BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu topik yang menjadi konsentrasi pembicaraan di berbagai negara pada saat ini adalah mengenai nilai konsep pembangunan berkelanjutan dalam berbagai penyelesaian masalah pembangunan termasuk diantaranya permukiman (Local Agenda 21, 1992). Dilatar belakangi masalah terkait lingkungan, topik ini sering menjadi topik bahasan menanggapi eksternalitas yang dihasilkan dari pembangunan. Kota menjadi objek dari masalah ini dikarenakan pembangunan intensif pada umumnya dilakukan pada wilayah perkotaan. Salah satu permasalahan wilayah perkotaan di negara berkembang seperti Indonesia pada saat ini adalah munculnya pemukiman masyarakat pada daerah kumuh atau pada daerah yang tidak semestinya. Pada umumnya permukiman ini tumbuh pada daerah yang memiliki peruntukan bukan permukiman. Pesatnya peningkatan jumlah kebutuhan tempat tinggal (housing need) dengan tidak diiringi peningkatan kapasitas pemukiman yang ada menjadi penyebab munculnya masalah permukiman kumuh. Keadaan permukiman kumuh umumnya memiliki mutu lingkungan kawasan yang rendah. Terlebih fasilitas publik untuk mendukung kehidupan yang layak dan bersih tergolong masih kurang. Tingginya tingkat kerawanan akan bencana dan padatnya penduduk memperburuk kualitas lingkungan yang ada. Sebaliknya karena dorongan kemiskinan maka penduduk perkampungan kota tidak mampu mengusahakan perbaikan lingkungannya sendiri (Salim dalam Budiharjo, 1984). Masyarakat pada umumnya memilih lokasi di mana lokasi tersebut memiliki pengawasan yang rendah oleh pemerintah. Salah satu sasaran lokasi untuk munculnya permukiman masyarakat kumuh adalah pada area tepian sungai. Di mana yang selalu diidentikan dengan terdiri dari bantaran dan sempadan sungai. Menurut Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2011 mengenai sungai, bantaran sungai adalah ruang antara tepi palung
1
sungai dan kaki tanggul sebelah dalam yang terletak di kiri dan/atau kanan palung sungai. Wilayah bantaran dan sempadan sungai tergolong pada wilayah lindung. Secara definisi, berdasarkan Peraturan Pemerintah sebelumnya yakni Peraturan Pemerintah no 35 tahun 1991 mengenai sungai, sempadan sungai adalah garis batas luar pengamanan sungai. Hal ini dilengkapi kembali pada PP pembaharuannya yakni Peraturan Pemerintah no 38 tahun 2011 yang mendefinisikan sempadan sungai sebagai garis maya kira dan kanan palung sungai yang ditetapkan sebagai batas perlindungan sungai. Area sempadan sungai ini difungsikan sebagai ruang penyangga antara ekosistem sungai dan daratan, agar fungsi sungai dan kegiatan manusia tidak saling terganggu. Munculnya permukiman pada tepian sungai menyebabkan munculnya masalah-masalah dari berbagai aspek yakni lingkungan, sosial, dan ekonomi. Masalah yang langsung terlihat dari munculnya permukiman di tepian sungai ini adalah yang terkait dengan penurunan kualitas lingkungan. Penurunan kualitas lingkungan tersebut disebabkan karena tidak sesuainya peruntukan lahan eksisting dengan peruntukan lahan yang telah ditetapkan, yakni sebagai area lindung. Dengan kata lain daya dukung lahan yang dimiliki oleh wilayah sempadan sungai tidak mampu untuk difungsikan sebagai area permukiman (Muta’ali, 2012). Disisi lain, fenomena baru yang muncul pada masyarakat permukiman tepian sungai saat ini adalah fenomena maladaptasi. Masyarakat menunjukan sebuah proses adaptasi atau penyesuaian dari perilaku masyarakat terhadap masalah-masalah yang ada. Berbagai masalah terkait lingkungan, sosial, dan ekonomi sudah bukan menjadi halangan kembali bagi masyarakat untuk tetap hidup. Hal ini dikarenaka semua hal tersebut telah tertutupi oleh tingginya kebutuhan akan tempat tinggal. Semakin banyaknya permukiman yang muncul di sekitar tepian sungai yang ada di kota-kota besar menunjukan fenomena ini telah tumbuh di Indonesia sebagai negara berkembang. Adaptasi demikianlah yang disebut maladaptasi. Meskipun memiliki nilai dalam mempertahankan kehidupan, tetaplah dianggap sebagai penyesuaian diri yang tidak sehat. Maladaptasi tidak dapat diterima dalam sebuah pembangunan perkotaan yang memperhatikan 2
pengelolaan lingkungan. Hal ini disebabkan kegiatan yang memaklumi masalah dan menganggapnya menjadi sebuah kewajaran tergolong pada kegiatan yang tidak manusiawi. Kelenturan dalam pengelolaan lingkungan haruslah tidak memberikan akomodasi pada maladaptasi (Soemarwoto, 1997). Meninjau permasalahan komplek mengenai permukiman tepian sungai itulah salah satu yang menyebabkan konsep pembangunan berkelanjutan mulai menjadi konsen pembicaraan diberbagai negara, termasuk Indonesia. Konsep berkelanjutan merupakan sebuah konsep yang didalamnya memiliki fokus pada tiga pilar utama yakni lingkungan, ekonomi, dan sosial (World summit Report, 2002). Konsep ini telah lama diperbincangkan di dunia sampai saat ini. Salah satunya pada tahun 1992 dilakukan sebuah konfrensi yang membahas mengenai konsep pembangunan berkelanjutan ini yakni Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Jainero, Brazil. Perkembangan selanjutnya didorong hasil kerja World Commission on Environment and Development (WCED) oleh PBB. Hasil dari seluruh pembahasan tersebut adalah semua rumusan mengenai pembangunan berkelanjutan yakni pembangunan yang memennuhi kebutuhan masa kini tanpa mempengaruhi kemampuan generasi yang akan datang dalam meningkatkan kesejahteraannya (Sugandhy dan Hakim, 2003). Yogyakarta merupakan salah satu kota yang mengalami permasalahan munculnya permukiman di tepian sungai. Terdapat tiga sungai besar yang melewati kota Yogyakarta, yakni Kali Code, Kali Winongo, dan Kali Gajah Wong. Sebagian besar pada area tepian sungai tersebut dihuni oleh masyarakat dengan perekonomian menengah kebawah. Lokasi studi kasus dalam penelitian ini adalah tepian Sungai Kali Gajah Wong. Area pada tepian sungai ini muncul beberapa permukiman dengan kualitas lingkungan yang berbeda. Beberapa permukiman masyarakat didalamnya menunjukan sebuah upaya dalam mengatasi permasalahan yang muncul, baik secara lingkungan maupun sosial. Sehingga kualitas permukiman yang terlihat tampak baik dan layak dihuni. Sebagian lagi permukiman yang tidak dapat
3
mengupayakan mengatasi masalah yang ada terlihat lebih kumuh dan cenderung tidak layak digunakan sebagai hunian. Menanggapi permasalahan yang telah dijabarkan, sesuai UU no 32 Tahun 2009 tentang ketentuan-ketentuan pokok Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, negara, pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Hal ini termasuk pembangunan permukiman masyarakat. Meskipun kondisi saat ini masyarakat dapat tinggal dan menetap pada kawasan tepian sungai namun peneliti meragukan bagaimanakan sifat dari eksistensi permukiman tepian sungai tersebut dan sudah tepatkah pembangunan apabila disesuaikan peraturan terkait pemanfaatan wilayah sungai. Diperlukan sebuah penelitian yang dapat memberikan gambaran tingkat keberlanjutan dari permukiman ini sehingga dapat dijadikan pedoman atau payung kebijakan lebih lanjut dari pemerintah dalam menghadapi permukiman yang muncul ditepian sungai. 1.2. Pertanyaan Penelititan Berdasarkan latar belakang masalah tergambarkan bahwa inti permasalahan dari munculnya permukiman tepian sungai pada saat ini adalah masih belum terdapatnya pembenaran mengenai perkembangan permukiman perkotaan di tepian sungai apabilai ditinjau dari dasar pembangunan berkelanjutan. Oleh sebab itu, dapat ditarik sebuah pertanyaan mengenai permasalahan utama dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimanakah tingkat keberlanjutan permukiman yang terdapat di tepian sungai bila dilihat dari aspek lingkungan, aspek sosial, dan aspek ekonomi ? 2. Faktor-faktor
apakah
yang
paling
berpengaruh
terhadap
tingkat
keberlanjutan yang ada pada permukiman di tepian sungai ? 3. Bagaimana tipologi permukiman di tepian sungai berdasarkan tingkat keberlanjutannya ?
4
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan pertanyaan penelitian diatas, maka tujuan dilakukannya penelitian ini adalah: 1. Mengukur tingkat keberlanjutan permukiman yang berada di tepian sungai berdasarkan aspek lingkungan, aspek sosial dan aspek ekonomi. 2. Mengidentifikasi faktor
yang paling berpengaruh terhadap tingkat
keberlanjutan pada permukiman di tepian sungai pada masing-masing aspek. 3. Mengidentifikasi tipologi permukiman di tepian sungai berdasarkan tingkat keberlanjutannya. 1.4.
Manfaat Penelitian Manfaat yang didapatkan melalui penelitian ini tidak hanya ditujukan
kepada para peneliti atau akademisi lain, melainkan juga kepada pihak lain yang terkait yakni pemerintah Kota Yogyakarta dan masyarakat penghuni permukiman tersebut. Adapun manfaat dari penelitian dijelaskan sebagai berikut: 1.
Bagi masyarakat penghuni permukiman tepian sungai, hasil penetian ini diharapkan mampu memberikan padangan mengenai pembangunan permukiman
yang
layak
dan
berwawasan
masa
depan
dengan
mempertimbangkan aspek lingkungan, sosial dan ekonomi. 2.
Bagi pemerintah daerah Kota Yogyakarta, hasil penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan kebijakan-kebijakan terkait eksistensi permukiman tepian sungai serta kebijakan dalam penyediaan fasilitas
yang
menunjang
dasar
pembangunan
berkelanjutan
dari
permukiman tersebut. 3.
Bagi peneliti lain, hasil penelitian ini menjadi dasar penelitan lanjutan mengenai pengembangan atau modifikasi aspek-aspek permukiman yang dapat menyesuaikan karakter tepian sungai dengan tetap memperhatikan aspek keberlanjutan permukiman.
1.5.
Batasan Penelitian Batasan dan lingkup dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.
Lokasi 5
Batasan lokasi penelitian ini ditetapkan pada skala lingkungan atau kawasan. Kawasan amatan pada penelitian ini adalah pada permukiman yang terdapat di tepian sungai Gajah Wong, Kecamatan Kotagede. Secara administratif batasan lokasi ditetapkan pada kelompok permukiman yang terdapat pada Kelurahan Rejowinangun dan Kelurahan Prenggan. b.
Ruang Lingkup Fokus Fokus dalam penelitian ini adalah tingkat keberlanjutan dari permukiman yang terdapat pada tepian sungai. Di mana keberlanjutan dilihat berdasarkan tiga aspek utama dan keberlanjutan ditetapkan saat ketiga aspek tersebut menunjukan hasil positif. Di samping itu penjabaran juga dilakukan pada setiap variabel yang dalam hasil akhir memiliki tingkat pengaruh berbeda-beda.
1.6.
Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran oleh penulis terkait menunjukan keaslian
penelitian, telah terdapat sebelumnya beberapa penelitian yang dilakukan terkait dengan
permukiman
bantaran
sungai
dan
upaya
peningkatan
kualitas
permukiman. Adapun penelitian-penelitian tersebut memiliki fokus penelitian sebagai berikut: Penelitan mengenai nilai keberlanjutan sebelumnya telah diteliti oleh Nugrahaeni (2013). Penelitian yang telah dilakukan tersebut berfokus pada dampak program perbaikan kampung apabila dilihat berdasarkan nilai keberlanjutannya setelah diterapkan sejak tiga puluh tahun yang lalu. Penelitian yang dilakukan bersifat historis dengan memasukan data kondisi kampung sebelum program dengan setelah program perbaikan kampung sebagai unit analisis. Penggunaan nilai berkelanjutan di tampilkan secara eksplisit berdasarkan kondisi temuan dilapangan, namun tetap memasukan variabel dari 3 pilar utama keberlanjutan yakni sosial, lingkungan dan ekonomi. Kesamaan dengan penelitian ini adalah teori dasar yang digunakan dengan melihat dimensi dasar dari keberlanjutan itu sendiri. Namun secara penjabaran dan aplikasi dari setiap faktornya jauh berbeda dengan penelitian ini.
6
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suryo (2009) mengenai kondisi permukiman tepian sungai, berdasarkan temuan yang didapat pada masyarakat bantaran sungai karang mumus, kehidupan yang ditunjukan oleh masyarakat cenderung mengalami penuruanan kualitas hunian dan lingkungan. Tidak dijelaskan secara langsung mengenai konsep berkelanjutan, namun secara fokus yang diteliti, Suryo (2009) mendeskripsikan bagaimana masyarakat tersebut pada saat ini mengalami penurunan kualitas lingkungan.Variabel yang dimasukan kedalam penelitian ini terkait dengan karakteristik fisik lingkungan, serta pengaruh sosial ekonomi terhadap permukiman penduduk. Kesamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini terletak pada fokus terhadap kualitas permukiman tepian sungai secara lingkungan, sedangkan perbedaan terletak pada fokus sosial dan ekonomi yang dikembangkan dari penelitian ini dan tidak terdapat pada penelitian yang dilakukan oleh Suryo (2009). Penelitian dengan fokus keberlanjutan permukiman di tepian sungai telah dilakukan oleh beberapa orang sebelumnya, namun lokus penelitian berbeda. Penelitian pertama mengenai ini dilakukan pada kawasan permukiman di tepi sungai di Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur oleh Santoso (2009). Penelitian selanjutnya pernah dilakukan kawasan permukiman di hulu DAS Ciliwung Kabupaten Bogor oleh Dewi (2011). Selain lokus yang berbeda dengan penelitian ini, metode yang digunakan juga yang membedakan penelitian ini dengan penelitian tersebut. Penelitian sebelumnya menggunakan multidimensional scaling (MDS) dan dinilai berdasarkan indeksnya. Sedangkan penelitian ini menggunakan metode diskriminan dengan menggunakan hasil skoring sebagai asumsi awal dari tingkat keberlanjutan dan kemudian hasil diperkuat dengan hasil dari predicted group membership. Di sisi lain faktor yang digunakan pada penelitian sebelumnya merupakan faktor yang telah ditetapkan oleh UNCSD, sedangkan penelitian ini bersifat melengkapi dengan melakukan deduksi teori dan menentukan tingkat pengaruh berdasarkan koefisien fungsinya. Beberapa penelitian sebelumnya sebagian besar memiliki fokus yang sama, namun yang menjadi perbedaan adalah penjabaran fokus utama tersebut kedalam teori konseptual dan variabel operasionalnya. Lokus dan metode yang digunakan 7
juga berbeda dengan penelitian sebelumnya, hal ini menjadi dasar masih diperlukannya penelitian ini untuk dilaksanakan. 1.7.
Sistematika Penulisan Penelitian ini dirangkai ke dalam enam bab dengan susunan berikut: 1. BAB I PENDAHULUAN Terdiri dari latar belakang penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, hipotesis penelitian, manfaat penelitian, batasan penelitian, keaslian penelitian, dan sistematika penulisan. 2. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Terdiri
dari
tinjauan
pustaka
mengenai
permukiman
perkotaan,
karakteristik sungai dan sempadan sungai, permukiman di tepian sungai, konsep berkelanjutan, deduksi konsep pembangunan berkelanjutan pada skala kawasan, serta kerangka konseptual penelitian. 3. BAB III METODE PENELITIAN Terdiri dari pendekatan penelitian, unit amatan dan unit analisis penelitian, instrumen penelitian, cara dan langkah pengumpulan data, tahapan penelitian, penjabaran metode analisis dan penentuan sampel. 4. BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Terdiri dari gambaran umum Kota Yogyakarta beserta gambaran umum Kelurahan Rejowinangun, Kelurahan Prenggan dan kawasan yang menjadi lokasi amatan. 5. BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Terdiri dari karakteristik responden, pembahasan tingkat keberlanjutan permukiman di tepian sungai dan pembahasan faktor yang paling mempengaruhinya. 6. BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Terdiri dari kesimpulan penelitian dan saran terkait dengan hasil penelitian.
8