1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
No.942/MENKES/SK/VII/2003, makanan jajanan adalah makanan dan minuman yang diolah oleh pengrajin makanan di tempat penjualan dan atau disajikan sebagai makanan siap santap untuk dijual bagi umum selain yang disajikan jasa boga, rumah makan atau restoran. Makanan jajanan tersebut berperan dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan energi karena aktivitas fisik di sekolah yang tinggi (apalagi bagi anak yang tidak sarapan pagi) dan meningkatkan perasaan gengsi anak pada teman-temannya di sekolah (Khomsan, 2003). Penampilan makanan jajanan termasuk warnanya, sangat berpengaruh untuk menggugah selera, biasanya ditambahkan bahan pewarna pada makanan dengan tujuan membuat makanan lebih menarik. Pewarna makanan tradisional menggunakan bahan alami, misalnya kunyit untuk warna kuning, daun suji untuk warna hijau dan daun jambu atau daun jati untuk warna merah. Pewarna alami ini aman dikonsumsi namun mempunyai kelemahan yakni ketersediaan bahannya yang terbatas dan warnanya tidak homogen sehingga tidak cocok digunakan industri makanan dan minuman (Syah, 2005). Kemajuan teknologi pangan memungkinkan zat pewarna dibuat secara sintesis. Dalam jumlah sedikit, suatu zat kimia bisa memberikan warna yang stabil pada produk pangan. Produsen dapat menggunakan banyak pilihan warna untuk menarik minat calon konsumen (Syah, 2005). Tidak semua zat pewarna sintetis aman dikonsumsi manusia. Beberapa diantaranya telah terbukti menimbulkan dampak bagi kesehatan seperti mempunyai efek racun, berisiko merusak organ tubuh dan berpotensi memicu kanker. Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Kesehatan RI No.239/Menkes/Per/V/85 menetapkan 30 zat pewarna tertentu yang dinyatakan berbahaya. Bahan-bahan pewarna tersebut seperti rhodamin-B dan kuning metanil dilarang penggunaannya di Indonesia.
2
Beberapa bahan pewarna sintesis lainnya seperti karmoisin, ponceau 4R, kuning FCF, dan tartazin dapat digunakan di Indonesia dengan tidak melewati nilai ambang batas tertentu. Hal tersebut diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan
RI
No.722/MenKes/Per/IX/1988.
Dalam
upaya
pengawasan
penggunaan pewarna sintetis tersebut, maka pada penelitian kali ini dilakukan serangkaian pengujian yaitu uji kualitatif dengan metode Kromatografi Lapis Tipis sesuai dengan SNI-01-2895-1992 dan uji kuantitatif secara spektrofotometri UV-Vis.
1.2 Identifikasi Masalah Masyarakat Kecamatan Cisarua Bogor terutama anak-anak gemar mengkonsumsi makanan jajanan dengan warna yang mencolok. Warna merah, jingga dan kuning dalam makanan jajanan tersebut diduga mengandung pewarna sintetis. Penggunaan Rhodamin-B dan kuning metanil dilarang di Indonesia karena berbahaya. Zat warna sintetis lain seperti karmoisin, ponceau 4R, kuning FCF dan tartrazin, diperbolehkan namun diawasi penggunaannya agar tidak melewati batas maksimum sesuai lampiran 5 Peraturan Menteri Kesehatan RI No.722/MenKes/Per/IX/1988 (lampiran 1)
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk 1. Identifikasi adanya pewarna sintetis pada makanan jajanan yang tersebar di kawasan kecamatan Cisarua Bogor dengan metode kromatografi lapis tipis (KLT) 2. Menentukan kadar karmoisin, Ponceau 4R, kuning FCF dan tartrazin dengan metode Spektrofotometri UV-Vis.
1.4 Hipotesis Makanan jajanan diduga mengandung bahan pewarna sintetis baik yang dilarang maupun yang diperbolehkan. Beberapa makanan jajanan diduga mengandung pewarna sintetis melewati batas maksimum yang diperbolehkan.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Makanan Jajanan Makanan adalah hasil dari proses pengolahan suatu bahan pangan yang dapat diperoleh dari hasil pertanian, perkebunan, perikanan dan adanya teknologi (Moertjipto, 1993). Makanan dalam ilmu kesehatan adalah setiap substrat yang dapat dipergunakan untuk proses di dalam tubuh terutama untuk membangun dan memperoleh tenaga bagi kesehatan sel tubuh. Menurut
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
No.942/MENKES/SK/VII/2003, makanan jajanan adalah makanan dan minuman yang diolah oleh pengrajin makanan di tempat penjualan dan atau disajikan sebagai makanan siap santap untuk dijual bagi umum selain yang disajikan jasa boga, rumah makan atau restoran. Makanan jajanan menurut FAO didefisinikan sebagai makanan dan minuman yang dipersiapkan dan dijual oleh pedagang kaki lima di jalanan dan di tempat keramaian umum lain yang langsung dimakan atau dikonsumsi tanpa pengolahan atau persiapan lebih lanjut (Judarwanto, 2008). Makanan jajanan termasuk dalam kategori pangan siap saji yaitu makanan dan minuman yang dijual untuk langsung dikonsumsi tanpa proses pengolahan lebih lanjut. Ragam pangan jajanan antara lain: bakso, mie goreng, snack, burger, dan ragam pangan jajanan lainnya (Direktorat Perlindungan Konsumen, 2006).
2.1.1 Jenis Makanan Jajanan Jenis makanan jajanan menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi dalam Mariana (2006) dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu: Makanan jajanan yang berbentuk panganan, seperti kue kecil-kecil, pisang goreng dan sebagainya. Makanan jajanan yang diporsikan seperti bakso dan sebagainya. Makanan jajanan yang berbentuk minuman, seperti es krim, es campur dan sebagainya
4
2.1.2 Peranan Makanan Jajanan Makanan yang dikonsumsi di pagi hari akan mengganti zat tenaga dan zatzat lainnya yang telah digunakan semalaman oleh tubuh. Disamping sebagai cadangan makanan yang disimpan dalam tubuh selama jam sekolah kandungan zat gizi yang diperoleh dari makanan pagi tersebut akan menurun. Untuk mengatasi hal tersebut dapat diperoleh dengan mengkonsumsi makanan jajanan. Bagi anak sekolah makanan memegang peranan penting dalam memenuhi kecukupan gizi, terutama energi. Peranan makanan jajanan bagi anak sekolah antara lain Merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan energi karena aktivitas fisik di sekolah yang tinggi (apalagi bagi anak yang tidak sarapan pagi). Pengenalan berbagai jenis makanan jajanan akan menumbuhkan penganekaragaman pangan sejak kecil. Meningkatkan perasaan gengsi anak pada teman-temannya di sekolah (Khomsan,2003).
2.1.3 Jajanan Makanan yang Sehat Menurut Srikandi dalam Marlina (2003), masalah makanan jajanan di Indonesia umumnya terjadi karena pengolahan dan penyajiannya yang tidak higienis. Biasanya diproduksi dan dijual dalam kondisi yang kurang baik sehingga sering terkontaminasi oleh mikroorganisme dan hal ini dapat menimbulkan berbagai penyakit. Makanan sehat selain mengandung zat gizi yang cukup dan seimbang juga harus aman, yaitu bebas dari bakteri, virus, parasit, serta bebas dari pencemaran zat kimia. Makanan dikatakan aman apabila kecil kemungkinan atau sama sekali tidak mungkin menjadi sumber penyakit atau yang dikenal sebagai penyakit yang bersumber dari makanan (foodborne disease). Oleh sebab itu, makanan harus dipersiapkan, diolah, disimpan, diangkut dan disajikan dengan serba bersih dan telah dimasak dengan benar.
5
Makanan jajanan yang sehat dan aman adalah makanan jajanan yang bebas dari bahaya fisik, cemaran bahan kimia dan bahaya biologis (Direktorat Perlindungan Konsumen, 2006). Bahaya fisik dapat berupa benda asing yang masuk ke dalam pangan, seperti isi stapler, batu/kerikil, rambut, kaca. Bahaya kimia dapat berupa cemaran bahan kimia yang masuk ke dalam pangan atau karena racun yang sudah terkandung di dalam bahan pangan, seperti: cairan pembersih, pestisida, cat, jamur beracun. Bahaya biologis dapat disebabkan oleh mikroba patogen penyebab keracunan pangan, seperti: virus, parasit, kapang, dan bakteri.
2.2 Bahan Tambahan Pangan Bahan tambahan pangan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1168/Menkes/PER/X/1999 adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan dan penyimpanan. Tujuan penggunaan bahan tambahan pangan adalah dapat meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan. Bahan tambahan pangan yang digunakan hanya dapat dibenarkan apabila, tidak digunakan untuk menyembunyikan atau menutupi penggunaan bahan yang salah atau yang tidak memenuhi persyaratan dan tidak digunakan untuk menyembunyikan cara kerja yang bertentangan dengan cara produksi yang baik untuk pangan serta tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan bahan pangan (BPOM, 2003). Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang diizinkan penggunaannya antara lain antioksidan, antikempal, pengatur keasaman, pemanis buatan, pemutih, pengental, pengawet, pengeras, pewarna, penyedap rasa dan sekuestran (Cahyadi, 2008). Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang sering digunakan adalah pemanis buatan, pewarna dan pengawet (BPOM, 2003).
6
2.3. Bahan Pewarna Penambahan bahan pewarna pangan dilakukan untuk beberapa tujuan, yaitu untuk memberi kesan menarik bagi konsumen, menyeragamkan warna makanan, menutupi perubahan warna selama proses pengolahan dan mengatasi perubahan warna selama penyimpanan (BPOM, 2003). Bahan pewarna dibagi menjadi dua kelompok yaitu uncertified color dan certified color. Uncertified color adalah bahan pewarna yang berasal dari bahan alami. Bahan pewarna makanan alami atau uncertified color adalah bahan warna (pigmen) yang diperoleh dari tumbuhan, hewan atau dari sumber-sumber mineral. Bahan warna ini sejak dahulu digunakan sebagai pewarna makanan dan sampai sekarang umumnya penggunaannya dianggap lebih aman daripada bahan warna sintetis. Certified color merupakan bahan pewarna sintetis yang diijinkan penggunaannya dalam makanan (Tabel 1).
Tabel 1. Bahan Pewarna Sintetis yang Diperbolehkan di Indonesia Pewarna
(C.I.No)
Batas Maksimum Penggunaan
Amaranth: CI Food Secukupnya 16185 Red 9 Brilliant blue FCF : Secukupnya Biru berlian 42090 CI Food red 2 45430 Secukupnya Eritrosin Eritrosin : CI Hijau FCF Food red 14 Fast 42053 Secukupnya green FCF : CI Food green 3 44090 Hijau S Secukupnya Green S : CI. Food Green 4 73015 Indigotin Secukupnya Indigotin : CI.Food Blue I 16255 Ponceau 4R Secukupnya Ponceau 4R : CI Kuning Food red 7 74005 Secukupnya Quineline yellow 15980 Kuinelin Secukupnya CI. Food yellow 13 Sunset yellow FCF Kuning FCF Secukupnya CI. Food yellow 3 Riboflavina Riboflavina 19140 Secukupnya Tartrazine Tartrazine Secukupnya Sumber: Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/88 Amaran
7
Tabel 2. Bahan Pewarna Sintetis yang Dilarang di Indonesia Bahan Pewarna
Nomor Indeks Warna (C.I.No)
Citrus Red No.2
12156
Ponceau 3R
(Red G)
16155
Ponceau SX
(Food Red No. 1)
14700
Rhodamine B
(Food Red No. 5)
45170
Guinea Green B
(Acid Green No.3)
42085
Magenta
(Basic Violet No. 14)
42510
Chrysoidine
(Basic Orange No. 2)
11270
Butter Yellow
(Solvent Yellow No.2)
11020
Sudan I
(Food Yellow No.2)
12055
Methanil Yellow
(Food Yellow No. 14)
13065
Auramine
(Ext. D & C Yellow No. 1)
41000
Oil Oranges SS
(Basic Yellow No. 2)
12100
Oil Oranges XO
(Solvent Oranges No.7)
12140
Oil Yellow AB
(Solvent Oranges No. 5)
11380
Oil Yellow OB (Solvent Oranges No. 6) 11390 Sumber: Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/88
2.3.1 Persyaratan Bahan pewarna Zat warna sintetik yang penggunaannya diizinkan adalah zat warna yang telah diuji prosedur penggunaannya yang disebut proses sertifikasi yang meliputi pengujian kimia, biokimia, toksikologi, dan analisis media terhadap zat warna tersebut. Menurut Triana (2002), zat warna yang digunakan harus memenuhi syarat sebagai berikut: Dalam jumlah yang harus aman, tidak berrbahaya bagi kesehatan. Toksisitasnya rendah dan tidak bersifat karsinogenik Memenuhi syarat mutlak kemurnian yang ditetapkan Mudah diperiksa secara kualitatif dan kuantitatif
8
Stabil terhadap pengaruh cahaya, kelembapan, zat pengoksidasi atau pereduksi, terhadap perubahan pH, tahan terhadap pemanasan sampai suhu 110 oC dan selama penyimpanan tidak boleh luntur Dapat larut dalam air (termasuk pewarna dye) dan minyak (untuk pewarna lake) dan mudah dipakai atau dicampur dengan bahan yang akan diwarnai Harus mudah dibuat warna standar agar timbul variasi warna Tidak boleh bereaksi dengan produk pengemas yang dipakai Tidak memberikan rasa dan bau yang dapat mengurangi selera konsumen Harganya murah, mudah didapat, mempunyai kekuatan yang besar untuk mewarnai
2.3.2 Efek Bahan Pewarna Terhadap Kesehatan Sejumlah makanan yang kita konsumsi tidak mengandung zat berbahaya menurut daftar zat warna yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/IX/88). Namun demikian, penggunaan pewarna tersebut hendaknya dibatasi karena meskipun relatif aman, penggunaannya dalam jumlah yang besar tetap dapat membahayakan kesehatan masyarakat. Menurut Cahyadi (2008), zat warna diabsorbsi dari dalam saluran pencernaan makanan dan sebagian dapat mengalami metabolisme oleh mikroorganisme dalam usus. Dari saluran pencernaan dibawa langsung ke hati, melalui vena portal atau melalui sistem limpatik ke vena superior. Zat warna yang dimetabolisme dan dikonjugasi di hati, selanjutnya ada juga yang ke empedu memasuki jalur sirkulasi enterohepatik. Zat warna azo yang larut dalam air diekskresi secara kuantitatif melalui empedu, sedangkan yang larut dalam lemak diabsorpsi sempurna tanpa metabolisme dalam usus, melainkan dimetabolisme dalam hati oleh azo-reduktase membentuk amin primer yang sesuai, atau dapat juga dihidrolisis, atau diikat oleh protein-protein hati. Senyawa yang merupakan metabolit polar cepat dieliminasi lewat urine. Beberapa senyawa azo, terurai pada ikatan azo-nya membentuk aminonaftol. Efek kronis yang disebabkan oleh zat warna azo yang dimakan dalam jangka waktu lama menyebabkan kanker hati. Selain senyawa-senyawa azo lain
9
mengakibatkan kanker walaupun efeknya lebih kecil dan waktunya lebih lama. Para ilmuwan pada umumnya mempergunakan zat warna azo dalam penelitiannya, karena hampir 90% dari bahan pewarna pangan terdiri dari zat warna azo (Cahyadi, 2008). Zat-zat yang berbahaya bagi kesehatan disebut zat beracun. Banyak zat-zat kimia yang beracun pada dosis besar dan tidak beracun pada dosis yang kecil. Kecenderungan zat-zat berbahaya yang menyebabkan kanker pada manusia menjadi perhatian publik pada saat ini (Hughes, 1987).
2.3.3 Rhodamin B Rhodamin B merupakan zat warna sintetis yang umum digunakan sebagai pewarna tekstil. Nama lazim dari rhodamin B adalah tetraethylrhodamine; D&C Red No. 19; rhodamine B chloride dan rumus kimia C28H31N2O3Cl, rumus bangun rhodamin B (pada Gambar 1), BM 479.
Gambar 1.Struktur Kimia Rhodamin B (Sumber : Yulianti, 2007)
Pemerian rhodamin B yaitu hablur hijau atau serbuk ungu kemerahan dan berfluoresensi. Rhodamin B sangat mudah larut dalam air dan dalam alkohol; sukar larut dalam asam encer dan dalam larutan alkali. Rhodamin B digunakan sebagai pewarna untuk sutra, katun, wol, nilon, serat asetat, kertas, tinta dan pernis, sabun, pewarna kayu, bulu, kulit dan pewarna untuk keramik China.
10
Penggunaan rhodamin B pada makanan dan minuman dalam waktu lama (kronis) akan mengakibatkan kanker dan gangguan fungsi hati. Namun demikian, bila terpapar rhodamin B dalam jumlah besar maka dalam waktu singkat akan terjadi gejala akut keracunan rhodamin B. Bila rhodamin B tersebut masuk melalui makanan akan mengakibatkan iritasi pada saluran pencernaan dan mengakibatkan gejala keracunan dengan urine yang berwarna merah maupun merah muda. Selain melalui makanan dan minuman, rhodamin B juga dapat mengakibatkan gangguan kesehatan, jika terhirup akan terjadi iritasi pada saluran pernafasan. Mata yang terkena rhodamin B juga akan mengalami iritasi yang ditandai dengan mata kemerahan dan timbunan cairan atau udem pada mata. Jika terpapar pada bibir dapat menyebabkan bibir akan pecah-pecah, kering, gatal, bahkan kulit bibir terkelupas (Yulianti, 2007).
2.3.4 Kuning Metanil Kuning Metanil memiliki banyak nama lain diantaranya C.I. Acid yellow 36;
tropaeolin G; 3-[[4-(phenylamino)
monosodium salt;
phenyl]
D & C yellow No. 1;
azo] benzenesulfonic acid
sodium 3-[(4-anilino) phenylazo]
benzenesulfonate. Bobot Molekul: 375,38 g/mol. Kuning metanil larut dalam air, alkohol, sedikit larut dalam benzen, dan agak larut dalam aseton (Merck, 2011) Kuning metanil
adalah zat warna sintetis berbentuk serbuk berwarna
kuning kecoklatan, larut dalam air, agak larut dalam aseton. Kuning metanil merupakan senyawa kimia azo aromatik amin yang dapat menimbulkan tumor dalam berbagai jaringan hati, kandung kemih, saluran pencernaan atau jaringan kulit. Kuning metanil dibuat dari asam metanilat dan difenilamin. Kedua bahan ini bersifat toksik. Kuning metanil merupakan pewarna tekstil yang sering disalahgunakan sebagai pewarna makanan. Pewarna tersebut bersifat sangat stabil. Kuning metanil biasa digunakan untuk mewarnai wool, nilon, kulit, kertas, cat, alumunium, detergen, kayu, bulu, dan kosmetik. Pewarna ini merupakan tumor promoting agent. Kuning metanil memiliki LD50 (letal dosis 50) sebesar 5000mg/kg pada tikus dengan pemberian secara oral (Wirasto, 2008).
11
Struktur kimia kuning metanil dapat dilihat pada gambar 2
Gambar 2. Struktur Kimia Kuning Metanil (sumber : Merck, 2011)
2.3.5 Ponceau 4R Zat warna ini berwarna merah dengan nama kimia garam trinatrium 2hidroksi 1-(4-sulpho-1napthylazo)-2-napthol-6,8-asamdisulfonat. Rumus kimia C20H11N2Na3O10S3.
Pewarna ini disimbolkan dengan E124.
Ponceau 4R (E 124) merupakan zat warna azo yang diperbolehkan sebagai makanan aditif dalam Uni Eropa yang sebelumnya telah dievaluasi oleh joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA) pada tahun 1983 dan Scientific Committee on Food (SCF) di 1984. Kedua komite membentuk Acceptable Daily Intake (ADI) dari 0-4 mg/kg berat badan (bb)/hari. (Efsa, 2009)
Gambar 3. Struktur Kimia Ponceau 4R (sumber : Efsa, 2009)
12
2.3.6 Kuning FCF Kuning FCF termasuk golongan monoazo, berupa tepung berwarna jingga, sangat mudah larut dalam air,dan menghasilkan larutan jingga kekuningan. Sedikit larut dalam alkohol 95% dan mudah larut dalam glikol dan gliserol. Ketahanan terhadap oksidator hampir sama dengan Tartrazin, sedangkan ketahanan terhadap FeSO4 lebih rendah. Pemakaian alat-alat yang menyebabkan warna larutan zat warna menjadi coklat gelap dan keruh. Dengan Al, warna larutan hanya sedikit berubah menjadi kemerahan (Winarno,1992)
Gambar 4. Struktur Kimia Kuning FCF (sumber : Winarno, 1992)
2.3.7 Tartrazin Tartrazin merupakan tepung berwarna kuning jingga yang mudah larut dalam air, dengan kelarutannya berwarna kuning keemasan. Kelarutannya dalam alkohol 95% hanya sedikit, dalam gliserol dan glikol mudah larut.Tartazin tahan terhadap cahaya, asam asetat, HCl, dan NaOH 10%. NaOH 30 % akan menjadikan warna berubah kemerah-merahan. Mudah luntur oleh adanya oksidator, FeSO4 membuat larutan zat berwarna menjadi keruh tetapi Al tidak berpengaruh. Adanya tembaga (Cu) akan mengubah warna kuning menjadi kemerah-merahan (Winarno, 1992)
Gambar 3. Struktur Kimia Tartrazin (sumber : Winarno, 1992)
13
2.4. Analisis Kualitatif secara Kromatografi Lapis Tipis 2.4.1 Kromatografi Kromatografi berasal dari kata chroma yang berarti warna dan graphein yang berarti penulisan. Kromatografi didefinisikan sebagai suatu proses pemisahan campuran menjadi komponen-komponennya yang bergantung pada distribusi komponen-komponen tersebut di antara dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Pada dasarnya kromatografi adalah teknik pemisahan kimia yang bisa juga digunakan untuk pemisahan analitik. Dalam kromatografi komponen-komponen terdistribusi dalam dua fase. Salah satu fase adalah fase diam. Transfer massa antara fase gerak dan fase diam terjadi bila molekul-molekul campuran terserap pada permukaan partikel-partikel atau terserap di dalam pori-pori partikel atau terbagi ke dalam sejumlah cairan yang terikat pada permukaan atau terbagi ke dalam sejumlah cairan yang terikat pada permukaan atau di dalam pori.
Ini adalah sorpsi (penyerapan).
Laju
perpindahan suatu molekul zat terlarut tertentu di dalam kolom atau lapisan tipis zat penyerap secara langsung berhubungan dengan bagian molekul-molekul fase diam dan fase gerak. Jika ada perbedaan penahanan secara selekif, maka masingmasing komponen keluar dari kolom pada interval waktu yang berbeda, mengingat bawa keseluruhannya adalah fenomena migrasi secara differensial yang dihasilkan oleh tenaga pendorong tidak selektif berupa aliran fase gerak (Khopkar, 1984). Ada beberapa jenis kromatografi diantaranya kromatografi kolom, kromatografi lapis tipis, kromatografi cair kinerja tinggi dan kromatografi gas. Keberadaan zat warna dalam makanan dapat ditetapkan secara kromatografi lapis tipis.
2.4.2 Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah salah satu teknik pemisahan kromatografi yang paling sederhana dan ekonomis. KLT adalah jenis pemisahan yang menggunakan bahan adsorben yang dilapiskan pada suatu pelat (kaca, alumunium, atau plastik) sebagai fasa diam dan menggunakan pelarut sebagai fasa
14
geraknya. Sampel ditotolkan pada bagian bawah pelat pada jarak ± 1 cm dari sisi bawah, kemudian pelat tersebut dikembangkan di dalam suatu bejana tertutup yang telah diisi pelarut pengembang jenuh. Pemisahan terjadi karena larutan pengembang naik ke atas sepanjang pelat secara kapiler sambil membawa komponen-komponen yang akan dipisahkan dengan kecepatan yang berbeda-beda sesuai dengan kepolarannya. Kecepatan perpindahan komponen sangat tergantung pada besar kecilnya distribusi komponen tersebut pada fasa diam dan fasa gerak (Kantasubrata, 1996)
2.4.3 Fasa Diam Berbagai jenis fasa diam seperti: silika, alumina, kieselghur, selulosa dapat digunakan dalam KLT. Ukuran partikel absorben yang digunakan pada KLT lebih keceil daripada adsorben untuk kromatografi kolom, yaitu 2-40 µm. Pemilihan fasa diam harus disesuaikan dengan jenis sampel yang akan dipisahkan, Oleh karena itu apabila jenis zatnya belum diketahui dengan jelas, maka pelat silika dapat dipilih sebagai percobaan. Ukuran pelat disesuikan dengan jumlah sampel yang akan dianalisa dan ketebalan lapisan diatur sesuai dengan tujuan analisis (Kantasubrata, 1996).
2.4.4 Fasa Gerak Salah satu unsur penting dalam KLT yaitu fasa gerak sebagai medium pengangkut. Kemampuan pelarut dalam membawa komponen ke atas sepanjang pelat tergantung dari mudah tidaknya komponen tersebut larut dalam pelarut dan erat tidaknya komponen terikat pada fasa diam. Pemilihan pelarut yang sesuai didasarkan pada sifat polaritasnya terhadap jenis sampel yang akan dipisahkan. Bila suatu fasa gerak yang dipilih mempunyai polaritas jauh berbeda dengan sampel, maka tidak akan ada pemisahan yang baik (Kantasubrata, 1996).
15
2.4.5 Identifikasi dengan harga Rf Posisi zat-zat terlarut yang telah terpisah dapat dilacak dengan berbagai metode. Zat-zat berwarna dapat dilihat langsung bila dipandang dengan fasa stasioner sebagai latar belakang. Spesi tak berwarna biasanya dapat dideteksi dengan menyemprot lempeng tersebut dengan suatu pereaksi yang dapat menghasilkan bercak-bercak berwarna pada daerah-daerah spesi-spesi berada. Beberapa senyawa lainnya yang dapat berpendar dapat diidentifikasi dengan menggunakan cahaya ultraviolet (Bassett, 1939). Untuk mengetahui identitas hasil pemisahan, dilakukan perbandingan nilai faktor retensi hasil pemisahan contoh dengan faktor retensi hasil pemisahan standar. Faktor retensi (Rf) tersebut adalah:
Faktor–faktor yang mempengaruhi gerakan noda dalam kromatografi lapisan tipis yang juga mempengaruhi harga Rf: Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan Sifat dari penyerap dan derajat aktivitasnya Tebal dan kerataan dari lapisan penyerap Pelarut dan derajat kemurnian fase gerak Derajat kejenuhan dari uap dalam bejana pengembangan yang digunakan Teknik percobaan Jumlah cuplikan yang digunakan Suhu Kesetimbangan (Hardjono, 1985).
16
2.5 Analisis Kuantitatif secara Spektrofotometri
2.5.1 Spektrofotometri Spektrofotometri didefinisikan sebagai suatu metode analisis kimia berdasarkan pengukuran seberapa banayak energi radiasi yang diabsorbsi oleh suatu zat sebagai fungsi panjang gelombang. Suatu berkas cahaya polikromatik atau monokromatik dialirkan melalui medium transparan (gas, padat, atau cair) maka cahaya akan dipantulkan (reflected), diserap (absorbed), dipancarkan (transmitted) (Tahid, 1996).
Hukum Bouger dan Lambert Lambert pada tahun 1760 menerapkan hubungan antara intensitas warna dari larutan dengan keadaan larutan jika dilalui oleh suatu sinar. Hukum yang sama telah dikemukakan oleh Bouger pada tahun 1729. “Bila Suatu cahaya monokromatis melalui suatu medium transparan, maka turunnya intensitas cahaya yang dipancarkan sebanding dengan bertambahnya tebal medium”.
Hukum Beer Beer memberikan suatu hubungan antara intensitas cahaya dan kepekatan medium sebagai berikut : “Bila suatu cahaya monokromatis melalui suatu medium yang transparan, maka turunnya intensitas cahaya yang dipancarkan sebanding dengan bertambahnya kepekatan medium” Hukum Lambert – Beer Kombinasi hukum Bouger – Lambert dan Beer dituliskan sebagai berikut: ”Bila suatu cahaya monokromatis melalui suatu medium transparan, maka turunnya intensitas cahaya yang dipancarkan sebanding dengan bertambahnya tebal dan kepekatan medium”
17
Hukum tersebut dinyatakan dalam persamaan berikut
sehingga; A = a. b. c atau dalam keadaan lain dapat dituliskan: A = ε. b. c
dimana:
A = absorbansi a = tetapan absorptivitas ε = koefisien ekstingsi molar b = tebal kuvet yang dilalui sinar (cm) c = konsentrasi (mg /L) atau (mol / L)
Tebal kuvet yang dilalui sinar (b) dan konsentrasi (c) adalah faktor yang sangat menentukan bagi harga absorbansi sehingga harus ditunjukkan secara jelas. Jika konsentrasi dalam prosedur analisis dinyatakan sebagai mol / L (molar) maka tetapan disebut absorptivitas molar (ε).Akan tetapi bila konsentrasi dinyatakan sebagai gram/ L maka tetapan disebut absorptivitas (a). (Underwood A L,1990)
2.5.2 Spektrofotometer UV-Visible Spektrofotometer terdiri dari spektrometer dan fotometer. Spektrometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorbsi. Jadi spektrofotometer digunakan untuk mengukur energi secara relatif jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang gelombang. Pada spektrofotometer, panjang gelombang benar-benar terseleksi dapat diperoleh dengan bantuan alat pengurai cahaya seperti prisma. Suatu spektrofotometer tersusun dari sumber spektrum tampak yang kontinyu, monokromator, sel pengabsorbsi untuk larutan sampel atau blanko dan suatu alat
18
untuk mengukur perbedaan absorbsi antara sampel dan blanko ataupun pembanding (Khopkar, 2003).
Gambar 6. Komponen Utama Spektrofotometer
Sumber radiasi Sumber radiasi yang biasa digunakan pada spektroskopi absorpsi adalah lampu wolfram dan lampu deuterium. Panjang gelombang yang dihasilkan lampu wolfram di atas 375 nm sedangkan lampu deuterium di bawah 375 nm. Sinar yang dipancarkan dipusatkan pada sebuah cermin datar yang kemudian dipantulkan dan diteruskan melalui monokromator
Monokromator Monokromator adalah peralatan optik yang berfungsi mengisolasi suatu berkas radiasi sumber kontinyu. Ada dua macam monokromator yang dapat digunakan untuk memilih sinar yang digunakan. Prisma Komponen ini terbuat dari bahan kuarsa yang bisa digunakan untuk daerah UV maupun Visisble. Prinsip kerjanya, apabila seberkas sinar melewati antar permukaan dua medium yang berbeda seperti udara dan gelas, sinar akan dibelokkan (refraksi). Besarnya pembelokkan tergantung pada indeks bias gelas. Gratting Gratting terbuat dari suatu lempeng (biasanya alumunium) yang permukaannya berlekuk-lekuk seperti gergaji, jumlah lekukan dapat mencapai 15.000-30.000 garis /inch. Permukaan dibuat mengkilat dan dilapisi gratting. Bagian yang paling atas dilapisi suatu bahan yang tembus
19
cahaya. Bila ada cahaya yang jatuh maka cahaya itu akan didispersikan, gratting lebih baik dibandingkan prisma karena mempunyai daya dispersi yang lebih besar dan dapat dipakai pada semua daerah spektra.
Kuvet Kuvet harus terbuat dari bahan yang dapat meneruskan sinar dari daerah spektrum yang digunakan. Kuvet untuk analisis secara kolorimetri harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : Tidak berwarna sehingga dapat mentransmisikan semua cahaya Permukaannya secara optis harus benar-benar sejajar Harus tahan (tidak bereaksi) terhadap bahan-bahan kimia Tidak boleh rapuh Mempunyai design yang sederhana.
Pada pengukuran di daerah tampak kuvet kaca atau kuvet kaca korex dapat digunakan, tetapi untuk pengukuran pada daerah UV harus menggunakan kuvet sel kuarsa karena gelas tidak tembus cahaya pada daerah ini. Umumnya tebal kuvet 10 mm.
Detektor Prinsip detektor spektrofotometer adalah mengubah energi radiasi yang jatuh mengenainya menjadi suatu besaran yang dapat diukur. Sebagai detektor dapat dipakai photo tube atau barrier cell yang keduanya dapat mengubah energi cahaya menjadi arus listrik. Detektor yang digunakan harus mempunyai kepekaan yang tinggi dan gangguan yang rendah pada saat digunakan, dapat menghasilkan arus listrik yang dapat diperkuat oleh penguat sinyal (amplifier) dan diteruskan ke piranti pembaca.
20
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan September hingga November 2011 di laboratorium Analisis Instrumen Sekolah Menengah Analis Kimia Bogor dan laboratorium Kimia Universitas Pakuan
3.2 Bahan dan Alat 3.2.1 Bahan Bahan yang digunakan meliputi contoh uji, standar dan pereaksi. Contoh uji yang digunakan adalah makanan jajanan berupa minuman A, minuman B, minuman C, coklat D, coklat E, agar-agar F, agar-agar G, agar-agar H, Aromanis I, pacar cina J, sosis K, sosis L, jelly M, permen N, permen O dan kerupuk P. Standar pewarna sintetis yang digunakan meliputi Rhodamin B, kuning metanil, eritrosin, merah alura, karmoisin, Ponceau 4R, kuning FCF, dan tartrazin. Pereaksi yang digunakan meliputi butanol, asam asetat, air, NH4OH dan etanol.
3.2.2 Alat Alat yang digunakan adalah spektrofotometer UV-Vis, Kuvet, neraca analitik, chamber, pelat KLT (silika gel), syringe, Labu ukur 100 dan 50 mL, pipet 50 mL, gelas piala 100 mL dan 250 mL, gelas ukur, dryer, penangas air.
3.3 Metode Penelitian Metode penelitian dibagi dalam dua tahap yaitu analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis Kualitatif adalah mengidentifikasi zat warna dalam makanan secara kromatografi lapis tipis sesuai dengan metode SNI 01-28951992. Analisis Kuantitatif adalah penentuan kadar zat warna yang diijinkan (karmoisin, ponceau 4R, kuning FCF dan tartrazin) secara spektrofotometri UVVis pada panjang gelombang maksimum 515 nm untuk karmoisin, 510 nm untuk ponceau 4R, 485 nm untuk kuning FCF dan 430 nm untuk zat warna tartazin.
21
3.3.1 Analisis Zat Warna secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
a. Preparasi Contoh Uji Metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) mengadopsi prosedur dari SNI01-2895-1992. Disiapkan benang wool bebas lemak dengan cara merendam benang wool dalam eter. Contoh uji berupa makanan masing-masing ditimbang 10 g, dilarutkan dalam 50 mL larutan amonia 2 % di dalam etanol 70 %. Dibiarkan selama 30 menit, kemudian ditambahkan asam asetat 6 % hingga pH kurang dari 7. Contoh uji berupa minuman dipipet sebanyak 50 mL (dari volume 250 mL) dan diasamkan asam asetat 6 % hingga pH kurang dari 7. Benang wool yang sudah bebas lemak dimasukkan ke dalam larutan berisi contoh uji, dipanaskan di atas penangas air sambil diaduk-aduk sampai warna terserap. Benang wool yang berwarna dicuci berulang-ulang dengan akuades hingga bersih. Benang wool yang telah bersih dimasukkan ke dalam cawan penguap, ditambahkan larutan ammonia 10% secukupnya, dipanaskan di atas penangas air hingga warna benang wool luntur. Larutan berwarna yang diperoleh dikumpulkan dalam cawan penguap dan diuapkan di atas penangas air hingga kering dan dilarutkan dalam 2 mL air.
b. Preparasi Larutan Pengembang Fase gerak berupa n-butanol, asam asetat glasial, dan akuades (4:2:2,4), diaduk hingga homogen. Dimasukkan ke dalam chamber kromatografi, ditutup dan dibiarkan ± 1 jam, agar larutan jenuh. Larutan siap untuk digunakan.
c. Preparasi pelat KLT Plat KLT berukuran 10 x 10 cm diaktifkan dengan cara dipanaskan di dalam oven pada suhu 100°C selama 30 menit. Larutan sampel dan standar pembanding, masing-masing ditotolkan pada plat dengan menggunakan pipa kapiler pada jarak 1 cm dari bagian bawah plat dan jarak antar noda adalah 2 cm. Kemudian dibiarkan beberapa saat hingga mengering.
22
d. Pemisahan Zat Warna secara KLT Plat KLT yang mengandung cuplikan dimasukkan ke dalam chamber yang telah berisi fase gerak berisi n-butanol, asam asetat glasial, dan akuades (4:2:2,4). Dibiarkan fasa bergerak naik sampai hampir mendekati batas atas plat, kemudian plat KLT diangkat dan dibiarkan kering di udara. Diamati noda secara visual kemudian dihitung harga Rf-nya
3.3.2 Analisis Kuantitatif secara Spektrofotometri UV-Vis
a. Pembuatan Larutan Standar Karmoisin, Ponceau 4R, Kuning FCF dan Tartrazin 500 mg/L Ditimbang 50 mg standar karmoisin, ponceau 4R, kuning FCF dan tartrazin lalu dimasukkan dalam labu ukur 100 mL, dilarutkan dengan aquades sampai tanda tera, dan dihomogenkan. Diperoleh larutan standar 500 mg/L.
b. Pembuatan Kurva Kalibrasi Dimasukan larutan standar 500 mg/L dengan menggunakan buret berturutturut 0 mL: 0,6 mL; 1,0 mL; 2,0 mL; 5,0 mL; dan 10,0 mL ke dalam labu ukur 100 mL, ditera dengan aquades dan dihomogenkan (konsentrasi masing-masing larutan standar 0; 3; 5; 10; 25; dan 50 mg/L). Diukur serapannya pada panjang gelombang maksimum 515 nm untuk karmoisin, 510 nm untuk ponceau 4R, 485 nm untuk kuning FCF dan 430 nm untuk zat warna tartazin.
c. Preparasi Contoh Uji Contoh uji berupa makanan masing-masing ditimbang 10 g, dilarutkan dalam 30 mL larutan amonia 2 % di dalam etanol 70 %, dibiarkan selama 30 menit hingga warna keluar. Saring dengan kertas saring whatman 42, dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL, ditera dengan akuades dan dihomogenkan. Diukur serapannya pada pada panjang gelombang maksimum 515 nm untuk karmoisin, 510 nm untuk ponceau 4R, 485 nm untuk contoh uji kuning FCF dan 430 nm untuk tartrazin. Untuk sampel minuman jernih yang mengandung zat warna tunggal dapat langsung diukur absorbansinya
23
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1 Analisis Kualitatif Zat Warna secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Dalam upaya pengawasan terhadap penggunaan zat warna sintetis dalam produk makanan khususnya makanan jajanan anak, maka pada penelitian ini penulis melakukan pengujian secara kualitatif untuk mengetahui keberadaan zat warna sintesis tersebut secara kromatografi lapis tipis (KLT). Pengujian ini dilakukan dengan mengadopsi metode SNI 01-2895-1992. Fasa diam yang digunakan pada KLT adalah silika gel yang dilapiskan pada plat kaca, sedangkan fasa geraknya (eluen) merupakan campuran butanol, asam asetat glasial, dan air dengan perbandingan volume 4 : 2 : 2,4. Eluen merambat ke atas pelat silika gel berdasarkan perambatan secara kapiler. Kecepatan alir tiap-tiap komponen berbeda satu sama lain, hal ini dikarenakan sifat kepolaran tiap-tiap komponen yang berbeda-beda. Kepolaran yang berbedabeda tersebut mengakibatkan noda-noda tiap komponen pada pelat akan saling terpisah satu dengan yang lain, sehingga mudah diamati. Selain faktor kepolaran, pemisahan juga tergantung dari ukuran molekul komponen yang terdistribusi diantara dua fase, yaitu fasa diam dan fasa gerak. Contoh Hasil pemisahan komponen zat warna secara KLT dapat dilihat pada Gambar 7.
Jarak komponen
Jarak eluen
A = Coklat D B = eritrosin C = karmoisin D = Rodamin B E = ponceau 4R
A B C D E
Gambar 7. Hasil Pemisahan Pewarna Sintetis pada coklat D secara KLT
24
Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap 15 contoh makanan jajanan, dan dengan membandingkan nilai RF terhadap beberapa standar zat warna sintetis diperoleh data seperti pada Tabel 3. Perhitungan RF dapat dilihat pada Lampiran5 Tabel 3. Hasil Analisis Kualitatif pada Contoh Makanan Jajanan Zat warna Contoh Uji
Minuman A Minuman B Minuman C Cokelat D Cokelat E Agar-agar F Agar-agar G Agar-agar H Aromanis I Pacar cina J Sosis K sosis L Jelly M Permen N Permen O kerupuk P
Ponceau 4R
Karmoisin
Merah Rhodamin B
Eritrosin
Jingga Merah Kuning Kuning Alura metanil FCF
Kuning Tartrazin
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ v √ √ √ √
Dari tabel tersebut, dapat kita ketahui sebagian besar makanan jajanan mengandung pewarna sintesis yang diperbolehkan (karmoisin, ponceau 4R, merah alura, kuning FCF dan tartrazin) namum ada beberapa makanan mengandung pewarna sintetis yang berbahaya dan dilarang penggunaaannya di Indonesia yaitu rhodamin B dan kuning metanil. Zat warna rhodamin B terdapat pada cokelat D dan kerupuk P, sedangkan zat kuning metanil terdapat pada cokelat F. Contoh makanan berbahaya dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Coklat D dan Coklat F
25
4.2 Analisis Kuantitatif Zat Warna secara Spektrofotometri UV-Vis
Beberapa contoh makanan jajanan mengandung zat warna yang diperbolehkan, namun perlu diketahui kadarnya agar tidak melebihi batas maksimum penggunaan. Untuk itu perlu dilakukan analisis kuantitatif secara spektrofotometri UV-Vis. Dalam penelitian ini dilakukan analisis kuantitatif terhadap contoh makanan jajanan yang mengandung zat warna Karmoisin, Ponceau 4R, Kuning FCF, dan Tartrazin, sedangkan zat warna merah alura tidak dapat dianalisis secara kuantitatif karena standar induk tidak tersedia. Masing-masing zat warna memiliki daerah serapan yang berbeda untuk memberikan absorbansi yang optimum. Panjang gelombang maksimum dapat diperoleh pada kurva, dengan cara memasukkan nilai panjang gelombang dari yang terendah hingga tertinggi pada alat. Puncak tertinggi yang terlihat pada kurva adalah daerah panjang gelombang maksimum yang memberikan absorbansi yang maksimum, sehingga nilai tersebut dapat digunakan sebagai panjang gelombang maksimum untuk mengukur kadar suatu zat dalam contoh. Dari kurva pada lampiran 6-9 didapat panjang gelombang maksimum untuk karmoisin adalah sebesar 515 nm, untuk ponceau 4R sebesar 510 nm, untuk kuning FCF sebesar 485 dan untuk tartrazin 430. Keempat senyawa tersebut memiliki panjang gelombang maksimum pada daerah visible. Setelah mengetahui panjang gelombang maksimum, dibuat deret standar dan dibaca absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis, yang kemudian dibuat kurva kalibrasi agar dapat menentukan kadar zat warna yang terkandung dalam contoh makanan jajanan. Kurva kalibrasi dan perhitungan kadar dapat
dilihat
pada
Lampiran
10-13.
Hasil
spektrofotometri UV-Vis tercantum pada Tabel 4.
analisis
kuantitatif
secara
26
Tabel 4. Hasil Analisis Kuantitatif Zat Warna pada Makanan Jajanan Contoh uji
warna
konsentra si
Minuman A Minuman B Minuman C Cokelat D Cokelat E Agar-agar F Agar-agar G Agar-agar H
karmoisin kuning FCF tartrazin Rhodamin B Kuning metanil Karmoisin kuning FCF tartrazin
22,61 6,09 35,39 Ada Ada 17,38 83,68 26,42
Batas Maksimum Penggunaan 70 70 70 tidak boleh ada tidak boleh ada 100 100 100
Aromanis I
Karmoisin
152,75
100
mg/kg
Pacar cina J Sosis K sosis L Jelly M Permen N Permen O kerupuk P
ponceau 4R merah alura merah alura ponceau 4R ponceau 4R kuning FCF Rhodamin B
165,39 45,72 70,62 67,06 Ada
300 200 100 100 tidak boleh ada
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
satuan
Kelayakan
mg/L mg/L mg/L
layak dikonsumsi layak dikonsumsi layak dikonsumsi berbahaya berbahaya layak dikonsumsi layak dikonsumsi layak dikonsumsi tidak layak dikonsumsi layak dikonsumsi layak dikonsumsi layak dikonsumsi layak dikonsumsi berbahaya
mg/kg mg/kg mg/kg
Berdasarkan data pada Tabel 4, dapat diketahui bahwa cokelat D, cokelat E, dan kerupuk P berbahaya bagi kesehatan. Contoh tersebut mengandung zat warna sintetis Rhodamin B dan kuning metanil yang dilarang di Indonesia. Penggunaan zat warna ini dalam jangka panjang dapat menyebabkan kanker dan gangguan fungsi hati, dan jika terpapar dalam jumlah besar dalam waktu singkat akan mengalami keracunan dan iritasi pada saluran pencernaan. Minuman A, minuman B, minuman C, agar-agar F, agar-agar G, agar-agar H, pacar cina J, Jelly M, Permen N dan permen O layak dikonsumsi. Contoh makanan jajanan tersebut mengandung zat warna yang diperbolehkan dengan kadar dibawah batas maksimum penggunaan yang ditetapkan melalui Permenkes RI Nomor 722/MenKes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan. Aromanis I tidak layak dikonsumsi karena kadar zat warna terkandung sebesar 152,75 mg/Kg melebihi batas maksimum penggunaan sebesar 100 mg/Kg. Penggunaan zat warna yang melebihi dosis pemakaian akan menyebabkan gangguan kesehatan tubuh dan jika dikonsumsi secara terus menerus akan mengakibatkan gangguan pencernaan, murus, muntah-muntah dan kanker kulit
27
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1. Berdasarkan hasil analisis kualitatif ditemukan contoh makanan jajanan berbahaya karena mengandung zat warna karsinogenik seperti rhodamin B pada contoh makanan cokelat D dan kerupuk P serta kuning metanil pada contoh makanan cokelat E 2. Berdasarkan hasil analisis kualitatif ditemukan zat warna yang diperboleh kan pada makanan yaitu Zat warna karmoisin minuman A, agar-agar F, dan aromanis I yang Zat warna ponceau 4R pada pacar cina J, jelly M dan permen N Zat warna merah alura pada sosis K dan L Zat wana kuning FCF pada minuman B, agar-agar G, dan permen O Zat warna tartrazin pada minuman C dan agar-agar H. 3. Dari hasil analisis kuantitatif didapatkan bahwa minuman A mengandung karmoisin sebesar 22,61 mg/L, minuman B mengandung kuning FCF sebesar 6,09 mg/L, minuman C mengandung tartrazin sebesar 35,39 mg/L, Agar-agar F mengandung karmoisin sebesar 17,38 mg/Kg, agar-agar G mengandung kuning FCF sebesar 83,68 mg/Kg, agar-agar H mengandung tartrazin sebesar 26,42 mg/Kg, aromanis I mengandung karmoisin sebesar 152,75 mg/Kg, jelly M mengandung ponceau 4R sebesar 45,72 mg/Kg, permen N mengandung ponceau 4R sebesar 70,62 mg/Kg, dan permen O mengandung kuning FCF sebesar 67,07 mg/Kg. 4. Hasil analisis kuantitatif pada contoh makanan jajanan menunjukkan sebagian besar makanan jajanan layak dikonsumsi karena kadarnya dibawah batas maksimum penggunaan kecuali aromanis I yang tidak layak dikonsumsi penggunaan
karena
kadar
karmoisin
melebihi
batas
maksimum
28
5.2 Saran 1. Analisis kualitatif maupun kuantitatif dilakukan terhadap beberapa standar warna lain 2. Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya dilakukan analisis parameter lain dalam makanan jajanan seperti bahan pengawet dan bahan pemanis buatan 3. Dilakukan penelitian zat warna dalam makanan jajanan di daerah lain.
29
DAFTAR PUSTAKA
Balai POM. (2003). Bahan Tambahan Pangan. Direktorat SPKP, Deputi III. Jakarta. Cahyadi, W. (2008). Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Edisi kedua. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara. Direktorat Perlindungan Konsumen, 2006. Bagaimana Memilih Jajanan Sehat dan Aman. Jakarta : Departemen Perdagangan RI. Efsa. 2009. Scientific Opinion on the re-evaluation of Ponceau 4R (E 124) as a food additive. Italy: Efsa Journal. Hughes, C. 1987. The Additives Guide. Great Britain : C.C Hughes Judarwanto, W. (2009). Perilaku Makan Anak Sekolah. Jakarta. Diambil dari : www.pdpersi.co.id Kantasubrata, J. 1996. Dasar-dasar Kromatografi. Bandung: Puslitbang Kimia Terapan. LIPI Khomsan, A. 2003. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada/ Khopkar, S.M.2002..Konsep DasarKimia Analitik.Jakarta: UI Press Mariana, 2006. Perilaku Konsumsi Sarapan Pagi dan Makanan Jajanan Serta Status Gizi Siswa SLTP Negeri 17 dan SLTP Perguruan Budi Satrya di Kecamatan Medan Tembung Tahun 2006. Skripsi Gizi Kesehatan Masyarakat, FKM USU Marlina, 2003. Uji Mikrobiologi Makanan Jajanan Kue Basah di Sekolah Dasar Negeri Jalan Megawati/ Halat, Kec. Medan Area, Tahun 2003. Skripsi Gizi Kesehatan Masyarakat, FKM USU.
30
Merck. 2011. Metanil Yellow.Germany : Merck kGaA. Moertjipto. 1993. Makanan, Wujud, Variasi dan Fungsinya. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/88 Syah, Dahrul dkk. 2005. Manfaat dan Bahaya Bahan Tambahan Pangan. IPB : Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian Tahid. 1996. Pemeliharaan dan Aplikasin Spektrofotometer Uv-Vis. Bandung: Puslitbang Kimia Terapan. LIPI Triana, S. 2002. Penetapan Zat warna Rodamin B dalam jajanan anak di kelurahan Rawa Mangun Jakarta Timur. Jakarta: AKA Bogor. Underwood , A .L. 1990.Analisa Kimia Kuantitatif. Edisi keempat. Jakarta: Erlangga Winarno, F.G. (1992). Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Wirasto. 2008. Analisis Rhodamin B dan Metanil Yellow dalam Minuman Jajanan Anak SD di Kecamatam Laweyan Kotamadya Surakarta dengan Metode Kromatografi Lapis Tipis. Surakarta: UMS Surakarta. Yulianti, N. (2007). Awas! Bahaya Dibalik Lezatnya Makanan. Edisi Pertama. Yogyakarta.: CV. ANDI Offset