BAB I Pendahuluan
1.1
Latar Belakang Berakhirnya rejim otoritarian Soeharto pada tahun 1998 di Indonesia,
menandai awal masa transisi menuju negara yang demokratis. Secara prosedural,
masa
transisi
ini
memang
dinilai
menunjukkan
proses
demokratisasi, dengan penyelenggaraan pemilihan umum yang langsung, bebas dan adil. Namun, secara substansial, esensi demokrasi yakni kontrol rakyat terhadap urusan-urusan publik berbasis kesetaraan politik masih jauh dari harapan.1 Dengan kata lain realita dari praktek politik sepanjang masa transisi ini menunjukkan bahwa demokrasi yang terjadi di Indonesia mengalami defisit (Tornquist, 2007: 27-32). Berdasarkan hasil survei mengenai demokrasi yang dilakukan oleh DEMOS,2 defisit demokrasi ini terjadi pada dua aras yaitu pada aras negara dan rakyat. Pada aras negara, demokrasi dinyatakan defisit karena semua perangkat hak dan institusi demokrasi dibajak oleh golongan elit, baik lama maupun baru, dan menyalahgunakan untuk kepentingan dirinya sendiri. Kaum elite cenderung dengan mudah menyesuaikan diri dengan aturanaturan main yang baru yang diciptakan untuk mencapai demokrasi. Namun, kemudian mereka memonopoli dan membengkokkannya demi kepentingan
1
Untuk lebih jauh mengenai hal ini lihat Beetham (1999) dan Beetham, et al. (2002) Dalam survei DEMOS, suatu ornop yang memfokuskan diri pada isu demokratisasi melalui berbagai riset dan advokasi, yang dilakukan dalam 2 putaran (2003-2004 dan 2005-2006), terdapat empat kesimpulan sebagai berikut; (a) Berbagai instrumen demokrasi seperti kebebasan sipil dan politik, pemilu, dan pelembagaan, atau perekayasaan berbagai institusi (crafting of institutions) belum mampu menjadi instrumen yang operasional untuk menfasilitasi atau mendorong rule of law, akses yang setara untuk mendapatkan keadilan bagi setiap warga, hak-hak sosial dan ekonomi, dan pemerintah yang akuntabel dan representatif (defisit demokrasi); (b) Masalah yang utama sebetulnya tidak hanya terletak pada pemerintahan yang buruk (bad governance) dan ketidaksetaraan sosial-ekonomi (socio-economic inequalities), meskipun in yang terjadi selama ini, tapi lebih pada buruknya kontrol masyarakat terhadap urusan-urusan publik melalui representasi yang dapat dipercaya (trustworthy representation), (representasi semu); (c) Sebab utama buruknya representasi berkaitan dengan monopolisasi ekonomi dan politik oleh kelompok-kelompok elit yang lebih luas dan lebih berkarakter lokal, tapi masih tetap dominan. Mereka adalah elit-elit lama, dan juga baru (demokrasi oligarki); dan (d) Masalah utama untuk mengatasi ini adalah gerakangerakan demokrasi di Indonesia pada umumnya masih ”mengambang’ (floating) secara sosial, dan “marginal” (marginalized) secara politik (demokrat mengambang). 2
1
sendiri. Kebijakan politik yang lahir dari eksekutif dan legislatif tetap tidak berpihak pada peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.3 Bahkan mayoritas kebijakan yang lahir bersifat pragmatis dan jangka pendek. Pada aras rakyat, defisit terjadi karena aktivis pro-demokrasi di negeri ini tidak berbuat banyak untuk memperbaiki situasi ini. Utamanya selain disebabkan karena mereka tidak memiliki kapasitas untuk menggunakan hak-hak dan institusi-institusi yang ada, mereka juga hanya membatasi kerjakerjanya di bidang masyarakat sipil, di luar sistem politik. Agen-agen perubahan yang mengupayakan tumbuhnya demokrasi di Indonesia masih mengambil posisi dan peran berikut strategi yang mengambang di garis-tepi sistem demokrasi yang baru tumbuh. Tidak hanya itu, aksi yang dilakukan masyarakat sipil pro-demokrasi ini justru mengalami komplikasi akut, seperti terfragmentasi sehingga muncul ketidakpercayaan (distrust) satu dengan yang lainnya, konstituen yang tidak jelas, dan lain sebagainya sehingga tidak mampu memberi dampak nyata bagi perubahan yang diharapkan. Berkaitan dengan dua aras di atas, maka jalan keluar yang kemudian ditempuh salah satunya adalah masuknya gerakan pro-demokrasi4 ke politik praktis, seperti halnya yang secara eksplisit dapat ditemui dalam salah satu keluaran dari studi DEMOS yaitu “Going Politics” atau “Go Local Politic” (terjemahan : Berpolitiklah pada tingkat lokal). Berpolitik di sini bukan hanya mendorong sebatas berpartisipasi5, namun lebih dari itu, yakni merubah relasi kekuasaan pada tingkat lokal. Ditegaskan bahwa ini adalah masalah kemauan politik (political will). Dimana gerakan pro-demokrasi harus
3
Kata ‘rakyat’ di sini, seperti juga yang akan banyak bermunculan dalam studi ini, lebih mangacu sebagaimana yang dimaksudkan Kartjono (dalam Ibrahim, 1997:52 dalam Zakaria dalam Jurnal WACANA 2002:146), yakni “…kaum buruh, nelayan, petani, orang miskin kota dan desa, kelompok masyarakat adat lokal, yang secara keseluruhan merupakan mayoritas, tetapi dalam kondisi yang merjinal dan lemah.”. Itu berarti “(ia) …(mem)beda(kan) dengan warga negara dan dengan penduduk, Tidak setiap warga negara masuk dalam kategori rakyat, tidak semua penduduk adalah rakyat. Dalam arti, jika bicara tentang rakyat tidak usah akai yang kecil, karena rakyat justru yang kecil-kecil itu.” 4
Gerakan pro-demokrasi disini diasumsikan oleh penulis sebagai organisasi-organisasi masyarakat sipil karena narasumber survei ini adalah 800an aktivis organisasi masyarakat sipil, yang disebut dengan aktor pro-demokrasi. Untuk selanjutnya dalam studi ini penulis akan menggunakan istilah Gerakan Masyarakat Sipil atau Gerakan Sosial daripada Gerakan Pro-Demokrasi, dengan mempertimbangkan banyak individu-individu yang pilihan sikapnya tidak pro-demokrasi sebenarnya dalam lingkup masyarakat sipil itu sendiri.
5 Dikatakan oleh Asmara Nababan (di masa itu masih menjabat sebagai Direktur Eksekutif DEMOS) dalam Diskusi Terbuka ‘Pergulanan Politik Gerakan Pro-Demokrasi di Indonesia’, yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tahun 2004, partisipasi dipandang hanya akan melegitimasi kembali keputusan-keputusan atau kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat. Sehingga dibutuhkan lebih dari sekedar partisipasi. Lihat KARSA (2004)
2
menentukan sikap apakah akan terus memperjuangkan demokrasi melalui berbagai aksi dari pinggiran sebagai kelompok pelengkap, korektif, lobi dan penekan, atau meletakkan ambisi untuk menempuh alternatif yang lebih menyeluruh. Berdasarkan premis dari Tornquist (2004:76) yang membandingkan demokratisasi di Eropa Selatan dan Amerika Latin dengan Indonesia, di Eropa Selatan dan Amerika Latin, bekas penguasa berhasil menyelamatkan diri ke dalam sektor swasta dan membiarkan elite-elite yang lain mengambil alih dunia politik. Sedangkan di Indonesia, tidak hanya mantan penguasa yang selamat, tapi bahkan kekuatan ekonomi, birokrasi, dan militer lama telah bersimbiosis. Jangankan melepas dunia politik, para penguasa justru telah berhasil membajak prasarana demokrasi baru. Dari sini jelas disebutkan bahwa pekerjaan rumah yang seharusnya dikerjakan oleh aktor prodemokrasi dan organisasi non pemerintah (ornop) adalah menghadapi tantangan berkontestasi untuk merebut apa yang telah digenggam oleh pembajak demokrasi. Berangkat dari sana, maka tidaklah heran ketika masa transisi demokrasi dalam periode 2003 sampai dengan saat ini, penuh diisi euphoria transformasi organisasi masyarakat sipil untuk ‘going politics’. Baik memasuki ranah pemilihan umum untuk eksekutif di tingkat lokal (seperti kepala desa, kepala daerah tingkat kabupaten dan propinsi), legislatif (baik DPRD maupun DPR) sampai kepada pembentukan partai lokal. Seperti yang diungkapkan Muspani ketika ditanyakan alasan memilih jalur politik praktis, “Bagaimana mungkin, pertarungan akan kita lakukan jika kita tidak ada dalam satu arena yang sama. Jika kita ingin menantang para politisi dan pejabat negara, kita harus masuk ke dalam mempersiapkan pertarungan di Pemilu”6. Atau dinyatakan Binny Buchori, aktivis perempuan yang memutuskan mencoba pertarungan dalam kancah pemilihan legislatif melalui partai Golkar, “Upaya go politics sebagai agenda strategis perlu dilakukan kalangan civil society dalam rangka memperbaiki representasi yang bermasalah”.7 Dari pernyataan tersebut, tidaklah heran ketika hampir seluruh organisasi masyarakat sipil mencurahkan sumberdaya, energi dan waktunya
6 7
Lebih jelasnya dapat dilihat dalam Kariadi, Syafa’atun (2009) ibid
3
untuk transformasi, tidak terkecuali Gerakan Pancur Kasih (atau selanjutnya akan disingkat dengan GPK)8 di Kalimantan Barat.
1.2
Permasalahan “….Pancur Kasih mempunyai Credit Union dengan omzet milyaran di Kalimantan Barat dengan anggota ratusan ribu orang. Influence ada, namun sampai sekarang belum dapat mentransform menjadi power, sehingga kebijakankebijakan ekonomi, kehutanan, pertanian di Kalimantan Barat dapat ditentukan oleh misalnya Pancur Kasih… Inilah defisitnya demokrasi dimana demokrasi tidak dikontrol oleh rakyat… Karena depolitisasi rakyat…” (Asmara Nababan)9
Pancur Kasih (selanjutnya akan disebut dengan PK) adalah nama sebuah organisasi masyarakat sipil terbesar dan tertua di Kalimantan Barat. Organisasi yang diprakarsai oleh sekumpulan guru pada sekolah misionaris pada awal tahun 1980-an ini awalnya melakukan pengorganisasian komunitas berbasis pada pengembangan ekonomi kerakyatan melalui credit union (CU), dengan menggunakan pintu masuk identitas ke-Dayak-annya. Saat ini, PK yang mengawali sebagai gerakan ekonomi sosial dan budaya telah mengelola 48 buah CU yang tersebar di Kalimantan Barat dan bagian Kalimantan lainnya dengan 334.119 anggota yang 99% adalah masyarakat adat dan miskin dengan jaringan kuat baik di tingkat lokal maupun nasional. Di samping itu, mereka memiliki bank, rumah sakit, penerbitan, lembaga riset, lembaga advokasi, sekolah, helikopter, kapal, dengan total aset sebesar kurang lebih 1,5 trilyun rupiah. Paska reformasi, sama dengan organisasi masyarakat sipil lainnya di Indonesia,10 GPK memutuskan melakukan transformasi going politics, yang
8
Istilah ‘Gerakan Pancur Kasih ‘atau sering disingkat dengan GPK memang digunakan, baik
oleh aktivis di Kalimantan Barat maupun di tingkat nasional, untuk menyebutkan nama Pancur Kasih, terutama sejak periode 90-an. Hal ini dijelaskan untuk menghindari kerancuan dalam memaknai kata “gerakan” sebagai “movement”. Dalam studi ini khususnya, penulis menggunakan istilah GPK untuk menggambarkan keseluruhan elemen yang meliputi ornop, organisasi rakyat serta komunitas yang menjadi anggota CU maupun pendukung baik di level lokal maupun nasional. Sedangkan untuk menggambarkan seluruh ornop yang bernaung bawah payung besar Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih dan Perhimpunan Karya Sosial Pancur Kasih, penulis menggunakan istilah ‘Pancur Kasih’ atau sering disingkat dengan PK saja.
9 Pernyataan tersebut tercetus ketika Asmara Nababan, yang pada saat itu menjabat sebagai Direktur Eksekutif DEMOS, menjadi pembicara dalam Diskusi Terbuka “Pergulatan Politik Gerakan Pro-Demokrasi di Indonesia” yang diselenggarakan oleh KARSA bekerjasama dengan Jurusan Sosiologi-UGM pada 30 September 2004 di Yogyakarta.
4
ditempuh dengan berbagai jalur baik melalui pemilihan kepala daerah langsung di tingkat kabupaten dan propinsi maupun bekerjasama untuk terlibat dalam partai politik (yaitu Partai Pewarta Demokrasi Kasih Bangsa).11 Dari keseluruhan upaya tersebut, satu yang paling menonjol karena mencurahkan energi dan sumberdaya yang tidak sedikit, adalah upaya mengikuti pemilihan kepala daerah langsung di Sekadau pada tahun 2005. Melalui pemilihan kepala daerah langsung di Kabupaten Sekadau, gerakan ini secara lebih serius mengawali peran berikut strategi barunya. Wilayah Sekadau dipilih bukan karena kebetulan semata, pertimbangan utama pemilihan wilayah ini adalah selain menjadi salah satu fokus wilayah pengorganisasian PK di Kalimantan Barat (pengorganisasian dilakukan pada 30 desa dari total 76 desa), wilayah ini dikenal sebagai salah wilayah yang mayoritas didiami etnik Dayak (hampir sebesar 25% dari seluruh etnik Dayak yang terdapat di Kalimantan Barat mendiami wilayah ini). Selain itu, wilayah ini adalah kabupaten baru sebagai pemekaran dari Kabupaten Sanggau pada tahun 2004. Sehingga pemilihan kepala daerah menjadi suatu hal yang pertama kalinya dilakukan di wilayah ini. Pasangan Stephanus Masiun dengan Petrus Langsang menjadi andalan mereka untuk dimajukan sebagai kandidat. Dibandingkan dengan kandidat lainnya, kedua orang ini jauh lebih berakar dalam komunitas, karena secara langsung keduanya melakukan pemberdayaan serta berbagai kegiatan lainnya kurang lebih dalam 10 tahun terakhir.12 Dalam pencalonannya mereka mendapatkan dukungan penuh dari Partai Nasional Benteng Kerakyatan (PNBK) dan Partai Demokrat, yang dalam pemilu sebelumnya (th 2004)
mendapatkan
12.000
suara.
Bagaimana
pun
juga,
setelah
berpengalaman kurang lebih dalam 25 tahun mengorganisir komunitas, utamanya
Dayak,
pada
wilayah
ini,
mereka
memprediksi
akan
memenangkan pilkada dengan 60% suara atau setidaknya 29.500 suara dari
10 Untuk lebih jelasnya lihat WACANA ‘Pilkadal’ (2005), Tim Pergerakan (2007), Tim Demos (2008) serta Samadhi dan Warouw (2009) 11 Bahkan pada tahun 1998, dalam Pra-Konggres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara di Jakarta, beberapa orang aktivis dari Gerakan Pancur Kasih mencetuskan ide perlunya mendirikan Partai Politik Masyarakat Adat. 12 Stephanus Masiun dan Petrus Lansang adalah pendiri CU Keling Kumang dan CU Manteare di wilayah Sekadau. Stephanus Masiun lebih dikenal sebagai aktivis pro-demokrasi yang berkutat di seputar isu pemberdayaan komunitas dan ekonomi lokal. Sedangkan Petrus Lansang dikenal sebagai seorang guru sekaligus Ketua Dewan Adat Dayak. Keduanya memiliki karisma sebagai seorang pemimpin, berasal dari keluarga miskin dengan latar belakang pendidikan sampai kepada tingkat sarjana.
5
anggota CU-nya. Namun, ternyata hasil dari pemilihan kepala daerah secara langsung yang diselenggarakan pada tanggal 20 June 2005 tidak sesuai dengan prediksi GPK. Kandidat mereka kalah dengan 19,218 suara atau hanya memperoleh 21% dari total suara. Kegagalan ini bukan suatu kebetulan, dalam upaya berikutnya, GPK memasuki kancah pemilihan langsung kepala daerah tingkat propinsi. Pada tanggal 15 Nopember 2007, A.R Mecer selaku pendiri PK berpasangan dengan Akil Mochtar hanya mendapatkan sedikit suara sehingga menduduki posisi terakhir dari kandidat yang ada. Bahkan pada wilayah-wilayah dimana PK selama ini bekerja mengorganisir komunitas, perolehan suara mereka sangat minim. Mengapa ini terjadi? Mengapa GPK kalah? Lebih dari 25 tahun pengalaman GPK bekerja untuk rakyat seharusnya lebih dari cukup untuk membuat gerakan ini dilihat sebagai bentuk keterwakilan alternatif oleh rakyat.
Namun, kenyataannya justru bertolak belakang, dimana pada
kenyataannya gerakan berbasis ekonomi dan sosial budaya tidak secara otomatis menjadi gerakan politik. Jelas terdapat ketegangan dalam proses transformasi masyarakat sipil (civil society) menjadi masyarakat politik (political society)13 Pertanyaan besar tersebutlah yang mendasari studi ini. Dengan menyadari keterbatasan baik sumberdaya maupun waktu maka studi ini hanya difokuskan untuk menjawab pertanyaan sejauh mana GPK sebagai bagian dari masyarakat sipil dapat menjadi keterwakilan alternatif bagi rakyat? Lebih spesifiknya lagi, penulis sengaja membatasi studi ini sebagai studi mengenai organisasi non pemerintah (Pancur Kasih) sebagai bagian dari masyarakat sipil melalui penelusuran atas jawaban dari pertanyaan : 1. Bagaimana dinamika perjalanan Gerakan Pancur Kasih di Kalimantan Barat pada masa rejim otoritarian, reformasi dan paska reformasi ? 2. Sejauh mana pengaruh masa transisi demokrasi terhadap pilihan sikap Gerakan Pancur Kasih berikut konsekuensinya?
13
Klasifikasi ini mengacu pada konsep Tocqueville. Untuk lebih jelasnya mengenai hal ini lihat di Sub Bab 1.4 Kerangka Pemikiran.
6
1.3
Tujuan Studi ini menjadi relevan, karena di tengah situasi demokrasi yang
defisit, dibayangkan ornop yang merupakan bagian dari masyarakat sipil dan disebut-sebut sebagai pilar demokrasi, menjadi kekuatan representasi alternatif, sebagai salah satu pemecahan permasalahan. Sebenarnya, harus dipahami
bahwa
menjadi
penting
untuk
memahami
konteks
yang
berkembang. Bahwa dinamika ornop erat dipengaruhi oleh dinamika konteks yang mengiringinya, seperti halnya GPK di Kalimantan Barat. Jadi diharapkan studi ini dapat memperkaya studi-studi mengenai demokrasi, khususnya yang terkait dengan masyarakat sipil. Secara khusus, studi ini memiliki tujuan untuk: 1. Menjelaskan dinamika Gerakan Pancur Kasih yang meliputi sejarah cikal bakal munculnya gerakan, aktor yang menjadi pelaku utama, berikut dengan konteks, seperti situasi yang menjadi lawan serta momen yang tercipta, di masa terkait yang melahirkan pilihan aksi gerakan 2. Mencari tahu pengaruh dari masa transisi demokrasi paska reformasi terhadap pilihan sikap Gerakan Pancur Kasih berikut konsekuensinya
1.4
Kerangka Pemikiran Sesuai fokus studi ini mengenai organisasi masyarakat sipil serta
tujuannya untuk memperkaya kajian masyarakat sipil, maka kerangka pemikiran di bawah akan didominasi oleh teori-teori yang berkenaan dengan masyarakat sipil itu sendiri, tanpa menegasikan tentang adanya masyarakat politik. Karena memang tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam tiga dasawarsa belakangan ini, diskusi mengenai masyarakat sipil begitu mengemuka. Hampir seluruh pihak berbicara mengenai civil society (penulis memilih menggunakan terjemahan masyarakat sipil), dan perjuangannya untuk menciptakan perubahan demi mencapai situasi dunia yang lebih baik. Sehingga terdapat beragam konsep, pengertian, kepentingan baik yang saling mendukung maupun kontradiktif terhadap isu ini. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan masyarakat sipil di sini (tentunya terkait dengan
7
dikotominya dengan masyarakat politik)? Bagaimana diskursus yang berkembang terutama dalam beberapa tahun belakangan ini terkait dengan masyarakat sipil dan politik ini dalam demokratisasi? Serta bagaimana organisasi non pemerintah sebagai bagian dari masyarakat sipil itu sendiri? Bagian ini diharapkan secara tidak langsung dapat menjawab pertanyaanpertanyaan berikut.
1.4.1 Konsep Masyarakat Sipil dan Politik Manusia adalah makhluk sosial yang berkumpul dengan manusia lainnya baik untuk memecahkan masalah maupun untuk menemukan makna kehidupan. Seperti yang dikemukakan oleh Michael Edwards (2004:18) Human beings (or most of us at least) are social creatures, and joining groups that help us to resolve the problems of collective action (like water-users’ associations in south Asia), advance the causes we believe in (like Amnesty International), find more meaning and fulfilment in life (like religious groups) or simply have some fun (like the choirs and bowling clubs beloved Robert Putnam) is universal part of human experience.14 Hal ini menunjukkan bahwa manusia dimanapun akan membentuk kesatuan hidup yang berinteraksi menurut suatu sistem tertentu yang
terikat
dengan
identitas
bersama
atau
disebut
juga
dengan
15
masyarakat.
Mendiskusikan masyarakat itu sendiri, terutama kaitannya dengan negara, sebenarnya terdapat beberapa pemikiran yang telah menjalani perjalanan panjang sejak jaman Yunani kuno sampai dengan modern dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Pemikiran-pemikiran tersebut erat kaitannya dengan realitas di berbagai belahan dunia. Namun, dari variasi pemikiran tersebut, setidaknya ada empat pandangan pokok yang menjadi landasannya. 16 Pertama, pemikiran yang diusung oleh Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean Jacques Rosseau yang memandang masyarakat sebagai satu kesatuan, tanpa mengklasifikasinya atau dengan kata lain mengidentikkan
14
Dalam Culla (2006) Lihat Koentjaraningrat (1994) 16 Sebagai catatan penting, dari berbagai tafsir yang muncul terhadap konsep tersebut, pada intinya sebagai sebuah diskursus politik gagasan ini mencoba meletakkan fokus perhatian tidak hanya kepada negara namun masyarakat sebagai penentu kehidupan politik. Dan hal ini merupakan pembalikan terhadap teori-teori politik yang mendominasi kajian politik di banyak negara berkembang. 15
8
masyarakat sipil (civil society) dengan masyarakat politik (political society) dan juga negara. Terlepas dari perbedaan gagasan di antara mereka, dalam perspektif ini negara (political society) yang demokratis merupakan pengejawantahan (constitutive condition) masyarakat sipil, sebagai realitas yang terjadi di negara-negara demokratis. Kedua, adalah pemikiran yang diusung oleh Adam Ferguson, Adam Smith, Immanuel Kant, Thomas Paine, Hegel dan Karl Marx yang memandang bahwa masyarakat sipil (diidentikkan dengan masyarakat ekonomi) dengan negara adalah dua entitas yang terpisah dan berhadapan. Dalam pemikiran ini sendiri terdapat dua pendekatan yang berbeda, yaitu pendekatan negara yang menekankan superioritas negara saat berhadapan dengan masyarakat sipil serta pendekatan masyarakat sipil yang lebih menekankan
kemandirian
masyarakat
sipil
dalam
mempertahankan
eksistensinya dari supervisi dan intervensi negara. Ketiga, adalah pemikiran Jean Louis Cohen dan Andrew Arato yang memisahkan domain masyarakat sipil, dengan negara (state), masyarakat politik (political society) dan masyarakat ekonomi (economic society) sebagai entitas yang berbeda dan terpisah. Sedangkan landasan pemikiran Keempat, adalah pemikiran De Tocqueville dan Antonio Gramsci, yang diadopsi penulis dalam melandasi studi ini, yang secara tegas memisahkan masyarakat sipil dari masyarakat politik (dimana negara identik di dalamnya) dan masyarakat ekonomi. Terlepas dari perbedaan keduanya, baik Gramsci maupun Tocqueville memiliki kesamaan pandangan dalam melihat wilayah interaksi diantara masyarakat sipil dengan entitas lainnya (masyarakat politik dimana negara masuk di dalamnya dan masyarakat ekonomi), seperti gambar 1.1 Gambar tersebut menjelaskan bagaimana masyarakat sipil pun juga terdiri dari berbagai macam seperti organisasi kemasyarakatan (ormas), organisasi sosial, ornop, gerakan sosial maupun organisasi profesi. Sedangkan masyarakat politik dimana negara termasuk di dalamnya terdiri dari unsur pemerintah (pusat dan daerah), lembaga legislatif, lembaga peradilan, partai politik, polisi, militer, dan badan intelijen. Di sisi lain, terdapat masyarakat ekonomi, yang terdiri dari pasar (baik pasar modal,
9
pasar modern maupun tradisional), perusahaan dan lain-lain. Hubungan diantara ketiga entitas tersebut diatur dalam regulasi. Gambar 1.1 Masyarakat Menurut Kerangka Pemikiran Gramsci dan Tocqueville
MASYARAKAT POLITIK (POLITICAL SOCIETY) MASYARAKAT SIPIL (CIVIL SOCIETY) Organisasi Kemasyarakatan Organisasi Sosial Organisasi Non-Pemerintah Gerakan Sosial Organisasi Profesi
Lembaga Eksekutif (Pemerintah) Lembaga Legislatif Partai Politik Polisi Militer Intelijen
Pasar Pasar Modal Perusahaan
MASYARAKAT EKONOMI (ECONOMIC SOCIETY)
Dalam kerangka pemikiran ini, berbeda dengan Gramsci yang fokus pada pentingnya struktur-struktur sosial yang dibentuk oleh kekuatan ekonomi yang dominan, studi ini lebih memilih perspektif ‘The Association School’ ala Tocqueville yang fokus pada pentingnya asosiasi-asosiasi yang otonom dan aktif. Dengan kata lain konsepsi masyarakat sipil dalam studi ini dimaknai sebagai agen seperti gagasan Tocqueville, Smith, Ferguson, Putnam. 17 Seperti ditegaskan oleh Tornquist yang memaknai masyarakat sipil sebagai independent and voluntary associational life among rights bearing citizens.18 Berdasarkan rujukan konsepsi masyarakat sipil tersebut, maka studi ini lebih pada organisasi masyarakat sipil (civil society organisations) yang mencakup asosiasi yang secara politis dan ‘civic’ benar-benar melindungi dan memperjuangkan norma-norma demokratis. Hal ini berarti asosiasi ekonomi
17 18
Hyden (1997,1998) dalam Suharko (2005:269) Dalam O. Tornquist, K.Stokke and N. Webster (eds) (Forthcoming)
10
dan produksi berada di luarnya, karena ditempatkan sebagai bagian dari masyarakat ekonomi. Di samping itu, seperti dinyatakan Tocqueville (1961), masyarakat sipil di sini merupakan suatu entitas independen yang keberadaannya menerobos batas-batas kelas, memiliki kapasitas politik cukup tinggi dapat menjadi kekuatan pengimbang terhadap kecenderungan intervensi negara, dan sama sekali
bukan
subordinat
negara.
Karena,
masyarakat
sipil
di
sini
bertanggungjawab mengontrol negara untuk mengimbangi kekuasaan negara itu sendiri atau dengan kata lain keberadaan masyarakat sipil di sini untuk memperkuat demokrasi. 19 Mendiskusikan masyarakat sipil, penulis sepakat dengan bagaimana Larry Diamond dan Muhammad AS Hikam melihat masyarakat sipil, dalam logika berpikir Tocquevillean. Larry Diamond (1994:5) dan Muhammad AS Hikam (1997:3) mendefinisikan masyarakat sipil sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan, antara lain, kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating), keswadayaan (self-supporting) serta kemandirian (autonomy) tinggi saat berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan norma-norma atau nilai- nilai hukum yang dipatuhi oleh warganya. Dari definisi tersebut terdapat sejumlah ciri yang membedakan masyarakat sipil dengan kelompok lain dalam masyarakat, seperti yang dijabarkan oleh Larry Diamond (2003:280), yaitu Pertama, masyarakat sipil memusatkan perhatiannya pada tujuan-tujuan publik bukan tujuan privat. Kedua, masyarakat sipil dalam beberapa hal berhubungan dengan negara tetapi tidak berusaha merebut kekuasaan atas negara atau mendapat posisi dalam negara, dan tidak berusaha mengendalikan politik secara menyeluruh. Organisasi, gerakan-gerakan dan jaringan yang berusaha menggantikan kekuasaan, untuk mengganti sifat negara, dan untuk menjadikannya demokratis, masih merupakan bagian dari masyarakat sipil jika sasarannya adalah untuk mereformasi struktur kekuasaan bukannya mengambil alih kekuasaan itu. Ketiga, masyarakat sipil mencakup pluralisme dan keragaman. Keempat, masyarakat sipil tidak berusaha menampilkan seluruh kepentingan pribadi atau komunitas. Sehingga, kelompok-kelompok yang berbeda akan
19
Dalam Culla 2006:51-52),
11
menampilkan atau mencakup kepentingan yang berbeda pula. Walaupun seringkali organisasi dan jaringan memburu agenda-agenda multisegi yang melintasi batas-batas antara masyarakat parokial dan masyarakat sipil, atau antara masyarakat sipil dan masyarakat politik, atau bahkan di antara ketiga sektor tersebut semuanya. Kelima, masyarakat sipil haruslah dibedakan dari fenomena civic community20 yang lebih jelas meningkatkan demokrasi. Masyarakat sipil dirancang sebagai teori yang berguna untuk meneliti pengembangan demokrasi, maka penting untuk menghindari tautologi yang menyamakan dengan segala sesuatu yang demokratis, mulia, patut dan baik.21 Dari
sini
tergambarkan
bahwa
masyarakat
sipil
ada
untuk
memperkokoh posisi dan kemandirian rakyat serta mengimbangi hegemoni masyarakat politik dan negara.22 Namun, tidak terkait langsung dengan usaha perebutan kekuasaan negara. Walaupun begitu, bagi banyak negara masyarakat sipil menjadi suatu yang ditakuti. Karena, seperti yang diungkapkan oleh Keane (1980), masyarakat sipil dilihat sebagai lawan daripada depotisme, yakni keangkuhan dan kesewang-wenangan negara, atau seperti premis The Advocacy Institute (2001) di Amerika yang menyebutkan masyarakat sipil sebagai a society that protects those who organize to challenge power.23
20
Civic Community ala Robert Putnam, adalah konsep yang lebih luas karena mencakup semua jenis perhimpunan (termasuk parokial), sekaligus lebih sempit karena ia hanya mencakup perhimpunan yang terstruktur secara horisontal si seputar ikatan yang sekiranya punya kebersamaan, kooperatif, simetris dan saling mempercayai. 21 Lebih lanjut Larry Diamond (2003: 285-291) juga merumuskan karakteristik masyarakat sipil yang demokratis yaitu Pertama, menyangkut bagaimana sebuah organisasi mengelola urusan-urusan internalnya sendiri secara formal. Dengan kata lain seberapa jauh dua mempraktikkan prinsip-prinsip demokrasi konstitusionalisme, transparansi, akuntabilitas, partisipasi, pertimbangan mendalam, representasi dan rotasi kepemimpinan melalui keputusan-keputusan, alokasi kekuasaan dan sumber dayanya sendiri. Kedua, menyangkut aneka tujuan dan metode dari kelompok-kelompok dalam masyarakat sipil, khususnya perkumpulan-perkumpulan yang terorganisasi. Ketika sebuah kelompok berusaha menaklukkan negara atau para pesaing lain atau menolak rule of law dan otoritas negara demokrasi, ia sama sekali bukan merupakan komponen masyarakat sipil, malahan ia dapat mengakibatkan kerusakan pada aspirasi-aspirasi demokratis. Ketiga, menyangkut level pelembagaan keorganisasiannya. Kelompok-kelompok kepentingan yang terlembaga ini seharusnya punya sumbangan terhadap stabilitas, pandangan terhadap masa depan dan penyelenggaraan rezim demokrasi.21 Pelembagaan juga mengharuskan organisasi-organisasi masyarakat sipil mengadaptasikan misi, fungsi dan struktur mereka dengan konteks politik dan sosial yang berubah, hal-hal baru dan peluang-peluang yang berbeda. Keempat, adalah pluralisme dan Kelima, adalah kesolidan, dimana masyarakat sipil bisa menjadi pelayan paling baik bagi demokrasi bila ia mengental dalam sejumlah perkumpulan.
22 Lihat Hikam (1997:3) 23 Advocacy Institute’s 2001 Annual Report dalam Michael Edwards (2004:2) dalam Culla (op.cit)
12
Sedangkan masyarakat politik, mengacu pada kerangka pemikiran Gramsci dan Tocqueville yang telah dijabarkan sebelumnya, maka masyarakat politik di sini dimaknai sebagai satu kesatuan entitas dengan negara, yang terpisah dengan masyarakat sipil dan masyarakat ekonomi. Masyarakat politik di sini, tidak hanya mencakup unsur-unsur lembaga pemerintahan (eksekutif, legislatif dan yudikatif) beserta aparat pertahanan dan kemanan (kepolisian, militer dan intelejen), namun juga lembagalembaga non pemerintah atau organisasi sosial politik, ekonomi dan kultural yang dapat menjadi sarana hegemoni negara (seperti partai politik).24 Berbeda sama sekali dengan konsepsi masyarakat sipil, masyarakat politik justru dimaknai sebagai masyarakat yang ada pada suatu wilayah tertentu dengan aktivitas tertentu yang berhubungan dengan bagaimana cara-cara memperoleh kekuasaan, usaha-usaha mempertahankan kekuasaan, menggunakan penggunaan
kekuasaan, kekuasaan,
wewenang
dan
pengendalian
bagaimana
kekuasaan,
dan
menghambat sebagainya.
Masyarakat politik ini cenderung bermain pada arena formal sphere (penulis menerjemahkannya dengan arena formal), sementara yang kedua bermain pada arena informal sphere (penulis menerjemahkannya dengan arena informal). Dalam masyarakat politik, yang memiliki perilaku politik (political behaviour) yang khas, agar kepentingan seseorang atau suatu kelompok diketahui oleh pihak lain dan dijadikan sebagai pokok bahasan, maka diperlukan adanya komunikasi politik. Beberapa perbedaan masyarakat politik dengan masyarakat sipil secara konkrit dicerminkan dalam contoh berikut ini: Tabel 1.1 Perbandingan Kelompok Kepentingan, Gerakan Sosial dan Partai Politik Tujuan, Struktur dan Cara Politik Berupaya mempengaruhi pemerintah? Berupaya menjadi pemerintah? Fokus pada satu isu Terorganisir, terpimpin dan didanai secara formal Penggunaan Taktik
Kelompok Kepentingan
Gerakan Sosial
Partai Politik
Ya
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Ya
Ya
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Konvensional
Tidak Konvensional
Konvensional
Sumber : Zilliacus (2002) dalam Haque & Harrop (2004 ; 129)
24
Gramsci dalam kata pengantar Arief Budiman (1992)
13
Pembedaan secara tegas antara masyarakat sipil dan politik seperti tergambarkan diatas, bukan berarti kemudian tidak bersinggungan. Karena interaksi masyarakat sipil dengan masyarakat politik, dalam hal ini negara sangat dimungkinkan. Seperti diungkapkan oleh Neera Chandoke (1995 : 813), a site at which society enters into relationship with the state (ruang dimana masyarakat
menjalin
hubungan
dengan
negara).
Karena
ruang
ini
memungkinkan munculnya wacana kritik rasional yang berinteraksi dengan negara, atau dengan kata lain di sinilah fungsi kontrol politik berjalan. Singkat kata, studi ini tidak akan terlalu memusatkan perhatian pada masyarakat politik itu sendiri, namun lebih pada dinamika masyarakat sipil yang
bertransformasi
seiring
dengan
konteks
yang
mengiringinya.
Masyarakat politik hadir sebagai bagian proses transformasi dari masyarakat sipil.
1.4.2 Diskursus Masyarakat Sipil dalam Demokratisasi : Pilihan Non Partisan atau Menjadi Masyarakat Politik Seperti telah dijabarkan sebelumnya, diskursus masyarakat sipil ini tidak statis, namun berkembang dari masa ke masa, dan kental diwarnai dengan konteks pada masa terkait. Konsep yang saat ini berkembang tentunya berbeda dengan konsep masyarakat sipil di abad-18 yang menempatkan masyarakat sipil di bawah proteksi negara agar tidak secara total tunduk pada kekuasaan politik.25 Saat ini, pembahasan mengenai masyarakat sipil kini sudah tidak lagi terpisah dari kehidupan politik modern. Dimana ada konsensus yang terbangun dalam hubungan negara dan masyarakat sipil, seperti diungkapkan oleh Manfred Henningsen (1992) yang menilai bahwa masyarakat sipil sesungguhnya merupakan syarat bagi kehidupan
politik
modern
yang
kehadirannya
berfungsinya sebuah sistem negara yang demokratis.
akan
mencerminkan
26
Hal tersebut bermakna bahwa relasi yang terjalin antara warganegara yang aktif dengan asosiasi-asosiasi sebagai ruang atau wadah partisipasinya,
25
Proteksi negara yang dimaksud berupa penyediaan ruang-ruang publik tertentu bagi masyarakat untuk mengekspresikan pandangan dan kepentingannya tanpa harus mengganggu otoritas negara. Lihat M Ryaas Rasyid dalam Culla (op.cit:xxiv) 26 Manfres Henningsen (1992) Civil Society versus Socialism dalam Modern Praxis, dalam ibid : xxiv
14
sangat penting untuk teori demokrasi. Bahwa dalam demokrasi tidak hanya mementingkan adanya sistem yang kompetitif bagi partai politik, kandidat legislatif yang banyak dan bervariasi, beragam pilihan agenda politik yang memungkinkan pemilih untuk memilih salah satunya. Namun, demokrasi juga mengganggap penting adanya warga negara yang memiliki kesadaran politik atau warga negara aktif.27 Asosiasi ini membuat individu saling berinteraksi satu sama lain serta menjaga kebebasan berserikat, memainkan peran sosial kontrol terhadap negara terutama dalam mengatasi persoalan publik, dan menjadi wadah keberadaban.
Houtzager, Acharya dan Lavalle (2007:9) bahkan menyebutkan
asosiasi yang menjadi ruang untuk masyarakat berpartisipasi adalah sekolah demokrasi yang memainkan peran kritis dalam memproduksi warga negara yang aktif. Sehingga asosiasi yang membuat masyarakat sipil terorganisir menjadi
suatu
kontribusi
penting
yang
menentukan
kualitas
dari
demokrasi.28
Berdasarkan diskursus demokrasi yang berporos pada masyarakat sipil, terutama pada masa transisi demokrasi ini, apabila dilihat dari peran politiknya akan mengundang perdebatan seputar pada isu apakah mereka (masyarakat sipil, pen.) harus berubah menjadi kekuatan politik atau tetap bertahan pada kegiatan sipil yang non-partisan? Jika masyarakat sipil diasumsikan otonom, apakah otonom berarti menjadi a-politis dan nonpartisan? Dan berbagai perdebatan lainnya sehingga memunculkan dua premis, seperti diungkapkan Foley dan Edwards (1996), yaitu Pertama, masyarakat sipil yang harus tetap bebas dari kegiatan politik dan bertahan sebagai arena untuk memproduksi dan mengembangkan civility (keadaban). Kedua, masyarakat sipil yang harus aktif melakukan politisasi terhadap
27
Seperti diungkapkan oleh Houtzager dan Lavalle (2007:18) bahwa Active citizen are citizens who undertake activities, individually or collectively, that seeks public solutions to a relative lack of access to the goods necessary to enjoyment of citizenship rights and lesser legal entitlement. 28 Mendiskusikan mengenai demokrasi tentunya harus terlebih dahulu memahami pemisahan yang tegas mengenai tujuan (aims) dan cara (means) dari demokrasi. Karena umumnya, demokrasi hanya dilihat sebatas dari caranya saja atau sering disebut dengan demokrasi prosedural. Tujuan demokrasi itu sendiri adalah adanya kontrol rakyat atas urusan publik atas dasar kesetaraan politik (Beetham, 1999). Dan perangkat dasar dari demokrasi itu sendiri adalah intitusi, kehendak dan kapasitas (Samadhi dan Warrouw, 2009:30-36)
15
demokrasi, menjalankan demokrasi dari bawah, berpartisipasi secara politik untuk penguatan representasi popular.29 Dalam premis pertama, kemampuan kehidupan asosiasional pada umumnya dan kebiasaan asosiasi masyarakat sipil pada khususnya, lebih ditekankan untuk memajukan keadaban dalam setiap kegiatan warganegara. Premis ini menjunjung keuntungan politik yang diperoleh dari kinerja masyarakat sipil yang a-politis. Atas dasar itu, prioritas diberikan untuk mendukung asosiasi-asosiasi sekunder tradisional, organisasi-organisasi yang dianggap tidak memiliki watak konfliktual atau bobot politik tinggi. Fokus perhatian lebih kepada merekrut kelompok-kelompok yang kegiatan utamanya memproduksi “jaringan”, “norma”, dan “kepercayaan” sebagai inti untuk membangun dan mengembangkan modal sosial. 30 Pada intinya masyarakat sipil dianjurkan untuk otonom dari kekuatan politiknya, atau dengan kata lain dipertahankan karakter a-politisnya dengan menekankan
sikap
non-partisan
dan
antipolitik.
Karena,
otonomi,
independensi dan sikap non-partisan dari politik dianggap sebagai dasar untuk mengembangkan masyarakat sipil yang kuat. Premis yang mengadopsi gagasan Robert Putnam (1993), bahwa sebagai jaringan rapat keterlibatan kewargaan (dense network of civic engagement) masyarakat sipil akan memotong pembelahan sosial, menjembatani perbedaan-perbedaan sosial dan politik, serta memajukan kerjasama yang luas. Dari sini, jelas bahwa menjadi politis akan membuat masyarakat sipil tidak mampu melakukan perannya sehingga menajamkan pembelahan sosial dan menciptakan polarisasi. Premis kedua, lebih menekankan pada masyarakat sipil sebagai wilayah aksi yang independen dari negara dan yang memiliki kapabilitas untuk memperkuat perlawanan terhadap intervensi negara. Premis ini fokus pada perlunya mobilisasi politik aktor-aktor sosial dan mendukung kelompok-kelompok yang membuat warganegara mampu melakukan mobilisasi untuk melawan dan menandingi kekuasaan negara. Terutama penting untuk membuat asosiasi-asosiasi politik baru, dalam mempolitisasi
29 30
Dalam Priyono dan Djalong (2009:4) ibid
16
masyarakat sipil, karena asosiasi-asosiasi politik tradisional seringkali sudah ternodai oleh kerjasama anasir-anasir anti demokratik pada rezim lama.31 Pada intinya, premis ini mendukung tindakan politik masyarakat sipil, dimana mereka dilihat sebagai “organised counterweight to the state”. Seperti gagasan Tornquist (2007) yang beranggapan bahwa demokrasi tidak boleh menghindarkan masyarakat sipil dari politik dan dari konflik yang menyangkut hubungan-hubungan kekuasaan. Masyarakat sipil harus membangun
kekuatannya
melalui
organisasi
berbasis
representasi
kerakyatan. Atau masyarakat sipil seharusnya dilihat sebagai wilayah kekuatan sosial yang otonom dimana warga negara dapat menekan kekuasaan otoritarian, melindungi diri mereka dari intervensi negara dan menjalankan demokratisasi dari bawah. Terlepas dari pertentangan dua premis itu, semua sama-sama sepakat bahwa masyarakat sipil yang terorganisir dilihat akan menjadi motor penggerak bagi berfungsinya sistem sosial, politik dan ekonomi yang demokratis. Dan demokrasi tidak akan dilihat semata-mata sebagai suatu formalitas dan prosedural, seperti ritual pemilihan pemimpin dan dan pemberian legitimasi formal kepada negara untuk berkuasa. Dengan masyarakat sipil yang kuat, maka kebijakan negara akan berpihak kepada kepentingan rakyat. Bahkan seorang penulis dari Amerika bahkan menyebutkan masyarakat sipil sebagai “our last, best hope”.
1.4.3 Organisasi Non-Pemerintah Sebagai Masyarakat Sipil Kamu masih belum punya eN-Ji-Oh (NGO pen.) sendiri? Kamu belum punya yayasan nirlaba, lengkap dengan status hukumnya?... Wah, kawan, berarti kamu ketinggalan zaman. Setiap kaum profesional yang belum memiliki aksesori yang paling mutakhir abad keduapuluh ini adalah orang yang sungguh tertinggal –jelas dia orang yang tak punya imajinasi, tak punya sense akan kesempatan, tanpa pandangan strategis, ketinggalan waktu dan salah tempat... Lupakan saja karirmu dan ganti jualan lotere atau jadilah seniman jalanan (Lofredo 2000:64)
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, studi ini dilandasi gagasan Tocqueville, Smith, Ferguson, Putnam yang fokus pada pentingnya asosiasiasosiasi yang otonom dan aktif atau dengan kata lain studi ini lebih pada organisasi masyarakat sipil (civil society organisations) yang mencakup asosiasi
31
ibid. hal.5
17
yang secara politis dan ‘civic’ benar-benar melindungi dan memperjuangkan norma-norma demokratis. Dimana Organisasi Non-Pemerintah (ornop) atau dengan kata lain Non-Government Organization (NGO) selalu menjadi topik diskusi hangat terkait dengan ini. Ornop sering disebut dengan berbagai istilah seperti Organisasi NirLaba, Organisasi Non-Profit maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM)32. Dalam studi ini, penulis akan mempergunakan istilah ornop,33 dengan alasan karena istilah ini dirasakan terkesan lebih tegas menentukan sikap menyatakan diri tidak secara langsung berkaitan dengan pemerintah. Seperti yang dinyatakan oleh George Aditjondro (1993) bahwa istilah LSM mengesankan bahwa lembaga ini benarbenar merupakan lembaga masyarakat yang mandiri, padahal sebagian besar dana yang diperoleh berasal dari luar negeri. Hal ini diperkuat oleh pernyataan MM. Billah (1997:29)
yang menyebutkan bahwa istilah LSM
menjadi semacam alat untuk mengaburkan fungsi ornop yang sebenarnya yaitu sebagai institutsi yang harus berbeda dengan pemerintah.34 Ornop secara substansial berkaitan erat dengan gagasan dan praksis aksi masyarakat sipil. Karena ruang bagi partisipasi sebagai esensi dari konsep masyarakat sipil yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat mencakup asosiasi atau kelompok sosial seperti organisasi non-pemerintah, mahasiswa, organisasi keagamaan, petani, bahkan sektor bisnis. Organisasi yang merupakan entitas non-negara ini kemudian seringkali dianggap sebagai representasi demos35 dalam institusi masyarakat sipil (mengenai hal ini lihat gambar 1.2)
32
Perdebatan serius yang muncul sekitar tahun 70-an mengenai hubungan negara dengan organisasi masyarakat sipil berimplikasi pada penggunaan terminologi. Sebagian ingin menggunakan terminologi Organisasi Non-Pemerintah sebagai terjemahan Non_Governmental Organisation, namun sebagian lagi menolak karena menganggap terminologi tersebut mengandung nuansa politis yang kuat untuk anti terhadap pemerintah sehingga dikhawatirkan akan kontraproduktif untuk kerja-kerjanya, sehingga muncul terminology yang dianggap lebih halus yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat. Bahkan di tahun 90an, perbedaan istilah (Ornop, LSM, NGO, CSO) merupakan ekspresi ketegangan di antara kelompok-kelompok dominan dalam gerakan kemasyarakatan di Indonesia. 33 Beberapa istilah seperti LSM dan lainnya yang akan muncul kemudian, seolah memperlihatkan ketidakkonsistenan penulis dalam menggunakan istilah. Namun, alasan utamanya lebih dikarenakan bahwa penulis mengutip sesuai dengan sumber aslinya. 34 Dalam Ibrahim, Rustam (1997:29) 35 Demos di sini berarti rakyat, dalam bahasa Latin. Untuk membedakannya dengan nama ornop yang sering penulis jadikan rujukan untuk studi ini, maka penulis akan menggunakan huruf kapital untuk penulisan nama organisasi tersebut (DEMOS). Sedangkan penulisan untuk huruf non-kapital (demos) berarti rakyat.
18
Gambar 1.2 Towards an Inclusive Model for the Study of Democracy Oriented Representation
PUBLIC AFFAIRS Matters of common concern which may be governed in more or less public ways Institution for Private Governance
Institution for Civic Self-Governance
Auxiliary state institutions and Institutions for Sub-Contracted Public Governance
Institution for public goverment The Civil and Military Administration
The Judiciary and Police
The Political Executive
The Political Legislative at all levels
Institutions for participation/representation at all levels and in all sectors
In politically equal policy-making (input) and impartial implementation (output) Authorisation with mandate Accountability with transparency and responsiveness
Self-representation/ Direct participation
Representation via mediators
DEMOCRATIC REPRESENTATION
Political Society
Civic Society
• • •
Civic/NGOs Popular Organisations Civic ‘experts’ (media, academics. Cultural workers)
• • • •
Political Parties Politically related Interest organisations Pressure/lobby groups
Informal Leaders
• • • •
Patrons, fixers
Communal
associations
Clan
leaders
Popular
figures
Legitimated authority to represent various sections of the demos symbolically, descriptively and substantively
Symbolic Representation ‘Standing for’ : Belief, Identity
Descriptive Representation ‘Standing for’ : Territory, Community Groups
Substantive Representation ‘Acting for’ : Views, Ideas, Interest
PEOPLE/DEMOS
The articulated people: Social units, conflicts, cleavages and actors with capacities, interestsm ideas and positions on public matters Sumber : Tornquist, Stokke and Webster (forthcoming, page 12)
19
Konsep Ornop sebagai masyarakat sipil dapat ditelusuri dalam pemikiran Alexis de Tocqueville.36 Tocqueville mengidentifikasi empat kelompok yang terdiri dari organisasi keagamaan yang berpusat pada gereja, organisasi masyarakat lokal, organisasi ketetanggaan, perkumpulan, atau kelompok
persaudaraan
serta
organisasi
yang
terkait
dengan
kewarganegaraan. Organisasi sukarela (voluntary organisation) yang dibentuk oleh anggota masyarakat berdasarkan ‘suka sama suka’, disebutkan oleh Tocqueville, sangat penting artinya karena ini merupakan sumber demokrasi. Melalui asosiasi seperti itu, rakyat melakukan partisipasi politik. Selain mengontrol pemerintah, memobilisasi sumberdaya, menjalankan kegiatankegiatan dari dan untuk masyarakat, organisasi ini juga berfungsi sebagai lembaga perantara yang menghubungkan warga negara dengan pemerintah. Organisasi ini lah yang dalam perkembangannya disebut dengan organisasi non-pemerintah. Lebih jelasnya posisi ornop sebagai masyarakat sipil dan sebagai sektor tersendiri di samping sektor lain dapat dilihat pada gambar 1.1 Walaupun begitu keberadaan ornop tidak terlepas dari sistem politik, seperti yang dipaparkan oleh Affan Gaffar (1996:216). Berdasarkan pola relasinya dengan negara, maka terpetakan dua macam strategi yang sama sekali berbeda dari masing-masing pihak. Memperkuat pembahasan sebelumnya, digambarkan dalam situasi demokrasi telah berjalan maka umumnya ornop tidak dianggap menjadi ancaman oleh negara, bahkan dijadikan mitra karena perannya mengisi ruang publik dalam rangka pembentukan agenda publik. Namun sebaliknya, jika demokrasi belum berjalan baik, maka negara seringkali menganggap ornop sebagai ancaman. Seperti dijelaskan dalam tabel 1.2 Namun, perlu ditekankan bahwa berbicara mengenai ornop itu sendiri tidak bersifat tunggal namun harus dipahami bahwa ornop terdiri dari tipologi yang bervariasi. Berbagai studi dilakukan untuk memotret hal ini, seperti yang dipaparkan oleh David C. Korten (2001:5). Korten dalam studinya mejelaskan bahwa istilah organisasi non-pemerintah ini meliputi beragam organisasi, antara lain Organisasi Sukarela yang melakukan misi sosial, terdorong oleh suatu komitmen kepada nilai-nilai yang sama; Kontraktor Pelayanan Umum yang
berfungsi
sebagai
usaha nir-laba
36
Dalam Culla, Adi Suryadi (2006:71-72)
20
Tabel 1.2 Pola Hubungan Ornop dengan Negara Dimensi Ruang Politik Orientasi Isu
Strategi Ornop vis-a-vis Pemerintah/Negara Mempengaruhi agenda pembangunan, mengkritik dan mengajukan alternatif kebijaksanaan Finansial Memobilisasi dukungan dana, sehingga menjadi mandiri dan terlepas dari campur tangan dan pengawasan pemerintah Organisasional Menjaga kemandirian, menghindari campur tangan pemerintah dalam urusan administrasi, pembuatan keputusan, dan pelaksanaannya di lapangan Kebijaksanaan Mempengaruhi dialog dalam pembentukan kebijaksanaan dengan melakukan advokasi, guna meningkatkan kualitas lingkungan pembuatan kebijaksanaan Sumber : Afan Gaffar (1999:216)
Strategi Pemerintah/Negara vis-a-vis Ornop Menetapkan agenda dan prioritas pembangunan dan memonitor alternatif apa yang dapat diterima Membantu sumber keuangan ornop, mengatur dan menyetujui penggunaannya untuk pembangunan Membantu proses administrasi ornop, mengatur kegiatan, dan pelaksanaannya di lapangan
Membantu kebijaksanaan, melakukan dialog, mengatur akses kepada pembuatan keputusan, dan memelihara kontrol atas lingkungan pembuatan kebijaksanaan
berorintasi pasar untuk melayani kepentingan umum; Organisasi Rakyat yang mewakili kepentingan anggotanya, mempunyai pimpinan yang bertanggungjawab kepada anggota dan cukup mandiri; Lembaga Swadaya Masyarakat Pemerintah yang dibentuk oleh pemerintah dan berfungsi sebagai alat kebijakan pemerintah. Korten (2001: 187-215) juga mengkategorisasikan organisasi nonpemerintah berdasarkan pada strategi program pembangunan, dengan penekanan pada fungsi manajemen dan metodologi jaringan, sehingga didapat empat generasi ornop, yaitu ornop generasi pertama yang bersifat ‘bantuan’ dan ‘kesejahteraan’; ornop generasi kedua yang bersifat lokal ‘skala kecil’ dan ‘swadaya’; generasi ketiga ornop sebagai ornop pembangunan berkelanjutan’; serta ornop generasi keempat sebagai gerakan rakyat.37 Secara singkat perbandingan diantara keempatnya dapat dilihat pada Tabel 1.3
37 Catatan dari David C Korten dalam penkategorian ini, adalah sebagai berikut : Beberapa kritik mengungkapkan, dan menurut saya sangat tepat, bahwa sedikit sekali LSM yang murni termasuk dalam salah satu generasi atau lainnya. Banyak yang mempunyai berbagai program, beberapa diantaranya mungkin termasuk generasi ketiga. Biasanya lebih bermanfaat untuk menggolongkan suatu strategi-strategi program tertentu menurut skemanya daripada mencoba menggolongkan sebuah LSM secara keseluruhan seakan-akan mempunyai strategi generasi tertentu. Hal lain yang mendapat kecaman juga adalah penggunaan istilah ‘generasi’ atas dasar bahwa istilah itu menyiratkan adanya orientasi strategi yang lebih baik atau lebih maju daripada lainnya. Para pengecam berpendapat bahwa ketiga jenis program itu diperlukan, dan bahwa sebuah skema untuk mengklarifikasi strategi program alternatif tidak boleh mengandung penilaian baik-buruk secara tersirat.
21
Dari tabel tersebut, dalam dunia nyata memang terkadang sulit menegaskan batas yang jelas antara ornop (baik generasi I, II maupun III) dengan gerakan rakyat. Pratap dan Wallgren (2002:109) membantu merumuskan ciri yang umumnya dimiliki ornop sebagai perbedaan umum yang nyata. Ciri tersebut adalah : (i) pengakuan hukum oleh negara; (ii) anggaran dasar tertulis; (iii) prosedur formal untuk pengambilan keputusan dan pembagian kekuasaan eksekutif; (iv) tujuan yang ditentukan secara jelas; dan (v) keanggotaan yang jelas. Masih dari sumber yang sama, gerakan rakyat lebih dimaknai sebagai beberapa orang pada saat yang sama, dengan alasan yang sama dan untuk tujuan yang sama melakukan tindakan mempengaruhi negara, pasar dan kehidupan sosial. Berbeda dengan ornop, gerakan rakyat seringkali memiliki organisasi dan identitas sosial yang disadari, dan seringkali dipahami ketika telah menjadi bagian dari masa lalu. Tabel 1.3 Strategi LSM Berorientasi Pembangunan Generasi I-IV Generasi I Bantuan Peringanan dan Kesejahteraan
Generasi II Pembangunan Masyarakat
Kekurangan
Kelambanan Lokal
Generasi III Pembangunan Sistem Berkelanjutan Hambatan Institusional
Segera
Seumur Proyek
10 - 20 Tahun
Perorangan atau Keluarga
Satu RT atau Kampung
Wilayah atau Negara
LSM
LSM dan Masyarakat
Semua Pranata Umum dan Swasta yang Relevan
Peran LSM
Pelaku
Penggerak
Katalisator
Orientasi Manajemen
Manajemen Logistik
Manajemen Proyek
Manajemen Strategis
Anak-anak yang Kelaparan
Masyarakat Swasembada
Pranata dan Kebijakan yang Menghambat
Definisi Masalah Kerangka Waktu Ruang Lingkup
Pelaku Utama
Pendidikan Pembangunan
Generasi IV Gerakan Rakyat Visi Mobilisasi Tidak Memadai Masa depan tidak terbatas Nasional atau Global Jaringan Orang dan Organisasi yang dirumuskan secara bebas Jaringan Aktivitas Pendidikan Swakelola yang mempersatukan dan memberi kekuatan Pesawat Angkasa Bumi
Sumber: David C Korten (2001: 191)
Korten menanggapi ini dengan menekankan bahwa tiap generasi cocok untuk suatu kebutuhan penting dan mempunyai tempatnya di dalam keluarga LSM, sama seperti generasi-generasi dalam keluarga manusia. Namun, Korten tidak meninggalkan penggunaan istilah generasi. Secara jujur, Korten mengakui bahwa dia memang berpihak. Karena dia percaya bahwa masa depan pembangunan, barangkali pembangunan sebuah paguyuban global, tergantung pada kesediaan lebih banyak LSM untuk memakai dengan berani dan efektif strategi tipe generasi ketiga dan keempat seperti yang dibahas dalam bab ini, daripada seperti keadaannya sekarang. Lengkapnya lihat David C Korten (2001:189)
22
Lain halnya dengan Philip Eldrige (1989;1995) yang mendasarkan pandangannya pada orientasi ornop terhadap mobilisasi populer dan hubungannya dengan pemerintah, sehingga diperoleh tiga tipologi, yaitu Pertama, High Level Partnership atau dilabeli dengan Ornop Pembangunan yang berciri partisipatif, berkaitan dengan upaya pembangunan konkrit di level bawah ketimbang yang bersifat advokasi, programnya seringkali mendukung program pemerintah, tidak terlalu berminat pada hal-hal yang bersifat politis serta umumnya berorientasi lokal. Kedua, High Level Politics atau dilabeli dengan Ornop Mobilisasi yang berciri berorientasi pada mobilisasi di tingkat bawah, cenderung aktif dalam kegiatan politik terutama dalam upaya peningkatan kesadaran politik rakyat serta tidak mudah untuk bekerjasama dengan pemerintah walaupun seringkali terlibat dalam program-program pemerintah. Ketiga, Empowerment from Below yang berciri lebih memusatkan perhatiannya pada upaya pemberdayaan masyarakat, tidak terlalu berminat untuk berinteraksi dengan pemerintah serta percaya bahwa perubahan bukan sesuatu yang dibawa pemerintah. Perubahan hanya akan didapat bila kapasitas masyarakat meningkat. Singkatnya dapat dilihat pada tabel 1.4 Tabel 1.4 Tipologi Ornop Berdasarkan Model Hubungannya dengan Negara
Kerjasama dengan Program Pemerintah Pembangunan atau Mobilisasi? Penetrasi Negara Hubungan antara Kelompok kecil dan Ornop Orientasi dengan Negara
Memusatkan Perhatian
High Level Partnership (Ornop Pembangunan)
High Level Politics (Ornop Mobilisasi)
Empowerment from Below
Ya
Terbatas
Tidak
Pembangunan
Mobilisasi
Mobilisasi
Tinggi
Medium
Rendah
Semi Independen
Saling Dukung
Otonom
Bergantung
Akomodatif
Perubahan Keadaan
Pada pengembangan masyarakat yang konvensional seperti irigasi, air minum, pertanian, peternakan, kerajinan, dll
Pada pendidikan, dan mobilisasi masyarakat miskin, isu ekologis, perempuan, hak-hak hukum, HAM, dll
Sumber: Phillip Eldrige (1989;1995)
23
Berbeda dengan Eldridge, Billah (1996:174-182) membedakan dua tipologi ornop atas dasar pandangan ornop dalam relasi negara-masyarakat. Tipologi pertama adalah ornop yang menganut pandangan organic stateism atau coorporate stateism, yakni pandangan yang memandang negara sebagai sesuatu yang otonom, atau hampir sepenuhnya otonom, yang memainkan peran sentral dalam masyarakat. Dalam tipologi ini, terdapat dua macam ornop yakni ornop yang memandang dirinya sebagai bagian integral dari pemerintah atau sering disebut mitra pemerintah, serta ornop yang berperan sebagai mediator antara pemerintah dengan masyarakat. Tipologi kedua adalah ornop yang menganut sudut pandang liberalis-pluralis, yaitu pandangan yang menyatakan bahwa masyarakat dibentuk oleh individu yang mengejar kesejahteraan ekonomi, status sosial dan kekuasaan masingmasing. Dalam tipologi ini juga terdapat dua macam ornop yaitu ornop yang secara jelas dan konsisten berpihak kepada rakyat dalam menghadapi negara atau sering disebut pendamping rakyat, serta ornop yang mengintegrasikan diri dengan rakyat atau sering disebut kelompok basis. 38 Sedangkan
Mansour
Fakih
(1996:122),
mengkategorikan
ornop
berdasarkan pandangan aktivis ornop itu sendiri dalam mendefinisikan masalah-masalah rakyat dan implikasinya kepada program aksi, sehingga membaginya menurut tiga paradigma ornop, yaitu konformisme, reformis dan transformatif. Konformisme, dicirikan dengan bekerja menyesuaikan struktur yang ada, motivasi program dan aktifitasnya cenderung karikatif atau menolong rakyat yang membutuhkan bantuan, serta tidak terlalu menghiraukan persoalan dasar atau mempertanyakan mengapa banyak orang miskin, mengapa muncul persoalan-persoalan sosial, dan lain sebagainya.
Reformis
dicirikan
dengan
kental
dipengaruhi
developmentalisme dan modernisme, dimana pada dasarnya ornop tersebut menerima pembangunan, hanya metodologinya yang disesuaikan menjadi partisipatif. Selain itu, melihat keterbelakangan sebagai persoalan mentalitas dan nilai-nilai, dan inilah yang menjadi pangkal kelemahan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Paradigma yang ketiga yaitu transformatif, dicirikan dengan ornop yang yakin bahwa persoalan dilahirkan dari diskursus pembangunan itu sendiri, sehingga selalu mempertanyakan persoalan ideologis dibalik modernisme dan pembangunanisme. Kemudian
38
Dalam Suharko (2005:19)
24
ornop ini berupaya menemukan paradigma alternatif yang menyebabkan persoalan-persoalan
sosial,
ekonomi
dan
politik.
Untuk
selanjutnya
mewujudkan perubahan melalui pendidikan politik untuk membangkitkan kesadaran kritis rakyat. Kategorisasi yang disebutkan ini diakui kadangkala menghasilkan arogansi-arogansi tersendiri bagi ornop-ornop yang memiliki pelayanan advokasi kebijakan, pendidikan kritis dan pendidikan popular. Anders Uhlin (1997) secara berbeda mengkategorikan gerakan prodemokrasi, dimana termasuk sebagian besar di dalamnya adalah ornop, berdasarkan preferensi ideologis tertentu yang sangat beragam sehingga menjadi empat karakteristik dasar yaitu radikal, liberal, konservatif dan Islam.
Sedangkan
Bonnie
Setyawan
(1996)
melihatnya
berdasarkan
periodisasi dan kaitannya dengan gerakan mahasiswa, yaitu : ornop developmentalisme ke ornop perjuangan demokrasi dan masyarakat sipil Beragamnya, studi mengenai ornop yang menghasilkan berbagai terminologi, tipologi maupun pengkategorisasian, menunjukkan bahwa ornop telah menjadi bagian penting dari perkembangan kehidupan masyarakat sipil di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Ornop memang sebuah entitas publik yang unik, dimana dia lahir dari ruang-ruang demokrasi
dan
memiliki
menggunakan
alat-alat
demokrasi
untuk
menjalankan misinya.39 Peran yang semakin signifikan ini berdampak pada ‘meledak’nya pertumbuhan ornop baik di tingkat internasional maupun lokal sebagai agen perubahan.40 Seperti yang disebutkan oleh Lester Salamon, seorang scholar dari Amerika yang menyebutkan bahwa peran ornop di abad 21 akan menjadi signifikan seperti peran negara-bangsa di abad 20.
1.5
Metode Penelitian
1.5.1
Lingkup Studi (Periodisasi) Penelitian ini akan melihat pada tiga periode, sebagai ruang lingkup,
yang meliputi :
39
Ginting, Loenggena, Penggalangan Dana Bagi Perubahan Sosial, dalam Jurnal WACANA (2004) 40 Edwarda (2001:9) dalam Suharko (op.cit:1) mencatat bahwa dari sejumlah 176 NGO internasional tahun 1909, terlah berkembang hingga mencapai 28.900 menjelang tahun 1993, dimana 90%nya dibentuk dalam tiga dekade terakhir.
25
1. Masa awal terbentuknya organisasi Pancur Kasih yang terkonsolidasi dengan baik pada rejim otoritarian Orde Baru (tahun 1980 – 1998) 2. Masa transisi demokrasi yang ditandai dengan reformasi dan awal desentralisasi (tahun 1998 – 2002) 3. Masa setelah reformasi, tepatnya sejak organisasi memutuskan secara serius dengan mencurahkan segenap sumberdayanya untuk ’Going Politics’ sampai dengan tahun 2008 ( tahun 2002- 2008)
1.5.2
Sifat Studi Pendekatan yang digunakan sebagai metode penelitian dalam hal ini
bersifat kualitatif. Dengan demikian, penelitian yang dilakukan bertujuan untuk melukiskan, membaca serta menginterpretasikan makna-makna dari berbagai fenomena yang terjadi. Sebagai studi kasus, penelitian ini hendak menggambarkan keutuhan (wholeness) dari sasaran yang diteliti. Oleh karenanya, data dan informasi yang dikumpulkan dalam rangka studi kasus tersebut dipelajari sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi dan mendalam untuk kemudian dinarasikan secara deskriptif.
1.5.3
Lokasi Studi Lokasi penelitian dilakukan di Kalimantan Barat di mana merupakan
locus dari dinamika Gerakan Pancur Kasih. Detail, seperti rekonstruksi peristiwa di masa lalu, banyak digambarkan terutama untuk lokasi seperti Sekadau karena di lokasi ini energi terbesar Gerakan Pancur Kasih dicurahkan dibantu oleh organisasi non-pemerintah lainnya baik pada level lokal, nasional maupun internasional.
1.5.4
Lingkup Analisis Lingkup analisis dalam penelitian ini adalah organisasi non-
pemerintah yang berada dalam naungan Gerakan Pancur Kasih seperti PEK (Pengembangan Ekonomi Kerakyatan), LBBT (Lembaga Bela Banua Talino), PPSDAK (Pemberdayaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kerakyatan), PPSHK KalBar (Program Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan Kalimantan
26
Barat),
ID
(Institut
Dayakologi),
KR
(Kalimantan
Review),
POR
(Pemberdayaan Otonomi Rakyat), AMA Kalbar (Aliansi Masyarakat Adat Kalimantan Barat), SEGERAK (Serikat Pemberdayaan Masyarakat Dayak), GRPK (Gerakan Rakyat Pemberdayaan Kampung), PENTIS (Pendidikan Kritis), KPD (Koperasi Serba Usaha Pancur Dangeri), dll. Selain itu, sebagian besar organisasi non-pemerintah yang berada di luar Gerakan Pancur Kasih (baik di level lokal, nasional maupun internasional) yang turut menjadi pemangku kepentingan, karena bekerja wilayah terkait dan memberikan kontribusi baik pemikiran maupun sumberdaya lainnya yang tidak kecil dalam dinamika aksi masyarakat sipil di Kalimantan Barat. Dalam hal ini unit analisis diwakili oleh AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), PERGERAKAN, KARSA (Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria), JKPP (Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif),
Termasuk
juga beberapa organisasi rakyat yang muncul dan tumbuh di wilayah ini, yang diwakili oleh KKMA (Kelompok Kerja Masyarakat Adat), JPMEKS (Jaringan Penguatan Masyarakat Adat Eks Kewedanan Sekadau), PUSAKA (Pusat Advokasi Kampung), STADDES (Serikat Tani Adat Dayak Desa), LKBM
(Lembaga
Ketemenggungan
Bonua
Mayao),
SSMKA
(Ketemenggungan Sepan Sungan Marek Kelampai Ayau). Penulis sengaja memfokuskan diri kepada orang-orang yang terlibat dalam organisasi-organisasi di atas, dengan pertimbangan bahwa seluruh dinamika Gerakan Pancur Kasih, terutama pilihan sikap dan aksinya, terkait erat dengan seluruh aktivis41 yang mengabdikan dirinya dalam organisasiorganisasi tersebut.
1.5.5
Teknik Pencarian, Jenis dan Sumber data Pencarian dan pengumpulan data dan informasi dalam penelitian ini
ditempuh melalui kajian pustaka/dokumen, wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap beberapa narasumber yang bersangkutan, Focus Group Discussion (FGD) dengan beberapa pemangku kepentingan, serta kuesioner. Keseluruhan bentuk teknik pengumpulan data dan informasi ini dilakukan
41
Penggunaan kata ‘aktivis’ dalam studi ini, mengacu pada orang-orang yang bekerja atau mengabdikan dirinya pada organisasi non pemerintah atau gerakan. Hal ini perlu ditekankan, mengingat beragamnya terminologi dari istilah aktivis seperti juga sebagian partai politik terkadang menyebut beberapa orang di dalamnya juga sebagai aktivis politik.
27
guna bisa saling melengkapi satu dengan yang lain manakala dipandang perlu mendalami peristiwa yang terjadi sehigga didapatkan pemahaman yang cukup untuk mengungkapkan bangun logika atas fenomena yang diteliti. Sementara jenis dan sumber data yang digunakan adalah: 1. Data
Primer,
merupakan
data
yang
didapat
dari
sumber
informan/narasumber pertama yaitu individu/perseorangan42 dan kelembagaan. Sejak terlibat dengan organisasi KARSA yang menjadi salah satu pendukung Gerakan Pancur Kasih, penulis berhasil mengumpulkan data primer (berupa rekaman wawancara mendalam, rekaman proses FGD, kuesioner, tulisan/artikel dari aktor-aktor Gerakan Pancur Kasih, rekam jejak perjalanan seperti notulen pertemuan-pertemuan, gambar, dan lain sebagainya), baik yang dikumpulkan oleh penulis sendiri maupun dari pihak-pihak lain yang kurang lebih memiliki peran dalam menciptakan demokrasi yang lebih bermakna di wilayah studi. 2. Data sekunder, merupakan data primer yang sudah diolah lebih lanjut dan disajikan oleh pihak lain, seperti hasil penelitian. Beberapa hasil penelitian-penelitian relevan yang akan digunakan sebagai sumber utama untuk data pada studi ini diantaranya adalah : • Penelitian yang dilakukan oleh R. Yando
Zakaria dan Hendro
Sangkoyo pada tahun 2003 mengenai evaluasi POR (Pemberdayaan Otonomi
Rakyat)
dan
SEGERAK
(Serikat
Pemberdayaan
Masyarakat Dayak) yang menjadi landasan utama ‘going politics’ GPK berbasis riset • Penelitian yang dilakukan oleh penulis dan Dianto Bachriadi pada tahun 2003 mengenai evaluasi upaya penguatan prakarsa perbaikan syarat-syarat sosial-ekologis di Sanggau-Sekadau • Hasil asesmen dari pelajaran advokasi di Sanggau yang disusun oleh Mina Susana Setra dan Diding pada tahun 2003 di bawah program pembelajaran advokasi PERGERAKAN
42
Atas permintaan informan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dari hasil wawancara, maka beberapa nama dirahasiakan.
28
• Studi Evaluasi : Cacat-cacat PILKADAL di Sekadau yang ditulis oleh AMAN pada tahun 2006 yang mengambarkan pembelajaran penting selama proses keikutsertaan GPK dalam proses pemilihan kepala daerah langsung di Sekadau • Hasil penelitian PERGERAKAN pada tahun 2006 mengenai
‘Menemukan
Rakyat
Terkonsolidasi
:
Pergulatan
Politik
dalam
PILKADA
2006
di
Kabupaten
Sekadau’
and
‘Refleksi
Pengalaman
PILKADA
di
Beberapa
Wilayah
:
Upaya
Besar‐besaran
yang
Lain
Lebih
Kuat’. • Hasil
penelitian
R.Yando
Zakaria,
Demografi
Politik
Gerakan
Pancur
Kasih
yang
dilakukan
pada
tahun
2008
sebagai
interpretasi
dari
kuesioner
yang
disebarkan
kepada
277
responden
yang
terdiri
dari
aktivis
ornop
non‐CU
(Credit
Union),
aktivis
CU
(Credit
Union),
penerima
layanan
dan
non‐penerima
layanan.
Dengan
pertanyaan
seputar
sikap
mereka
terhadap
apa
yang
telah
dilakukan
GPK
di
wilayah
politik,
persepsi
mereka
tentang
apa
yang
akan
dilakukan
oleh
GPK
serta
masukan
untuk
potensi
pengembangan
dan
transformasi
yang
dapat
dilakukan
di
masa
yang
akan
datang
untuk
GPK.
1.5.6
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Keseluruhan data dan informasi yang didapatkan selanjutnya diolah dan dianalisis secara deskriptif kualitatif melalui reduksi data, penyajian secara logis dan sistematis, serta kemudian menyimpulkannya secara induktif.
1.6
Sistematika Penulisan Dalam studi ini, penulisan dimulai dengan
Pendahuluan, yang
menjelaskan latar belakang, permasalahan yang kemudian melahirkan pertanyaan besar yang melandasi studi, tujuan studi termasuk relevansinya dengan kajian demokrasi dan hak asasi manusia, kerangka pemikiran studi serta metode penelitian (meliputi periodisasi yang dibangun sebagai lingkup studi, sifat studi, lokasi, skope analisis, teknik pencarian, jenis dan sumber data berikut dengan teknik pengolahan dan analisis data)
29
Selanjutnya, pada Bab II, akan diuraikan dinamika masyarakat sipil termasuk konteks yang mewarnainya di Indonesia, masyarakat politik termasuk relasinya dengan masyarakat sipil di Indonesia, serta dinamikanya di Kalimantan Barat khususnya sebagai setting awal studi. Bab III, menggambarkan dalam sejarah cikal bakal dari GPK periode 1980 - 1998, sejak dibentuk sebagai organisasi charity sampai kemudian melahirkan berbagai lembaga dan program/unit kegiatan dengan visi mengangkat harkat dan martabat orang Dayak serta menegaskan diri sebagai gerakan sosial. Keseluruhan pilihan aksinya yang mengalami perluasan baik berupa
penelitian,
advokasi,
publikasi,
revitalisasi
hukum,
promosi
pengetahuan lokal, pemetaan partisipatif, pendidikan kritis, dll erat dipengaruhi oleh konteks di masa itu dimana rejim otoritarian didukung oleh kapital atas pengamanan militer sangat represif dan eksploitatif melakukan penindasan terhadap masyarakat Dayak, sehingga semakin-hari mereka semakin terpinggirkan. Kemudian pada bagian selanjutnya yaitu Bab IV, akan dikisahkan proses transformasi GPK untuk ‘going politics’ pada masa transisi demokrasi melalui momentum reformasi dan terbukanya ruang desentralisasi. Pelajaran penting ditemui ketika GPK berusaha memanfaatkan pintu masuk yang tercipta dari situasi politik ini untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat Dayak. Ketiadaan political will dari struktur politik formal yang ada menyebabkan aksi-aksi GPK menemui kebuntuan. Pada akhirnya, atas dukungan melalui berbagai diskusi dengan jaringannya di tingkat nasional, GPK memutuskan bertransformasi untuk masuk ke gerakan politik agar dapat menumbuhkan ‘will’ itu dari struktur politik formal. GPK mulai mencoba merumuskan visi politiknya dan mulai mengerahkan seluruh seluruh sumberdaya yang ada dalam gerakan. Bab
berikutnya
menceritakan
beberapa
kasus
kegagalan
dari
eksperimen GPK, yang mengerahkan segenap sumberdaya (manusia, waktu, uang, dll) yang tidak sedikit, diantaranya dalam pilkada Bupati Sekadau 2005, pilkada Gubernur Kalimantan Barat 2007. Keseluruhan eksperimen tersebut membawa pelajaran penting bagi gerakan. Bahkan pilihannya ‘Going Politics’ pun menjadi penyulut dari semakin menjadinya ‘Going Conflicts’ baik
30
di internal gerakan maupun eksternal yang dapat menjadi ancaman di masa yang akan datang. Pada akhirnya, dalam bagian penutup penulis akan menuliskan beberapa pelajaran sebagai temuan studi yang akan digunakan sebagai bahan pembelajaran baik untuk Gerakan Pancur Kasih pada khususnya maupun organisasi masyarakat sipil pada umumnya di masa transisi demokrasi dalam negara ini.
31