BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG 1.1.1.
Pengembangan sanggar tari tradisional berbasis pendidikan di kota
tangerang selatan Kota Tangerang Selatan, yang merupakan sebuah pemekaran dari Kabupaten Tangerang baru diresmikan pada tahun 2008. Kota ini mempunyai keunikan dari kondisi sosial budayanya dimana terdapat berbagai macam suku dalam masyarakatnya seperti etnis Sunda, etnis Betawi, dan juga tidak sedikit berasal dari keturunan prajurit Sultan Agung dari Mataram hingga kemudian terjadi proses asimilasi pada kelompok masyarakatnya yang kemudian menciptakan corak sosial budaya dan kesenian yang unik. Kemudian muncul olahan kesenian baru yang merupakan perpaduan dari unsure-unsur budaya Cina, Melayu, Jawa, Sunda, dan Betawi seperti Gambang Kromong, Tanjidor, Cokek, Tari Topeng, Wayang Golek. Namun seiring berjalannya waktu, kultur budaya yang menjadi corak dari kota Tangerang ini memudar dimana kesadaran masyarakat yang kurang menyadari akan pentingnya pelestarian kebudayaan Indonesia yang seharusnya didukung oleh peran pemerintah setempat. Oleh itu, setelah terbentuknya Kota Tangerang Selatan, pemerintah khususnya sektor Kebudayaan dan Pariwisata memiliki visi “mewujudkan
masyarakat
Tangerang
Selatan
yang
berbudaya
dan
meningkatkan sapta pesona untuk sadar wisata” dimana beberapa misinya adalah meningkatkan pengembangan budaya Kota Tangerang Selatan, menggali dan mengembangkan potensi objek wisata di Kota Tangerang Selatan, melestarikan seni tradisional Kota Tangerang Selatan, memasarkan seni, budaya, dan objek wisata yang ada di Kota Tangerang Selatan. Berangkat dari visi dan misi tersebut, pengembangan Sanggar Tari Tradisional Ayunda Puspita ini merupakan sebuah langkah yang dapat mewujudkan misi dari pemerintah Kota Tangerang Selatan sebagai satu-satunya sanggar tari tradisional dengan basis pendidikan yang ada di kota ini.
1
Sejumlah studio atau sanggar kesenian khususnya sanggar tari tradisional yang ada di kota ini pada umumnya merupakan sanggar seni dengan basis showbiz dimana sanggar seni diperuntukan bagi masyarakat yang sebelumnya sudah mendapatkan pendidikan tari atau sudah berpengalaman dalam dunia tari tradisional sehingga dapat bergabung dalam sanggar atau studio dengan tujuan komersil. Munculnya Sanggar Tari Tradisional Ayunda Puspita sebagai fasilitas pendidikan non formal ini membawa efek positif bagi masyarakat di Tangerang Selatan yang memiliki passion dalam bidang kesenian tari tradisional Indonesia ataupun bagi masyarakat yang masih awam dengan dunia tari tradisional Indonesia namun ingin mepelajarinya dimulai dari tingkatan yang paling dasar. Peran pemerintah dalam pelestarian kebudayaan Indonesia di Tangerang Selatan khususnya, saat ini mulai terlihat dari banyaknya kerjasama yang telah dilakukan oleh pihak pemerintah sektor budaya dan pariwisata dengan sanggarsanggar seni dimana pada kasus ini Sanggar Tari Ayunda Puspita dipilih secara khusus untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh Kantor Budaya dan Pariwisata Tangerang Selatan, seperti pada APEKSI Nasional 2012 di Manado, Pawai Budaya Banten tahun 2012, Ulang Tahun Kota Tangerang Selatan yang ke-3 pada tahun 2011, Pembukaan POPDA IV dan PEPPADA VI di Banten, serta sanggar tari ini ditunjuk untuk berkolaborasi dengan DISPORABUDPAR (Dinas Pemuda, Olah Raga, Budaya, dan Pariwisata) khusus untuk membina peserta ajang Kang Nong Banten pada tahun 2011 dan 2012. Hal tersebut dapat menjadi peluang bagi penggiat seni khususnya dalam pengembangan sanggar tari ini yang merupakan bagian dari sektor pendidikan non formal, sehingga satuan hasil dari bagian pendidikan non formal ini dapat disetarakan dengan pendidikan formal lainnya.
1.1.2. Pengembangan sanggar tari tradisional dengan pencitraan budaya banyuwangi Proyek pengembangan Sanggar Tari Tradisional ini merupakan sebuah proyek nyata. Sanggar Tari yang berlokasi di Kecamatan Pamulang, Tangerang Selatan ini dimiliki oleh keluarga Yahya dimana sang istri merupakan seorang penari, keduanya berasal dari daerah Banyuwangi, Jawa Timur. Pada mulanya pasangan suami istri mulai mendirikan sanggar tari tradisional dengan khusus tarian Jawa Timur, namun kemudian merekapun memiliki mimpi untuk terus melestarikan 2
kesenian tari tradisional tidak hanya tarian tradisional khas Banyuwangi, namun seluruh tarian tradisional yang ada di Indonesia tetapi tetap tidak melupakan semangat Banyuwangi yang menjadi langkah awal mereka. Kemudian mereka mengembangkan sanggar tarinya dengan membuka cabang sanggar di rumah salah satu kerabatnya yang letaknya tidak jauh dari kawasan kediaman mereka. Sejak saat itu nama Sanggar Tari Ayunda Puspita pun semakin dikenal oleh masyarakat. Keluarga Rosmini tinggal di rumahnya yang merupakan bagian dari sanggar tari yang dimilikinya sendiri. Sanggar tari ini hanya dilengkapi beberapa fasilitas penunjang diantaranya area penyimpanan atribut tari yang menjadi satu dengan area musik, area penonton yang memanfaatkan bagian teras rumah, dan area latihan tambahan yang menggunakan bagian ruang tamu dari rumah tinggal. Seiring dengan prestasi yang semakin dicapai oleh sanggar ini, pertambahan jumlah peserta tari pun semakin meningkat setiap tahunnya. Sayangnya, hal ini belum diimbangi dengan kecukupan kapasitas ruang latihan masih sangat terbatas, serta fasilitas penunjang yang masih seadanya. Permasalahan pun bertambah ketika pada tahun 2011 pemerintah Kota Tangerang Selatan mengadakan kerjasama dengan sanggar tari milik Rosmini untuk ajang pemilihan Kang Nong Tangerang Selatan, dimana sanggar tari ini akan membina peserta-peserta Kang Nong Tangerang Selatan di sanggar tari tersebut. Hal ini pada dasarnya menjadi peluang untuk Sanggar Tari Ayunda Puspita untuk lebih berkembang, namun hambatan mengenai keterbatasan ruang menjadi masalah tersendiri melihat kepadatan jumlah peserta tari dan jadwal latihan yang sudah ada. Dari pertambahan kebutuhan tersebut kedua pasangan ini merencanakan untuk mengembangkan sanggar tari yang dimilikinya dengan budaya Banyuwangi sebagai konsep dasar perancangannya. Budaya Banyuwangi yang beragam dan unik menjadi potensi bagi penyusunan konsep
1.2. PERMASALAHAN 1.2.1. PERMASALAHAN NON-ARSITEKTURAL •
Sektor pendidikan non formal khususnya dalam bidang seni tari seharusnya dapat menjadi pengaruh positif bagi masyarakat di Tangerang 3
Selatan, namun saat ini nyatanya sejumlah sanggar tari tradisional yang ada bukan ditujukan sebagai wadah pendidikan non formal melainkan sebagai wadah kegiatan seni dengan tujuan komersil. •
Fasilitas-fasilitas pendidikan non formal yang ada di kawasan Tangerang Selatan masih belum banyak yang dapat mewadahi kegiatan kesenian khususnya seni tari, dimana hal ini sedikit kurang berimbang dengan semakin bertambahnya jumlah peminat seni tari yang ingin mendapatkan pendidikan tari mulai dari jenjang yang paling dasar.
•
Sanggar tari tradisional sebagai salah satu fasilitas pendidikan non formal seharusnya memiliki satuan hasil pendidikan yang dapat disetarakan dengan pendidikan formal, namun saat ini satuan hasil yang ada belum dapat memenuhi kriteria tersebut.
•
Visi misi dari Pemerintah Kota Tangerang Selatan di sektor kebudayaan dan pariwisata yang seharusnya dapat menjadi potensi khususnya bagi sanggar-sanggar kesenian lainnya untuk lebih berkembang, belum diimbangi dengan peran aktif pemerintah untuk menunjang wadah tersebut secara menyeluruh.
1.2.2. PERMASALAHAN ARSITEKTURAL •
Penataan zonasi antara area sanggar tari dengan area rumah tinggal eksisting yang sangat berdekatan, sangat mempengaruhi kebutuhan privasi pemilik sanggar maupun kebebasan berekspresi dari peserta sanggar tari.
•
Jumlah peserta tari yang bertambah tiap tahunnya tidak diimbangi dengan kecukupan ruang latihan yang saat ini sangat terbatas, sehingga jadwal latihan yang harus diatur sedemikian rupa.
•
Keinginan klien untuk mewujudkan sebuah bangunan sanggar tari yang dapat mencitrakan budaya Banyuwangi sebagai latar belakang pemilik, belum tercapai dalam desain sanggar tari eksisting.
•
Area sanggar tari eksisiting yang digunakan untuk berbagai kebutuhan dimulai dari latihan tari, pertunjukan tari, ujian tari masih sangat tidak mencukupi sehingga mengakibatkan jadwal untuk pemakaian area
4
tersebut sangat tidak flexibel dimana kebutuhan dari peserta maupun pemilik sebagai pengelola sangat beragam. •
Sebuah sanggar tari sebagai fasilitas pendidikan non formal seharusnya dilengkapi dengan berbagai fasilitas penunjang yang mencukupi untuk kebutuhan dari pengelola, peserta tari, maupun pengunjung, namun kesediaan fasilitas penunjang pada sanggar tari ini masih sangat terbatas melihat kecukupan ruang yang ada sangat tidak memungkinkan untuk diadakannya fasilitas-fasilitas tersebut.
•
Keinginan klien yang belum tercapai agar desain sanggar tari eksisting dapat memperlihatkan budaya Banyuwangi sebagai latar belakang dari pemilik untuk menjadikan sanggar ini memiliki ciri khas dan berbeda dengan sanggar seni lainnya.
1.3. TUJUAN DAN SASARAN 1.3.1. TUJUAN Membuat konsep dasar sebuah sanggar tari sebagai sebuah fasilitas pendidikan non formal yang dapat menampung peminat-peminat tari tradisional, juga sebagai wadah kegiatan kesenian serta memberi pengaruh positif bagi masyarakat khususnya di kota Tangerang Selatan, dalam rangka melestarikan budaya Indonesia dalam kesenian tari tradisional Indonesia. Memanfaatkan isu pemerintah Kota Tangerang Selatan untuk pengembangan potensi seni dan budaya, konsep dasar dari pengembangan sanggar tari tradisional ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi sanggar-sanggar seni lainnya untuk lebih berkembang serta mendapat dukungan lebih dari pemerintah setempat. Selain itu, sebagai sanggar dengan basis pendidikan non formal, konsep dasar ini diharapkan pula untuk mendorong peran aktif pemerintah dalam menyetarakan satuan hasil pendidikan non formal ini dengan satuan hasil pendidikan formal lainnya. Secara khusus, tujuan penulisan ini adalah untuk menciptakan sebuah konsep dasar dari area sanggar tari tradisional di Tangerang Selatan dimana terdapat berbagai macam fungsi di dalamnya, seperti penataan zonasi antara ruang pelatihan yang bersifat publik dengan zona rumah tinggal yang bersifat lebih privat namun tetap dalam jangkauan pengawasan pemilik, mewujudkan area 5
sanggar tari baik dari ruang latihan, area pertunjukan maupun fasilitas pendukung lainnya yang mampu digunakan untuk seluruh tingkatan peserta tari agar dapat lebih bebas berekspresi. Konsep dasar mengenai sanggar tari yang dapat mewadahi kebutuhan dan aktifitas seluruh pengguna baik dari pemilik, anggota, maupun pengunjung dari luar, serta membawa budaya Banyuwangi sebagai latar belakang dari pemilik sanggar pada gagasan awal dari desain pengembangan sanggar tari ini yang akan menjadi identitas dan pencitraan sanggar tari tradisional Ayunda Puspita disesuaikan dengan konteks lingkungan sekitarnya.
1.3.2. SASARAN 1.3.2.1. SASARAN UMUM Sasaran yang akan dicapai dalam penulisan ini adalah untuk menyusunan konsep dasar pengembangan sanggar tari ini melalui : •
Mengidentifikasi dan menganalisis potensi dan permasalahan pada kondisi eksisting bangunan serta site yang menjadi lokasi pengembangan desain.
•
Melakukan studi terhadap fasilitas yang dibutuhkan dan kegiatan yang diwadahi hubungannya dengan kenyamanan pengunjung, peserta, dan pengelola.
•
Studi mengenai standar yang berhubungan dengan fungsi sanggar tari, area pertunjukan, dan segala kebutuhan dalam sanggar tari.
1.3.2.2. SASARAN KHUSUS Dapat merumuskan konsep dasar perancangan sanggar tari tradisional di Kota Tangerang Selatan sebagai wadah kegiatan seni dengan basis pendidikan non formal yang memiliki budaya Banyuwangi sebagai pencitraannya melalui : •
Studi bangunan dengan tipologi sanggar tari sebagai preseden.
•
Studi mengenai budaya Banyuwangi sebagai pencitraan bangunan, seperti legenda, kesenian, serta masalah kependudukan.
•
Studi mengenai fasilitas pendidikan, khususnya pendidikan non formal. 6
1.4. KEASLIAN PENULISAN Dalam penulisan dan penyusunan Pra Tugas Akhir tentang sanggar tari ini, penulis menemukan beberapa judul karya Pra Tugas Akhir terdahulu dengan kemiripan fungsi bangunan serupa sanggar tari, yaitu: 1. Pusat Seni Tari di Desa Peliatan Ubud dengan Harmonisasi Arsitektur Bali yang Berintegrasi dengan Lingkungan Messo, Putu Diah Lionasari, 2011 2. Redesain Kompleks Rumah Tinggal dan Studio Tari ‘Banjar Mili’ Penekanan pada Integrasi Aktivitas, Fungsi, dengan Optimalisasi Potensi Lahan, Maria Ariadne Dewi Wulansari, 2012 Secara garis besar tipologi bangunan yang digunakan cukup serupa dengan karyakarya diatas, namun perbedaan terletak pada pendekatan yang digunakan yaitu pencitraan budaya Banyuwangi dimana belum pernah ditemukan judul dengan pendekatan serupa pada karya Pra Tugas Akhir terdahulu.
1.5. RUANG LINGKUP PEMBAHASAN Adapun lingkup pembahasan pada penulisan ini terdiri dari analisis kondisi sanggar tari eksisting, analisis site dimana lokasi sanggar tari yang baru akan dirancang, mencari data mengenai fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan, fungsi yang harus diwadahi. Selain itu hal-hal yang perlu diinformasikan seperti profil sanggar (mulai dari sejarah berdirinya sanggar, prestasi yang telah diraih, jenis-jenis kegiatan, klasifikasi pembagian dan jadwal kelas) dan profil pelatih yang juga merupakan pemilik sanggar dibutuhkan sebagai data permrograman desain. Selain itu, diskusi dengan klien juga dilakukan untuk merumuskan masalah dan mengetahui kebutuhan klien agar tercapainya tujuan hasil rancangan. Permasalahan dan informasi yang telah didapat dianalisis secara menyeluruh dan dijadikan dasar penyusunan konsep awal perancangan.
1.6. METODOLOGI PENULISAN Metode penulisan yang digunakan dibagi menjadi dua bagian, yaitu metode pengumpulan data dan metode pengolahan data. 1.6.1. METODOLOGI PENGUMPULAN DATA
7
Dalam metode pengumpulan data data yang diperoleh dikelompokkan lagi menjadi dua bagian, yaitu: a. Data primer Data primer merupakan data yang didapat dari sumber langsung seperti : •
Wawancara : Melakukan proses tanya jawab kepada narasumber yang berkaitan dengan kegiatan di Sanggar Tari Tradisional Ayunda Puspita, seperti : 1) Ibu Rosmini Yahya selaku pemilik, pendiri serta pengajar utama dalam sanggar tari yang juga merupakan klien dari proyek pengembangan sanggar tari mengenai kegiatan yang akan diwadahi di dalam sanggar, fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan, sejarah berdirinya dan profil sanggar, profil mengenai pemilik, serta latar belakang pendidikan seni tari yang didapat oleh pemilik
yang
akan
digunakan
sebagai
konsep
desain
pengembangan sanggar dan menjadi citra sanggar tari ini. 2) Zia Anindya Puspita sebagai pengajar yang telah berpengalaman dalam dunia tari tradisional selama beberapa tahun dan juga merupakan anak kandung dari pemilik, mengenai perkembangan kegiatan seni tari tradisional khususnya di kota Tangerang Selatan, serta peran pemerintah mengenai sanggar tari tradisional. 3) Warga sekitar sanggar tari, mengenai opini terhadap pentingnya keberadaan sanggar tari, khususnya Sanggar Tari Tradisional Ayunda Puspita, sebagai fasilitas pendidikan non formal dan fasilitas
yang
dapat
mewadahi
kegiatan
kesenian
serta
pengaruhnya terhadap kehidupan sosial, budaya serta pendidikan di daerah tersebut. •
Kuisioner : Kuisioner ditujukan kepada peserta sanggar tari dan juga kalangan anak muda lainnya mengenai pentingnya pendidkan khususnya dalam bidang kesenian tari tradisional dan pengaruhnya terhadap
•
Observasi :
8
Observasi dilakukan dengan mengamati kegiatan yang terjadi di dalam sanggar tari, serta tempat-tempat pertunjukkan seni yang diobservasi saat studi banding. b. Data sekunder Data sekunder terdiri dari studi kasus, syarat dan standar bangunan untuk sanggar tari, rumah tinggal serta ruang pertunjukan, teori penunjang yang didapat dari pihak lain yang diperoleh penulis dari studi literature, buku, jurnal, koran, serta internet yang terkait dengan sanggar tari sebagai fasilitas pendidikan non formal yang fungsinya terintegrasi dengan rumah tinggal dan tempat pertunjukkan.
1.7. METODOLOGI PENGOLAHAN DATA Setelah data diperoleh, pengolahan data dilakukan dalam tiga tahap, yaitu; a.
Analisis data Data yang diperoleh dilanjutkan dengan analisis yang dilakukan terhadap data-data persyaratan, standar, tipologi, morfologi, dan kriteria sanggar tari.
b. Sintesis data Data lahan sanggar tari eksisting, analisis lahan baru yang menjadi lokasi pengembangan sanggar tari, permasalahan, data studi kasus dan tinjauan teori diolah untuk menjadi rumusan konsep awal perancangan. c. Penyusunan konsep awal perancangan Hasil data yang telah diolah, dianalisis dan disintesa dikombinasikan menjadi rumusan konsep awal perancangan area sanggar tari.
1.8. SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika pembahasan pada penulisan ini adalah sebagai berikut 1.8.1. BAB I : PENDAHULUAN Berisi tentang latar belakang, rumusan masalah yang terdiri dari permasalahan non arsitektural dan permasalahan arsitektural, tujuan dan sasaran penulisan, ruang lingkup pembahasan, metodologi penulisan yang terdiri dari metodologi pengumpulan data dan metodologi pengolahan data, serta sistematika penulisan dijelaskan secara singkat dalam pembahasan laporan.
9
1.8.2.
BAB II: KAJIAN PUSTAKA DAN TINJAUAN TEORI Pada bab ini dijelaskan mengenai kajian pusta serta tinjauan teori yang
berkaitan dengan proyek ini, selain itu juga berisi mengenai kajian proyek dengan tipologi atau pendekatan yang sejenis dan membahan 1.8.3.
BAB III: TINJAUAN BUDAYA BANYUWANGI Membahas tinjauan teori mengenai budaya Banyuwangi yang digunakan
sebagai pendekatan. 1.8.4.
BAB IV: TINJAUAN LOKASI DAN ANALISIS SITE Membahas tentang kondisi lahan eksisting baru yang menjadi lokasi
pengembangan proyek yang disertai dengan analisis perbandingan alternative pemilihan lokasi baru. 1.8.5. BAB V: ANALISIS KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN Bab ini berisi analisis pendekatan konsep yang akan digunakan dalam proses perancangan, baik dari ruang maupun lansekap dari perencanaan bangunan secara menyeluruh. 1.8.6. BAB VI : KONSEP AWAL PERANCANGAN Membahas mengenai kelanjutan penerapan dan aplikasi konsep yang digunakan pada bab sebelumnya pada desain awal perancangan bangunan.
10
1.9. KERANGKA BERPIKIR
Diagram 1.1. Kerangka Berpikir Sumber: analisis penulis 2013
11