabupaten Jember
menggunakan 6 indikator
3. Faktor yang memengaruhi kerusakan lahan
Kajian Kerusakan Ekosistem
Evaluasi kerusakan dengan
1. Karakteristik karst DAS Bribin Hulu
Karst Sebagai Dasar Pelestarian
metode Overlay dan Scoring
2. Tingkat kerusakan karst DAS Bribin Hulu
Sumberdaya Air. Kasus: DAS
parameter kerusakan karst yaitu
3. Peta Tingkat Kerusakan Karst DAS Bribin
Bribin Hulu Kabupaten
Perubahan morfologi akibat
Gunungkidul
penambangan, Outlet cekungan
Endarto, 2014
tertutup, Tutupan vegetasi,
Hulu 4. Strategi pengelolaan kerusakan lingkungan karst,
Kondisi Mataair, Keberadaan air pada goa dan Bangunan diatas permukaan karst Nezaputri, 2015
Tingkat Kerusakan Lingkungan
Evaluasi kerusakan dengan
1. Persebaran kerusakan lingkungan karst
Karst di Daerah Tangkapan Air
metode Scoring terhadap 4
2. Tingkat kerusakan lingkungan karst
Bribin-Baron, Gunungkidul
indikator kerusakan lingkungan
3. Peta kerusakan lingkungan karst di Daerah
karst yaitu tutupan vegetasi, singkapan batuan, biodiversitas dan kondisi telaga. Sumber: Hasil Data Primer, 2015
Tangkapan Air Bribin-Baron, Gunungkidul
1.8 Kerangka Pemikiran Kawasan karst di Daerah Tangkapan Air Bribin-Baron merupakan bagian dari Kawasan Karst Gunung Sewu yang merupakan kawasan karst terluas di Indonesia (Atmaja & Dewisetiyani, 2013). Kawasan karst dalam kondisi alami memiliki kandungan sumberdaya alam yang melimpah seperti sumberdaya air, mineral dan biodiversitas. Sumberdaya alam yang tinggi di kawasan karst dimanfaatkan manusia sebagai ruang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kualitas hidupnya. Sebagai daerah tangkapan air sungai bawah tanah Bribin-Baron, aktivitas manusia dalam mengelola sumberdaya karst baik dipermukaan maupun dibawah permukaan dapat memengaruhi dan mencemari sumber air sungai bawah tanah Bribin-Baron. Hal ini menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan karst yang menurunkan fungsi karst dan memengaruhi keberlangsungan kawasan karst. Penentuan dan identifikasi kerusakan lingkungan karst dapat dilakukan dengan berdasarkan Pedoman Identifikasi Kerusakan Lingkungan Kawasan Karst oleh Haryono (2014). Variabel yang digunakan dalam menentukan kerusakan lingkungan karst di Daerah Tangkapan Air Bribin-Baron, Gunungkidul terdiri dari kerusakan vegetasi, tersingkapnya batuan karst, kerusakan telaga, dan menurunnya keberadaan kelelawar. Tingkat Kerusakan Lingkungan Karst diketahui dengan menggunakan metode scoring hasil pengamatan dan wawancara keadaan kawasan Karst di lapangan dengan Kriteria Kerusakan Lingkungan Karst. Pengetahuan tentang kerusakan lingkungan karst yang semakin signifikan seiring pertumbuhan penduduk dan kemajuan teknologi sangat diperlukan untuk meningkatkan pengawasan dan pengendalian terhadap pemanfaatan sumberdaya karst khususnya Kawasan Karst di Daerah Tangkapan Air Bribin-Baron. Penentuan kebijakan pengelolaan dan rehabilitasi dapat digunakan sebagai upaya untuk meminimalisir kerusakan lingkungan karst di Kawasan Karst di Daerah Tangkapan Air Bribin-Baron. Selain itu, upaya kerjasama antar lembaga perlindungan kawasan karst dan masyarakat setempat juga perlu ditingkatkan mengingat masyarakat merupakan aspek yang berpengaruh langsung terhadap kawasan karst.
Daerah Tangkapan Air Sungai Bawah Tanah Bribin-Baron, Gunungkidul Unit Bentuklahan Karst
Pemanfaatan Sumberdaya Karst
Persebaran Jenis Kerusakan Karst
Keruskan Telaga
Menurunnya keberadaan kelelaawar
Tersingkapnya Batuan Karst
Kerusakan Vegetasi
Kerusakan Lingkungan Kawasan Karst
Tingkat Kerusakan Lingkungan Karst
Gambar 1.7 Kerangka Pemikiran Teoritik