BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kulit sehat merupakan idaman semua orang terutama bagi kaum perempuan oleh karena itu mayoritas masyarakat menggunakan produk kosmetik pemutih yang beredar di pasaran. Produk kosmetik yang beredar di pasaran tidak sedikit yang masih menggunakan bahan berbahaya seperti hidroquinon yang memutihkan kulit namun menimbulkan efek samping pada kulit. Pemakaian hidroquinon dengan kadar 2 % dari netto kosmetik sudah dianggap tinggi dan apabila kadarnya lebih dari itu dapat menyebabkan iritasi. Bahkan dengan kadar lebih sedikitpun masih dapat menyebabkan efek negatif seperti vitiligo, okronosis eksogen, kelainan pada ginjal, kanker darah dan kerusakkan DNA (Westerhof dan Kooyers 2005). Hidroquinon sudah terbukti dapat dijadikan bahan pemutih kulit yang efektif karena dalam jangka waktu yang pendek dan konsentrasi yang rendah sekitar 0,01 mM hidroquinon mampu menghambat kerja tirosinase sampai aktivitasnya hampir mencapai nilai 0 (Maeda dan Fukuda 1991). Walaupun sudah terbukti efektif sebagai senyawa yang dapat menginhibisi kerja tirosinase, hidroquinon mempunyai efek negatif salah satunya merusak kemampuan hidup sel (Maeda dan Fukuda 1991). Mekanisme hidroquinon dalam proses hipopigmentasi adalah dengan cara mendestruksi melanosit, menurunkan kadar melanosom, mengubah struktur melanosom dan mendestruksi membran organel
(Jimbow et al. 1974 dalam Westerhoof dan
Kooyers 2005). Melanogenesis merupakan proses pembentukan melanin pada sel. Proses pembentukan melanin ini akan lebih cepat terjadi apabila terpapar sinar ultraviolet. Sinar ultraviolet disingkat sinar UV terbagi menjadi 3 jenis yaitu ultraviolet A (UVA), ultraviolet B (UVB) dan ultraviolet C (UVC) (Hamdi 2009). Ketiga jenis sinar UV ini dibagi berdasarkan panjang gelombang yang masing-
1
2
masing 315-400 nm, 280-315 nm dan 100-280 nm (Hamdi 2009). Sinar matahari terutama UVB berguna bagi kesehatan kulit karena mengandung vitamin D yang baik bagi kulit pada jam 7–10 pagi. Namun, terlalu lama terpapar sinar ultraviolet tanpa perlindungan dapat menyebabkan lentingines (bintik-bintik hitam), melasma dan iritasi pada kulit (Schalock 2012). Sinar UVB merupakan jenis sinar ultraviolet yang paling berpengaruh dalam pembentukan melanin yang dapat menyebabkan penghitaman pada kulit. Hal ini karena sinar UVB dapat memasuki kulit hingga lapisan bawah epidermal dan merangsang kerja enzim tirosinase (Martin 2012). Enzim ini mengkatalisis dua reaksi utama dalam biosintesis melanin, yaitu mengoksidasi monophenols menjadi o-diphenols dan mengoksidasi o-diphenols menjadi o-dopaquinon (Khan 2007). Melanin merupakan zat yang memberikan warna coklat atau coklat kehitaman pada kulit. Pembentukan melanin akan lebih cepat apabila enzim tirosinase bekerja aktif dengan dipicu oleh sinar ultraviolet. Pembentukan melanin dapat dihambat dengan beberapa cara, diantaranya menurunkan sintesis tirosinase, menurunkan transfer tirosinase dan menghambat aktivitas tirosinase (Hartanti dan Setiyawan 2009). Maka untuk mengurangi efek hiperpigmentasi dibutuhkan zat aktif yang berguna sebagai inhibitor tirosinase. Menurut Erwin (2006) dalam Supriyanti (2009), senyawa yang menjadi inhibitor tirosinase adalah senyawa golongan flavonoid yang biasanya banyak terdapat pada tumbuhan. Selain beberapa senyawa turunan flavonoid, hidroquinon, arbutin dan asam askorbat atau lebih dikenal dengan vitamin C juga dapat menghambat aktivitas enzim tirosinase. Asam askorbat telah diteliti mempunyai kemampuan sebagai bahan alami pemutih kulit tanpa efek samping. Selama ini papaya (Carica papaya) umum digunakan sebagai bahan dasar sabun pencerah kulit. Hal ini dikarenakan papaya memiliki kandungan asam askorbat yang cukup tinggi (Direktorat Gizi, DepKes RI 1992) dan asam askorbat dapat berperan sebagai inhibitor tirosinase (Maeda dan Fukuda 1991). Selain pepaya, rumput laut juga mengandung asam askorbat yang cukup banyak terutama dari kelas Phaeophyta oleh karena itu spesies ini
3
memiliki potensi sebagai sumber inhibitor tirosinase. Selain memiliki potensi sebagai pencerah kulit, rumput laut telah diteliti memiliki kegunaan lain bagi kulit seperti kemampuannya sebagai anti-aging karena rumput laut mengandung protein yang berperan dalam pembentukan jaringan baru pada kulit (Lavender 2012). Rumput laut jenis Sargassum crassifolium dan Gracilaria coronopifolia tersedia banyak di Pameungpeuk Garut. Selama ini para petani disana memanfaatkannya untuk bahan pangan. Jenis rumput laut Sargassum crassifolium telah diujikan oleh Handayani et al. (2004) dan hasilnya spesies ini memiliki kandungan asam askorbat. Beberapa senyawa turunan fenolik dapat berfungsi sebagai agen yang dapat menginhibisi enzim tirosinase (Hartanti dan Setiyawan 2009). Dari kekompleksan senyawa yang terkandung dan banyaknya manfaat rumput laut bagi kulit, peneliti ingin mengetahui manakah diantara kedua jenis rumput laut ini memiliki aktivitas sebagai inhibitor tirosinase. Selain itu rumput laut jenis Sargassum crassifolium mengandung senyawa phlorotannin yang telah diteliti dapat dijadikan sebagai senyawa inhibitor tirosinase (Harnita et al. 2010). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas inhibitor tirosinase pada kedua jenis sampel yang keduanya memiliki perbedaan mekanisme dalam proses depigmentasi karena Sargassum crassifolium ini memiliki senyawa lain yang dapat digunakan sebagai inhibitor tirosinase dan tidak terdapat pada Gracilaria coronopifolia. Maka dilakukan penelitian mengenai aktivitas antipigmentasi dari rumput laut Sargassum crassifolium dan Gracilaria coronopifolia dengan menggunakan pelarut metanol dan etil asetat. 1.2 Identifikasi Masalah Dari latar belakang yang telah dikemukakan diatas, identifikasi masalah yang ada adalah seberapa besar perbedaan aktivitas ekstrak metanol dan etil asetat dari Sargassum crassifolium dan Gracilaria coronopifolia sebagai inhibitor tirosinase dengan adanya perbedaan zat yang terkandung pada keduanya, dimana
4
Sargassum crassifolium memiliki zat lain yang berfungsi sebagai inhibitor tirosinase yaitu phlorotannin. 1.3
Tujuan Penelitian Adapun penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut :
Mengetahui aktivitas ekstrak metanol dan etil asetat Sargassum crassifolium dan Gracilaria coronopifolia sebagai sumber zat aktif penghambat enzim tirosinase.
Mengetahui jenis rumput laut yang lebih efektif sebagai inhibitor tirosinase dan perbandingannya dengan daun Carica papaya dan hidroquinon sebagai kontrol positif.
1.4
Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai
potensi Sargassum crassifolium dan Gracilaria coronopifolia sebagai sumber zat aktif penghambat kerja enzim tirosinase. Informasi ini dijadikan dasar dalam penelitian selanjutnya mengenai potensi Sargassum crassifolium dan Gracilaria coronopifolia sebagai kosmetik pemutih. 1.5
Kerangka Pemikiran Pigmentasi merupakan proses perubahan warna kulit akibat pembentukan
melanin. Melanin dibentuk di melanosit dan akan lebih cepat terbentuk dengan bantuan enzim tirosinase. Proses pembentukan melanin ini biasa disebut dengan melanogenesis. Enzim tirosinase disintesis di dalam reticulum endoplasma (RE). Selanjutnya enzim tirosinase ini akan mengatur biosintesis melanin dengan cara menghidroksilasi L-tirosin menjadi L-dopa kemudian mengoksidasi L-dopa menjadi dopaquinon (Amila 2004). Kerja enzim tirosinase tergantung pada intensitas sinar UV yang masuk. Semakin banyak sinar UV yang menembus kulit maka semakin besar dan cepat enzim tirosinase bekerja sehingga semakin banyak pula melanin yang dapat terbentuk (Riffat 2012).
5
Kerja enzim tirosinase ini dapat dihambat dengan menggunakan senyawasenyawa inhibitor tirosinase dimana pada penelitian yang dilakukan oleh Supriyanti (2009) menyebutkan bahwa senyawa flavonoid diduga memiliki efek depigmentasi. Beberapa senyawa bioaktif inhibitor tirosinase dari bahan alam adalah arbutin, ellagic acid, chloroforin, kojic acid, phytic acid, artocarpanone, oxyreverastrol dan asam askorbat. Menurut Kim (2004) dalam Supriyanti (2009), beberapa senyawa fenol dikenal berperan sebagai agen depigmentasi, karena struktur kimia senyawa fenol memiliki kemiripan dengan tirosin yang dihubungkan dalam aktivitas inhibisi terhadap tirosinase. Proses pembentukan melanin dapat direduksi melalui beberapa mekanisme yaitu antioksidan, inhibitor tirosinase dan aktivitas hormonal (Prota dan Thomson 1976 dalam Abdullah 2011). Mekanisme antioksidan dan inhibitor tirosinase erat kaitannya dengan enzim tirosinase dimana keduanya melakukan aktivitas pencegahan agar enzim tirosinase tidak dapat mengoksidasi L-dopa menjadi dopaquinon karena jumlah produksi dopaquinon sebanding dengan jumlah produksi melanin (Shosuke 2003). Tirosinase merupakan enzim monooxygenase multicopper. Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa inhibitor tirosinase biasanya merupakan senyawa turunan fenol dimana strukturnya mirip dengan L-tirosin (Hartanti dan Setiyawan 2009). Handayani et al. (2004) telah meneliti kandungan senyawa yang ada pada rumput laut Sargassum crassifolium dimana jenis rumput laut ini, positif mengandung asam askorbat, serta mengandung senyawa phlorotannin yang turut berperan dalam menghambat pembentukan melanin (Harnita et al. 2010). Senyawa phlorotannin ini hanya terdapat pada rumput laut genus Sargassum (Harnita et al. 2010). Sedangkan Gracilaria sp. tidak mengandung senyawa phlorotannin namun, masih mengandung senyawa fenol dan asam askorbat (Satriyana 2002). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Santoso et al. (2009b), untuk mendapatkan total fenol yang terkandung dengan metode maserasi dan ekstraksi
6
dari berbagai pelarut, didapatkan hasil bahwa pelarut terbaik untuk mengekstraksi senyawa fenol adalah etil asetat. Sedangkan untuk mengekstraksi senyawa phlorotannin digunakan pelarut metanol karena gugus hidroksil pada senyawa polifenol (phlorotannin) membentuk ikatan hidrogen intramolekul dengan gugus hidroksil pada metanol sehingga dapat meningkatkan kelarutannya dalam metanol (Harnita et al. 2010). Maka pada saat penelitian, kedua sampel ini akan dimaserasi menggunakan 2 jenis pelarut yaitu etil asetat dan metanol. Setelah dimaserasi, langkah selanjutnya adalah mengekstraksi sampel kemudian diukur mengenai aktivitas antipigmentasi dengan cara menghambat kerja enzim tirosinase menggunakan spektrofometri dengan panjang gelombang 475 nm. Sargassum crassifolium memiliki kadar rata-rata asam askorbat sebanyak 49,01 ± 0,75 mg/100 g (Handayani et al. 2004). Dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya rumput laut jenis Sargassum crassifolium dan Gracilaria coronopifolia dapat berpotensi sebagai sumber bahan antipigmentasi dengan cara menginhibisi enzim tirosinase yang berperan penting dalam pembentukan melanin, akan tetapi belum ada penelitian yang benar-benar meneliti aktivitas kandungan pada rumput laut jenis ini sebagai sumber agen inhibitor enzim tirosinase. Oleh karena itu dilakukan penelitian mengenai aktivitas antipigmentasi dari ekstrak metanol dan etil asetat dari Sargassum crassifolium dan Gracilaria coronopifolia.
7
Pigmentasi Pembentukan Melanin dipengaruhi
Enzim Tirosinase
dihambat
Inhibitor Tirosinase
dihambat
Antioksidan
dipengaruhi
Sinar Ultraviolet
Senyawa Antioksidan dan Inhibitor Tirosinase : asam askorbat (Vit. C) dan senyawa-senyawa turunan fenol. Kandungan Rumput Laut : asam askorbat, flavonoid, fenolik, saponin, tannin. Prinsip pelarut : solve dissolve like senyawa polar dan semi polar : asam askorbat, flavonoid, fenolik, saponin, tannin, fenol. Pemanfaatan ekstrak pelarut polar dan semi polar rumput laut sebagai senyawa antipigmentasi. Gambar 1. Alur Kerangka Pemikiran
8
1.6
Hipotesis Berdasarkan penelitian Santoso et al. (2009) yang menyatakan senyawa
fenol lebih besar terekstraksi oleh pelarut etil asetat dan adanya senyawa phlorotannin pada rumput laut jenis Sargassum sp. (Harnita et al. 2010), maka diduga ekstrak etil asetat Sargassum crassifolium memiliki aktivitas yang lebih tinggi sebagai inhibitor tirosinase dibandingkan Gracilaria coronopifolia.